Selasa, 14 Februari 2012

Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan


Penulis: Linda Thomas & Shan Wareing; Judul Buku: Bahasa, Masyarakat & Kekuasaan; Penerjemah: Sunoto (et.al); Editor: Prof. Dr. Abdul Syukur Ibrahim; Desain Cover:Adi Muchdillah; Desain Layout:Bima Bayu Atijah; Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta; Cetakan Pertama: Januari 2007; Jumlah Halaman: xiv+337; Ukuran Buku: 14x21cm
Buku ini berisi tentang materi-materi sosiolinguistik yang erat kaitannya antara bahasa yang digunakan dalam masyarakat dan kekuasaan. Buku ini dirangkai dalam sebelas bab yang merangku wawasan paradigm baru tentang materi sosiolinguistik. 
Bab pertama memaparkan garis besar tentang alas an mengapa topik-topik yang terkait dengan bahawa, masyarakat dan kekuasaan perludipelajari dan mengapa tiga hal itu dianggap terkait satu sama lain oleh buku ini. Dalam bab ini juga diuraikan tentang beberapa cara pandangan atau “model” tentang bahasa dan diuraikan beberapa jenis perubahan bahasa yang biasa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bab ini mengulas secara ringkas tentang konsep “kekuasaan” dan telah menguraikan tentang bagaimana hubungan antara bahasa, kekuasaan dan masyarakat.
Peneliti meyakini bahwa penelitian terhadap bahasa adalah sebuah kegiatan yang penting karena bahasa adalah sebuah kegiatan yang penting karena bahasa adalah bagian penting dari kehidupan. Penulis juga yakin bahwa dengan meneliti bahasa, pembaca dapat belajar banyak tentang bagaimana struktur masyarakat, bagaimana fungsi masyarakat dan apasaja asumsi-asumsi yang digunakan banyak orang tapi sering kali tidak disadari di dalam memandang kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat.

Bab kedua menguraikan tentang teori tanda dari Saussure, yang mengatakan bahwa hubungan antara konsep dan label pada dasarnya bersifat sewenang-wenang, namunn keduanya selalu dihubungkan untuk membentuk tanda. Telah diuraikan bahwa makna dari sebuah tanda dpengaruhi oleh makna dari tanda-tanda lain dalam system bahasa, dan bahwa bagi para penutur bahasa itu, tanda adalah cara alami, wajar dan transparan untuk merepresntasikan realita. Dalam bab dua ini dinyatakan juga hipotesis Shapir-Whorf bahwa tiap-tiap budaya memiliki nilai yang berbeda dan cara penggunaan bahasa mereka akan mencerminkan persepsi mereka sendiri tentang realita (teori relativitas linguistik).
Selan itu, hipotesis Shapir-Whorf juga menyatakan bahwa ketika orang terus menerus menggunakan bahasa tertentu atau terus menerus menggunakan wacana tertentu dalam bahasa itu, maka persepsi-persepsi yang terkodekan dalam bahasa atau wacana itu akan tertanam secara kuat dalam pikirannya sehingga sulit untuk dipertanyakan kembali. Namun setelah dipahami bahwa bahasa dapat memanipulasi dan mengarahkan persepsi pembaca, maka akan lebih mampu untuk menantang dan mempertanyakan kembali cara penggunaan istilah dan sudut pandang dalam bahasa.
Bab tiga menguraikan tentang apa yang dimaksud dengan politik dan telah diajukan argument bahwa politik adalah sebuah fenomena yang tersebar sangat luas dan bukan Cuma terkait dengan orang-orang yang ada dalam pemerintahan Negara. Bab ketiga ini juga memaparkan tentang peranan dari ideology di dalam membentuk wawasan dunia, yaitu bahwa orang-orang di dalam sebuah masyarakat cenderung untuk bekerja sama di dalam memproduksi sebuah system nilai dan cara berbicara tentang sesuatu, sehingga pola berpikir dan pola berbicara yang berbeda darisistem yang sudah mapan itu akan dianggap aneh atau abtisosial. Ide ini kemudian dijabarkan lebih jauh lagi dengan mengajukan pertanyaan: apakah bahasa bisa mengendalikan pikiran, yang kemudia peneliti uraikan dengan menggunakan contoh dari novel 1984 karya George Orwell dan “political correctness”.
Kemudian dalam ketika ini juga diuraikan tentang penggunaan retorika politik, dengan melihat pada cara-cara untuk mengaburkan maksud dengan sengaja sehingga sebuah pernyataan menjadi sulit dimengerti. Selanjutnya peneliti juga menguraikan tentang gaya bahasa dan bagaimana cara menggunakan metaphor untuk mengkonkretkan konsep yang abstrak, untuk mengaburkan maksud dan untuk menguatkan pesan ideologi. Peneliti juga memberikan contoh-contoh tentang pernyataan dalam tiga bagian yang merupakan sarana retorika yang banyak digunakan dalam dunia politik.
Bab ketiga ini kemudian juga menguraikan tentang penggunaan pronominal dan bagaimana cara menggunakan pronominal untuk mengedepankan atau menutupi tanggung jawab. 
Bab keempat menguraikan tentang kekuatan media di dalam menentukan mana yang pantas dianggap berita dan mana yang tidak, serta bagaimana cara merepresentasikannya. Peneliti mencoba memaparkan beberapa pendapat yang berbeda tentang media, di mana di satu sisi media dipandang sebagai sarana demokrasi yang memberikan informasi yang diperlukan masyarakat dan di sisi lain, media dipandang sebagai monoploi yang kekuasaannya besar dan semata mengejar kepentingannya sendiri. Dengan makin tingginya tingkat akses masyarakat luas ke dalam ruang penyiaran, dan terutama dengan adanya internet yang berpotensi untuk menjadi media komunikasi massa yang bebas dari regulasi, maka pertanyaan-pertanyaan di atas tetap penting dalam kaitannya dengan perdebatan sosial fungsi dan kekuasaan dari media massa. Apakah media massa menyediakan forum bagi perdebatan public ataukah dengan wacana yang hirarkis (ada yang dominan dan ada yang didominasi) dan sistem seleksi yang menentukan siapa yang boleh mengatakan apa dan bagaimana cara mengatakannya? Sebuah analisis terhadap bahasa dan wacana yang digunakan dalam konteks-konteks yang dimediasi akan memberikan bukti-bukti yang kuat untuk dapat mendukung atau menolak pandangan-pandangan tentang media di atas.
Bab kelima membahas tentang seksisme dalam bahasa Inggris dengan melihatnya dari (1) asimetri dalam bahasa, (2) istilah bertanda dan tak bertanda, dan (3) derogasi semantic. Peneliti mencoba memperlihatkan bagaimana sebuah wacana bisa menjadi seksis biarpun ketika digunakandalam konteks yang tidak seksis sama sekali. Pembaca diminta untuk mempertimbangkan apakah seksisme tidak hanya menimpa wanita saja tapi juga bisa menimpa pria. Kalai mengingat kembali argument yang telah disampaikan dalam bab kedua bahwa representasi bahasa adalah cerminan dan sekaligus bisa mempengaruhi cara mempersepsi dunia, maka pembaca perlu juga mempertimbangkan apakah bukti dari keberadaan seksisme dalam bahasa adalah sekaligus bukti dari terjadinya seksisme dalam kehidupan sehari-hari d masyarakat.
Bab kelima ini juga menguraikan tentang cara wanita dan pria berbicara dan bagaimana bukti-bukti yang dida[atkan dari penelitian terhadap masalah ini kadang-kadang berlawanan dengan pemahaman-pemahaman yang masuk akal. Peneliti mencoba memapatkan dua teori penjelas yang telah diajukan yaitu teori dominasi dan teori perbedaan. Dalam bab kelima ini peneliti juga memberikan peringatan bahwa di dalam menganalisis terhadap gender, peneliti sering kali kesulitan untuk bersikap objektif karena pemahaman peneliti dapat dengan mudah didistorsi oleh pengharapan peneliti sendiri.
Bab keenam menyimpulkan bahwa penggunaan bahasa dalam membangun identitas etnis melibatkan masalah-masalah yang tidak mudah dilihat secra sekilas dan juga tidak mudah dipecahkan. Istilah “etnis” dan “etnisitas” mencakup karakteristik-karakteristik yang penulis anggap penting untuk mendefinisikan siapa kita dan siapa orang lain, baik itu sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok. Biarpun semua orang punya identitas etnis, namun kelompok-kelompok minoritas memiliki kebutuhan lebih besar untuk menekankan identitas itu karena mereka sering kali diperlakukan sebagai orang luar oleh norma yang berlaku di kalangan minoritas. Identitas “asing” yang disandang etnis minoritas ini makin diperkuat  oleh cara-cara yang digunakan oleh etnis mayoritas merepresentasikan mereka lewat bahasa. Dampaknya adalah bahwa sifat “beda” dari kelompok minoritas menjadi dikuatkan lewat label-label potensi primer. Representasi lewat label-label potensi primer ini selanjutnya menguatkan persepsi bahwa kelompok-kelompok minoritas ini berbeda dari yang “wajar” dan kadang perbedaan ini dianggap sebagai sebuah ancaman. Agar rasa terancam ini dapat dikurangi, kelompok mayoritas akan mendorong atau bahkan memaksa kelompok minoritas untuk patuh pada norma yang berlaku. Pada saat yang sama, kelompok minoritas tetap secara aktif mempertahankan sifat “beda” mereka dari norma yang telah mengasingkan mereka lewat solidaritas kelompok antar mereka sendiri. Salah satu cara untuk memperkuat solidaritas kelompok minoritas ini adalah lewat bahasa.
Bab ketujuh menguraikan bahwa usia adalah sebuah kategori budaya yang berperan penting, yaitu sebagai sebuah penanda identitas dan sekaligus sebagai sebuah factor yang mempengaruhi variasi bahasa yang terjadi dalam sebuah asyarakat bahasa. Cara orang merepresentasikan anak kecil dan manula akan mencerminkan status dari kedua kelompok usia itu di dalam masyarakat, dan status ini juga dipengaruhi oleh besarnya kekuasaan sosial dan ekonomi yang dipegang dua kelompok usia ini. Bab ini juga menunjukkan bahwa ada kemiripan antara cara orang berbicara kepada anak kecil dengan cara orang berbicara kepada manula. Kemiripan ini tidak data dijelaskan semata-mata oleh kondisi anak yang belum dewasa secara fisik dan mental saja dan juga tidak dapat dijelaskan semata-mata oleh kondisi penurunan kekuatan fisik dan mental pada manula, karena kemiripan itu juga dipengaruhi secara signifikan oleh status dari anak kecil dan manula dalam masyarakat serta oleh keyakinan-keyakinan dan stereotip-stereotip tentang kemampuan komunikasi dari dua kelompok usia ini.
Bab kedelapan membahas tentang hubungan antara variasi regional dan sosial serta hubungan antara varian-varian linguistik dengan kelas sosial. Hubungan seperti ini bisa berbentuk sekedar keyakinan yang didasarkan pada pengalaman sehari-hari belaka atau bisa dibuktikan lewat penelitian yang andal (reliable) terhadap kelas sosial penutur yang dihitung dengan menggunakan berbagai macam metode. Bab ini juga menguraikan tentang kesulitan-kesulitan dalam mengukur secara objektiv level kelas sosial dari penutur dan juga menguraikan bagaimana para ahli linguistik berusaha mengatasi masalah ini di dalam penelitian mereka terhadap variasi linguistik. Hasilnya adalah semakin tinggi kelas sosial seseorang, semakin dekat varian linguistic  mereka dengan varian bergengsi atau normal. Selain itu didapat juga bahwa penutur bisa mengubah gaya bicara mereka untuk mendekati atau menjauhi varian yang bergengsi, tergantung pada tuntutan dari situasi yang sedang mereka hadapi.
Bab kesembilan membahas tentang pembentukan identitas personal lewat penggunaan nama dan system sapaan, dan juga tentang pembentukan identitas kelompok lewat jenis-jenis representasi dan kepatuhan terhadap norma-norma linguistik. Bab ini juga menguraikan tentang cariasi linguistic memainkan peran dalam menekspresikan solidaritas terhadap atau menjaga jarak dengan kelompok, dan bab ini juga menunjukkan bagaimana bahasa terkait dengan identitas budaya.
Bab kesepuluh membahas tentang kesulitan-kesulitan yang terjadi ketika peneliti mencoba untuk mendefinisikan bahasa Inggris standar. Peneliti juga mencoba memperlihatkan bahwa konsep “logika” dan “keberaturan” tidak dapat diterapkan seoenuhnya pada bahawa Inggris standar, karena ide bahwa bahasa Inggris standar adalah “logis” dan “beraturan” itu sendiri memiliki hubungan dengan nilai-nilai sosial dan politik, dan dengan kbutuhan untuk mempertahankan tatanan moral, sosial dan institusional di Inggris. 
Bab kesebelas memperlihatkan bagaimana sikap kita terhadap bahasa bisa ditunjukkan terhadap level apapun dalam bahasa. Sikap kita terhadap bahasa sering kali muncul akibat hal-hal yang sepele dalam bahasa ini sangat berpengaruh terhadap pnilaian kita terhadap individu dan kelompok sosial yang menggunakan bahasa atau varian bahasa itu. Penilaian-penilaian ini bisa terus melebar dan mempengaruhi keputusan-keputusan yang kita buat yang berdampak penting terhadap kehidupan orang lain seperti keputusan tentang hokum dan ketertiban, penerimaan kerja, pendidikan dan kesetaraan peluang. Kesadaran tentang bagaimana sikap kita terhadap bahasa itu terbentuk belum tentu membuat kita kebal terhadap dampak dari sikap terhadap bahasa ini, tapi setidaknya bisa membantu kita untuk mengevaluasi dampaknya terhadap praktik-praktik yang kita lakukan.

[Anotator: Mustolehuddin, S.Ag / Kabid. Perpustakaan Balitbang Depag Jateng]

2 komentar:

  1. Assalamualaikum. sya telah mngkuti klw sampean pernah ke situs http://ibadkadabrak.wordpress.com/2011/10/14/trick-download-skripsi-di-digilib-uin-suka-ac-id/
    kalau boleh, saya minta username n paswordnya bisa?? saya mohon. saya cuma ingin login, tapi sya bukan mhsswa uin suka.. mohon.... pasword bisa krim ke muhammad.darussalam@gmail.com

    BalasHapus
  2. atau sms ke 085250394281

    BalasHapus