Senin, 20 Februari 2012

Husain Mansur Al-Hallaj

Al Hallaj adalah ikon mistikus paling melegenda di jagat raya sufisme. Namanya tak pernah berhenti disebut orang sepanjang masa, dalam nada puja-puji yang memabukkan maupun sumpah serapah dan dendam kesumat yang tak pernah selesai. Cerita tentang orang besar ini sarat dengan beragam mitos dan dongeng-dongeng yang memesona sekaligus merobek-robek nurani.

Siapa al-Hallaj
Namanya Husain Manshur al Hallaj, lahir di perkampungan Tur, wilayah Baidha, Fars, Persia, 244 H/858. Dia anak tukang pemilah benang yang miskin. Kelahirannya amat di dambakan bertahun dua orang tua yang saleh itu. Hallaj kecil dititipkan keduanya kepada Syekh Sahl al Tustari (w.238 H), sufi besar pada zamannya, untuk mengaji kepadanya dan mengabdi kepada Tuhan di masjidnya, memenuhi janji mereka ketika mendamba bertahun kelahirannya. Ketika Hallaj menyapu di mihrab, dia menemukan secarik kertas kewalian gurunya, yang konon, turun dari langit. Diam-diam Hallaj menelannya, mengambil keberkatan.  Tak lama, dia menjadi aneh, ia sering bergumam sendiri.
Dalam usia 12 tahun dia hafal al-Qur’an seluruh, dia juga mengaji beragam keilmuan tradisional Islam kepada sejumlah guru di Wasit, sebuah kota dekat Ahwaz. Usai ngaji di kampungnya, dia pergi ke Bagdad, untuk meneruskan mengaji pada sufi otoritatif: Abu al Qasim Al Junaed (w.298 H), Amir al Makki (w. 291) dan guru yang lain. Ketika Hallaj 20 tahun, dia ditahbiskan sebagai guru dalam Tasawuf. Tak lama ke kemudian dia ke Makkah untuk haji. Di kota suci ini, pergulatannya dengan dunia sufisme semakin intens. Otoritasnya di bidang ini semakin menonjol. Pada saat berada Arafat, dia mendaki sendiri sampai puncak gunung itu, lalu berdo’a :
يا دليل المتحيرين زدنى تحيرا. وإذا كنت كافرا فزدنى كفرا.
“Oh, Tuhanku, Pembimbing Orang-orang bingung. Tambahi kebingunganku. Jika aku kafir, maka tambahi kekafiranku”. (Louis Massignon, Alaam al Hallaj, hlm. 213).
Kelak di kemudian hari di suatu tempat dia bilang lagi untuk menegaskan bahwa keinginan tersebut dikabulkan Tuhan:
كفرت بدين الله والكفر واجب    علي وعند المسلمين قبيح
Aku mengkafiri agama Tuhan
Kekufuran bagiku adalah wajib
Meski bagi banyak muslim amatlah buruk
(Diwan, Yatama 2)

Hallaj kembali ke Baghdad, mendiskusikan berbagai problem dan isu krusial sufisme, dengan Syeikh Junaed,  Abu Bakar al Syibli dan sejumlah sufi besar lainnya. Dia selalu tak puas. Pikiran-pikirannya semakin radikal, melawan mainstream, tapi semakin matang. Dia lalu kembali ke kampungnya untuk tak berhenti mencari Tuhan dan dia menemukan-Nya di dalam rumah hatinya sendiri. Baju sufi ditanggalkannya dan menggantinya dengan baju tentara, kadang baju robek-lusuh, biar lebih bebas dan tak dikenal saleh. Sesudah itu namanya disebut secara popular sebagai Hallaj al Asrar (Hallaj, sang pemilik rahasia-rahasia). Hallaj kembali ke Makkah, di samping untuk haji lagi juga terus mencari mengerti tentang eksistensi diri di bumi Nabi, tempat beliau mengajarkan Tauhid (Kemahaesaan Tuhan). Al Hallaj lagi-lagi tak puas. Ia lantas berkelana ke berbagai negeri di Timur Tengah dan sampai ke India dan Cina. Di berbagai tempat itu, yang dijalaninya selama lima tahun, dia memperoleh banyak sekali pengetahuan eksoterik, terutama esoterik. Entah sesudah atau di antara pengembaraan itu, dia ke Makkah lagi.
Dari perjalanan ini dia mulai tampil dengan gagasan-gagasan sufismenya yang menggemparkan. Dia sebarkan gagasan itu secara terbuka dan segera mengundang resistensi dan reaksi kebingungan dan kemarahan publik. Ucapan-ucapan Cintanya kepada Tuhan semakin tak dimengerti halayak. Dia semakin “gila”. Tetapi dalam waktu yang sama nyawanya terancam oleh pikiran publik yang tak paham. Dia dicacimaki sebagai tukang sihir dan orang gila. Tetapi sebagian lain melihatnya sebagai pribadi memesona, nyentrik, yang menebarkan keramat  dan keberkatan. Dialah Waliyullah, kekasih Tuhan. Al Hallaj tak peduli dengan semuanya. Dia menuliskan dan menggumamkan seluruh kegelisahan dan keriangan batinnya yang meluap-luap itu kapan saja. Setiap malam, ketika senyap, dia mendesahkan elegi yang mengiris nurani.

ألا يا ليل محبوبى تجلى   ألا يا ليل للغفران هلا
الا يا ليل ما ابهى واحلى   ألا يا ليل اكرمنى وجلى
ألا يا ليل فى الحضرة سقانى  ألا يا ليل من خمر الدنان
O, malam, Kekasihku datang
O, malam, pengampunan telah datang
O, malam, aduhai Keindahan, aduhai Manisku
O, malam, Kekasih memuliakanku, Dia datang
O, malam, Kekasih menuangkan minuman
Pada gelas besar dari anggur yang memabukkan


Gagasan-Gagasan Hallaj: Hulul
Al Hallaj terus menyimpan rindu-dendam dan berhari-hari mabuk kasmaran. Kekasihnya datang berkunjung, lalu menyeruak, merasuk ke dalam dan menempati hatinya. Orang menyebut proses merasuk dari atas ke bawah sebagai “Hulul”. Sejak itu hari-harinya disibukkan dengan pertemuan-pertemuan manis, mesra dan menghanyutkan dengan Tuhan di ruang yang tak bertempat. Katanya, suatu saat, masih dalam sunyi-menyergap:
رأيت ربى بعين قلبى   فقلت من أنت قال أنت
فليس للاين منك أين   وليس أين بحيث انت
Aku melihat Tuhanku dengan mata hati
Aku bertanya; Siapa Engkau. Dia katakan : Kamu
Tak ada dari-Mu dimana
Dan tak ada di mana bagimu
(Diwan, Qashidah 10)
انا من اهوى ومن اهوى انا    نحن روحان حللنا بدنا
فإذا ابصرتنى ابصرته   فإذا أبصرته ابصرتنا
Aku orang yang mencinta dan Dia yang mencinta adalah Aku
Kami dua ruh yang melebur dalam satu tubuh
Bila kau memandangku, kau memandang-Nya
Bila kau memandang-Nya, kau memandang Kami.
(Diwan 57)
مزجت روحك فى روحى كما   تمزج الخمرة  بالماء الزلال
فإذا مسك شيئ مسنى   فإذا انت انا فى كل حال
Ruh-Mu menyerap dalam ruhku
Bagai anggur larut pada air bening
Bila suatu menyentuh-Mu, ia menyentuhku
Engkau adalah aku dalam seluruh
(Diwan 47)

Ittihad : Akulah Kebenaran
Ketika Sang Kekasih pergi, Al Hallaj menulis berbaris-baris puisi Kerinduan (al ‘Isyq) yang mencengkeram amat kuat dalam dirinya dan dalam ekstase-aktase yang sering. Dia senandungkan puisi-puisi Rindu Kekasih itu di pasar-pasar, di warung-warung, di surau-surau dan di kerumunan-kerumunan. Hari-hari kemarin Hallaj merasa Tuhan berkunjung ke rumahnya dan menempati seluruh ruang eksistensinya. Dan kini dia ingin menyambutnya dengan riang lalu menjemput-Nya di Langit dan manapun Dia Berada. Hallaj ingin selalu bersama-Nya, menyatu dalam “Tubuh-Nya”. Sufi menyebut proses merasuk dan menubuh dari bawah ke atas sebagai Ittihad. Dalam puncak ekstase yang melayang-layang dia berteriak keras: “Ana al Haq” (Akulah Kebenaran). Kata-kata ini mengguncang dan menggetarkan jagat raya manusia. Sahl al Tustari, Junaed dan Syibli sahabatnya, terpana dan shock berat. Oh, Hallaj, seharusnya kau tak sebarkan rahasia Tuhan itu kepada publik semacam itu. Biarlah kata-kata itu menjadi milik hati kita?

Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar