Jumat, 22 Februari 2013

Sejarah Sufi al-Hallaj

Al-Hallaj adalah sufi terkemuka dari abad ke-9 (3 H). Nama lengkapnya al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/858 M.[1] dan dia mulai dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Ketika usia 16 tahun, yaitu di tahun 260 H (873 M), dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang besar dan terkenal, yaitu Sahl bin Abdullah al-Tusturi di negeri Ahwaaz.[2] Selama 2 tahun lamanya dia belajar kepada sufi besar itu. Sehabis belajar dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah dan belajar kepada Sufi ‘Amar al-Makki, di tahun 264 H (878 M) dia masuk ke Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu dia pun pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengamalan dalam ilmu tasawuf. Sehingga tidak ada lagi seorang syeikh ternama, semua telah dijelangnya dan dimintanya fatwa dan tuntutannya. Dan tiga kali dia naik Haji ke Mekkah.[3]
Saat pergi ke Mekkah untuk pertama kalinya dalam rangka menunaikan ibadah haji, dan kembali ke Baghdad, mulailah ia memperoleh murid atau pengikut yang semakin lama semakin banyak. Ia juga melakukan perlawatan ke berbagai negeri, seperti Ahwaz, Khurasan, Turkistan, dan bahkan juga ke India. Dimanapun ia berada, ia melaksanakan dakwah, mengajak umat agar mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian pengikut-pengikutnya yang dikenal dengan sebutan Hallajiyah, makin bertambah besar. Para pengikutnya itu yakin bahwa ia adalah seorang wali, yang memiliki berbagai kekeramatan.
Dia kembali ke Baghdad pada tahun 296 H / 909 M. Di kota ini, secara kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintah yang bersih. Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan "pemerintah yang bersih" dari Nash al-Qusyairi dan al-Hallaj ini jelas berbahaya, karena khalifah tidak boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambang saja.[4]
Mungkin karena kekhawatiran pada kebesaran pengaruhnya, kecenderungan pada aliran syi'ah, dan besarnya jumlah pengikutnya, penguasa di Baghdad menangkap dan memenjarakannya pada 910 (297 H). Dengan sejumlah tuduhan (bahwa ia berkomplot dengan kaum Qaramith, yang mengancam kekuasaan Daulat Bani Abbas; ia dianggap bersifat ketuhanan oleh sebagian pengikutnya yang fanatik; ia mengucapkan "ana al-haq" (akulah yang maka benar); dan menyatakan bahwa ibadah haji tidak wajib).[5]
Karena ucapannya, al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah satu tahun dipenjara dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati kepadanya. Dari Baghdad dapatlah ia melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas. Disinilah ia bersembunyi empat tahun lamanya. Namun pada tahun 301 H / 930 M dapat ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309 H / 921 M, diadakan persidangan ulama dibawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman padanya. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula di pukul dan di cambuk dengan cemeti, lalu di salib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, di penggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, kemudian dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.[6]
Konon al-Hallaj menghadapi hukuman itu dengan penuh keberanian dan berkata pada saat di salib : "Ya Allah, mereka adalah hamba-hambaMu, yang telah terhimpun untuk membunuhku, karena fanatik pada agama-Mu dan hendak mendekatkan diri kepada-Mu. Ampunilah mereka, sekiranya Engkau singkapkan kepada mereka apa yang telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan memperlakukan seperti ini".[7]

Karya-karya al-Hallaj

Selama di penjara, al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48 buah buku. Judul-judul kitabnya itu tampak asing dan isinya juga banyak yang aneh dan sulit dipahami. Kitab-kitab itu antara lain :
1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur
2. Kitab al-Abad wa al-Mabud
3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun
4. Kitab Huwa Huwa
5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid
6. Kitab al-Thawasin al-Azal
7. dan lain-lain.[8]
Kitab-kitab itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman dilaksanakan, kitab-kitab itu juga ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan pendukungnya yaitu Ibnu 'Atha dengan judul Al-Thawasin al-Azal. Dari kitab-kitab ini dan sumber-sumber muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran al-Hallaj dalam tasawuf.

Ajaran Tasawuf Al-Hallaj

1. Hulul
Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian juga manusia. Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana, suatu tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang mengontrol dan menjadi ini kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hulul-nya Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral manusia yaitu roh.[9]
Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan.[10] Ia menakwilkan ayat:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ {البقرة : 34}
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. (QS. Al-Baqarah : 34).
Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-Haq" bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil dalam dirinya.
Sementara itu, hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan maqamat sebagaimana telah disebutkan, terutama maqam fana. Fana bagi al-Hallaj mengandung tiga tingkatan : tingkat memfanakan semua kecenderungan dan keinginan jiwa; tingkat memfanakan semua fikiran (tajrid aqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah, dan tingkat menghilang semua kekuatan pikir dan kesadaran. Dari tingkat fana dilanjutkan ke tingkat fana al-fana, peleburan ujud jati diri manusia menjadi sadar ketuhanan melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan.
2. Al-Haqiqatul Muhammadiyah
Yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dan dengan perantaranyalah seluruh alam ini dijadikan. Al-Hallaj memandang kepada Nabi Muhammad dalam dua bentuk yang berbeda satu sama lain. Satu bentuk adalah berupa Nur Muhammad yang qadim, telah ada sebelum adanya segala yang maujud ini dan pengetahuan yang gaib. Yang kedua adalah bentuk Nabi yang diutus keadaannya baharu, dibatasi oleh tempat dan waktu dan dari sini lahir kenabian dan kewalian.[11]
Ide Nur Muhammad itu menghendaki adanya Insan Kamil sebagai manifestasi sempurna pada manusia. Dari sini al-Hallaj menampilkan Insan Kamil itu bukan pada diri Nabi Muhammad sendiri melainkan kepada diri Nabi Isa al-Masih. Bagi al-Hallaj, Isa al-Masih adalah al-Syahid ala wujudillah, tempat tajalli dan berujudnya Tuhan. Demikian juga hidup kewalian yang sesungguhnya ada pada kehidupan Isa al-Masih itu.
3. Kesatuan Segala Agama
Nama Agama yang berbagai macam, seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan yang lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat yang satu saja.
Nama berbeda, maksudnya satu. Segala agama adalah agama Allah maksudnya ialah menuju Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam satu agama, bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Cara ibadah bisa berbeda warnanya, namun isinya hanya satu. Pendirian ini disandarkannya kepada ketentuan (takdir) yang telah ditentukan Tuhan Allah. Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan dia, karena itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu. Tidak ada perlunya berselisih dan bertingkah. Tetapi perdalamlah pegangan dalam agama masing-masing.[12]

Respon Ulama terhadap Ajaran al-Hallaj

Berbagai ragam perkataan orang tentang al-Hallaj. Setengahnya mengkafirkan dan setengahnya lagi membela. Beberapa perkataan, terutama dari pihak kekuasaan pada masa itu tersiar bahwasanya ajaran al-Hallaj sangat merusak ketenteraman umum.
Kebanyakan kaum fiqhi mengkafirkannya,dengan alasan bahwasanya, mengatakan bahwa dari manusia bersatu dengan Tuhan, adalah stirik yang besar, sebab mempersekutukan Tuhan dengan dirinya, oleh karena itu hukum bunuh yang diterimanya adalah hal yang patut. Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, pengrang yang ternama Ibnu Nadim dan lain lain berpendapat demikian. Tetapi ulama-ulama yang lain seperti Ibnu syuriah, seorang ulama yang sangat terkemuka dalam madzhab Malik, telah memberikan jawaban: “Ilmuku tidak mendalam tentang tentang dirinya, sebab itu saya tidak berkata apa-apa.[13]
Imam Ghozali seketika ditanya orang pula pendapatnya, tentang Al Hallaj “Ana’l Haaq” itu, telah menjawab:”Perkataan yang demikian keluar dari mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Allah,Apabila cinta sudah sekian mendalamnya, tidak dirasakan lagi perpisahan diantara diri dengan yang dicintai.
Sedangkan Ad-Damiri pengarang “Hayatul Hayawan” berkata: “bukanlah perkara mudah  mudah menuduh seorang Islam keluar dari dalamnya. kalau kata-katanya masih dapat dita’wilkan (diartikan lain),lebih baik diartikan yang lain. Karena mengeluarkan seseorang dari lingkungan Islam, adalah perkara besar. Dan bergesa-gesa menjatuhkan hukum begitu, hanyalah perbuatan orang jahil.[14]


DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Asmara As, Pengantar Studi Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1994.
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992.
Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.




[1] Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 135
[2] Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1994, hlm. 108
[3] Ibid.,
[4] IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 292
[5] Anwar, Rosihon, op.cit., hlm. 136
[6] Asmara As, Pengantar Studi Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 312
[7] IAIN Syarif Hidayatullah, op.cit., hlm. 293
[8] Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 111
[9] Ibid., hlm. 112
[11] Ibid., hlm. 113
[12] Hamka, op.cit., hlm. 112
[13] Ibid., hlm. 116
[14] Ibid.,

Jumat, 15 Februari 2013

Konsep Manajemen Sekolah yang Baik

Berbicara tentang manajemen sekolah, tidak lepas dengan manajemen pendidikan secara general.
Pendidikan adalah suatu keseluruhan usaha mentransformasikan ilmu, pengetahuan, ide, gagasan, norma, hukum dan nilai-nilai kepada orang lain dengan cara tertentu, baik struktural formal, serta informal dan non formal dalam suatu sistem pendidikan nasional.[1]

Madrasah merupakan lembaga / organisasi yang kompleks dan unik. Kompleks, karena dalam operasionalnya madrasah dibangun oleh berbagai unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan saling menentukan. Unik, karena madrasah merupakan organisasi yang khas, menyelenggarakan proses perubahan perilaku dan proses pembudayaan manusia, yang tidak dimiliki oleh lembaga manapun.
Karena kompleks dan rumitnya tersebut, maka dalam pelaksanaan pendidikan di madrasah memerlukan konsep yang mengatur, mengarahkan dan mengkoordinasi terhadap seorang kepala madrasah.
Keberhasilan madrasah adalah keberhasilan kepala madrasah, dan sebaliknya, ketidakberhasilan kepala madrasah adalah ketidakberhasilan madrasah.

A. Madrasah yang Efektif

Madrasah yang efektif adalah suatu lembaga pendidikan Islam yang mempunyai kurikulum, strategi, belajar mengajar yang efektif dan ada interaksi dengan pihak yang berkepentingan (siswa, guru, orang tua, lingkungan dan pejabat yang terkait) dan menghasilkan keluaran yang dapat diandalkan.[2]
Oleh karena itu, madrasah dapat dikatakan efektif jika lembaga pendidikan agama Islam tersebut mempunyai tujuan, misi dan sasaran, sehingga menghasilkan out put yang dapat diandalkan.
Efektifitas tidaklah bisa dimaknai pasti. Terdapat perbedaan tergantung dari mana sudut pandang yang digunakan dan kepentingan masing-masing. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, (1990: 219) dikemukakan bahwa, efektifitas berarti ada efek (akibatnya, pengaruhnya, kesannya).[3] Dengan kata lain efektifitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju, atau bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional.[4]
Kaitannya dengan pengelolaan madrasah, bahwa bagaimana madrasah mampu melaksanakan semua tugas pokok sekolah, menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya, sumber dana, dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah.
Biasanya masalah efektifitas berkaitan erat dengan perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang telah direncanakan. Efektifitas pengelolaan madrasah, sebagaimana efektifitas pendidikan pada umumnya dapat dilihat berdasarkan teori sistem dan dimensi waktu. Maksudnya kriteria efektifitas harus mencerminkan keseluruhan siklus input-proses-output, tidak hanya output atau hasil serta harus mencerminkan hubungan – timbal balik antara manajemen dan lingkungan sekitarnya.

B. Konsep Pengelolaan Madrasah yang Efektif

1. Manajemen Berbasis Sekolah
Madrasah sendiri kemunculannya merupakan pembaharuan sistem pendidikan Islam di Indonesia yang telah ada. Secara umum, madrasah sendiri didirikan oleh proses swadaya masyarakat muslim (swasta). Madrasah mempunyai landasan hukum yang jelas dalam pendidikan nasional. Mensejahterakan posisi madrasah dengan sekolah umum lainnya (SD, SMP dan SMA).
Isu mengenai Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management) sebenarnya merupakan tema sentral dalam reformasi pendidikan di berbagai negara. Manajemen Berbasis Sekolah diartikan sebagai pengalihan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab pengelolaan dari birokrasi sentral kepada pengelola terdepan pendidikan, yaitu sekolah dan komunitasnya.[5]
Konsep dasar MBM mengembalikan pengelolaan sekolah kepada pemiliknya dan komponen yang terkait di dalamnya, proses desentralisasi ini dipandang memiliki efektifitas yang tinggi. Terdapat tujuan nyata yang ingin dicapai dalam pembaharuan ini. Dengan diterapkannya konsep MBM diharapkan lebih mampu meningkatkan keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi.[6]
Dalam MBM, pemberdayaan dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja sekolah agar dapat mencapai tujuan secara optimal, efektif dan efisien. Untuk memberdayakan sekolah harus pula ditempuh upaya-upaya memberdayakan peserta didik dan masyarakat setempat, di samping mengubah paradigma pendidikan yang dimiliki oleh para guru dan kepala sekolah tentang pendidikan dan pengajaran.
Peningkatan efisiensi diperoleh antara lain melalui keleluasaan pemanfaatan sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi, sementara peningkatan mutu dapat diperoleh dengan :
a. Melalui orang tua
b. Fleksibilitas pengelolaan madrasah dan kelas
c. Peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah.[7]
Efektifitas pengelolaan madrasah merupakan kunci sentral bagi keberlangsungan madrasah. Dengan begitu madrasah mampu bersaing di pasaran global, mampu menjanjikan dan menumbuhkan pandangan positif dalam masyarakat.[8]
Efektifitas ini, menurut Thomas (1979) yang melihat pendidikan dalam kerangka produktivitas, dinyatakan dalam tiga dimensi, yaitu :
a. The administrator production function: yaitu fungsi yang meninjau produktivitas sekolah dari segi keluasan administratif.
Seberapa besar dan baik layanan yang dapat diberikan dalam suatu proses pendidikan, baik oleh guru, kepala sekolah, maupun pihak lain yang berkepentingan.
b. The psychologist’s product function: fungsi ini melihat produktivitas dari segi keluaran, perubahan perilaku yang terjadi pada peserta didik sebagai suatu gambaran dari prestasi akademik yang telah dicapainya dalam periode belajar.
c. The economics’ production function: yaitu fungsi ekonomis yang berkaitan dengan pembiayaan layanan pendidikan di sekolah. Hal ini mencakup harga pembiayaan layanan pendidikan yang diberikan dan diperoleh yang ditimbulkan oleh layanan tersebut.[9]
2. Kerangka Membangun Madrasah yang Efektif
Kerangka untuk membangun madrasah terdiri dari 6 komponen, yaitu :[10]
a. Pengertian umum dan dasar konsepsi yang sama
Sudah semestinya diberlakukan dalam setiap organisasi adanya kesamaan pandangan filosofis yang menuntun perjalanannya. Begitu halnya dengan madrasah.
Efektifitas ini didukung dengan konsep filosofis yang dialektis, diketahui dengan baik dan bersifat humanis, ideologis, nilai-nilai (Islam, social, dan toleransi) dan misi (akademis dan keluhuran moral).
b. Kurikulum yang bagus dan pengelolaan atas dasar aspirasi masyarakat
Di sini jelas, bahwa madrasah yang baik haruslah mempunyai tujuan dan sasaran yang jelas dalam pendidikannya. Kejelasan ini dicerminkan dalam kurikulum yang digunakan, serta tidak seharusnya mengesampingkan aspirasi masyarakat.
c. Buku akademis dan keluaran moral
Madrasah yang efektif menetapkan buku yang tinggi untuk akademis, demikian juga mutu/etika Islam, mengajarkan kurikulum pendidikan agama Islam dan berdampingan dengan kurikulum, mampu menunjukkan logo keislamannya dan nasionalisme dalam ritual dan kegiatan luar.
d. Fasilitas belajar yang cukup
Hal ini kaitannya dengan eksplorasi kemampuan siswa dengan optimal. Sehingga peserta didik mampu mengaplikasikan secara riil berbagai konsep yang dirasa masih abstrak. Dengan begitu konstruksi pengetahuan peserta didik akan lebih menuai hasil.
e. Manifestasi perilaku (atas dasar kesepakatan)
Maksudnya, terdapat perilaku khusus yang diciptakan dan disepakati bersama, baik berupa peraturan-peraturan dan sangsi, apresiasi, dan sebagainya.
f. Keluaran yang diharapkan
Tujuan akhir pengelolaan madrasah adalah mampu menelurkan output yang kompetensinya tidak diragukan lagi. Tujuan ini tidaklah mungkin diperoleh dengan tanpa memperhatikan berbagai aspek fundamental. Keluaran yang baik, tergantung bagaimana madrasah berusaha, sekeras apakah itu dan seserius apakah madrasah memandang dan mengupayakannya.
3. Prinsip Umum Membangun Madrasah
Drs. Fatah Syukur, M.Ag menjelaskan dalam bukunya Manajemen Pendidikan Pada Madrasah, menjelaskan bahwa ada beberapa prinsip umum yang harus diperhatikan dalam membangun sebuah madrasah :[11]
a. Peningkatan pemahaman dan penerimaan filosofis, nilai-nilai dan misi madrasah
Landasan filosofis sudah seharusnya tersusun dan terencana dengan jelas dan memadai, dapat dimengerti dan dipahami secara optimal oleh semua pihak yang berkepentingan.
b. Perhatian para pencapaian sasaran dan tujuan
Madrasah yang efektif menentukan prioritas dan membatasi apa yang dapat harus dicapai. Kejelasan dari filosofis pedoman dan misi dan memusatkan pada keikutsertaan dan perhatian dari pihak yang berkepentingan akan menentukan bahwa sekolah harus mempersempit kisaran tujuan yang paling penting untuk dicapai.
c. Kepemimpinan yang efektif
Kepemimpinan yang efektif salah satu cirinya adalah mengambil inisiatif dan tindakan yang tepat untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada. Ada beberapa faktor yang dianjurkan dalam pengelolaan sekolah, antara lain :
1) Kepemimpinan kepala sekolah yang lebih fleksibel
2) Nilai, visi dan misi madrasah harus dikomunikasikan
3) Perhatian pada kelembagaan, visi, misi dan nilai yang diusung
4) Kepala sekolah, staf dan orang tua siswa aktif membangun budaya sekolah yang diinginkan berdasarkan visi dan misi.[12]
d. Strategi rencana dan pelaksanaan pembangunan multi dimensi
Hal ini menjadi penting lantaran perkembangan suatu organisasi, tak terkecuali madrasah, tidaklah selalu di atas angin. Tantangan dan kendala tentunya tidaklah bisa diingkari. Dengan demikian, perencanaan yang matang dengan strategi-strategi jitu mungkin akan lebih mengoptimalkan eksistensi suatu madrasah itu sendiri.
e. Pengelolaan sekolah dan partisipasi masyarakat
f. Tanggung jawab dengan jelas dilimpahkan kepada orang yang terlibat atau dipengaruhi oleh kegiatan madrasah
Pembagian job description yang jelas dan tepat sasaran dirasa sebagai langkah awal yang baik dalam manajemen pelaksanaan semua bentuk organisasi. Dengan begitu diharapkan visi, misi dan tujuan dapat tercapai secara optimal.
g. Partisipasi dalam pengambilan keputusan
Dalam madrasah yang mempunyai skala kecil pengambilan keputusan dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan. Dalam madrasah yang besar, pihak yang berkepentingan memiliki wakilnya (BP3). Efektifitas madrasah akan lebih nampak jika terdapat kejelasan keputusan yang dikeluarkan.
h. Penetapan standar tinggi
i. Siswa belajar aktif
j. Lingkungan motivasi belajar mengajar
k. Efektifitas tim guru dan kepala sekolah
l. Sistem yang jujur dalam evaluasi dan pertanggungjawaban
Madrasah akan lebih berkembang jika mampu melaksanakan pola sistem yang jujur dalam proses evaluasi
m. Optimalisasi sumber daya dan penggunaannya
n. Organisasi fungsional
Madrasah yang efektif mempunyai susunan dan hubungan kerja yang lebih tepat sebagai organisasi fungsional dari birokrasi. Di sana dapat hubungan bebas antara guru, kepala madrasah baik vertikal maupun horizontal dan dengan pimpinan masyarakat.

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep madrasah yang efektif adalah yang dikelola sesuai dengan kurikulum, strategi, belajar mengajar dan adanya hubungan timbal balik (guru, siswa, orang tua, lingkungan dan pejabat yang terkait), sehingga mampu menyelaraskan tujuan yang tercantum dalam misi dan visi madrasah, serta menghasilkan keluaran yang dapat diandalkan.
Untuk mewujudkan efektifitas ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu mengenai kerangka membangun efektifitas madrasah dan prinsip-prinsip membangun madrasah.


DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Syaiful Sagala, M.Pd., Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: CV. Alfabeta, 2000.
Nurhatati, dkk., Kepemimpinan Madrasah Mandiri, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2001.
Drs. Fatah Syukur, NC., M.Ag., Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah, Semarang: al-Qalam Press, 2006.
Dr. E. Mulyasa, M.Pd., Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Didik Komaidi, “Manajemen Berbasis Sekolah Era Otonomi Daerah”, dalam Majalah Rindang Nomor 2, tahun XXVI, Juli 2001.
Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, M.A, (ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 2002.
Dr. Gulan Farid Malik, Pedoman Manajemen Madrasah, Yogyakarta: BEP, 2000.



[1] Dr. H. Syaiful Sagala, M.Pd., Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: CV. Alfabeta, 2000, hlm. 10.
[2] Drs. Fatah Syukur, NC., M.Ag., Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah, Semarang: al-Qalam Press, 2006, hlm. 146.
[3] Dr. E. Mulyasa, M.Pd., Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004, hlm. 82.
[4] Ibid.
[5] Didik Komaidi, “Manajemen Berbasis Sekolah Era Otonomi Daerah”, dalam Majalah Rindang Nomor 2, tahun XXVI, Juli 2001.
[6] Dr. E. Mulyasa, M.Pd., op.cit., hlm. 25.
[7] Ibid., hlm. 25-26.
[8] Ibid., hlm. 83.
[9] Ibid.
[10] Dr. H. Abdurrahman Mas’ud, M.A, (ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Semarang: Pustaka Pelajar Offset, 2002, hlm. 146-148.
[11] Fatah Syukur, M.Ag., op.cit., hlm. 148-151.
[12] Dr. Gulan Farid Malik, Pedoman Manajemen Madrasah, Yogyakarta: BEP, 2000, hlm. 13.


Kamis, 14 Februari 2013

Biografi Jamaluddin al-Afghani

Pendahuluan

Jamaluddin al-Afghani, al-Sayid Muhammad bin Saftar adalah tokoh yang terkemuka, yang menjadi sentral umat Islam pada abad ke XIX. Keluarganya keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang selanjutnya silsilahnya bertemu dengan keturunan ahli sunnah yang termasyhur Ali at-Tirmidzi. Jamaluddin al-Afghani dilahirkan di Asad Abad dekat dengan suatu distrik di Kabul Afghanistan pada tahun 1839 M. Pendidikannya sejak kecil sudah diajarkan mengaji al-Qur’an dari ayahnya sendiri, besar sedikit lagi belajar bahasa Arab dan sejarah, serta mengkaji ilmu syari’at seperti tafsir, hadits, fiqih, usul fiqh dan lain-lain.[1] Kemudian beliau meninggal dunia di Istambul tahun 1897.

Ketika berusia 22 tahun, ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi perdana menteri. Dalam pada itu Inggris telah mulai mencampuri soal politik negeri Afghanistan dan dalam pergolakan yang terjadi, Afghanistan memihak pihak yang melawan golongan yang disokong Inggris. Pihak pertama kalah dan Afghanistan meninggalkan tanah tempat kelahirannya dan pergi ke India tahun 1869.

BACA JUGA: BIOGRAFI SYAIKH SITI JENAR

Di India ia juga merasa tidak bebas bergerak, karena negara ini telah jatuh di bawah kekuasaan Inggris, oleh karena itu ia pindah ke Mesir pada tahun 1871. Selama di Mesir al-Afghani mengajukan konsep-konsep pembaharuannya, antara lain :[2]

1. Musuh utama adalah penjajahan (Barat), hal ini tidak lain dari lanjutan perang salib.
2. Umat Islam harus menentang penjajahan di mana dan kapan saja.
3. Untuk mencapai tujuan itu umat Islam harus bersatu (Pan Islamisme).

Pan Islamisme ini bukan berarti leburnya kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerjasama. Persatuan dan kerjasama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam. Persatuan Islam hanya dapat dicapai bila berada dalam kesatuan pandangan dan kembali pada ajaran Islam yang murni yaitu al-Qur’an dan Sunnah.

Untuk mencapai usaha pembaharuan di atas maka :

1. Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketahayulan
2. Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat / derajat budi luhur.
3. Rukun iman harus benar-benar menjadi pandangan hidup.
4. Setiap generasi umat harus ada lapisan istimewa untuk memberi pengajaran dan pendidikan pada manusia-manusia yang bodoh dan juga memerangi hawa nafsu jahat dan menegakkan disiplin.

Beberapa Ajarannya

1. Bidang politik

Jamaluddin al-Afghani oleh penulis Barat dikatakan sebagai pelopor “Pan Islamisme” yang mengajarkan bahwa semua umat Islam harus bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah untuk membebaskan mereka dari penjajahan Barat. Yakni sebagai jaminan keemasan Islam dahulu sebelum Islam menjadi lemah karena perpecahan yang tak putusnya dan tanah air Islam menjadi terjerumus kebodohan dan kelemahan, hingga jatuh menjadi mangsa kekuasaan Barat.

Muhammad Ibnu Abdul Wahab dalam perjuangannya menuju kepada perbaikan aqidah. Maka jalan yang ditempuh oleh Jamaluddin al-Afghani ialah :

a) Perbaikan jiwa dan cara berpikir
b) Perbaikan pemerintah / negara, kemudian keduanya berhubungan mempunyai jalinan dengan ajaran agama.[3]

Semua aspek gerakan Jamaluddin al-Afghani yang menjadi sasaran utama ialah membebaskan negara Islam dari penjajahan dan untuk menuju itu umat Islam harus membebaskan diri dari pola-pola pikiran yang beku. Untuk mencairkan ini menurut Jamaluddin al-Afghani, orang-orang Islam harus mempunyai kepandaian teknis dalam rangka kemajuan barat, wajib belajar secara rahasia kelemahan orang Eropa.

2. Bidang Agama

Jamaluddin al-Afghani walaupun menjadi seorang pemimpin politik, di mana dipandang dari sudut gerakannya menunjukkan kecondongan dibidang politik, namun tidak dapat dilupakan jasanya dalam meninggikan kedudukan agama, pembaharu akal umat Islam yang dipengaruhi tradisi dan khurafat yang membawa kejumudan umat Islam. Jamaluddin al-Afghani dalam usahanya menentang penjajahan Barat, maka jalan yang ditempuhnya untuk menghadapi penjajahan ini membangunkan kembali jiwa Islam, menghilangkan sifat kesukuan / golongan dan mengikis taqlid dan fanatisme serta melaksanakan ijtihad dalam memahami a-Qur’an, hidup layak dan penuh kebijaksanaan di kalangan umat Islam.

Oleh karena itu Jamaluddin al-Afghani berpendapat, bahwa kesejahteraan umat Islam tergantung pada :[4]
- Akal manusia harus disinari dengan tauhid, membersihkan jiwanya dari kepercayaan tahayul.
- Orang harus merasa dirinya dapat mencapai kemuliaan budi pekerti yang utama.
- Orang harus menjadikan aqidah, sehingga prinsip yang pertama dan dasar keimanan harus diikuti dengan dalil dan tidaklah keimanan yang hanya ikutan semata (taqlid).

3. Ajarannya tentang Qada dan Qodar

Jamaluddin al-Afghani adalah seorang muslim sejati dan seorang rasionalis dan ia menuntut kepada semua aliran untuk menjadikan akal sebagai dasar utama untuk mencapai keagungan Islam, karena akal menempati kedudukan istimewa dalam dunia Islam. Jamaluddin al-Afghani sebagai seorang yang bersemangat menjunjung tinggi kedudukan akal, mendukung aliran Mu’tazilah yang mempunyai doktrin tentang pembahasan diri dari ajaran takdir yang orang barat disebut Fatalisme.

Mengenai hal ini menurut Jamaluddin al-Afghani, adapun yang dikatakan qada dan qodar yang dikatakan “predestination” dalam bahasa Inggris sebagai tujuan permulaan.

Menurut al-Jabr (fatalism), qada dan qodar adalah penyerahan diri secara mutlak tanpa usaha dan ini suatu ajaran baru (bid’ah) dalam agama yang dimasukkan dalam ajaran Islam oleh musuh Islam untuk suatu tujuan politik tertentu agar Islam hancur dari dalam.

Jamaluddin al-Afghani sebagai orang Islam mengakui bahwa kepercayaan asasi. Tidak ada kepercayaan kepada takdir adalah kehilangan salah satu tonggak dari iman. Kepercayaan inilah yang menyebabkan umat Islam jaman dahulu, nabi-nabi dan sahabatnya dan salafus shalihin dapat merebut dunia dan mengaturnya. Menurut dia, timbulnya kerusakan di kalangan muslim antara lain : dari kepercayaan al-Jabr ini dan kesalahan dalam memahami qada dan qodar, sehingga memalingkan jiwa umat dari bersungguh-sungguh dalam usaha dan umat Islam di masa silam bersifat dinamis.[5]

4. Penolakannya terhadap aliran naturalisme dan materialisme

Perjalanan hidup Jamaluddin al-Afghani sesuai dengan jalan fikirannya. Teori dan prakteknya selalu berjalin rapat dengan tindakannya. Kedudukan dan perilakunya ditandai oleh 3 macam keadaan :

- Kenikmatan jiwa / rohani
- Perasaan agama yang mendalam
- Moral yang tinggi, ke semua ini sangat berkesan dan mempengaruhi semua usahanya.

Gambaran ini jelas dapat dilihat dalam penolakannya terhadap aliran naturalisme dan materialisme. Jamaluddin al-Afghani memandang bahwa cara penjajahan Barat di negeri Islam membawa gambaran yang berbeda untuk menghancurkan kepribadian tiap-tiap orang Islam yang bersumber dari ajaran al-Qur’an. Ajaran ini mempunyai kekuatan untuk menjalin kekuatan kesatuan di kalangan kaum muslimin. Ia memperingatkan segala gambaran yang dilihatnya itu diantaranya : usaha untuk merusak aqidah orang Islam baik dengan cara memecah belahnya maupun dengan usaha memalingkannya dari ajaran agama, yang berusaha demikian di antaranya aliran naturalisme dan materialisme.

Naturalisme yaitu hal atau tinjauan berdasarkan alam. Sedangkan materialisme adalah orang yang hanya mementingkan kebendaan di atas segala-galanya.[6] Jamaluddin sangat menentang aliran naturalis (ateis) yang tersebar luas di India, 1879. Tentang aliran ini Jamaluddin berkata “Aliran ini akan membelah kaum muslimin menjadi 2 kelompok; kelompok lama dan baru, kelompok yang tunduk kepada penjajah dan kelompok oposisi. Aliran ini juga akan memecah hubungan umat Islam India dari kekhalifahan Utsmani di sisi lain”.

Jamaluddin melihat berbagai bentuk yang dilakukan penjajahan Barat di negara Islam untuk merusak kepribadian Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan menyatukan umat Islam dalam satu ikatan. Sedangkan bentuk yang paling berbahaya ialah berusaha merusak akidah dari hatinya. Maka aliran naturalisme dan materialisme – yang di India dikenal sebutan kaum ateis – di anggap sebagai senjata melawan kekuatan umat Islam yang sumbernya agama. Menurut Jamaluddin, bahaya aliran ini, orang yang mempropagandakannya di India memakai “pakaian muslim” untuk melemahkan aqidah kaum muslim.

Ada tiga hal penolakan Jamaluddin terhadap kaum ateis yaitu: tentang pentingnya agama bagi masyarakat, bahaya aliran ateis dalam masyarakat, dan keunggulan agama Islam sebagai suatu agama dan akidah di atas agama-agama lain. Jamaluddin berpendapat, keyakinan agama sebagai suatu akidah menjamin 3 unsur penting bagi masyarakat : rasa malu, jujur dan setia. Ia menerangkan, ketiga unsur tersebut amatlah penting bagi masyarakat yang jujur, yang tidak dimiliki oleh ajaran ateisme. Ia berkata demikian :

“Sesungguhnya keyakinan seorang ateis tidak dapat bersatu dengan keutamaan sifat jujur, setia, kepahlawanan dan kesatriaan. Itu disebabkan, manusia memiliki syahwat yang tidak terbatas, sedangkan alam (nature) tidak memberikan cara-cara terbentuk untuk mencapai syahwat itu”.[7]

Sedangkan bahaya aliran materialisme dan naturalisme terhadap masyarakat diterangkan Jamaluddin dengan menyebutkan sejarah beberapa kelompok masyarakat yang telah dikuasai oleh aliran di atas, dahulu dan sekarang. Jamaluddin menerangkan aliran naturalis menampakkan diri dalam beberapa bentuk, seperti :

- Aliran Epikorus dalam masyarakat Greek (Yunani)
- Aliran Mozdak dalam masyarakat Persi
- Aliran kebatinan (mistik) dalam masyarakat Islam
- Aliran Voltaire dan Rousseau dalam masyarakat Prancis
- Aliran era modern di Turki
- Aliran Komunisme, nasionalisme dan sosialisme di Eropa dan Rusia
- Aliran Mourman di Amerika.[8]

Pengaruh Ajarannya

Ajaran Jamaluddin al-Afghani berpengaruh besar sekali terutama di Mesir, baik pada generasi muda (pelajar) dan sebagian ulama Azhar misalnya M. Abdul Karim Salman, Syeikh Ibrahim Allaqani, Syeikh Saad Zaqlul, pengaruh dari tokoh pembaharuan dalam Islam ini kita melihat dari Turki ketika Inggris menduduki Mesir tahun 1882, Jamaluddin al-Afghani serta merta di usir. Kemudian melanjutkan ke Konstatinopel, dan ia mendapat perlindungan dari Abdul Hamid, lalu membentangkan politik Pan Islamisme.
Sebab-Sebab Kemunduran Umat Islam:

  • Umat Islam mundur, karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya mengikuti ajaran yang datang dari luar lagi asing bagi Islam
  • Salah pengertian tentang maksud hadits yang mengatakan bahwa umat Islam akan mengalami kemunduran di akhir zaman. Salah pengertian ini membuat umat Islam tidak berusaha merubah nasib mereka.
  • Perpecahan yang terdapat di kalangan umat Islam, pemerintahan absolut, mempercayakan pimpinan umat kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya, mengabaikan masalah pertahanan militer, menyerahkan administrasi negara kepada orang-orang tidak kompeten dan intervensi asing (bersifat politis).
  • Lemahnya rasa persaudaraan Islam.

Pembaharuannya

  • Melenyapkan pengertian salah yang dianut umat Islam pada umumnya dan kembali pada ajaran dasar Islam yang sebenarnya, hati disucikan, budi pekerti luhur dihidupkan kembali dan kesediaan berkorban untuk kepentingan umat.
  • Corak pemerintahan otokrasi harus diubah dengan corak pemerintahan demokrasi.
  • Persatuan umat Islam mesti diwujudkan kembali. Dengan bersatu dan mengadakan kerjasama yang erat.[9]


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sudirman, “Bidang Pemikir Islam”, http://www.fare.com, 01_Juli_2005

Alex MA., Kamus Ilmiah Populer Internasional, Disertai Data-data dan Singkatan, PT. Alfa, Surabaya, t.th.

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 1996, cet.12.

_____________, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang, 2001, cet.13.

Muhammad al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1986.

M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Dirosah Islamiah III), edisi I, cet.3, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

M. Sholihan Manan dan Hasanuddin Amin, Pengantar Perkembangan Pemikiran Muslim (dalam Studi Sejarah), PT. Sinar Wijaya, Surabaya, 1988.

________________________________________________________________________

[1] Ahmad Sudirman, “Bidang Pemikir Islam”, http://www.fare.com
[2] M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Dirosah Islamiah III), cet.3, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 77
[3] M. Sholihan Manan dan Hasanuddin Amin, Pengantar Perkembangan Pemikiran Muslim (dalam Studi Sejarah), PT. Sinar Wijaya, Surabaya, 1988, hlm. 128
[4] Ibid., hlm. 131
[5] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 2001, cet.13, hlm. 47
[6] Alex MA., Kamus Ilmiah Populer Internasional, Disertai Data-data dan Singkatan, PT. Alfa, Surabaya, t.th., hlm. 233 dan 255
[7] Muhammad al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, PT. Pustaka Panjimas, Jakarta, 1986, hlm. 36
[8] Ibid., hlm. 38
[9] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, cet.12, hlm. 56

Selasa, 12 Februari 2013

Implementasi Contextual Teaching and Learning (CTL)

Pengajaran dan Pembelajaran secaran Kontekstual atau disebut Contextual Teaching and Learning (CTL) dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang berpandangan bahwa hakikat pengetahuan mempengaruhi konsep tentang proses belajar, karena belajar bukanlah sekadar menghafal akan tetapi mengonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil "pemberian" dari orang lain seperti guru, akan tetapi suatu pengalaman yang langsung dihadapi oleh peserta didik.

Sehingga kedepannya, mereka (peserta didik) akan lebih siap menghadapi hal serupa dari segi keilmuan dan mental (praktek lapangan).

Misalnya: Untuk mempelajari habitat cacing, peserta didik dibawa langsung menuju tempat di mana cacing hidup. menganalisis lingkungan di sekitar cacing. Apakah terdapat simbiosis antara cacing dengan makhluk lain. Manfaat cacing bagi manusia. 

Perbedaan Zakat dan Pajak


Perbedaan Zakat dan Pajak, Dalam agama Islam kita kenal dengan zakat yaitu salah satu dari rukun Islam yang lima. Pada hakikatnya zakat adalah tertentu bagian yang ada pada harta seseorang yang beragama Islam yang wajib dikeluarkan atas perintah Allah SWT untuk kepentingan orang lain menurut kadar yang telah ditentukan. Zakat dikeluarkan dengan tujuan untuk membersihkan harta si pemiliknya kemudian sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan.
Kemudian dalam peraturan negara kita ada kewajiban seperti zakat yang disebut dengan pajak. Pajak merupakan kewajiban material bagi warga negaranya untuk dibayar menurut ukuran yang telah ditentukan mengenai kekayaan dan pribadi seseorang dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
Kedua hal tersebut tidak bisa kita pisahkan. Kita tidak bisa melaksanakan salah satu dari kedua hal tersebut, artinya dua-duanya harus kita penuhi. Apabila kedua hal tersebut telah kita patuhi sesuai ketentuan, baru kita bisa disebut umat beragama Islam yang taat pada ajaran Islam dan sekaligus warga negara yang bertanggung jawab dan layak kepada pancasila.
Sekarang dari mana kedua permasalahan tersebut wajib untuk dilaksanakan, kemudian apa dasar-dasar yang mewajibkan kedua hal tersebut, serta tujuan kewajiban pembayaran zakat dan pajak. Untuk itu dalam pembahasan makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang pajak dan zakat.

A. Asal-usul Timbulnya Kewajiban Ganda Terhadap Harta
Pada waktu Nabi Muhammad SAW masih hidup, kewajiban yang berkaitan dengan kepemilikan harta yang harus dipikul oleh umat Islam hanya satu yaitu zakat yang ditetapkan berdasarkan wahyu Allah SWT. Sebagai imbangan terhadap zakat yang diwajibkan kepada umat Islam, kepada umat agama lain (non-muslim) yang berada di bawah perlindungan Islam dikenakan (telah disebutkan dalam QS. At-Taubah ayat 29);
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah : 29
Dan setelah itu tidak ada yang dikenakan double duties (kewajiban ganda) lagi.
Pada zaman imam madzhab (mujtahidin) timbul perbedaan pendapat tentang tanah yang terkena pajak, karena pemiliknya non-muslim pada waktu negerinya ditaklukkan pasukan Islam. Kemudian ia masuk Islam atau tanahnya dibeli orang muslim. Timbullah masalah apakah tanah yang terkena pajak itu juga terkena zakat, karena sekarang pemiliknya adalah muslim?
Menurut Jumhur, tanah tersebut wajib dizakati (di samping kena pajak) berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 26):
Artinya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,” (QS. Al-Baqarah : 26).
Kemudian juga berdasarkan hadits Nabi SAW yang menunjukkan bahwa semua tanah yang mendapatkan air hujan (tanpa biaya atau mekanik) terkena zakat 10 % baik tanah yang terkena pajak maupun tidak.
Selain dalil naqli berupa ayat dan hadits tersebut di atas, jumhur juga menggunakan dalil aqli antara lain bahwa ketetapan zakat atas hasil bumi itu berdasarkan nash Al-Qur’an dan sunnah, maka karena itu ketetapan zakat tidak bisa terhalang oleh ketetapan pajak yang hanya berdasarkan ijtihad.
Menurut Abu Hanifah, tanah yang telah dikenakan pajak, tidak terkena zakat sekalipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dibeli oleh orang muslim. Tetapi sekalipun dari segi pengkajian ilmu hadits, hadits Ibnu Mas’ud yang dijadikan Abu Hanifah itu dipandang daif (lemah). Sebab apabila tanah milik seseorang yang terkena pajak, karena ia non-Islam kemudian masuk Islam atas kemauan dan kesadarannya sendiri, atau tanah milik orang tersebut dibeli orang lain yang muslim itu dikenakan double duties (pajak dan zakat), sedangkan pemilik tanah-tanah yang lain yang beragama Islam hanya dikenakan wajib pajak tanpa pajak. Oleh karena itu tampaknya lebih adil apabila bagi si pemilik tanah yang terkena pajak itu masuk Islam dan juga bagi seorang muslim yang membeli tanah yang terkena pajak itu diberi kesempatan untuk memilih di antara dua alternatif sebagai berikut:
1. Cukup membayar zakatnya saja sebanyak 5 – 10 % dari hasil tanahnya, sebab kewajiban pajak telah gugur, karena pemiliknya beragama Islam. Sebab illat hukumnya yang menyebabkan adanya kewajiban membayar zakat adalah pemilik non-muslim (sebagai imbangan kewajiban membayar zakat bagi pemilik tanah yang muslim). Hal ini sesuai dengan kaidah hukum:
الحكم يدور مع اعلة وجودا وعدما
Hukum itu berputar atas illat ada/tidaknya hokum-hukum”.
Artinya jika illatnya ada, hokum ada dan jika illatnya tidak ada (situasi dan kondisi berubah) maka maksudnya pun tidak ada.
2. Cukup membayar pajak saja karena meneruskan status hukum tanah sebelumnya. Hal ini sesuai dengan dalil istishab dan kaidah hukum yang berbunyi:
الاصل بقاء ما كان على ما كان
“Pada dasarnya meneruskan apa yang ada menurut keadaanya yang semula.”
Jadi, karena itu secara historisnya mempunyai status hukum sebagai tanah yang terkena pajak (al-ardh al-kharajiah), maka pemiliknya yang kemudian pun tinggal meneruskan status hukumnya yang lama.

B. Perbedaan Dasar Zakat dan Pajak
Adapun perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar antara zakat dan pajak adalah sebagai berikut:
a. Beda dasar hukum. Dasar hukum zakat adalah Al-Qur’an dan sunnah, sedangkan dasar hukum pajak adalah peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Pajak dan sebagainya.
b. Beda status hukumnya. Zakat adalah suatu kewajiban terhadap agama, sedangkan pajak adalah suatu kewajiban terhadap negaranya.
c. Beda obyek/sasarannya. Wajib zakat adalah khusus bagi penduduk yang beragama Islam, sedangkan wajib pajak adalah bagi semua penduduk tanpa pandang agamanya.
d. Beda kriterianya. Criteria pendapatan dan kekayaan yang terkena zakat dan pajak, prosentasinya dan jatuh temponya tidaklah sama. Misalnya presentasi penghasilan dan dizakati adalah antara 2,5 %-20 % tergantung pada jenis usaha/pekerjaan/profesinya, yang sudah ditentukan kadarnya oleh agama dan tidak bisa berubah-ubah, sedangkan prosentase penghasilan yang terkena pajak di Indonesia dewasa ini sekitar 15%-25%. Dan sudah tentu kriteria wajib pajak juga besarnya tariff pajak bisa berubah-ubah.
e. Beda pos-pos penggunaannya. Zakat hanya boleh digunakan untuk delapan pos/ashnaf yang sudah ditentukan dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60, sedangkan pajak digunakan untuk pos-pos yang sangat luas.
f. Beda hikmahnya. Hikmah zakat terutama untuk membersihkan/menyucikan jiwa dan harta benda wajib zakat, untuk meratakan pendapatan di kalangan masyarakat (agar tidak hanya dinikmati oleh si kaya saja, dan untuk meningkatkan kesejahteraan social, sedangkan hikmah pajak adalah untuk membiayai pembangunan nasional guna mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang diridha Allah SWT.
Kini lahirnya Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan zakat dapat ditafsirkan sebagai kemajuan kualitatif dari pelaksanaan zakat. Undang-undang yang sarat dengan prinsip profesionalisme manajemen ini, di samping memberikan kekuatan legitimasi terhadap pranata keagamaan, sekaligus merupakan wujud kepedulian pemerintah dalam menyempurnakan sistem pengelolaan zakat. Walaupun demikian, undang-undang ini menimbulkan masalah baru bagi umat Islam, khususnya bagi kaum aghniya bahwa mereka memikul beban kewajiban berdimensi ganda. Sebagai seorang muslim berkewajiban mengeluarkan zakat dan sebagai warga Negara berkewajiban mengeluarkan pajak. Pasal 14 ayat 3 dalam undang-undang tersebut menyatakan: “Zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat atau lembaga Amil Zakat dikurangi dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan seusia dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Makna pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak tersebut dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, membayar zakat dan pajak. Masalah ini terpecahkan dengan diterbitkannya Undang-undang No. 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Pasal 4 ayat 1 berbunyi (yang tidak termasuk objek pajak): “bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak”.


C. Dasar Kewajiban Zakat dan Pajak
Kewajiban zakat bersumber pada wahyu Allah SWT dan menurut penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah SAW.
QS. Al-Baqarah ayat 83:

Artinya: “dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.”
Oleh karena itu zakat adalah kewajiban dan merupakan salah satu rukun dari rukun Islam. Walaupun di dalamnya terdapat unsur kewajiban materi, kedudukannya adalah sebagai ibadah yang setaraf dengan ibadah-ibadah lainnya. Kewajiban ini khusus diberikan kepada orang Islam. Kedudukannya sebagai ibadah itu menjadi motivasi yang kuat terhadap umat Islam di dalam pelaksanaannya.
Kewajiban pajak bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah melalui badan yang berwenang untuk itu, suatu kewajiban pribadi atau badan yang berlaku bagi setiap warga Negara. Bagi umat Islam kedua kewajiban itu adalah sama, meskipun dari segi motivasi pelaksanaannya, zakat lebih kuat meskipun tanpa sanksi, karena hubungannya antara hamba dengan Allah. Pada pajak hanya terdapat hubungan antara hamba dengan penguasa negara yang mewajibkan pajak tersebut.

D. Tujuan, Kewajiban Zakat dan pajak
Kewajiban zakat mengandung tujuan yang bersifat moral spiritual. Seorang muslim merasa menjalankan kewajiban agama yang harus dipikulnya sekaligus menyadari bahwa harta yang dimilikinya adalah harta Allah SWT. Dalam mensyukuri nikmat Allah itu, seorang muslim harus mengeluarkan sebagian dari harta yang dimilikinya untuk tujuan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Tujuan moral terlihat dari segi anggapan bahwa sesame hamba Allah yang bersaudara harus memiliki kepedulian, saling tolong-menolong dan kasih saying di antara sesamanya. Zakat dikeluarkan dalam rangka mewujudkan kesatuan dan persatuan serta melaksanakan demokrasi ekonomi, dengan menghindarkan diri dari terjadinya penumpukan aset dan pemusatan ekonomi pada seseorang, sekelompok orang atau perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan.
Pada pajak terlihat tujuan yang lebih bersifat material, yaitu sebanyak mungkin memasukkan materi ke dalam kas negara untuk membiayai kebutuhan negara. Dalam hal ini terkandung suatu pemikiran bahwa warga Negara yang mendapat keuntungan dan perlindungan dalam Negara harus mengimbanginya dengan membantu negara.

Analisis
Kewajiban membayar zakat telah diketahui sejak dulu. Sebenarnya pajak sudah ada pada zaman Nabi yaitu diperuntukkan bagi orang-orang non-muslim yang memiliki tanah di daerah islam. Pada zaman Nabi antara zakat dan pajak tidak harus dibayar semua. Karena zakat hanya diperuntukkan untuk orang-orang muslim, sedangkan pajak diperuntukkan orang-orang non-muslim seperti yang disebutkan tadi. Namun mengapa sekarang di negara kita keduanya harus dibayar. Hal itu terjadi karena ada beberapa permasalahan-permasalahan untuk zakat sendiri. Kita sebagai seorang muslim tidak mungkin kita meninggalkan zakat, karena zakat sendiri termasuk rukun islam. Apabila kita tidak melaksanakan zakat berarti kita belum melaksanakan rukun-rukun islam secara lengkap. Kalau begitu keislaman kita diragukan.
Untuk itu kita sebagai muslim yang menaati semua ajaran-ajaran harus melaksanakan yang lebih ditetapkan, sedang pajak merupakan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan fasilitas negara. Membantu pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional, demi terwujudnya baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Kita sebagai warga negara yang baik, apakah kita tidak ingin melihat negara kita sendiri makmur dengan tidak membayar pajak. Maka dari kita harus membantu pemerintah dalam pembangunan nasional dengan tertib dengan membayar zakat. Dari uraian di atas hanya beberapa alasan untuk membayar zakat dan pajak. Untuk itu apabila kita ingin menjadi seorang muslim yang baik sekaligus warga negara yang baik hendaknya memenuhi zakat dan pajak.


Kesimpulan
1. Adanya beberapa perbedaan yang mendasar antara zakat dan pajak dilihat dari segi dasar hukumnya. Dasar hukum zakat sendiri dari al-Qur’an dan hadits. Sedangkan pajak berasal dari perundang-undangan yang dibuatkan oleh pemerintah.
2. Dasar hukum zakat al-Qur’an dan sunnah yang telah disebutkan dalam QS. Al-baqarah ayat 83. Sedangkan pajak didasarkan perundang-undangan yang telah disepakati bersama.
3. tujuan dari zakat sendiri mempunyai dua sifat yaitu spiritual dan moral. Selain untuk menyucikan hati dan harta kita, serta bersyukur kepada Allah SWT. Sedangkan pajak sifatnya material, yaitu sebanyak mungkin memberikan kepada negara. Agar semua fasilitas di negara ini menjadi lebih lengkap, sehingga kita dapat menggunakannya.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1998).
Zuhdi, Masyfuk, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1994).
____________, Pengantar Hukum Syari’ah, (Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1987).
____________, Masail Diniyah Ijtima’iyyah, (Jakarta: Haji Mas Agung, 1994).