Sabtu, 09 Februari 2013

Pengertian Asuransi Jiwa dan hukumnya

Pengertian Asuransi Jiwa dan hukumnya
Kata asuransi berasal dari bahasa inggris insurance, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disamaartikan kata “pertanggungan”. Echols dan shadily memaknai kata insurance dengan (a) asuransi dan (b) jaminan. Dalam bahasa belanda biasa disebut dengan istilah asurantie (asuransi) dan verzekesing (pertanggungan).
Istilah asuransi pada awalnya adalah suatu kelompok yang bertujuan membentuk arisan untuk meringankan beban keuangan individu dan menghindari kesulitan pembiayaan.” Secara ringkas dan umum, konsep asuransi adalah persiapan yang dibuat oleh sekolompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi anggota perkumpulan itu, maka kerugian itu akan ditanggung bersama oleh mereka.

Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam
Dengan didasarkan pada sebuah asumsi awal yang menjelaskan bahwa dalam ajaran Islam telah sempurna dan mempunyai nilai yang universal serta mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia telah dijamin adanya norma yang mengatur aktivitas kehidupan tersebut, selaras dengan firman Allah SWT. Dalam QS. Al-maidah 5 : 3
“Pada hari ini telah ku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah ku ridhoi Islam itu jadi agama bagimu…..”

Landasan dalam Asuransi
Asuransi juga mempunyai landasan, disini digunakan dalam beri nilai legalisasi dalam praktik bisnis asuransi adalah:
a) Al-Quran
Diantara ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai muatan nilai-nilai yang ada dalam praktik asuransi adalah :
Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya” (QS. Al-Maidah 5 :2)
Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktik kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru’). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru’ pada perusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah (peril).
b) Sunnah
Hadis tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang.
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ ص.م قَالَ : مِنَ النَّفْسِ الْمُؤْمِنِ قُرَّبِ الدّنُيْاَ نَفَسَ اللهُ عَنْهُ قُرْبِي يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمِنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدًّنْيَا وْاْلاخِرَةِ.
Dalam hadis tersebut tersirat adanya anjuran untuk saling membantu antara sesama manusia dan menghilangkan kesulitan seseorang atau dengan mempermudah urusan dunia akhirnya, niscaya allah akan mempermudah urusan dunia dan akhirnya.
Dalam perusahaan asuransi, kandungan hadis di atas terlihat dalam bentuk pembayaran dana sosial (tabarru’) dari anggota (nasabah) perusahaan asuransi yang sejak awal mengikhlaskan dananya untuk kepentingan sosial, yaitu untuk membantu dan mempermudah urusan saudaranya yang kebetulan mendapatkan musibah atau bencana.

Pendapat ulama tentang Hukum Asuransi
Ada 4 pendapat antara lain :
1. Pendapat pertama didukung antara lain Sayid Sabiq, pengarang Fiqhus Sunnah, Abdullah al-Qalqili, Mufti Yordania, Muhammad Yusuf al-Qordhawi, pengarang al- Halal wal haram fil Islam, mereka mengharamkan asuransi karena :
1) asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi
2) mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti (uncertainty)
3) mengandung unsur riba /rente
4) mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang polis kalau tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan.
5) Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktek riba.
6) Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar mata uang dengan tidak tunai
7) Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan.
Ada juga pendapat dari Muhammad Zafiruddin, Dar al-Ulum (Universitas Islam) yang menguatkan rujukan di atas Deboned, Indra, ialah : uang yang dibayar oleh perusahaan asuransi kepada tertanggung dengan istilah bonus tidak lain hanyalah riba. Premi seperti keterangan di atas merupakan pinjaman yang diberikan oleh tertanggung kepada perusahan asuransi dan dia tidak dapat mengambil keuntungan dari padanya. Dalam urusan ini, pertukaran mal (harta) terjadi, kelebihan atau pertambahan tanpa timbal balik adalah riba.
2. Pendapat kedua antara lain ialah : Abdul Wahab Khallaf, Mustofa Ahmad Zarga. Guru besar hukum Islam pada Universitas Syria, Muhammad Yusuf Musa. Guru besar hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir, dan Abdurrahman Isa, pengarang al-Muamalat al-Haditsah wa ankmuha. Alasan mereka yang membolehkan asuransi termasuk asuransi jiwa, antara lain :
1. Tidak ada nas al-qur’an dan hadis yang melarang asuransi
2. Ada kesepakatan/kerelaan kedua belah pihak
3. Saling menguntungkan kedua belah pihak
4. Mengandung kepentingan umum (Maslahah ’amah), sebab premi-premi yang terkumpul bisa diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan.
5. Asuransi termasuk akad mudharabah, artinya akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing (pls).
6. Asuransi termasuk koperasi.
7. Diqiyaskan (analogi) dengan sistem pension, seperti taspen.
Pendapat diatas dikuatkan sesuai dengan kaidah hukum Islam
اْلاَصْلُ فِى الْعُقُوْدِ اْلاِبَاحَةِ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلِ عَلى تَحْرِيْمِهَا
Pada prinsipnya pada akad-akad itu boleh, sehingga ada dalil yang melarangnya.”
3. Pendapat ketiga antara lain ialah : Muhammad abu Zuhroh. Guru besar Hukum Islam pada universitas Cairo Mesir. Alasan mereka membolehkan asuransi yang bersifat sosial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat kedua, sedangkan alasan yang mengharamkan asuransi yang bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan pendapat yang pertama.
4. Pendapat yang keempat menganggap asuransi subhat, karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang sear jelas mengharamkan ataupun menghalalkan asuransi dan apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat, maka konsekulasinya adalah : kita dituntut bersikap hati-hati menghadapi asuransi dan kita baru diperbolehkan mengambil asuransi, apabila kita dalam keadaan darurat, (emergency) atau hajat /kebutuhan (necessity).

DAFTAR PUSTAKA
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah Al-Hadisah 1996. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Am. Hasan AliMA. Asuransi Dalam Prespektif Hukum Islam. Jakarta : Persada Media 2004.
Dr. Muhammad Muslehuddin., Asuransi dalam IslamJakarta : Bumi Aksara 1997.
Prof. Drs. H .Masjfuk Zuhdi, Masail FiqhiyahJakarta : CV Masagung 1991.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar