Akhlak dalam Islam adalah ilmu yang sangat mulia. Al-Qur’an menyatakan bahwa pembinaan akhlak dan menyucian jiwa merupakan salah satu tujuan diutusnya para rasul dan nabi.[1] Nabi Muhammmad saw dalam sebuah hadis yang amat populer menegaskan bahwa tujuan kenabiannnya adalah untuk menyempurnakan kemulian-kemulaian akhlak. Akhlak Menurut Islam, adalah salah satu ajaran fundamental disamping akidah dan syariat (hukum-hukum fiqh). Ia adalah jalan hidup (way of life) dan arah gerak yang lurus menuju kesempurnmaan sejati. Ia yang membimbing manusia untuk selalu berhubungan dengan Tuhan.
Kenyataan yang tidak diragukan lagi adalah bahwa akhlak dan pembinaan jiwa adalah sangat penting. Salah satu faktor terpenting dalam pencapaian kebahagian dunia dan akhirat adalah akhlak mulia, membersihkan diri dari sifat-sifat buruk dan berusaha menyandang sifat-sifat terpuji. Akhlak, dalam Islam merupakan permasalahan terpenting setelah tauhid dan nubuwwah (kenabian). Melalaikan akhlak acapkali memberangus dasar-dasar keyakinan seseorang. Al-Qur’an, dalam sebagian ayatnya menerangkan adanya sejumlah kebiasaan dan sifat buruk yang menjadi kendala besar untuk beriman kepada Tuhan. Rasulullah saw, dalam kaitannya dengan kaum Nasrani Najran, berkata: “Bukan karena mereka itu tidak tahu akan kebenaran Islam, tetapi hanya karemna kesuakaan mereka pada minuman keras dan daging babi”. Disini tampak jelas hubungan erat antaera akhlak dan akidah. Berapa banyak akhlak yang baik yang dapat menunjukkan pelakunya kepada kebenaran, juga tidak sedikit akhlak yang buruk yang menyesatkan pelakunya dari hidayah.
Pengertian akhlak dalam Islam adalah perangai yang ada dalam diri manusia yang mengakar dan dilakukannya secara spontan dan terus menerus. Arti akhlak yang paling umum digunakan oleh ulama-ulama akhlak muslim adalah sifat-sifat yang melekat kuat pada jiwa manusia. Sifat-sifat itu pula yang menjadi sumber kemunculan prilaku yang khas, tanpa perlu lagi berpikir dan menimbang-nimbang. Abu Ali Miskaweih mengatakan: "Akhlak yaitu karakter pada jiwa manusia yang mendorong penyandangnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu, tanpa melalui pertimbangan pikiran Agama islam menjadi sumber datangnya akhlak. Orang yang memiliki akhlak memiliki landasan yang kuat dalam bertindak. Ada dua pembagian akhlak, yaitu akhlak al-karimah atau akhlak yang terpuji dan akhlak al-madzmummah atau akhlak tercela.
Kaijian tentang akhlak telah banyak dibahas oleh para tokoh Islam, seperti Ibnu Maskawih, Ibnu Hazm, al-Mawardi, Raghib al-Ashfihany, al-Ghazali dan lainnya. Makalah ini menyajikan pembahasan mengenai akhlak menurut Ibnu Qayyim yang merujuk kepada kitab Madarij al-Salikin. Pembahasan makalah ini didahului oleh deskripsi penulis tentang biogarfi Ibnu Qayyim, ulasan singkat tentang kitab Madarij al-Salikin dilanjutkan dengan pemikiran akhlak Ibnu Qayyim dalam kitab Madarij al-Salikin.
Biografi Ibnu Qayyim al-Jauziy
Ibnu Qayyim dilahirkan pada tanggal 7 Shafar tahun 691 H / 29 Januari 1292. Nama lengkapnya adalah Abu 'Abdullah Syamsuddin Muhammad Abu Bakr bin Ayyub bin Sa'd bin Huraiz bin Makk Zainuddin az-Zur'i ad-Dimasyqi dan dikenal dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyah.[2] Dia tumbuh dewasa dalam suasana ilmiah yang kondusif. Ayahnya adalah kepala sekolah al-Jauziyah di Dimasyq (Damaskus) selama beberapa tahun. Karena itulah, sang ayah digelari Qayyim al-Jauziyah. Sebab itu pula sang anak dikenal di kalangan ulama dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, wafat pada malam Kamis, tanggal 13 Rajab tahun 752 H / 26 September 1350 M. Ia dishalatkan di Mesjid Jami' Al-Umawi dan setelah itu di Masjid Jami' Jarrah; kemudian dikuburkan di Pekuburan Babush Shagir.
Pada masa kecilnya, Ibnu Qayyim belajar ilmu faraidh dari bapaknya karena beliau sangat menonjol dalam ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’, kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). Di samping itu belajar dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.
Ibnu Qayyim berguru ilmu hadits pada Syihab an-Nablusi dan Qadi Taqiyyuddin bin Sulaiman; berguru tentang fiqh kepada Syekh Safiyyuddin al-Hindi dan Isma'il bin Muhammad al-Harrani; berguru tentang ilmu pembagian waris (fara'idh) kepada bapaknya; dan juga berguru selama 16 tahun kepada Ibnu Taimiyyah. Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.
Ibnu Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara. Hal itu disebabkan karena beliau menentang adanya anjuran agar orang pergi berziarah ke kuburan para wali. Beliau peringatkan kaum muslimin dari adanya khurafat kaum sufi, logika kaum filosof dan zuhud model orang-orang Hindu ke dalam firqah Islamiyah.
Penguasaannya terhadap Ilmu Tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap ushuluddin mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai hadits, makna hadits, pemahaman serta istinbath-istinbath rumitnya, sulit ditemukan tandingannya. Begitu pula, pengetahuan beliau rahimahullah tentang ilmu suluk dan ilmu kalam-nya Ahli tasawwuf, isyarat-isyarat mereka serta detail-detail mereka. Ia memang amat menguasai terhadap berbagai bidang ilmu ini.
Manhaj Ibnul Qayyim rahimahullah ialah kembali kepada sumber-sumber Islam yang suci dan murni, tidak terkotori oleh pendapat-pendapat Ahlu al-Ahwa’ wa al-bida’ (ahli bid’ah) serta tipu daya orang-orang yang suka mempermainkan agama. Oleh sebab itulah beliau rahimahullah mengajak kembali kepada madzhab salaf; orang-orang yang telah mengaji langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah sesungguhnya yang dikatakan sebagai ulama waratsatun nabi (pewaris nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada Ibnu Qayyim al-Jauziyah sehingga dia mengikuti langkah ulama salaf. Sebab itu, dia selamat dari noda tasybih dan bahaya takwil. Dia menempuh cara ulama salaf di mana dia hanya menetapkan apa yang ditetapkan Allah SWT untuk diri-Nya dan apa yang ditetapkan oleh Rasul-Nya tanpa melakukan penyimpangan, tasybih dan ta 'thil.
Setting Sosial
Ibnu Qayyim hidup pada periode pertengahan yaitu akhir abad ketujuh hingga pertengahan abad kedelapan hijriyah atau akhir abad ketigabelas hingga pertengahan abad keempatbelas Masehi. Kondisi umat Islam pada waktu itu sangat memperhatinkan karena negara Islam dijadikan sebagai Negara boneka oleh bangsa Barat.[3] Situasi semacam ini disebabkan oleh adanya perang salib yang terjadi secara konstan antara kaum Muslim dan orang-orang Kristen yang dipimpin oleh paus di Roma, raja Prancis dan raja Inggris. Kondisi semacam ini diperparah lagi denagan adanya serangan tentara Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang berhasil menguasi Baghdad pada tahun 1258 M.[4]
Akibat dari perang Salib dan serangan Hulaghu Khan, umat Islam mengalami krisis multi dimensional yaitu krisis ekonomi, sosial dan budaya serta krisis politik dan diperparah lagi dengan akidah dan pemikiran umat Islam mengalami kebekuan (jumud) karena dibalut oleh taklid, khurafat dan bid’ah.[5] Umat Islam juga terjebak kepada aliran-aliran tasawuf yang terformulasi dalam wujud “ribath”; tempat, rumah seorang sufi yang digunakan sebagai tempat bermujat mendekatkan diri kepada Tuhan. Terjadi pula perpecahan dan pertentangan madzhab antara kaum Ahlussunnah dan Syi’ah yang menimbulkan pertentangan dan pembunuhan di mana-mana, serta mengakibatkan pula lemahnya pemerintahan.[6]
Ibnu Qayyim, dalam situasi yang semacam ini berusaha membangkitkan umat Islam dari tidur panjangnya dengan jalan memerangi taklid, khurafat, dan bid’ah dan kembali kepada al-Qur’an dan al-hadits serta menghidupkan tauhid.
Corak Pemikirannya
Corak pemikiran Ibnu Qayyim banyak dipengaruhi oleh gurunya (Ibnu Taimiyah) yaitu dengan mendasarkan pemikirannya pada al-Qur’an dan al-Hadits dan mengesampingkan sumber-sumber lainnya, sehingga lebih dikenal dengan salaf dan puritan. Pemikirannya dalam masalah ushul dan akidah, ia sangat berpegang teguh pada madzhab Imam Ahmad Ibnu Hambal, tetapi dalam masalah furu’ ia punya pendangan yang independen.[7] Sebagai hasil dari mulazamahnya (bergurunya secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah, beliau dapat mengambil banyak faedah besar, diantaranya yang penting ialah berdakwah mengajak orang supaya kembali kepada kitabullah Ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahihah, berpegang kepada keduanya, memahami keduanya sesuai dengan apa yang telah difahami oleh al-Salaf al-Shalih, membuang apa-apa yang berselisih dengan keduanya, serta memperbaharui segala petunjuk al-din yang pernah dipalajarinya secara benar dan membersihkannya dari segenap bid’ah yang diada-adakan oleh kaum ahlu al-bid’ah berupa manhaj-manhaj kotor sebagai cetusan dari hawa-hawa nafsu mereka yang sudah mulai berkembang sejak abad-abad sebelumnya.
Ibnu Qayyim tidak sejalan dengan pola pemikiran filsafat yang cenderung rasionalis seperti para filosof Mu’tazilah yang amat berlebihan dalam menggunakan akal dan jahimiyah serta ittihadiyah.[8] Juga dialektika Yunani ataupun ajaran zuhud India, sebagaimana dinyatakan oleh asy-syaukani, “Ia sangat konsiten dan konsekwen dengan dalil yang shahih dan senang mengamalkannya, tidak memberikan peluang terhadap rasionalisme, berani berjuang demi kebenaran dan tidak pernah subyektif”.[9] Dengan kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa Ibnu Qayyim ingin mengembalikan filsafat ke dalam Islam dengan cara mengikuti pendapat salaf al-salikin dan membersihkan Islam dari pemikiran-pemikiran yang keliru, lalu menuntun orang-orang Islam agar kembali kepada ajaran salaf al-salikin seperti yang terjadi pada masa awal Islam. Oleh sebab itu, corak pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauzy bisa dikategorikan ke dalam Neo-Sufisme, karena praktek-praktek kesufiannya berdasarkan al-Qur’an dan al-hadits atau bisa juga disebut akhlak mistik.[10] Selain itu corak pemikirnnya dapat dikategorikan ke dalam etika religious.[11]
Karya-Karyanya
Ibnu Qayyim merupakan sosok intelektual yang sangat vokal, gamblang penjelasannya, sangat luas pengetahuannya yang meliputi bidang hukum Islam (fiqih), tafsir, hadits, ilmu `alat (nahwu), dan ilmu ushul fiqih. Dia adalah orang yang sangat banyak mengarang buku. Karyanya hampir mencapai 66 lebih dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Sebagian besar berukuran besar dalam beberapa jilid dan sebagian yang lain satu jilid. Hal inilah yang menyebabkan inventarisasi karya-karyanya secara teliti menjadi sulit. Inilah daftar buku-buku karangannya yang diberikan para ulama.
Karya Ibnu Qayyim dalam bidang fiqh dan ushul, yaitu I’lam al-Muwaqqi’in an Rabbil ‘Alamin, al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syari’ah, Ighatsah al-Lahfan fi maka’id al-Syaithan, Tuhfah al-Maudud bi al-Ahkam al-Maulud, Ahkam ahli adz-Dzimmah dan al-Furusiah.
Penguasaanya dalam bidang hadits dan sejarah hidup Rasulullah, ia tuangkan dalam beberapa kitab di antaranya adalah Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khairhi al-Ibad, sedangkan dalam bidang akidah ia menulis Ijtima’ al-juyusyi al-Islamiyah ala Ghazwi al-Jahmiyah, ash-shawa’iq al-mursalah ala al-Jahmiyah wa mu’atthilah, Syifaul Alil fi Masa’ilil al-Qadla’ wal Qadari wal Hikmati wa Ta’lil, hidayah al-Hiyara min al-Yahudi wan Nashara, Hadi al-arwah ila bilad al-Afrah dan kitab al-Ruh.
Dalam bidang akhlak ia menulis Madarij al-Salikin, Iddatus Shobirin wa Dzakiratus Syakirin, al-Da’wah dan al-Wabil al-Shayib min al-Karim at-Thayyib. Sementara untuk ilmu lain, ia menulis at-Tibyan fi Aqsami al-Qur’an, Ba’da al-Fawaid, Jala’ul afham fi shalah wa al-salam ala khairil anam, Raudhah al-Muhibbin, Thariqul hijratain wa bab as-Sa’adatain, miftah ad-dar as-sa’adah, dan kitab-kitab lain yang member kontribusi yang sangat besar dalam khazanah keilmuan Islam.[12]
Pengakuan Para Ulama
Para ulama mengakui kualitas beliau dalam bidang ilmu pengetahun dan agama. Diantaranya adalah dikatakan oleh Al Hafidz ibn Rajab al Hambaly, dia berkata, Beliau (Ibnu Qayyim) adalah seorang yang riwayat hadits dan keilmuannya sangat dipertimbangkan. Bahkan para perawi yang mengambil hadits dari beliau juga turut ikut mendapat keutamaan.[13] Beliau sangat konsen dengan kajian hukum Islam, selain itu juga sangat mahir untuk menjelaskan sebuah persoalan. Disamping itu beliau juga sangat alim dalam bidang ilmu nahwu. Al Hafidz juga berkata, Al Marhum sangat tekun dalam beribadah lebih lebih dalam melakukan shalat tahhajud dengan berdiri sangat lama. Belum pernah saya menjumpai orang yang bisa menandingi ibadahnya. Dan saya juga belum pernah mendapati ulama yang lebih luas pengetahuannya dari pada beliau. Belum ada orang yang bisa menandingi beluai dalam bidang pemahaman terhadap makna al Qur`an dan As Sunnah serta intisari iman.
Qadhi Burhan al Din al Zur`iy berkata, Tidak ada orang yang berada di bawah atap langit ini yang menandingi kealimannya. Dia mengajar di Madrasah Shadriyyah sekaligus sebagai pimpinan Madrasah al Jauziyyah dalam kurun waktu yang cukup lama. Karya tulis yang beliau hasilkan tidak terhitung jumlahnya.
Ibn Hajar berkata mengenai beliau, Beliau adalah seorang yang sangat berani dan berpengetahuan luas. Disamping itu beliau sangat faham dengan perbedaan pendapat diantara madzhab-madzhab salaf. Beliau juga sangat mengagumi Ibn Taimiyyah, sehingga tidak ada satupun pendapat yang difatwakannya yang tidak sesuai dangan ajaran-ajaran Ibn Taimiyyah. Bahkan beliau sangat mendukung pendapat-pendapat yang telah difatwakan oleh gurunya itu. Disamping itu beliau juga benyak menyempurnakan kitab-kitab Ibn Taimiyah. Ibn Hajar juga berkata, Jika beliau shalat subuhmaka tidak berdiri dari duduknya untuk berdzikir kepada Allah sampai matahari sudah tinggi. Ibn Hajar berkata, beliau adalah figur yang menjadi panutan bagi saya. Apabila saya tidak meniru amaliyah beliau pasti saya tidak akan bisa tegar seperti sakerang. Mulla Ali al Qari` berkata tentang beliau dan Ibn Taimiyyah, keduanya merupakan tokoh besar di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama`ah dan juga termasuk pemimpin ummat. Al Hafidz al-Suyuti berkata: “Beliau telah berhasil menjadi menjadi seorang ulama besar dalam bidang tafsir, hukum Islam, ilmu ushul dan ilmu bahasa”.
Sekilas tentang Madaraij al-Salikin
Kitab Madarij al-Salikin muncul (ditulis) oleh Ibnu Qayyim dimaksudkan untuk meluruskan berbagai pengertian dan kandungan yang ditulis di dalam kitab Manazil al-Sairin yang ditulis oleh Abu Isma'il Al-Harawy, sebuah kitab yang membahas masalah thariqah ilallah ( perjalanan kepada Allah), yang kemudian diklaim sebagai dunia sufi atau di Indonesia lebih terkenal dengan istilah thoriqot.[14] Ibnu Qayyim melihat bahwa telah terjadi kesalahpahaman terhadap buku karangan Abu Ismail al-Harawy tersebut. Meskipun buku Ibnu Qayyim ini merupakan komentar, namun beliau sendiri tidak terikat dengan buku yang telah disebutkan diatas sehingga ia memiliki pandangan sendiri mengenai beberapa istilah yang di pakai dalam ilmu tasawuf, seperti Mahabbah, Mukasyafah, Musyahadah, dan lainnya.
Kitab (Madarijus-Salikin) ini sendiri seakan mempunyai dua visi. Satu visi berupa tulisan Ibnu Qayyim dan visi lain merupakan kritik atau pun pembenahan terhadap kandungan kitab Manazil al-Sa'irin. Pada permulaannya Ibnu Qayyim mengupas Al-Fatihah, yang merupakan in-duk Al-Qur’an dan yang mengintisarikan semua kandungan di dalam Al-Qur’an. Kemudian yang lebih inti lagi adalah pembahasan tentang makna iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, yang menjadi ruh dari keseluruhan kitab ini.
Kitab ini terdiri dari tiga juz (bagian). Juz pertama berisi tentang penjabaran menyeluruh iyyakana'budu wa iyyaka nasta’in al-Fatihah yang mencakup berbagai tuntutan ash-Shirathul-Mustaqim, cakupan surat al-Fatihah terhadap macam-macam tauhid hakikat asma' Allah, tingkatan-tingkatan hidayah khusus dan umum kemujaraban al-Fatihah yang mengandung kesembuhan bagi hati dan kesembuhan bagi badan al-Fatihah mencakup bantahan terhadap semua golongan yang batil, bid'ah dan sesat cakupan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in terhadap makna-makna al-Qur’an, ibadah dan isti'anah, pembagian manusia berdasarkan kandungan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, bangunan iyyaka na'budu dan keharusan ibadah hingga akhir hayat, tingkatan-tingkatan iyyaka na'budu dan penopang ubudiyah persinggahan iyyaka na'budu di dalam hati saat mengadakan perjalanan kepada Allah, muhasabah dan pilar-pilamya taubat sebagai persinggahan pertama dan terakhir, kendala-kendala taubat orang-orang yang bertaubat pernik-pernik hukum yang berkaitan dengan taubat antara orang taat yang tidak pernah durhaka dan orang durhaka yang melakukan taubatan nashuhan taubat menurut al-Qur’an dan kaitan taubat dengan Istighfar, dosa besar dan dosa kecil jenis-jenis dosa yang harus dimintakan ampunan (taubat), taubat orang yang tidak mampu memenuhi hak atau melaksanakan kewajiban yang dilanggar taubat yang tertolak kesaksian atas tindakan hamba, inabah kepada Allah, tadzakkur dan tafakkur, i'tisham firar riyadhah sima' hazan khauf isyfaq dan khusyu'.
Juz kedua membahas tempat-tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta’in, ikhbat, zuhud, wara', tabattul raja', ri'ayah, muraqabah, mengagungkan apa-apa yang dihormati di sisi Allah, ikhlas, tahdzib, tashfiyah istiqamah tawakkal dan tafqid, keyakinan terhadap Allah, sabar, ridha syukur, malu,shidq, itsar, tawadhu', futuwwah, muru'ah, azam, iradah adab yaqin, dzikir, fakir kaya ihsan, ilmu hikmah dan firasat pengagungan sakinah, thuma'ninah dan himmah.
Juz ketiga menjelaskan tentang tempat-tempat persinggahan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, mahabbah, cemburu, rindu, keresahan, haus, al-barqu, memperhatikan waktu, kejernihan, kegembiraan, rahasia napas, ghurbah, tamakkun, mukasyafah, musyahadah, hayat, al-basthu, as-syukru, ittishal, ma'rifat, al-fana' , al-baqa', wujud , al-jam'u, dan tauhid.
Akhlak dalam Madaraij al-Salikin
Ibnu Qayyim, dalam kitabnya “Madarij al-Salikin juz II” mengetengahkan pembahasan tentang akhlak dengan menyitir firman Allah : "Dan, sesungguhnya kamu benar-benar berakhlak yang agung." (AlQalam:4)
Menurut Al-Hasan Radhiyallahii Anhu, artinya adalah adab-adab Al-Qur’an. Di dalam Ash-Shahihain disebutkan, bahwa Hisyam bin Hakim pernah bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah. Maka Aisyah menjawab, "Akhlak beliau adalah Al-Qur’an." Lalu Hisyam berkata, "Tadinya aku ingin bangkit dan tidak bertanya apa pun." Allah telah menghimpun akhlak-akhlak yang mulia pada diri beliau seperti yang difirmankan-Nya,
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." (al-A'raf: 199).
Ja'far bin Muhammad berkata, "Allah telah memerintahkan Nabinya untuk memiliki akhlak-akhlak yang mulia. Berpijak dari deskripsi tersebut, dapat dikatakan bahwa Ibnu Qayyim menempatkan al-Qur’an sebagai pijakan dalam mengetengahkan konsep akhlak dengan menjadikan Nabi Muhammad sebagai figur panutan (uswah) bagi segala tindakan manusia.
Menurut Ibnu Qayyim, akhlak dalam Islam dibangun atas pondasi kebaikan dan keburukan. Sedangkan kebaikan dan keburukan itu berada pada fitrah yang selamat dan akal yang lurus, maka segala sesuatu yang dianggap baik oleh fitrah dan akal yang lurus , ia termasuk bagian dari akhlak yang baik dan mulia, dan setiap sesuatu yang dianggap jelek, maka ia termasuk akhlak yang buruk. Karena akal dan fitrah itu mempunyai kemampuan yang terabatas, maka perlu adanya bimbingan dan petunjuk lainnya yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.[15]
Akhlak yang baik menurut Ibnu Qayyim al-Jauzy didasarkan kepada empat pondasi sebagai berikut:
- Al-shabru (sabar) yaitu menguasiai diri, menahan amarah, tidak mengganggu orang lain, lemah lembut dan tidak gegabah, serta tidak tergesa-gesa.
- Al-iffah[16] (kehormatan diri) yang dapat menjauhi hal-hal yang hina dan buruk, baik berupa perkataan maupun perbuatan, memiliki rasa malu, mencegah dari rasa kekejian, bakhil, dusta, ghibah dan mengadu domba.
- Al-syaja’ah (keberanian) yang mampu mendorong pada kelapangan jiwa, sifat-sifat mulia, rela berkorban dan memberikan sesuatu yang dicintai.
- Al-‘adl (adil) yang mampu mendorong manusia pada jalan tengah yaitu tidak meremahkan dan tidaka berlebih-lebihan.[17]
Empat sendi ini sekaligus merupakan sumber akhlak yang baik dan utama. Akhlak yang baik secara umum meliputi akhlak yang baik dalama bermuamalah dengan manusia dan akhlak yang baik dalam bermuamalah dengan Allah.[18] Materi akhlak yang bai dalam bermuamalah dengan manusia yaitu dengan mengamalkan perbuatan yang ma’ruf, baik dalam ucapan maupun perbuatan dan menahan diri dari menyakiti orang lain (perbuatan buruk). Sedangkan materi akhlak yang baik dalam bermuamalah dengan Allah yaitu mengetahui bahwa segala sesuatu yang muncul dating dari Allah menuntut untuk disyukuti. Akhlak manusia kepada Allah SWT membutuhkan rasa cinta kepada-Nya dan menunjukkan ketaqwaan manusia sebagai khalifah di bumi. Sedangkan akhlak manusia kepada sesama menunjukkan kemuliaannya, karena mengoptimalkan potensi yang dibekalkan kepadanya sebagai khalifah.
Sedangkan empat sumber yang menjadi dasar akhlak tercela adalah sebagai berikut:
- Al-Jahl (kebodohan) yaitu menampakkan kebaikan dalam bentuk keburukan, menampakkan kekurangan dalam bentuk kesempurnaan dan menampakkan kesempurnaan dalam bentuk kekurangan.
- Al-dhalm (kedzaliman) yaitu meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, tidak senang kepada hal-hal yang diridhai dan meridhai sesuatu yang seharusnya tidak dibenarkan.
- Al-syahwah (syahwat) yang mendorong seseorang memiliki sesuatu, kikir, bakhil, tidak menjaga kehormatan, rakus dan hina.
- Al-ghadlab (marah) yang mendorong seseorang bersikap takabbur, dengki dan iri, menciptakan permusuhan dan menganggap orang lain bodoh.
Sumber dari empat perkara tersebut ada dua macam, yaitu: Pertama, jiwa yang berlebih-lebihan saat lemah, yang melahirkan kebodohan, kehinaan, bakhil, kikir, celaan, kerakusan dan kekerdilan. Kedua, jiwa yang berlebih-lebihan saat kuat, yang melahirkan kezhaliman, amarah, kekerasan, kekejian dan kesewenang-wenangan. Sebagian akhlak yang tercela melahirkan sebagian yang lain, sebagaimana sebagian akhlak yang terpuji juga melahirkan sebagian sifatnya yang lain. Akhlak yang baik ada di antara dua akhlak yang tercela, seperti kedermawanan yang ada di antara bakhil dan boros, tawadhu' yang ada di antara kehinaan dan takabur. Selagi jiwa menyimpang dari pertengahan ini, tentu ia akan cenderung kepada salah satu di antara dua sisinya yang tercela. Siapa yang menyimpang dari akhlak tawadhu', maka ia akan menyimpang ke sifat takabur dan riya atau ke kehinaan dan kekerdilan. Siapa yang menyimpang dari kesabaran yang terpuji, maka ia menyimpang ke kegundahan dan keguncangan atau ke kekerasan hati dan kekasaran tabiat. Akhlak sangat bermanfaat bagi orang yang mengadakan perjalanan dan dapat menghantarkan ke tujuan dengan segera. Dengan akhlak-nya dia akan membentuk dirinya yang sulit untuk dirubah, karena yang paling sulit untuk dirubah pada tabiat manusia adalah akhlak yang telah membentuk jiwanya.[19]
Ibnu Qayyim, dalam kitabnya, Tuhfah al-Wadud bi Ahkam al-Mauludi, mengklasifikasikan akhlak menjadi dua macam, yaiatu fitri dan muktasabah (diupayakan). Pertama, akhlak fitri, menurutnya bahwa akhlak yang baik dan yang jelek itu bertempat pada fitrah, dan fitrah inilah yang menunjukkan kepada manusia mana akhlak yang baik dan mana akhlak yang tercela. Sebagaimana kata Ibnu Qayyim, “Sesungguhnya Allah telah menentukan dan menetapkan sifat adil dan tidak pilih kasih terhadap fitrah manusia”[20]. Kedua, akhlak muktasabah (diupayakan), yaitu akhlak yang dimiliki oleh seseorang melalui latihan, pembiasaan dan pendidikan. Sebagaimana yang dinyatakan Ibnu Qayyim, “anak itu akan berkembang sebagaimana kebiasaan yang dibiasakan oleh pendidik di masa kecilnya”.[21]
Akhlak yang baik bisa diperoleh melalui dua cara yaitu cara takhliyah (pengosongan) dan cara tahalliyah (menghiasi diri). Implementasi dari kedua cara ini adalah dengan cara mengosongkan diri dari akhlak tercela dan menghiasi diri dengan akhlak yang mulia. Ibnu Qayyim al-Jauzy mengatakan “Agar suatu tempat siap diisi oleh sesuatu, maka ia harus dikosongkan dari sesuatu yang menjadi kebalikannya”. Sebagaimana hati, jika hati telah dipenuhi kebatilan, baik dalam bentuk i’tikad atau dalam bentuk kecintaan, maka tiada tempat lagi di dalamnya untuk i’tikad yang benar dan kecintaan terhadapnya.[22]
Dasar atau landasan akhlak terpuji menurut Ibnu Qayyim bersumber dari al-Qur’an dan al-sunnah (hadits). Pertama, adalah al-Qur’an yang merupakan kitab yang mencakup segala aspek persoalan hidup manusia dalam berinteraksi dengan pencipta-Nya, sesama manusia dan alam semesta yang merupakan persoalan mendasar dalam setiap kehidupan manusia. Di samping itu, al-Qur’an senantiasa memberi petunjuk, bimbingan, isyarat dan arahan bagi setiap manusia dalam menjalankan kehidupannya. Kedua, al-Sunnah yang merupakan sirah perjalanan hidup Nabi dan dijadikan sebagai praktek dalam ajaran Islam, sebab Rasulullah merupakan seorang figur teladan (uswah) dalam berakhlakul karimah. Al-sunnah merupakan sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an sebagai penjelas dan penguat dari berbagai persoalan, baik yang ada dalam al-Qur’an atau yang dihadapi dalam persoalan kehidupan umat Islam yang disampaikan dan dipraktekkan Nabi Muhammada saw.
Penutup
Corak pemikiran Ibnu Qayyim al-Jauzy bisa dikategorikan ke dalam Neo-Sufisme, karena praktek-praktek kesufiannya berdasarkan al-Qur’an dan al-hadits. Ibnu Qayim, dalam kitab Madarij al-Salikin membagi akhlak menjadi akhlkul karimah dan akhlkul madzmumah. Akhlakul karimah didasarkan atas sabar,Al-iffah (kehormatan diri), Al-syaja’ah (keberanian) dan Al-‘adl (adil, sedangkan akhlakul madzmumah didasarkan pada Al-Jahl, Al-dhalm, Al-syahwat dan Al-ghadlab.
Demikan paparan makalah yang dapat penulis sampaikan, penulis menyadari bahwa dalam penyajiannya, makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan demi perbaikan makalah selanjutnya.
__________________________________
[1] Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (QS. al-Jumu’ah:2)
[2] B. Lewis, et.al., The Encyclopedia of Islam, Vol. III, Leiden : E.J. Brill, 1990, hlm.821
[3] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Beirut : Dar al-Fikr, tt. Juz IV, hlm.176
[4] Depag RI, Ensiklopedi Islam, jilid II, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Houve, 1996, hlm.164
[5] Laily Mansur, Ajaran dan Teladan para Sufi, Jakarta : Raja Grafindo, 1996, hlm. 221-222
[6] Taqiyudin Ahmad bin Ali, al-Nail, juz IV, Mesir: tp., 1326 H, hlm.293
[7] Sayed Ahsan, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dalam Islam and the Modern Age, Vol. XII No. 4 November 1981, New Delhi : Zakir Husain Institut of Islamic Studies, 1981, hlm.169
[8] Ibid., hlm. 249
[9] Ibnu Qayyim al-Jauzy, Zad a l-Ma’ad, terj. Ahmd Sunarto dan Ainur Rofiq, Jakarta: Robbani Press, 1998, hlm. xx-xxvii
[10] Husen Bahresy, Tasawuf Murni Moral Islam Menuju Pembangunan dan Hidup Bahagia dengan Landasan al-Qur’an dan al-Hadits, Surabaya : al-Ihsan, 1990, hlm. 69
[11] Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 68
[12] Ibnu Qayyim, op.cit., hlm. xxvii
[13] http://www.salafyoon.net/sirah/ibnul-qayyim-al-jauziyah.html, diunduh pada tanggal 26 Januari 2012
[14] Ibnu Qayyim, Madarij al-Salikin, Pendakian Menuju Allah, terj. Kathur Suhardi, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2008, hlm. 9
[15] Hasan bin Ali, Al-Fikrut Tarabawy Inda Ibnu Qayyim (Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim), terj. Muziadi Hasbullah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, hlm. 202-203
[16] Iffah adalah usaha memelihara dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak haslal, makruh dan tercela.
Hal-hal yang dapat menumbuhkan iffah di antaranya adalah iman dan takwah. Inilah asas yang paling fundamental di dalam memelihara diri dari segala hal yang tercela. Jiwa yang terpateri oleh iman dan taqwa merupakan modal yang paling utama untuk membentengi diri dari hal-hal yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya
[17] Ibnu Qayyim al-Jauzy, Madarij al-Salikin, juz II, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988, hlm. 320-321
[18] Ibid., hlm. 330-331
[19] Ibid., hlm. 322
[20] Ibnu Qayyim, Miftah dar al-Sa’adah juz I, Beirut : Dar al-Fikr, tt, hlm.281
[21] Ibnu Qayyim, Tuhfah al-Wadud bi Ahkam al-Mauludi, tahqiq Dr. ghofar Sulaiman al-bandari, Beirut : Dar al-Jil, 1983, hlm.263, lihat juga Madarij, juz II, hlm. 328
[22] Ibnu Qayyim, al-Fawaid, Beirut : Dar al-Fikr, 1993. hlm 29
Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama
Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar