Kamis, 01 Maret 2012

Murtadha Muthahhari:Kritik Atas Konsep Moralitas Barat


Selama ini banyak orang barangkali mengenal Muthahhari sebagai seorang penulis produktif yang menulis puluhan buku mengenai hampir semua hal. Paling banter orang akan menganggapnya sebagai seorang ulama yang cerdas dan berwawasan luas, termasuk mengenai pemikiran-pemikiran Barat. Tapi, begitu banyak dan bervariasinya tulisan Muthahhari di sisi lain dapat menimbulkan kesan bahwa Muthahhari adalah seorang generalis yang tak memiliki agenda dan perspektif jelas dalam karier pemikirannya. Belakangan ini, pembaca Indonesia mulai dapat menikmati karya-karyanya di bidang filsafat dan etika Islam, yang sesungguhnya tidak sedikit dan sama sekali tak kurang penting di banding karya-karya popular dan karier-politiknya sebagai salah seorang pejuang, pendiri, dan peletak dasar Negara Republik Islam Iran. Sesungguhnya kesan seperti ini kurang tepat. Muthahhari adalah seorang ulama-pemikir yang tahu benar tentang apa yang dipikirkan dan diperjuangkannya. Dibalik puluhan karyanya itu sesungguhnya terpapar sebuah agenda besar, sebuah tujuan besar pada diri Murtadha Muthahhari.  
Rasanya amat relevan jika menyimak Haidar Bagir yang mencoba menerka tujuan dan agenda di balik dorongan pada diri Muthahhari dalam kiprahnya sebagai ulama, sebagai pemikir Islam, dan sekaligus sebagai pejuang bagi tegaknya negara Republik Iran.
Pertama, bagi Muthahhari, berpikir dan melakukan perenungan serta pemahaman intelektual adalah tujuan hidup seorang Muslim. Hal ini kiranya mudah dipahami jika dipelajari betapa Islam melihat tujuan hidup sebagai makrifat Allah (pengetahuan tentang Allah). Menurut Muthahhari, pencerahan intelektual adalah salah satu kebahagiaan tertinggi yang memang memang menjadi tujuan setiap filosof dan pemikir, tidak terkecuali Muthahhari. Nah, untuk menjamin kesahihan hasil suatu proses pemikiran, apalagi jika hal itu menyangkut konsep tentang Tuhan yang begitu urgen bagi kebahagiaan manusia.
Tujuan kedua kiprahnya, Muthahhari telah menetapkan bagi dirinya tugas untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam dalam suatu cara yang sesuai dengan kebutuhan manusia modern akan pemikiran-pemikiran yang bersifat rasional. Muthahhari berkiprah di suatu masa yang menyaksikan derasnya arus pengaruh pemikiran yang datang dari Barat. Disamping adanya pengaruh-pengaruh positif dari Barat, Muthahhari merasakan tantangan pemikiran-pemikiran Barat tertentu terhadap agama. Tantangan yang terasa sangat menekan adalah Marxisme. Iran sejak tahun 60-an memang banyak diterpa oleh pengaruh aliran ini. Pengaruhnya terasa makin lama makin kuat. Murtadha Muthahhari mengatakan “Saat ini, di kalangan penulis-penulis Muslim tertentu (kecenderungan kepada Marxisme dan pandangan bahwa Islam mengandung paham-paham Marxistik) mendapatkan penerimaan yang luas dan dipandang sebagai tanda keluasan pikiran dan mode yang lagi”.  Muthahhari juga merasakan adanya pengaruh paham lain Barat yang mencengkeram kuat atas negara-negara Muslim, termasuk Iran yaitu materialisme. Paham merupakan soko guru berbagai paham yang muncul dalam peradaban Barat modern. Untuk meng-address isu-isu ini, Muthahhari  banyak menghasilkan karya-karya yang berupa kritik terhadap paham-paham ini.
Murtadha Muthahhari sebenarnya sangat kagum dengan paham-paham filsafat  Barat seperti materialisme dan eksistensialisme, namun Muthahhari juga mengkritiknya dengan keras, kerana dipandangnya tidak sesuai dengan Tauhid yang dianutnya, dan juga keadaan masyarakat Iran yang Shi’ah.[1] Muthahhari dalam hal ini tidak sendirian, ternyata Ali Syari`ati yang juga tokoh Iran seangkatan  Muthahhari mengalami kondisi yang sama. Muthahhari dan Shari’ati adalah seorang Marxis yang anti-marxis. Keduanya terpengaruh banyak oleh Marxisme, khususnya Neo-Marxisme dari Gurvitch, tapi juga banyak mengkritiknya. Ada hubungan benci-cinta antara keduanya dengan Marxisme.[2]
Sikap Muthahhari terhadap materialisme Barat tidak membuatnya terpesona dan taklid buta. Muthahhari banyak mengkritik Marxisme. Sesekali ketika sedang ”berbicara dengan bahasa kaum”, yaitu mahasiswa yang ilmiah dan gerakan kiri. Tapi pengaruh Marx sangat kelihatan. Shari’ati menerima teori kesedaran kelas dan dialektika dan sejarah, tapi menolak materialisme dialektika. Ia memodifikasi pertentangan kelas menjadi antara dunia Ketiga melawan Imperialisme Barat. Muthahhri juga menggunakan paradigma, kerangka dan analisis marxis untuk menjelaskan perkembangan masyarakat. Dan tentu saja semangat atheisme yang merendahkan agama ditolaknya.
Muthahhari dalam hal ini merupakan ilmuawan murni yang menyatakan bahwa : bahawa Marxisme menolak martabat manusia, dan menghapus kakikat kemanusiaan dalam sistem kerja sosial dan produksi. Dan hujungnya, diktatorisme-proletariat menggantikan masyarakat bebas dan kebebasan bekerja. Manusia diprogram dan direncanakan dari atas, semua individu dipekerjakan sebagai ganti atas pengingkaran mereka atas sistem mekanik. Dalam Marxisme, manusia menjadi makhluk yang terbelenggu dan terikat syarat dan dibentuk. Manusia adalah milik masyarakat, dan masyarakat adalah produk mesin produksi. Ada usaha Shari’ati untuk melakukan Marxifikasi Islam, atau malah Islamisasi Marxisme. [3]
Muthahhari bisa dikatakan sebagai sosok pejuang di panggung pemikiran Islam dan mengenal zamannya. Pada masa hidupnya, berbagai pemikiran asing telah merasuki jiwa masyarakat Iran, terutama pemikiran para pemudanya. Pada masa itu, para konstituen Marxisme cukup gencar melakukan reformasi di bidang kebudayaan. Mereka pun berupaya menanamkan benih-benih Marxisme di segala aspek kehidupan masyarakat. Ironinya, pihak dinasti Pahlevi malah memberikan dukungan terhadap upaya mereka. Pihak dinasti Pahlevi berharap aktifitas mereka dapat terus memperlemah gerakan Islam khususnya kaum Mullah di Iran. Senyatanya, lambat-laun pemikiran Marxisme memperoleh tempat di hari sebagian besar masyarakat, khususnya para pemuda Iran.  Melihat fenomena ini, di mana Marxisme begitu berkembang pesat, sejumlah pihak mulai merasa gerah, namun mereka ini belum mampu memberikan solusi yang cepat dan tepat. Kala itu, para pemuda Muslim menjadi sasaran para konstituen Marxisme. Pemuda Iran pada saat itu secara umum kurang memiliki basis pemikiran yang kuat, sehingga tidak mampu mematahkan berbagai keraguan yang ditanamkan oleh para pengikut Marxisme. Biasanya, para pendukung Marxisme itu menabur keraguan pada diri pemuda Islam Iran terhadap ajaran agama Islam.
Benar bahwa karena kondisi seperti inilah Muthahhari merasa terpanggil untuk membela Islam dan bangsa Iran. Beliau memang merasakan bahwa pemikiran asing itu sudah cukup menyebar luas di kalangan masyarakat dan semakin lama semakin kuat. Beberapa segmen masyarakat pun telah dipengaruhi oleh pemikiran tersebut. Sementara itu, para ‘ulama dan cendekiawan Muslim belum mampu memberikan perlawanan intelektual terhadap filsafat Marxisme itu, apalagi solusi alternatif. Selain ‘Allamah Thabathaba’i dan Muthahhari, hanya sebagian kecil pelajar yang memahami dengan baik filsafat Materialisme, terutama Marxisme. Meski sudah dilarang ceramah sejak tahun 1974 M, dan demi tegaknya ajaran Islam, beliau akhirnya menyempatkan diri untuk memberikan ceramah-ceramah sepanjang tahun 1977 M.
Tema dari pelbagai ceramahnya itu tidak lain adalah masalah epistemologi. Ada alasan dari pemilihan topik ini bila dilihat dari kondisi dalam negeri Iran. Muthahhari memiliki kepentingan dan tujuan untuk memilih topik ini. Beliau menilai bahwa kajian epistemologi Islam pada masa itu sangat penting, selain memiliki arti dan pengaruh khusus. Signifikansinya adalah untuk membuktikan kerapuhan berbagai pemikiran asing, terutama Marxisme. Untuk mematahkan pemikiran filsafat Marxisme, masyarakat Iran harus memahami epistemologi Islam secara memadai. Sebagai solusi, Muthahhari menawarkan pemikiran Islam sebagai solusi alternatif. Pada berbagai ceramahnya itu, beliau membuktikan betapa kokohnya pemikiran Islam dan rapuhnya pemikiran asing.[4]
Dasar pemikiran yang sama kiranya terkait dengan tujuan keempat di balik segala kegetolan Muthahhari untuk membangun landasan filosifis dan pandangan dunia Islam ini adalah kesadarannya akan perlunya suatu landasan yang kuat dan koheren bagi pembangunan sistem-sistem Islam di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya sistem etika, sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sebagainya. Muthahhari memang dikenal juga dengan tulisan-tulisannya mengenai soal-soal etika, ekonomi, sosial, bahkan budaya dalam sorotan ajaran-ajaran Islam. Muthahhari melalui pengantar kepada Pandangan Dunia Islam itu memasukkan berbagai tema pembahasan yang dianggapnya sebagai persoalan penting dan mendesak seperti : Konsepsi tentang nilai-nilai moralitas manusia, fitrah, hak asasi manusia, etika seksual, dan sebagainya.[5]

Konsep Moralitas Barat dan Kritik Murtadha Muthahhari
Teori Emosi
Emosi merupakan teori paling klasik yang menunjuk pada perbuatan akhlaki. Teori ini menunjukkan kriteria perbuatan adalah perasaan manusia. Teori ini beranggapan bahwa arti pernyataan moral itu hanya mengungkapkan emosi/perasaan seseorang. Menurut teori ini perbuatan manusia dibagai dua :
1)      Perbuatan alamiah yang muncul dari ego seseorang dan kecenderungan alamiah yang terdapat dalam dirinya. Tujuannya hanya untuk menggapai keuntungan dan kesenangan pribadi. Contoh karyawan yang giat bekerja untuk mendapatkan upah atau jabatan.
2)      Perbuatan akhlaki manusia yang bersumber dari individu-individu yang selain mencintai untuk dirinya sendiri juga mencintai orang lain.[6] Ada kalanya perasaan menyayangi orang lain lebih membahagiakan dari pada menyayangi diri sendiri.
Teori yang menyatakan bahwa akhlak adalah cinta dan perbuatan baik, separohnya benar dan separohnya salah. Sebab tidak semua cinta digolongkan perbuatan akhlaki meskipun layak untuk dipuji. Perbuatan akhlaki harusnya mengandung upaya dan pilihan bagi sifat-sifat yang bukan instingtif.[7] Perilaku baik jika dilakukan manusia atas dasar fitrah yang ada pada dirinya dan tidak dilakukan dengan pilihan, meskipun mulia dan layak untuk dipuji, perbuatan tersebut tidak termasuk ke dalam perbuatan akhlaki. Misalnya cinta orang tua kepada anak adalah mulia, tetapi perasaan tersebut tidak diperoleh dengan usaha melainkan anugerah Tuhan.
Wilayah akhlak lebih mulia dari pada batasan mencintai orang lain. Ada sejumlah perbuatan mulia dan layak mendapat pujian namun tidak ada kaitannya dengan mencintai orang lain, seperti sabar, tawakal, istiqomah, disiplin, dan sebagainya. Simpulan pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada kebaikan di dunia selain cinta, hakikatnya tidak demikian karena ada kebaikan selain mencintai orang lain.    

Teori Intuisi (Immanuel Kant)
Menurut teori intuisi Immanuel Kant, tindakan akhlaki adalah buah dari hasil perintah intuisi. Manusia berlaku etis tanpa dilatarbelakangi pamrih tertentu. Perbuatan tersebut mengikuti semata-mata mengikuti perintah intuisi. Akal praktis atau intuisi adalah kumpulan hukum-hukum apriori manusia yang tidak diperoleh melalui indera manusia namun sudah menjadi fitrah dan watak manusia. Intuisi tidak mengenal maslahat. Hukum intuisi menurut Khan adalah mutlak tanpa ikatan dan syarat.[8] Intuisi akhlak mengajak manusia kepada kesempurnaan, bukan kebahagiaan. Kesempurnaan dan kebahagiaan menurut Kant merupakan dua kualitas yang berbeda.
Kant berpendapat bahwa manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan mukallaf dengan membawa taklif akhlaki sebagai satu kekuatan dalam dirinya untuk memerintahkan taklif-taklif itu. Setiap orang wajib diperlakukan sebagai dirinya sendiri, ini berarti setiap orang wajib mentaati apa yang diyakini hukum moral dalam hatinya sebagai kesusilaan yang transedental.[9]  
 Kritik Muthahhari terhadap teori intuisi yang memisahkan antara kebahagiaan dan kesempurnaan adalah salah. Kesempurnaan merupakan bagian integrasi dari kebahagiaan. Setiap kesempurnaan pasti melahirkan sejenis kenikmatan. Kenikmatan tersebut mencari kesempurnaan untuk kesempurnaan itu sendiri. Seseorang ketika memperoleh kenikmatan secara tidak sadar sesungguhnya juga merasakan kebahagiaan.[10]
Hukum intuisi tidak semutlak yang diyakini Kant. Contohnya hukum kejujuran tidak terlalu mutlak demi suatu kemaslahatan. Fiqh Islam justru menyuruh membolehkan berbohong demi kepentingan kemaslahatan. Harus dibedakan kebohongan demi kemaslahatan dan kebohongan demi manfaat atau kepentingan pribadi yang terkesan dangkal. Kebohongan demi kemaslahatan adalah kebohongan yang telah hilang esensinya dan telah berubah menjadi kebenaran. Kebohongan yang dilatarbelakangi dengan manfaat pribadi biasanya mengorbankan kebenaran.

Kritik Muthahhari terhadap Konsep Hak Asasi Manusia
Muthahhari menganalisis Pernyataan Hak-Hak Asasi Manusia Sejagat dan menunjukkan betapa tingginya martabat manusia di dalamnya. Anehnya, nilai dan martabat yang begitu tinggi itu sama sekali tidak sesuai dengan konsepsi manusia pada kebanyakan sistem filsafat Barat.
Manusia, menurut pandangan filsafat etika Barat, telah diruntuhkan sampai ke tingkat mesin. Ruh dan kemuliaan manusia dalam pandangan etika Barat telah ditolak. Kepercayaannya terhadap sebab terakhir dan suatu rancangan atau rencana yang telah dipersiapkan bagi alam dianggap sebagai gagasan yang reaksioner. Orang Barat tidak memandang jiwa sebagai sebagai bentuk wujud manusia yang terpisah, dan tidak menganggap jiwa mempunyai kemampuan untuk berwujud secara nyata dan aktual. Barat tidak percaya adanya perbedaan antara dirinya dengan hewan atau tanaman dari segi ini. Barat menganggap semuanya hanyalah manifestasi materi dan energi. Medan kehidupan untuk semua makhluk hidup, termasuk manusia, adalah perjuangan untuk mempertahankan kehidupan. Manusia selalu berjuang untuk menyelamatkan dirinya dalam pertempuran. Keadilan, kebajikan, kerjasama, kasih sayang, dan semua nilai moral dan kemanusiaan merupakan produk dari perjuangan asasi untuk kehidupan. Manusia telah menciptakan konsep-konsep tersebut untuk mengamankan kedudukannya sendiri.
Menurut pandangan Muthahhari, pada filsafat Barat, martabat manusia telah dihancurkan sama sekali dan kedudukannya betul-betul direndahkan. Berkenaan dengan penciptaan manusia dan sebab-sebab yang memberikan eksistensi kepadanya, berkenaan dengan tujuan penciptaan manusia dan struktur serta bentuk eksistensi dan wujudnya, dan berkenaan dengan motivasi dan stimulasi kegiatannya, kesadaran dan moralitasnya, dunia Barat telah merendahkan manusia pada tingkat yang telah ditunjukkan di atas. Berdasarkan latar belakang tersebut, Barat mengeluarkan suatu pernyataan agung tentang nilai dan martabat manusia, keluhuran dan kemuliaannya, hak-hak asasinya yang suci, dan mengajak seluruh umat manusia untuk mempercayai pernyataan luhur ini.[11]
Muthahhari mengatakan lebih lanjut bahwa Barat harus lebih dahulu memperbaiki konsepsinya tentang manusia sebelum mereka mengeluarkan pernyataan tentang hak-hak asasi manusia yang suci dan mengandung nilai-nilai moral kemanusiaan.
Muthahhari mengakui tidak semua filosof Barat mengungkapkan manusia seperti di atas. Tanpa menafikan keberadaan mereka, Muthahhari menganggap bahwa yang dibicarakan dalam konteks ini ialada cara berpikir yang terdapat pada kebanyakan orang Barat dan yang sekarang mempengaruhi bangsa-bangsa di dunia. Pernyataan hak-hak asasi manusia yang mengandung nilai-nilai moral kemanusiaan ini sepatutnya dikeluarkan oleh mereka yang memandang manusia lebih tinggi dari senyawa meterial dan mekanisme. Pernyataan ini baru sesuai dengan orang yang tidak memandang dorongan dan kegiatan manusia semata-mata tergantung kepada motif egois dan hewani, yakni orang yang mempercayai tabiat manusia. Selanjutnya untuk memperkuat argumentasinya Muthahhari menjelaskan bahwa pernyataan hak-hak asasi manusia sepantasnya dikeluarkan oleh Timur, yang percaya bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi, yang meyakini bahwa manusia mempunyai tujuan sesuai sasaran, dan percaya bahwa manusia pada hakikatnya cenderung berbuat kebajikan, serta memandang manusia memiliki struktur yang paling serasi dan paling sempurna.[12]

Kritik Muthahhari terhadap Konsep Etika Seksual Barat
Naluri seksual, menurut wataknya sendiri merupakan naluri yang istimewa. Naluri ini kuat dalam manifestasinya, sehingga pembahasan tentang moral seksual merupakan bagian yang penting dari etika.
Dewasa ini dari Barat disebarkan suatu moralitas baru yang didasarkan pada kebebasan individu untuk mengikuti sesuatu yang dihajatkan nafsunya. Tokoh etika Barat yang dipandang kampium terhadap persoalan ini menurut Muthahhari ialah Sigmund Frued, Bertrand Russell, dan Will Durrant.[13]  Sigmund Frued dan Bertand Russell mengkhotbahkan kewajiban untuk melepaskan diri dari moralitas tradisional dan menggantinya dengan moralitas yang sama sekali baru. Frued menyatakan bahwa manusia baru sehat apabila libido sexsualisnya tidak mengalami banyak hambatan moral yang dapat menimbulkan banyak penderitaan manusia, gangguan emosional, kecemasan dan obsesi.[14] Bertand Russell menganjurkan moralitas seksual yang bebas dari rasa cemburu. Cemburu merupakan emosi yang tidak sehat, kata Russell sehingga manusia seharusnya berusaha mengatasinya. Setiap orang harus dibebaskan untuk melakukan hubungan seksual dengan siapa saja yang dikehendakinya tanpa harus terikat kepada kaidah-kaidah hukum.[15] Berbeda dengan keduanya, Will Durrant lebih cenderung mempertahankan nilai dan adat istiadat tradisional yang diakui sangat penting untuk meningkatkan kesinambungan yang harmonis pada hubungan seksual dalam konteks perkawinan dan hubungan keluarga.[16] 
Muthahhari melancarkan kritikan yang tajam terhadap paham di atas, khususnya argumentasi yang dikemukakan Russell tentang konsep moralitas seksual baru didasarkan atas tiga prinsip, falsafi, dan psikologis :
  1. Kebebasan pribadi setiap individu harus selalu dihormati dan dilindungi, selama tidak berbenturan dengan kebebasan yang lain. Kebebasan individu hanya dibatasi kebebasan individu yang lain.
  2. Kesejahteraan/kebahagaan manusia terletak pemeliharaan dan pemenuhan dorongan nafsu dan hasrat-hasrat bawaannya. Kecenderungan alamiah ini jika dihambat, terjadilah kesombongan dan gangguan kepribadian, terutama sekali akibat frustasi sosial. Naluri dan hasrat alamiahnya cenderung menyimpang, apabila tidak dipenuhi atau mendapat kepuasan.
  3. Pembatasan dan hambatan terhadap naluri alamiah dan hasrat manusia cenderung meningkatkan gejolak hawa nafsu. Pemenuhan hasrat alamiah yang tidak dihambat menimbulkan kesenangan, sehingga seseorang dapat mengatasi perhatian yang berlebihan terhadap dorongan alamiah, seperti dorongan seks.[17]

Muthahhari menunjukkan kontradiksi pada tiga prinsip di atas, yang dijadikan landasan bagi moralitas baru di Barat. Kelemahan-kelemahan yang terdapat pada prinsip tersebut meruntuhkan seluruh justifikasi moralitas baru.
Prinsip kekebasan individu memang merupakan hal yang pokok untuk mewujudkan hak-hak asasi manusia secara sosiologis. Kesalahan mendasar terletak pada anggapan Barat bahwa kekebasan seksual yang dipersonalisasikan tidak mempunyai implikasi sosial. Hal ini terjadi karena asumsi Barat bahwa jika individu bebas memenuhi kebutuhan seksualnya, seseorang diharapkan hanya memenuhi kepentingannya sendiri tanpa melanggar hak-hak orang lain.[18]
Muthahhari selanjutnya menguraikan filsafat yang mendasari kebebasan personal. Hal yang esensial untuk mengelola kebebasan personal, dan untuk menjaga hak orang lain untuk mendapat perlindungan, adalah kebutuhannya untuk secara berangsur-angsur mengembangkan cara yang harmonis dan terhormat untuk memajukan kehidupan individu, menuju peningkatan kemampuannya yang lebih tinggi. Perhatian yang tepat pada kebutuhan yang disebutkan pada prinsip moralitas baru di atas jelas sekali tidak ada dalam penafsiran Barat atau penerapan konsep kekebasan personal. Kebebasan individu dalam segala kondisi atau keadaan tidak boleh membawa pada kelonggaran seksual yang menyebabkan orang mengeksploitasi hawa nafsu dan hasrat-hasrat egois. Setiap konsepsi yang salah tentang kebebasan personal tidak dapat didorong atau dihormati oleh orang-orang yang dapat atau seharusnya menyadari akibat-akibat yang berbahaya. Setiap manusia perlu menghindari konflik interpersonal yang terbuka, dan setiap masyarakat perlu juga mengenal bahw akepentingan yang lebih besar dan lebih luhur dari individu itu sendiri harus secara sadar membatasi kebebasannya. Terus menerus mengabaikan syarat-syarat moral yang disebut di atas dapat memperburuk kerusakan yang sudah terjadi pada konsep dasar moralitas dan kesalahan yang telah terjadi pada pemahaman kebebasan personal.[19]
Penafsiran Russell tentang moralitas tidak menunjukkan kelebihan nilai-nilai kehidupan yang luhur di atas hal-hal yang secara potensial dan secara intrinsik berbahaya. Tidak ada tanda-tanda pada pernyataannya yang membuat manusia menundukkan dirinya dan kepentingan lahiriahnya pada pertimbangan intektual dan spiritual yang lebih tinggi.
Mutahahhari menyimpulkan bahwa moralitas Russell sangat cocok bagi kepentingan penguasa, bagi yang kuat di tengah masyarakat. Kelompok yang lemah dengan mudah dapat ditundukkan oleh kekuatan individu-individu yang berkuasa dan berpengaruh. Filsafat moral Russell menyiratkan bahwa seseorang bebas berbuat sesuatu selama tidak diprotes oleh orang lain. Manusia yang kuat dapat berbuat apa saja, sementara apabila lemah maka reaksi orang lain akan banyak membatasi kebebasannya. [20]

Kritik Muthahhari terhadap Konsep Manusia Menurut Etika Barat
Muthahhari mengkritik konsepsi manusia pada filsafat Barat, dan mengecam moralitas baru. Muthahhari tidak berhenti di situ, di samping puing-puing moralitas baru yang diruntuhkannya, ditegakkan moralitas Islam. Muthahhari  menampilkan konsepsi al-Quran tentang manusia di atas reruntuhan filsafat Barat. Muthahhari bukanlah filosof semacam Nietsche, yang membabat seluruh filsafat tradisional, menjungkirbalikkan nilai, meyakinkan setiap orang bahwa filsafat yang dipegangnya salah.
Muthahhari tahu bahwa bencana yang melanda manusia modern sekarang adalah ketidaktahuan  manusia tentang dirinya sendiri. Manusia telah melupakan dirinya sendiri. Manusia sekarang mengalami kebingungan terhadap dirinya sendiri.[21] Usaha untuk membuat manusia mengerti tentang dirinya, menurut Muthahhari terlebih dahulu harus melacak setiap miskonsepsi tentang manusia dalam filsafat dan psikologi Barat.
Kritik-kritik yang dilontarkan Muthahhari terhadap pemikiran etika Barat pada tulisan-tulisannya tidak selalu mengidentifikasikan alirat filsafat dan teori psikologi mana yang dikritik, Muthahhari lebih banyak melihat gagasan daripada label. Kritik yang dilancarkan Muthahhari didasarkan pada etika religius yang bertitik tolak dari agama yakni bersumber pada al-Quran dan Sunnah Nabi, sementara etika Barat menurut Suparman Syukur, merupakan cabang filsafat yang bertitik tolak dari akal pikiran manusia, tidak dari agama, di sinilah perbedaan mendasar pemikiran etika Barat dengan etika Islam.[22] Perbedaan cara pandang ini secara filosofis mendasari perbedaan konsep etika barat di satu pihak dengan konsep etika Islam yang diformulasikan Muthahhari dalam mengokohkan kritik-kritiknya terhadap kelemahan dan kerapuhan bangunan etika Barat.      
Salah satu agenda penting yang menunjukkan kerapuhan bangunan etika Barat adalah masalah klasik yang sering dibahas oleh tokoh etika Barat tentang manusia dapat dirumuskan dalam dua pertanyaan :
  1. Apakah karakteristik yang membedakan manusia dari binatang ?
  2. Apakah tabiat manusia itu baik atau buruk (jahat) ?

Descartes yang mengilhami kaum rasionalis menyatakan bahwa kelebihan manusia dari binatang adalah tabiat rasionalnya, kemampuan menilai dan memilih; kemudian ditunjang oleh kaum Neo-Freudian seperti Frankl, Adler, dan Jung yang menekankan aspek kesadaran manusia (daya kemauan dan daya nalarnya) ; kemudian digerakkan oleh kaum eksistensialis seperti Sartre, Buber, dan Tillich yang menyatakan bahwa kaum eksistensialis bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan yang dilakukannya. Psikologi humanistik melihat manusia memiliki kemampuan yang lebih tinggi daripada binatang. Manusia bukan saja digerakkan oleh dorongan biologis saja, tetapi juga oleh kebutuhan untuk mengembangkan dirinya sampai bentuk yang ideal untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Manusia merupakan makhluk yang unik; rasional, bertanggung jawab, dan memiliki kesadaran.
Betulkah anggapan Humanistik bahwa manusia itu rasional ? Apa yang dimaksud dengan rasional ? Bila yang dimaksud dengan rasional ialah kemampuan untuk memecahkan persoalan, tidakkah Simpanse Kohler juga rasional. Simpanse tersebut dapat menggapai pisang di atas atap kerangkengnya dengan menumpukkan peti yang berserakan, tepat di bawah pisang. Bagaimana pula tikus-tikus eksperimental yang berhasil melewati jebakan-jebakan yang berbelit-belit sebelum menemukan makanan-makanan ? Pada saat yang sama, bagaimana menjelaskan perilaku kaum politisi yang tidak rasional, konsumen yang membeli barang tanpa berpikir sehat, atau massa yang memilih partai tertentu karena kaitan emosional ?
Manusia merupakan makhluk yang bertanggung jawab. Bagaimana dengan anjing yang setia menunggu tuannya dan siap menerkam orang yang menggangu majikannya ? Bagaimana induk ayam yang melebarkan sayapnya ketika merasa anaknya terancam ? lalu bandingkan dengan seorang ibu yang melemparkan anaknya sendiri ke pinggir sungai, atau di tong sampah ? Atau korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh makhluk yang beradab di kantor-kantor pemerintah ? Bukankah Indonesia merupakan Negara terkorup ketiga di dunia.
Manusia adalah makhluk yang berkesadaran. Apakah kesadaran diri itu kemampuan untuk mempersepsi eksistensi dirinya ? Kalau ya, bagaimana dapat menjelaskan Gajah tua yang telah menyadari kematiannya hampir dekat, Gajah tersebut berjalan bermil-mil ke tempat pekuburannya ? Bandingkan dengan pendapat Paul Ramsey, teolog Princeton, yang menyatakan bahwa orang baru menjadi manusia pada usia satu tahun ketika manusia dapat berbicara dan menyadari siapa dirinya.
Jawaban kaum Humanis menurut Muthahhari belum seluruhnya memuaskan. Muthahhari menunjukkan bahwa pada diri manusia ada sifat kehewanan dan kemanusiaannya. Karakteristik khas dari kemanusiaannya ialah iman dan ilmu. Manusia mempunyai kecenderungan untuk menuju ke arah kebenaran-kebenaran dan wujud-wujud suci. Manusia tidak bisa hidup tanpa mensucikan dan memuja sesuatu.[23]    
Manusia juga mempunyai kecenderungan untuk memahami alam semesta, untuk menjelajah tempat-tempat yang berada di luar lingkungannya, seperti yang telah dicapai saat ini dari Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neplunus, dan Pluto. Manusia juga senang menjelajah ke masa lampau atau masa depan. Berdasarkan argumentasi di atas Muthahhari, menyimpulkan bahwa perbedaan paling penting dan mendasar antara manusia dan hewan atau makhluk lainnya terletak pada iman dan ilmu yang merupakan kriteria kemanusiaannya.[24]
Iman dan ilmu merupakan karakteristik kemanusiaan, memisahkan keduanya menurut Muthahhari dapat menurunkan martabat manusia. Iman tanpa ilmu mengakibatkan fanatisme dan kemunduran, takhayul, dan kebodohan. Ilmu tanpa iman akan digunakan untuk memuaskan kerakusan, kepongahan, ekspansionisme, ambisi, penindasan, perbudakan, penipuan, dan kecurangan. Muthahhari menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang memadukan iman dan ilmu.[25]
Apakah tabiat manusia itu baik atau buruk ? Sigmund Frued dengan tegas menjawab : Jahat. Pendapat Frued ini didukung oleh Toynbee yang dengan dukungan sejarah mengatakan bahwa “Tidak henti-hentinya ada getaran kekerasan dan kekejaman pada tabiat manusia”. Sifat manusia di samping agresif, juga bersifat rakus dan mementingkan diri sendiri (empirisme dan utilitarisme), manusia bertindak hanya untuk mencari kesenangan dan menghindari penderitaan (Hedonisme), manusia merupakan robot yang digerakkan nafsu seksual (Frued).
Tabiat manusia sebenarnya baik, ini konsep yang dikembangkan kaum Humanis (Rogers, Maslow, dan Alport). Pandangan yang sama juga dikemukakan kaum Romantisis (Rousseau), bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk bersahabat, bercinta, dan berkorban untuk kepentingan orang lain. Manusia yang dibiarkan hidup secara alamiah, akan hidup bersih dari segala macam kejahatan. Sayang, masyarakat merusak jiwa bersih ini.
Paham baru muncul berkaitan dengan kedua konsep di atas, bahwa manusia tidak baik dan tidak jahat. Lingkungan sosial yang membentuk karakter manusia, paham ini dianut aliran Behaviorisme (Watson, Skinner, dan Bandura). Pilihan yang diambil manusia menentukan wataknya, paham ini dianut Eksistensialisme (Sartre, Jaspers, Ortega, dan Kierkegraad).[26]
Berdasarkan pandangan Barat tentang karakteristik manusia di atas, Muthahhari berpendapat, manusia adalah makhluk yang paradoksal. Sifat baik dan sifat jahat ada pada diri manusia sekaligus. Sifat-sifat itu hanya merupakan hal-hal yang potensial. Berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya, manusia harus membentuk dirinya. Kemampuan membentuk diri merupakan ciri khas manusia, tidak ada makhluk lain yang memiliki kemampuan seperti itu. Pandangan Muthahhari tersebut dilandasi pemikirannya bahwa manusia bukanlah makhluk yang sudah ditentukan lebih dahulu, manusia adalah seperti yang dikehendaki.[27]
Muthahhari bukan seorang penganut paham eksistensialis seperti Sarter, Kierkegraad, atau Jaspers. Eksistensialisme dan humanisme bahkan dikritiknya. Muthahhari memang menolak filsafat Barat dan mempertahankan dirinya sebagai pengikut Madrasah Quraniyah. Aliran-aliran filsafat etika Barat disorotnya dengan tajam dan menjelaskan dengan fasih kebenaran Islam sebagai suatu mazhab pemikiran etika yang berlandaskan agama bukan rasio semata.
           
Penutup
Pandangan etika yang dikemukakan Muthahhari sekali lagi menegaskan konsistensinya bahwa ada perbedaan mendasar secara filosofis tentang landasan berpikir etika Barat yang hanya bertitik tolak pada kebenaran rasio semata dengan pandangan etika Islam yang bertitik tolak dari al-Quran dan Hadits yang dijiwai semangat falsafah Wilayat Faqih menuju keridhaan Allah SWT.
Seluruh kehidupan Murtadha Muthahhari telah dicurahkan untuk berjihad melalui pemikiran, pidato-pidato, tulisan-tulisan, kuliah-kuliahnya, dan keikutsertaannya dalam kancah sosial politik di negaranya Iran. Ruh semangatnya adalah mengembalikan negara Iran sesuai dengan konsep masyarakat Madani sebagai potret ideal bangunan negara Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. Cita-cita mulia tersebut memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang menuntut dirinya berbaur dan bersitegang dengan kebudayaan dan peradaban bangsanya yang menurutnya diambang kebobrokan moral akibat merasuknya pemikiran-pemikiran Barat di seluruh negeri. Perjuangan yang melelahkan sekaligus melegakan, karena meskipun sebentar Muthahhari dapat menghirup udara kebebasan bangsanya dari cengkeraman Barat.  
Malam hari, ketika Murtadha Muthahhari pulang dari pertemuan penting yang menyangkut urusan umatnya. Beberapa orang pemuda kelompok Furqon, penentang Imam Khumaeni, yang tidak melihat perbendaharaan ilmu pada orang tua bercambang dan berkacamata tebal itu, menghujaninya dengan peluru. Tubuh manusia bijak ini tergeletak bersimbah darah. Dengan kematiannya, Iran menetapkan hari guru untuk menghormati dedikasi yang disembahkan untuk bangsanya. Muthahhari lahir, berjihad, dan syahid.

__________________________

[1] Murtadha Muthahhari, Falsafah Pergerakan Islam, Cet; I, (Jakarta : Amanah Press, 1988) hlm. 96
[2] Murtadha Muthahhari, Man and Universe. Diterj, Ilyas Hasan,  Manusia dan Alam Semesta (Jakarta: Lentera, 2002), hlm. 1.
[3] Murtadha Muthahhari, Falsafah Pergerakan Islam (Jakarta: Amanah Press, 1988) hlm. 96
[4] Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi, (Jakarta : Lentera, 2001), hlm. 22.
[5] Haidar Bagir, Murtadha Muthahhari Sang Mujahid Sang Mujtahid, cet. 2 (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1993), hlm. 17
[6] Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, (Yogyakarta : UGM Press, 1996), hlm. 15.
[7] Murtadha Muthahhari, Falasafah Akhlak, Op. Cit., hlm. 33.
[8]  Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta : Gramedia, 2004), hlm. 149
[9] Uli Cahyadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, (Jakarta : Kanisius, 2007), hlm. 50.
[10] Murtadha Muthahhari, Filsafat Akhlak, Op. Cit., hlm. 112.
[11] Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, (Bandung : Mizan, 1992), hlm. 16-17.
[12] Ibid, hlm. 19.
[13] Murtadha Muthahhari, Etika Seksual dalam Islam, (Jakarta : Lentera Basritama, 1996), hlm. 24.
[14] Ibid.
[15] Ibid, hlm. 37-38.
[16] Ibid, hlm. 23.         
[17] Ibid, hlm.  41-42
[18] Ibid.
[19] Ibid, hlm. 44-45.
[20] Ibid, hlm. 49.
[21] Suparman Syukur, dkk, Islam Agama Santun, (Semarang : RaSail, 2011), hlm. 108
[22] Suparman Syukur, Etika Religius, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 5
[23] Murtadha Muthahhari, Bedah Tuntas Fitrah, Mengenal Jati Diri, Hakikat dan Potensi Kita, (Jakarta : Citra, 2011), hlm. 15.
[24]  Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Quran tentang Manusia dan Agama, (1992), hlm. 30.
[25] Ibid.
[26] Ibid, hlm. 31-32  
[27] Ibid.  

Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar