Jumat, 17 Februari 2012

Hasyim Muhammad: Dialog antara Tasawuf dan Psikologi

Penulis buku: Hasyim Muhammad, M.Ag.; Judul buku: Dialog antara Tasawuf dan Psikologi (Telaah atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow); Editor: M. Adib Abdushomad, GJA; Desain cover: A. Choiran Marzuki; Penerbit: Kerjasama Walisongo Press Semarang dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta; Cetakan Pertama: Oktober 2002; Jumlah halaman: xxiv + 184; Ukuran buku: 14x20 cm.

Penulis buku ini mencoba melakukan terobosan baru mengkombinasikan jawaban antara tasawuf dan psikologi secara bersamaan. Menurutnya, selama ini discourse antara tasawuf dan psikologi masih berjalan sendiri-sendiri (lin­ear)—untuk tidak mengatakan ada dikotomi—atau wilayah sendiri-sendiri antar keduanya. Tasawuf ditempatkan sebagai barisan dari disiplin ilmu keagamaan yang lebih bersifat adikodrati sehingga hanya mungkin didekati dengan pendekatan spiritual, sedangkan psikologi dianggap sebagai entitas dari representasi keilmuwan yang bersifat empiris-realistis yang tentu tidak nyambung (disconnected) dengan tasawuf. Penulis mencoba meminimalisir jarak dengan mendialogkan antar keduanya.
Hubungan dialektik antara kedua disiplin ini dapat dilihat dalam bab-bab berikut dalam buku ini, yang ber­upaya mengkompromikan antara pemikiran tasawuf mengenai perjalanan spiritual manusia menuju kesempurnaan dengan teori psikologi humanistik transpersonal yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Pada bab kedua dalam buku ini akan secara khusus mengkaji konsep ahwal dan maqamat, sebagaimana pemikiran para ahli tasawuf secara umum. Sehingga pada tahap ini akan mendapatkan gambaran secara utuh mengenai konsep perjalanan spiritual dalam tasawuf, sebagai jalan seseorang untuk mencapai kesempurnaan.
Selanjutnya pada bab ketiga, akan diikuti uraian tentang psikologi humanistik Abraham H. Maslow, yang berisikan teori tentang kebutuhan dasar (basic needs), aktualisasi diri (self-actualization), dan pengalaman pengalaman puncak (peak-experience). Sehingga akan didapatkan gambaran secara jelas tentang kedua teori.
Pada bab keempat penulis secara khusus melakukan teropongan, sejauh manakah relasi antara taswuf dan psiko­logi dengan mengambil sampel perbandingan antara maqmat dan ahwal dengan teori psikologi humanistik Abraham Maslow. Selanjutnya bab kelima merupakan penutup yang isinya adalah rangkuman atau simpulan dari point-point penting seputar potensi aktualisasi diri yang sampai pada tingkat puncak (peak experience) atau pengalaman mistik antara proses tasawuf dan psikologi.
Pada buku ini penulis menambahkan apendik yang berisi tambahan wacana seputar psikologi Transpersonal Abraham Maslow sebagai mazhab keempat setelah pe-ngembangan psikologi Humanistiknya Maslow begitu pula diungkap karakter manusia sempurnanya perspektif Abu Yazid Al-Bistami.
Dalam kata pengantar buku ini oleh Prof. Dr. Amin Syukur, MA, menyatakan bahwa pandangan tasawuf, jika manusia ingin meraih derajat kesempurnaan (al-insan al-kamil) atau dalam ungkapan lain disebut ma'rifat (pengetahuan ketuhanan) di mana dimensi ketuhanan (uluhiyyah) teraktualisasikan secara penuh, manusia harus melalui proses latihan spiri­tual yang disebut takhalli / zero mind process (mengosongkan diri dari segala keburukan atau kejahatan), tahalli / charac­ter building (menghiasi diri dengan perilaku baik) dan tajalli / God spot (kondisi di mana kualitas ilahiyyah ter­aktualisasikan atau termanifestasikan). Konsep ini sejalan dengan firman Allah yang menyatakan: "Maka Aku ilhamkan (dalam diri manusia) potensi kejahatannya dan kebaikannya. Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikannya dan sungguh celaka orang-orang yang mengotorinya." (QS. al-Syams; 8-10). Dengan kata lain, jika manusia menginginkan aktualisasi diri, maka ia harus senantiasa memilih potensi kebaikan yang ada dalam dirinya dan menghindarkan diri sejauh mungkin dari potensi kejahatan. Jika pilihan-pilihan baik ini dapat secara konsisten di-lakukan, ia akan semakin mendekati derajat kesempurnaan. Begitu pula sebaliknya, jika ia selalu memilih ke­jahatan, ia akan semakin jauh dari kesempurnaan.
Penulis mencoba memberikan sugesti seharusnya para ilmuan juga terbuka untuk memberikan peluang dialog epistemologis antara kedua disiplin ini, selain berusaha mengkaji agama secara ilmiah. Karena di abad modern ini, kesiapan untuk berdialog secara epis­temologis merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar lagi. Dialog epistemologis merupakan awal dari upaya merekonstruksi kajian keagamaan dalam tataran aksiologis.
Penulis kemudian menunjukkan satu tema yang sering menjadi sentral kajian keilmuan tersebut, khususnya psikologi dan filsafat, adalah tentang manusia sempurna. Yakni yang berupaya menjawab pertanyaan bagaimanakah wujud ideal atau wujud kesempurnaan manusia? Dan bagaimana cara mencapai wujud yang ideal itu? Dari dua pertanyaan inilah yang kemudian memunculkan banyak aliran dan pandangan dari berbagai disiplin ilmu yang berupaya menjawabnya. Dalam tradisi filsafat kemudian memunculkan istilah su­perman atau overman, yang dikembangkan dalam tradisi arab Islam dengan istilah insan kamil, sebagai sebutan bagi sosok manusia yang mencapai derajat kesempurnaan.
Penulis menambahkan informasi bahwa perdebatan tentang manusia tidak pernah usai bahkan sampai munculnya psikologi, sebagai disiplin ilmu yang mengkaji tentang manusia secara lebih kompre-hensip. Dari disiplin ilmu psikologi inilah, khususnya psikologi transpersonal, banyak ditemukan teori-teori yang serupa dengan teori-teori yang banyak dikemukakan dalam disiplin ilmu tasawuf. Psikologi transpersonal banyak mengungkap tentang karakter manusia ideal atau manusia sempurna dan jalan yang harus ditempuh untuk meraihnya, demikian halnya juga dalam disiplin tasawuf. Karakter kesempurnaan atau idealitas manusia yang di-sebut dalam psikologi transpersonal juga banyak memiliki keserupaan dengan karakter yang ada dalam tasawuf sebagaimana diungkapkan dalam teori tentang maqamat dan ahwal. (hlm. 6)
Dalam bahasa tasawuf—mengambil ide Underhill maupun Ghazali—penulis menyebutkan bahwa maqamat mempunyai tiga tahapan proses pembelajaran untuk sampai kepada tujuan ideal sufistik. Pertama, mengosongkan dan membersihkan diri dari sifat-sifat keduniawian yang tercela, yang disebut takhalli. Kedua, mengisi kembali dan menghias jiwa dengan jalan membiasakan diri dengan sifat, sikap, dan perbuatan yang baik, atau lebih dikenal dengan istilah tahalli. Ketiga, lenyapnya sifat-sifat kemanusiaan yang digantikan dengan sifat-sifat ketuhanan (tajalli). (hlm. 9)
Hingga penulis mencoba menggambarkan konsekuensi psikologis yang akan diraih oleh seseorang ketika menapaki maqam atau mengalami hal adalah terbebasnya seseorang dari perasaan risau dan cemas. Sehingga selanjutnya yang ada adalah perasaan kegembiraan, hati merasa dekat (qurb), penuh rasa cinta dan mencintai (hubb), penuh pengharapan dan optimistis (raja'), penuh ketenangan (tuma'ninah) dan berserah diri (tawakkal).
Penulis menyebutkan pandangan Abraham Maslow bahwa orang yang mengaktualisasikan dirinya tidak lagi membedakan secara dikotomis antara baik dan buruk. Karena mereka akan dengan konsisten memilih nilai-nilai luhur, dan dengan mudah mereka melakukannya. Dikotomi antara baik dan buruk hanyalah berlaku bagi mereka yang tidak konsisten dengan dirinya sendiri. (hlm. 12)
Penulis juga menyebutkan hal yang menarik dari penelitian Abraham Maslow, bahwa hanya ada seorang yang mengaktualisasikan diri dengan argumentasi religius ortodoks. Meskipun semuanya (kecuali yang atheis), percaya pada nilai-nilai spiri­tual alam semesta. Hampir semuanya memiliki pandangan jelas mengenai benar dan salah, berdasarkan "pengalaman pribadi" mereka sendiri. Namun diakui Abraham Maslow bahwa nilai-nilai universal yang ada pada orang-orang yang mampu mengaktualisasikan diri pada umumnya serupa dengan doktrin agama-agama besar.
Penulis buku ini menyebutkan bahwa Maslow termasuk psikolog profesional yang banyak mengkaji masalah seksualitas dan penyimpangan-penyimpangannya. Karena baginya masalah seksualitas merupakan hal yang substansial dalam kajian tentang kehidupan manusia. Sejak itu ia mulai mengagumi pemikiran behavioris-me, yang dikemukakan oleh Watson. Bahkan ia menganggap bahwa pemikiran behaviorisme inilah yang dapat memberikan jawaban atas problem-problem kehidupan. Namun anggapannya ini berbalik dan beralih pada pe-mikiran psikoanalisis Freud dan Gestalt ketika ia menemu-kan kasus yang bersifat pribadi sejak kelahiran anak pertamanya. Bahkan ia sampai pada kesimpulan bahwa jika seseorang memiliki sendiri seorang anak, tidak mungkin ia mengikuti teori behaviorisme. (hlm. 67)
Dalam melihat tingkah laku manusia, penulis menghadirkan asumsi dasar Maslow, bahwa tingkah laku manusia dapat ditelaah melalui kecenderungannya dalam memenuhi ke­butuhan hidup, sehingga bermakna dan terpuaskan. Untuk itu Maslow menempatkan motivasi dasar manusia sebagai sentral teorinya. (hlm. 70)
Lanjutnya, penulis juga menghadirlan gagasan Maslow, bahwa manusia dimotivasi oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, tidak berubah, dan berasal dari sumber genetik atau naluriah. Kebutuhan dasar tersebut tersusun secara hirarkhis dalam lima strata yang bersifat relatif, yaitu: (a) Kebutuhan-kebutuhan fisiologis (fa'ali); (b) Kebutuhan akan keselamatan; (c) Kebutuhan akan rasa aman; (d) Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki; (e) Kebutuhan akan aktualisasi diri.
Kajian tentang kebutuhan dasar, kebutuhan fisiologis (phisiological needs) merupakan ke­butuhan yang berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup manusia, sehingga pemuasannya tidak dapat ditunda. Konsep Maslow tentang kebutuhan fisiologis ini, sekaligus merupakan jawaban terhadap pandangan behaviorisme, bahwa satu-satunya motivasi tingkah-laku seseorang adalah kebutuhan fisiologis. Bagi Maslow, konsep ini dapat hanya berlaku jika kebutuhan fisiologis belum dapat terpenuhi. Jika kebutuhan-kebutuhan fisiologis telah terpenuhi, seorang individu akan menuntut kebutuhan lain yang lebih tinggi, begitu seterusnya.

Dari uraian yang telah dikemukakan dalam buku ini, penulis menemukan bahwa di antara kedua teori tersebut, terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan. Baik konsep tasawuf maupun Abraham Maslow memandang bahwa meskipun manusia memiliki potensi dasar berupa kecenderungan pada kebenaran dan ke­baikan, namun ia dapat dipengaruhi oleh rangsangan-rangsangan yang datang dari luar dirinya, yang dapat mengarahkannya pada kejahatan, atau kemunduran. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan maju (progression choise), dengan mempertahan-kan potensi dasarnya, atau mundur (regression choise), yakni dengan memilih rangsangan-rangsangan yang datang dari luar. Jika seseorang didominasi oleh rangsangan-rangsangan yang datang dari luar maka akan dapat menjauhkannya dari potensi kebaikan yang dimiliki-nya. Namun jika ia memilih bertahan pada kecenderungan baiknya maka akan mengarahkannya pada aktualisasi diri. Dalam pandangan tasawuf seseorang senantiasa menjatuhkan pilihannya pada kebaikan, akan mencapai derajat-derajat spritual tertentu yang diistilahkan dengan maqamat dan ahwal. (hlm. 134)
Dari beberapa karakter para ahli tasawuf tentang maqamat dan ahwal, serta karakter self-actualization, metamotivation dan peak-experience yang dikemukakan oleh Maslow juga terdapat kesamaan-kesamaan. Penulis buku ini memberikan contoh: kesederhanaan, kesabaran, menerima kodrat apa adanya, kerelaan, kreatif, suka cita, kesatuan, ketahanan terhadap pengaruh budaya, efisien, terpusat pada persoalan, kemandirian, kesegaran apresiasi, kesadaran sosial, demokratis, membedakan antara proses dan tujuan, merasa cukup, ketulusan, optimis, percaya diri, dan Iain-lain. Karakter-karakter tersebut dapat ditemukan, baik dalam maqamat, ahwal, self-actualization, peak-experience, dan metamotivation. Hanya saja, secara teoritis, masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Lebih dari itu, baik tasawuf maupun Maslow memandang bahwa keseluruhan karakter di atas adalah berpijak pada pengalaman yang bersifat pribadi. Sehingga ukuran dari masing-masing juga bersifat pribadi. Meskipun, ada beberapa segi yang bisa diamati orang lain.
Perbedaan yang sangat mendasar antara kedua konsep tersebut adalah pada tujuan akhir (the final goal). Tujuan akhir dari pengalaman sufi adalah ketauhidan yang murni (shafa al-tauhid). Sehingga kesempurnaan di manusia ditentukan oleh ketauhidannya. Berbeda dengan teori psikologi humanistik Maslow, yang menjadikan aktualisasi diri sebagai tujuannya. Ma'rifatullah (mengenal Allah) atau kasf al-Ilahi sebagai puncak ajarannya, adalah sumber kebahagiaan, kedamaian, suka cita, kekuatan, dan segala kebaikan pada diri manusia. Sementara Maslow meliharnya sebagai wujud berfungsinya potensi manusia secara penuh. [Admin]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar