Kamis, 16 Februari 2012

Abdulaziz Sachedina: Beda Tapi Setara, Pandangan Islam tentang Non-Islam


Penulis buku: Abdulaziz Sachedina; Judul buku: Beda Tapi Setara, Pandangan Islam tentang Non-Islam; Penerjemah: Satrio Wahono; Editor: Qomaruddin SF; Tata Letak: Dinan Hasbudin AR; Penerbit: PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta; Cetakan Kedua: Maret 2004; Jumlah halaman: 248; Ukuran buku: 14x20 cm.

Buku ini berusaha memetakan beberapa konsep politik Islam terpenting yang bercita-cita mewujudkan hubungan manusia yang lebih baik, baik dalam bangsa maupun antarbangsa. Buku ini bertujuan menguak aspek normatif formulasi religius kaum muslim dan menentukan secara khusus penerapannya dalam berbagai kultur, sehingga bisa diperoleh relevansi kritis formulasi itu bagi tatanan dunia pluralistis di abad ke-21. Penulis mempertanyakan kurangnya analisis mendalam mengenai konsep pluralisme religius di antara berbagai kelompok muslim berorientasikan agama. Analisis semacam itu akan memungkinkan kelompok-kelompok itu mengambil sikap prinsipil dalam menghadapi berbagai rujukan ahistoris dan analisis doktrin-legal terhadap kebebasan beragama dan partisipasi politik dalam Islam. Kurangnya minat terhadap pluralism agama dan terhadap hubungan intrinsiknya dengan pemerintahan demokratis telah mencegah terwujudnya pemulihan memadai menuju hubungan antarpribadi dan antarmasyarakat di dunia Islam.
Tujuan penulis di sini bukanlah mengagung-agungkan masa lampau Islam, melainkan untuk mengingatkan, merunut jalannya, menafsirkan, merekonstruksi, dan merelevansikannya untuk masa sekarang. Hanya dengan mengingat masa lampu secara obyektiflah pembaca nantinya akan memperoleh perspektif yang lebih jernih dan kritis dalam meneropong masa kini. Tidaklah mengejutkan bahwa negara-negara Islam modern berusaha untuk mengendalikan masa lalu dengan menulis ulang sejarah, atau dengan melupakannya melalui usaha pemusnahan ingatan itu secara total. Kaum muslim, terombang-ambing di masa kini dan tercerabut dari masa lalu mereka, menjadi lebih gampang dimanipulasi dan menjadi mangsa empuk. Penulis harap usaha melacak dan membangkitkan aspek masa lampau yang relevan ini akan membantu kaum muslim untuk melawan batasan-batasan politik absurd parokial masa kini yang berbahaya.
Penulis membagi buku ini pada lima bagian, yakni: 1) mencari akar pluralism demokratis dalam Islam; 2) manusia adalah satu umat; 3) berlomba-lomba dalam kebajikan; 4) pengampunan bagi umat manusia; dan 5) epilog.
Dalam buku ini, penulis menanggapi artikel berjudul “The Ring: On Religious Pluralism” yang menganggap negatif sumber-sumber Islam dalam konteks tiga tradisi monoteistis. Penulis menemukan kerangka antipluralisnya yang berguna untuk mengungkapkan teologi Quranik pluralistis tentang kaum lain. Berdasarkan realitas historis relasi dialektis antar tiga umat beragama di bawah dominasi politik Islam, penulis bersiteguh, baik secara normatif dan empiris, bahwa tetap ada kemungkinan pluralistic untuk mewujudkan hubungan yang adil antara umat beragama Ibrahimi di masa kini. (hlm. 71)
Pluralisme agama menuntut adanya keterlibatan aktif dengan kaum agama lain, dalam arti bukan sekadar toleransi, melainkan memahami. Toleransi tidak memerlukan keterlibatan aktif dengan kaum lain. Toleransi tidak membantu meredakan sikap acuh tak acuh sesama umat beragama.
Penulis menambahkan bahwa Alquran menggambarkan pluralism agama sebagai satu misteri ilahi yang harus diterima sebagai suatu karunia untuk memuluskan hubungan antarumat di wilayah publik. Selain itu, Alquran menampilkan pandangan teologisnya terhadap kaum lain dalam bentuk model etis yang bisa mengembangkan suatu paradigm kerja menuju masyarakat ideal.
Ringkasnya, pluralism agama berarti mengakui nilai intrinsic penyelamatan dari tradisi-tradisi agama yang berbeda. Namun, tentu saja lumrah jika kepercayaan dan nilai penting dari satu agama akan bertentangan dengan kepercayaan dan nilai penting dari agama lain. Di sinilah terbayang potensi memunculnya konflik dan kekerasan jika ajaran-ajaran agama diamalkan dalam wilayah politik tanpa dilengkapi dengan kebijaksanaan praktis. (hlm. 72)
Penulis juga mencoba menunjukkan argumen dalam buku ini bahwa pandangan umum di antara kelompok agama adalah hanya ada satu agama dan tradisi-tradisi lainnya salah dan tidak berharga. Argumen antipluralis ini muncul di tengah kenyataan adanya perbedaan agama manusia. Problem antipluralis bisa dirumuskan seperti berikut: “suatu agama yang didasarkan pada kebenaran wahyu utama yang menyelamatkan tidak akan bisa memandang agama lain yang mengingkari kebenaran itu sebagai agama yang berharga.” Jadi, setiap agama memandang dirinya sebagai satu-satunya agama sejati dan memandang agama lain tidak bernilai. Dengan kata lain, tidak ada ruang bagi pluralisme agama.
Penulis menyatakan bahwa pluralisme agama manusia digarisbawahi dalam surah terkenal berjudul al-Kafirun: Katakanlah, "Hai orang-orang kafir. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah. Dan aku bukan penyembah sebagaimana kamu menyembah. Dan kamu juga bukan penyembah sebagaimana aku menyembah. Untuk kamu agama kamu, dan untukku agamaku!" (Q.S. [109]: 1-6)
Kutipan ayat ini berada dalam bentuk wahyu proposisional yang disampaikan kepada umat manusia melalui sarana yang tidak lazim dalam alam. Menurut Alquran, meskipun wahyu Tuhan bisa turun dalam berbagai bentuk, wahyu yang disampaikan melalui bahasa itu hampir pasti bersifat proposisional. Suatu proposisi menunjukkan maksud sang pembicara sehubungan dengan atribusi negatif atau positif Maka, makna proposisi, seperti makna pernyataan deklaratif (khabariyyah) yang bertujuan memastikan atau menolak keberadaan suatu benda sesuai dengan situasinya, hanya terdiri dari ujaran-ujaran yang terdiri atas tanda-tanda yang dipahami. Namun, wahyu juga mencakup kalimat-kalimat perintah (amr) yang memerintahkan untuk mematuhi firman-firman Tuhan. Kalimat imperatif dan indikatif dalam wahyu merupakan wahyu proposisional. Artinya, kalimat itu dianggap sebagai ungkapan dari kehendak Tuhan. Menurut Alquran, kehendak Tuhan merupakan penggerak sejarah manusia. Tidak ada yang bergerak tanpa kehendak Tuhan, "Tetapi tidak akan kamu bisa, melainkan jika dikehendaki oleh Allah, Yang Menguasai sekalian alam" (Q.S. al-Takwir [81]: 29). Perjumpaan multidimensional dengan Tuhan Mahahidup dalam Alquran menyiratkan bahwa mes­kipun pengalaman kewahyuan bisa dirumuskan dalam bahasa proposisional—yang terbuka untuk dipercaya atau tidak dipercaya oleh manusia—namun apa yang pada akhirnya dianggap sebagai wahyu oleh umat beragama adalah pengalaman individu terhadap sesuatu yang dipercayai, dan bukan terhadap sesuatu yang dinyatakan sebagai
kepercayaan doktrinal.
Penulis telah mencoba menunjukkan akar-akar pluralisme demokratis dalam Islam tentang teologi kaum lain dalam Alquran. Yang pasti, suatu penilaian teologis tentang kaum beragama lain dan tentang posisinya dalam wilayah tatanan publik etis sebaiknya ditemukan melalui dialog antaragama dan intraagama. Namun, setelah berabad-abad proses pencarian, kita masih kekurangan peranti intelektual untuk membangun teologi pendekatan antara agama-agama dunia. Prasyarat untuk wacana antaragama ini, yang jauh di luar jangkauan institusi akademis, adalah dengan membuang prasangka berabad-abad terhadap kaum lain yang telah menggumpal menjadi agama-agama monoteistis eksklusif—suatu hal yang membuat kita jengah. Dengan mempersembahkan suatu hermeneutika antaragama berdasarkan sifat pluralistis yang inheren dalam wahyu bagi pelbagai umat beragama, ada harapan kita bisa belajar memahami dan menghormati orang lain sebagaimana apa adanya dan bukan apa yang seharusnya menurut kita (muslim).
Wacana inklusif semacam ini harus dimulai dengan suatu percakapan tulus dan terbuka atau dengan suatu dialog kritis—keterlibatan muslim dengan kaum lain. Penulis memang setuju bahwa usaha patriotis beberapa kaum agamawan untuk hidup lurus berdasarkan satu agama sejati—yaitu tradisi mereka sendiri—telah melebarkan jurang antara agama-agama. Antipati semacam itu dengan mudah disulut oleh sekeranjang gambaran-gambaran media yang dangkal, instan, dan vulgar, tentang kaum agama dan budaya lain. Kecenderungan eksklusifis yang dipropagandakan oleh kaum ekstremis dan etnosentris agama semakin meluas "atas nama Tuhan." (hlm. 79)
Segala dialog serius antara umat-umat beragama harus didasarkan pada ajaran-ajaran normatif masing-masing. Sebab, pada akhirnya tuntunan wahyu itulah yang mengatur kemungkinan-kemungkinan bagi adanya hubungan antaragama di antara umat-umat dengan tradisi doktrinal yang berbeda. Sebagaimana penulis tunjukkan di buku ini, kecenderungan hermeneutis sumber-sumber normatif ini, yang sebenarnya mengakui adanya pluralitas dalam respons manusia terhadap Tuhan, adalah untuk membatasi penyelamatan kepada orang-orang yang berada dalam batasan kredo mereka sendiri. Sikap antipluralis terhadap orang yang berada di luar komunitas agama seseorang menghasilkan hubungan antaragama—dan intraagama—yang, sebaik-baiknya, saling bertahan, dan sejelek-jeleknya menyulut konflik, serta tak akan pernah menumbuhkan sikap saling menghormati.
Sepanjang buku ini, penulis telah menekankan peranan agama dalam menumbuhkan norma, sikap, dan nilai yang bisa meningkatkan hubungan damai antara berbagai komunitas etnis dan agama. Sejumlah studi sosiologis dan antropologis telah menunjukkan potensi pandangan dunia keagamaan untuk mengurangi ketegangan dan memberikan solusi nonkekerasan terhadap konflik dalam konteks budaya yang berbeda. Ini terutama berlaku bagi tradisi-tradisi, seperti Islam, yang telah mengungkapkan gagasan pemerintah yang bertanggung jawab sebagai satu prasyarat bagi tatanan publik etis. Penggunaan otoritas tanpa tanggung jawab bertentangan dengan konsep "menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan." Menurut para ulama, perintah ini—yang menuntut otoritas muslim untuk berupaya secara aktif demi kebaikan seluruh umat—dilandaskan terutama pada rasio dan diteguhkan dalam Alquran (Q.S Alu 'Imran [3]: 104, 110, 114). Untuk meraih tujuan ini, seseorang, harus menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan dengan hati, lidah, dan tangannya. Meskipun kewajiban ini bisa ditunaikan oleh setiap orang beriman dengan hati dan lidah, namun penggunaan kekuatan hanya bisa dilakukan oleh negara. Karena penggunaan kekuatan bisa berakibat pada pertumpahan darah, penggunaan ke kuatan itu haruslah bisa menjamin terciptanya hasil yang diinginkan Selain itu, kewajiban amar makruf nahi mungkar yang telah mem berikan dasar gagasan suatu tatanan publik Islam itu mampu memediasi antara kekuatan negara dan kebutuhan manusia akan keadilan. Dengan tersedianya justifikasi moral dan religius bagi negara untuk membenarkan penggunaan kekuatan fisik, konsentrasi ke kuatan pada segelintir tangan beserta penyalahgunaannya adalah bahaya yang lebih mungkin terjadi dalam negara ideologis dibandingkan dalam negara nonideologis. Masyarakat politik muslim awal didasarkan pada kepercayaan religius yang menuntut sejenis keseragaman dan konsistensi di antara anggotanya. Tuntutan ini pada hakikatnya mengecualikan orang-orang yang tidak merasa memiliki norma dan institusi umat yang direpresentasikan oleh negara. Tergantung kepada orang-orang yang berkuasa, anggota dari umat agama lain yang hidup di antara kaum muslim dihalangi untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sipil di mana negara mengklaim akan melindungi. (hlm. 190)
Penulis telah berusaha mengevaluasi tantangan sebuah bentuk pemerintahan Islam sebagai suatu alternatif bagi sistem-sistem modern. Inti permasalahannya, sebagaimana penulis tunjukkan, adalah sikap antipluralis yang dianut kaum muslim fundamentalis yang memimpin—atau ingin memimpin—pemerintahan Islam dalam negara-bangsa modern. Subjek perkembangan masyarakat madani di dunia Islam menarik banyak perhatian para intelektual Islam di Timur Tengah. Namun, hanya sedikit intelektual Sunni dari institusi-institusi ilmu keislaman tradisional yang berpartisipasi dalam upaya akademis ini, yang berusaha mengidentifikasi, dan menganalisis dan menggali akar-akar pluralisme demokratis agama yang dapat digunakan untuk mengabsahkan ide-ide sekular modern mengenai nilai-nilai kewarganegaraan dalam kultur politik Islam. Situasinya agak berbeda dengan para intelektual Syiah di Iran. Mereka mengkritik tajam literatur Barat mengenai masalah-masalah ini untuk membuktikan kesahihan sekaligus keunggulan nilai-nilai politik Islam. Namun demikian, wacana agama mengenai pluralisme atau demokrasi sering kali tetap bersikap kritis terhadap upaya-upaya akademis oleh kaum akademis ini yang menyetujui pandangan imperialis Barat mengenai Islam sebagai agama yang tidak memadai untuk melaksanakan tugas mengelola suatu negara-bangsa modern. Selain itu, menurut para pendukung alternatif Islam, kritik internal berbasiskan Barat ini semakin melanggengkan cengkraman ideologis sekuler Barat terhadap kaum muslim.
Imperatif atau perintah Alquran bagi umat manusia untuk mengikuti fitrahnya merupakan perintah etis yang didasarkan pada objektivitas kebaikan dan kejahatan. Pengetahuan etis ini dipagari dengan keimanan kepada sumber dari segala pengetahuan manusia, yaitu Tuhan. Maka, kriteria umat terbaik adalah kriteria etis sekaligus religius: etis dalam hal menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan, dan religius dalam hal memandatkan untuk percaya kepada Tuhan. Aspek etis ditentukan berdasarkan tanggung jawab sosial-etis kepada manusia lain, sedangkan tindakan percaya atau mengimani itu sangat bersifat pribadi. Meskipun pemenuhan kebutuhan etis kaum lain membenarkan dan bahkan menuntut adanya struktur-struktur institusional seperti agen-agen pemerintahan yang bisa menggunakan kekuatan yang memadai untuk menjamin keadilan dan kebenaran dalam seluruh konteks hubungan antar-pribadi, kewajiban keimanan diri sendiri (self-regarding) didasarkan pada satu pendekatan non-intervesionis. Ini adalah hubungan individu yang tak diperantarai, yaitu perjanjian antara Tuhan dan manusia. Saat agama itu dipaksakan, maka yang muncul adalah kemunafikan. (hlm. 233)
Pada titik ini, umat terbaik menghadapi tantangan terbesarnya: Bagaimana ia bisa menciptakan satu masyarakat politik inklusif jika prinsip pemandu identitas kolektifnya semata-mata dilandaskan pada doktrin agama bersama? Bagaimana dengan peringatan berulang kali Alquran bahwa jika Tuhan menghendaki, "semua manusia di muka bumi akan beriman, dan bahwa manusia tidak bisa dipaksa "untuk beriman" (Q.S. Yunus [10]: 99)? Apakah ini tidak kontradiktif de­ngan penekanan pada satu doktrin agama bersama yang komprehensif dalam suatu masyarakat politik? Mengingat adanya logika kebajikan ilahi dalam memberikan manusia kebebasan beriman, maka menjadi sulit dibayangkan bahwa fondasi masyarakat yang adil di bawah umat "terbaik" harus didasarkan pada satu konsep eks­klusif mengenai wajibnya manusia untuk beragama sama.
Alquran dengan tajam mengkritik klaim eksklusif umat-umat pra-Quranik, yang menimbulkan permusuhan antara sesama umat tersebut dan mengakibatkan kehancuran kehidupan, termasuk kehidupan para rasul Allah, yang secara zalim terbunuh ketika me-nyeru manusia untuk melayani tujuan Ilahi. Sebenarnya, untuk meredakan efek negatif dari perilaku semacam itu, Alquran kembali kepada sumber tradisi monoteistis, yaitu "tunduk kepada kehendak Tuhan." Pada hakikatnya dan pada dasarnya, penerimaan terhadap Pencipta yang samalah yang menentukan kesamaan spiritual dari para pengikut tradisi agama yang berbeda. Namun demikian, pluralisme berpusatkan-Tuhan dari Alquran ini mengalami konflik dengan pengalaman-relatif-historis masyarakat politik baru yang menganggap sistemnya sendirilah yang terbaik. Konseptualisasi eksklusif terhadap Islam historis ini terbukti menjadi titik gerak menjauh dari umat awal, dan memberikan identitas khusus Islam historis sebagai umat Islam, dan juga terbukti menjadi awal-mula dialog di dalam umat Islam mengenai perintah Alquran untuk menciptakan suatu tatanan inklusif yang adil di bawah wahyu. Makna penting yang diberikan kepada kewajiban moral untuk menganjurkan kebaikan dan mencegah kejahatan dalam Q.S. Alu 'Imran [3]: 110 menunjukkan cara Alquran memandang etika sebagai dasar bagi kerja sama antaragama, dalam suatu masyarakat madani yang berorientasikan religius, dengan tanggung jawab bersama untuk mewujudkan ke-sejahteraan moral manusia.
Tesis bahwa Islam tidak membedakan antara ranah politik dan agama perlu direvisi sebagaimana telah dipaparkan dalam karya ini. Bahkan, syariat mengasumsikan adanya perbedaan antara spiritual dan duniawi. Sebab, syariat terdiri atas hubungan Tuhan-manusia (ibadah) dan hubungan antarmanusia (mu'amalah). Hubungan Tuhan-manusia didasarkan pada otonomi individu dan agensi moral yang diatur oleh satu rasa tanggung jawab hanya terhadap Tuhan dalam segala tindakan dan pelanggaran. Sebaliknya, hubungan antarmanusia didasarkan pada satu kehidupan sosial-politik individual dan kolektif; dengan tanggung jawab pribadi dan sosial sebagai sarana untuk mencapai keadilan dan kebenaran dalam hubungan sesama manusia. [Admin]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar