Kamis, 16 Februari 2012

Ahmad Anas: Menguak Pengalaman Sufistik: Pengalaman Keagamaan Jamaah Maulid al-Diba’ Girikusumo


Penulis buku: Ahmad Anas; Judul buku: Menguak Pengalaman Sufistik: Pengalaman Keagamaan Jamaah Maulid al-Diba’ Girikusumo; Editor: M. Adib Abdushomad, GJA; Desain cover: A. Choiran Marzuki; Penerbit: Kerjasama Walisongo Press Semarang dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta; Cetakan Pertama: November 2003; Jumlah halaman: xviii + 242; Ukuran buku: 14x20 cm.

Buku ini mengkaji tentang masalah proses pelaksanaan ritual pembacan kitab Maulid al-Diba' karya sastra sufi Syekh 'Abd al-Rahman al-Diba'i, yang dilaksanakan secara rutin di pondok pesantren al-Riyadh Girikusumo, Demak, yarig dikaitkan dengan pengalaman keagaman jamaahnya. Secara khusus studi ini akan mengkaji pengalaman keagamaan apa yang diperoleh jamaah, serta pengaruh kesufian, bagaimana yang terdapat dalam pribadi jamaah dari ritual tersebut, dalam perspektif sufisme.
Dalam rangka mengelaborasi permasalahan tersebut, guna mendapatkan jawaban yang ideal, penulis melakukan pola penelitian deskriptif, serta metode field research yang menekankan penggalian data participant observation, sehingga buku ini berusaha memberikan jawaban atas persoalan pokok tersebut.
Setelah dilakukan penelitian dengan pendekatan analisa sosiologis dan psikologis menunjukkan bahwa terdapat beberapa pengalaman keagaman yang oleh para ahli sufi telah dirumuskan dalam bentuk al-maqamat dan al-ahwal, yang mengarahkan jamaah pada perilaku sufisme dengan pengalaman keagamaan yang diperolehnya.
Dari hasil penelitian ini juga nampak bahwa tradisi ritual pembacaan kitab Maulid al-Diba', disebabkan pengaruh spiritualnya, mampu mendapatkan apresiasi dari kalangan masyarakat muslim, dari berbagai kalangan, dan berbagai tingkat pendidikan. Ini menunjukkan bahwa dakwah Islam melalui tradisi yang menekankan pengalaman keagaman dari ritualitas sufistik cukup efektif bagi masyarakat.
Di sinilah terjadi titik singgung antara berbagai pengalaman keagamaan dengan berbagai istilah kunci memasuki dunia tasawuf. Beberapa istilah yang terpenting sehubungan dengan pengalaman keagamaan tersebut antara lain adalah: bawadih, warid, lawami', dan barq.
Bawadih berarti kejutan-kejutan. Istilah ini mengacu pada segala sesuatu yang muncul secara tiba-tiba pada hati dari Kegaiban, yang menimbulkan kejutan berupa kesedihan atau kegembiraan. Terjadinya melalui jalan rasa yang menegangkan. (hlm. 6)
Warid adalah limpahan pengetahuan dan ketajaman. Setiap peristiwa yang memasuki hati sang hamba yang berasal dari Nama Tuhan disebut warid. Selama dzikir berjamaah dan konser spiritual dalam perkumpulan sufi, dzakir dan pendengarnya dapat dibukakan limpahan pengetahuan dan ketajaman. Pengaruh warid bergantung pada kesiapan dan kemampuan untuk menerimanya. Suatu warid dapat menyebabkan kegaiban (ghaybah) atau "kegilaan" (majnun). Para wali yang memiliki daya tampung besar dapat menerima limpahan yang tetap tanpa memperlihatkan perubahan eksternal sama sekali. Al-Qusyairi mendefinisikannya sebagai yang datang dalam hati berupa bisikan-bisikan yang terpuji, di mana kehadirannya bukan karena disengaja.14 Istilah dan kata kunci yang erat kaitannya adalah "ana jalis man dzakarani", dzakir, ghaybah, halqah, junun, majnun, sama', uqala' al-majanin, wajd.
Lawami' adalah kilatan-kilatan cahaya yang masuk ke dalam hati dan menetap sebentar di situ. Dan sekalipun cahaya itu hilang secara tiba-tiba begitu muncul, ia membawa dan menyimpan dalam hati suatu pengetahuan yang baru dan segar tentang Allah. Makna eksistensi bisa "disadari" dalam kilatan cahaya semisal ini, dan "kesadaran" seperti ini, pada dirinya sendiri, merupakan ketakjuban luar biasa. Al-Qusyairi mengartikannya sebagai kemilau cahaya, yang didahului oleh lawa'ih (kilatan sinar) dan diakhiri dengan thawali' (terbitnya cahaya matahari). Hilangnya tidak cepat, dan ketika terjadi lawami', hamba akan terputus dari dirinya, dan terkumpulkan dengan-Nya. Posisinya antara kasyf dan sitru.
Barq (jamak bawariq) adalah sesuatu yang mula-mula muncul bagi seorang hamba dari berbagai kilauan cahaya Ilahiyah. Dengan serta merta, hamba tersebut terdorong untuk masuk ke dalam kedekatan Tuhan untuk mengadakan perjalanan ke hadirat Allah. Dari definisi-definisi tersebut jelas sekali bahwa istilahistilah tersebut sangat mengimplikasikan pada adanya pengalaman keagamaan yang mendalam, yang sering dialami oleh salik melalui ritualitas tertentu. Walaupun kadang masyarakat yang mengalaminya itu tidak mengerti apa yang sedang mereka alami tersebut, karena terbatasnya keilmuan teoritis mereka. (hlm. 8)
Di lingkup kepesantrenan dan kekyaian wilayah Jawa Tengah, nama dukuh Girikusumo merupakan pedukuhan yang sangat akrab. Dari segi silsilah tasawuf maupun perkiyaian, Girikusumo menempati jajaran "atas" atau tergolong "sepuh". Sebab dari sudut historis pesantren, pondok pesantren Girikusumo tergolong sesepuh bagi beberapa pesantren (khususnya pesantren thariqah) di Jawa Tengah. Sehingga terjadi hubungan emosional dengan keluarga Kyai di Girikusumo, baik karena hubungan darah, perguruan, atau karena pernah nyantri pada tahun-tahun silam, atau bahkan walau sekedar mengikuti tradisi pesantren dengan pembacaan kitab Maulid Diba'nya. (hlm. 97)
Pedukuhan Girikusumo wilayahnya merupakan daerah pedesaan, sebagai salah satu pedukuhan terbesar dari 6 pedukuhan yang ada di desa Banyumeneng, dalam wilayah kecamatan Mranggen, kabupaten Demak. Masyarakatnya semula hidup dari pertanian dengan kondisi tanah tadah hujan yang semakin menyempit, dan tidak mencukupi untuk kebutuhan penduduk desa. (hlm. 97)
Latar Belakang dan Sejarah Kegiatan Pembacaan Maulid al-Diba' diselenggarakan secara terbuka sejak tahun 1997. Tetapi popularitasnya di masyarakat berlangsung sejak tahun 1999. Majlis Maulid al-Diba' di Girikusumo ini, pada awalnya tidak dimaksudkan sebagai majlis formal dan massal. KH. Munif mengemukakan bahwa semula, pembacaan kitab Maulid al-Diba' dilaksanakan secara terbatas, yakni hanya diperuntukkan bagi keluarganya, yaitu anak-anak dan istri serta para saudara dan sahabat karibnya, dengan maksud utama agar keluarga tersebut mengenal lebih dekat dengan Rasulullah saw serta belajar untuk memiliki kecintaan kepada Rasulullah.
Namun setelah beberapa kali pelaksanaan, kebanyakan tamu yang kebetulan datang serta menyaksikan acara tersebut menyatakan minatnya yang cukup tinggi, serta memohon untuk diperkenankan mengikuti acara pembacaan maulid tersebut. Tentu saja permohonan itu tidak bisa ditolak oleh KH. Munif maupun kekuarganya, sehingga mereka diperkenankan mengikutinya. Lama kelamaan, para tamu yang mengikuti tadi merutinkan diri dalam acara tersebut, sambil saling getok tular tentang adanya acara pembacaan Maulid al-Diba' oleh KH. Munif. 
Penulis buku ini memaparkan data bahwa dalam waktu yang relatif singkat sejak pada tahun 1997 hingga sekarang, akhirnya jamaah yang mengikutinya mencapai rata-rata 3000 peserta, bahkan pada hari-hari besar tertentu (terutama pada acara maulid Nabi) mencapai sekitar 5000 jamaah. (hlm. 112)
Dalam asumsi masyarakat umum, termasuk para peneliti, ritual pembacaan kitab-kitab maulid sering dihubungkan dengan adanya thariqah tertentu yang dianut oleh kiai serta jama'ahnya, di mana pembacaan kitab maulid—sebagaimana pembacaan kitab manaqib—dipandang sebagai tradisi kaum sufi-thariqah. Akan tetapi untuk kegiatan di Girikusumo, menurut KH. Munif, kegiatan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan thariqah yang beliau asuh (Thariqah Khalidiyyah-Naqsyabandiyyah), maka beliau menyampaikan bahwa pembacaan maulid al-Diba' ini bukan sebagai aplikasi dari tradisi thariqah, namun dimaksudkan sebagai media dakwah kepada masyarakat dan sebagai jalan pemersatu ummat.
Dakwah yang beliau maksud di mana pembacaan kitab Maulid al-Diba' sebagai medianya adalah Dakwah untuk menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah. Beliau mengibaratkan sebagaimana orang yang sedang jatuh cinta, apabila dia cinta dengan sesuatu pasti dia akan selalu mengingat dan menyebutnya. Hal ini tidak berbeda dengan maksud dari majlis maulid al-Diba' yang beliau asuh, di mana mereka/jama'ah diajak bersama menyenandungkan kitab Maulid al-Diba' sambil berupaya menghadirkan suasana untuk bisa merasakan kehadiran sang Rasul yang dicintainya. Karena orientasinya adalah kepentingan munculnya kecintaan jamaah, maka pembacaan kitab maulid al-Diba' disertai modifikasi dan inovasi syair hasil kreasi KH. Munif sendiri dengan maksud agar supaya jama'ah lebih mudah menirukan, mengikuti, dan menghayatinya. Misalnya, ketika sampai pada sya'ir Sholawat al-Kawakib yang sulit untuk diikuti jama'ah beliau menggantinya dengan sya'ir shalawat badar yang sudah cukup populer bagi jamaah.
Maka, dari proses Dakwah tersebut, hasil yang diharapkan—serta menjadi tujuan— oleh KH. Munif adalah antara lain adanya perubahan sikap dan perilaku yang muncul setelah mereka mengikuti acara tersebut, dengan mengikuti contoh kehidupan dari yang dicintainya, yakni Rasulullah. Walaupun ditegaskan oleh beliau semua itu adalah tergantung dari sejauhmana mereka menghadirkan yang dicintai ke dalam hatinya yang paling dalam, baik maka prototype Kyai Munif mendekati kesempurnaan sebagai sosok yang memerankan fungsi utuh keulamaan, yang —menurut Dr. Hiroko Horikoshi— meliputi tiga fungsi utama, yakni: sebagai pemangku masjid dan madrasah (pesantren dan SIS), sebagai pengajar dan pendidik, dan sebagai ahli serta penguasa hukum Islam.28 Fungsi ini masih diperkokoh oleh posisi beliau sebagai mursyid thariqah, sebagai guru tasawuf, di mana otoritas mengenai kesufian berada dalam dirinya, dan muridnya menyebar ke berbagai daerah di luar wilayah Demak. Melalui jaringan pesantren dan thariqah inilah posisi Kyai Munif sangat kokoh di antara lingkungan pesantren, Kyai, dan masyarakat muslim tradisional di Jawa.
Kondisi dan Klasifikasi Jama'ah Maulid al-Diba' secara spesifik terbagi atas beberapa hal, yakni menyangkut: asal Jama'ah, jenis kelamin jama'ah, usia jama'ah, latar belakang pendidikan jama'ah, dan profesi atau latar belakang pekerjaan jama'ah. Informasi mengenai hal-hal tersebut didasarkan pada tabulasi dari 138 angket yang masuk ke peneliti, dari sejumlah 150 angket yang disebarkan, atau 92% angket yang kembali kepada peneliti. Dan hasilnya adalah Mayoritas jama'ah maulid al-Diba' Girikusumo berasal dari wilayah kabupaten Demak, yakni 64,5%. Sedangkan 16,67% berasal dari wilayah Kab/kota Semarang, 4,35% dari Kendal, 3,62% dari Grobogan/Purwodadi, 2,9% dari Purwokerto/Banyumas, dan demikian juga dari Banjarnegara. Salatiga dan Wonogiri masing-masing 1,45%, serta Pemalang, Kudus, dan Jambi masing-masing 0,72%. Jama'ah yang berasal dari Pemalang, Purwokerto/Banyumas, Salatiga, Wonogiri, Banjarnegara, Kudus, dan Jambi umumnya adalah para santri, atau wali/keluarga santri yang sedang berkunjung atau menjenguk salah satu anggota keluarganya yang menjadi santri di Girikusumo. Namun, dari klasifikasi asal Jama'ah tersebut, nampak bahwa jama'ah yang hadir memiliki latar belakang kultur yang heterogen, baik kultur secara geografis, maupun tradisi kemasyarakatannya. Dan itu bisa lebur dalam jama'ah maulid al-Diba' di Girikusumo.
Dari segi jenis kelamin, mayoritas jama'ah maulid al-diba' di Girikusumo adalah pria (64,5%), baru kemudian disusul kaum wanita sebesar 35,5%.
Yang cukup menarik, ternyata pembacaan kitab maulid al-Diba' di Girikusumo banyak diikuti oleh kaum remaja berusia antara 14-20 tahun, yakni sebesar 33,33%. Hal ini dimungkinkan karena hampir semua santri di Girkusumo juga mengikuti kegiatan ini, di samping memang warga sekitar Demak, banyak pula kaum mudanya yang mengikuti acara ini. tentu ini merupakan fenomena yang cukup menggembirakan, sebab tradisi-tradisi keagamaan seperti barzanji, maulidan, diba'an dan sejenisnya sering diidentikkan dengan kegiatan orang tua, karena memang umumnya hanya diikuti dan dilaksanakan oleh orang-orang tua. Sementara di Girikusumo asumsi itu bisa dipatahkan. Maka mungkin metode pelaksanaannya perlu dikembangkan, agar di wilayah lain juga bisa didapatkan fenomena serupa, sehingga tradisi-tradisi keagamaan yang positif yang selama ini dijauhi kaum muda, bisa dikembalikan ruhnya dan dapat diwariskan pada generasi berikutnya.
Jama'ah maulid al-Diba' Girikusumo mayoritas berlatar belakang pendidikan setingkat SMU, yakni 35,51%. Kemudian berturut-turut diikuti oleh: setingkat SD/SR 19,57%, setingkat SLTP 15,22%, Santri 10,14%, nonpendidikan juga 10,14%, Sarjana Strata-1 sebesar 4,35%, Strata-2 sebesar 2,90%, Strata-3 sebesar 1,45%, dan D-l/D-3 sebesar 0,72%.
Dari perspektif profesi atau latar belakang pekerjaan, jama'ah maulid al-Diba' kebanyakan adalah pelajar atau santri dan petani, yakni masing-masing sebesar 39,13% dan 36,09%. Yang cukup menarik, kegiatan ini juga diikuti oleh kalangan profesional, baik karyawan swasta, enterpreneur, atau pedagang yang mencapai prosentase cukup signifikan, yakni sebesar 21,74%. Sementara untuk kalangan buruh (baik pabrik ataupun buruh temporer) mencapai angka 5,8%, untuk kalangan pendidik (guru/ustadz) sebesar 2,17%, dan pensiunan PNS sebesar 0,72%. Sayangnya sebesar 4,35% responden tidak mencantumkan latar belakang profesinya. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar