Jumat, 10 Februari 2012

Kajian Akhlak Menurut Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya` `Ulum Ad-Din

Imam Al-Ghazali menggambarkan tujuan penelaahan etika sebagai sebagai suatu yang berhubungan dengan masalah pokok etikanya. Menurutnya ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari etika. Pertama, mempelajari etika sebagai studi murni teoritis, yang berusaha memahami ciri kesusilaan atau moralitas, tapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku orang yang mempelajarinya. Kedua, mempelajari etika sebagai bagian dari usaha untuk meningkatkan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, karena etika merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan etis harus terdapat kritik yang terus menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga etika menjadi subyek praktis[1].
Menurut al-Ghazali, tujuan mempelajari etika adalah dalam rangka untuk meningkatkan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari. Ia bahkan dengan lebih tegas menyatakan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih baik daripada kebodohan.
Etika al-Ghazali menurut Quasem juga bersifat teleologis (aliran filsafat yang mengajarkan bahwa segala ciptaan di dunia ini ada tujuannya), sebab al-Ghazali menilai amal dengan mengacu kepada akibat-akibatnya. Menurutnya, etika mengajarkan bahwa manusia punya tujuan yang agung, yaitu kebahagia-an akherat. Oleh karena itu, suatu perbuatan (amal) itu dikatakan baik apabila amal tersebut menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya mengarah pada tujan tersebut, dan dikatakan buruk, kalau perbuatan tersebut menghala-ngi jiwa mencapai tujuan tersebut.
Derajat baik dan buruk suatu perbuatan didasarkan pada seberapa jauh pengaruh yang ditimbulkan perbuatan tersebut terhadap jiwa pelakunya. Dengan demikian, suatu amal perbuatan dianggap baik atau buruk selaras dengan apakah akibatnya bermanfaat atau merugikan bagi suatu tujuan. Suatu perbuatan, oleh karena itu, tidak punya nilai moral intrinsik yang otonom. Pandangan al-Ghazali yang demikian berbeda dengan pandangan kaum Mu'tazilah yang menyatakan bahwa kebaikan dan keburukan adalah nilai-nilai yang intrinsik pada perbuatan moral, dan bahwa syariah memerintahkan atau melarang jenis perbuatan tertentu disebabkan karena perbuatan itu sendiri adalah baik atau buruk. Padangan yang seperti ini disebut teori deontologis[2].
Dari pengertian diatas dapat kita peroleh pemahaman bahwa etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan meunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
Maka singkatnya bahwa pokok persoalan etika ialah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat. Inilah yang dapat diberi makna hukum “baik” dan“buruk” demikian juga segala perbuatan yang timbul tiada dengan kehendak, tetapi dapat diikhtiarkan penjagaan sewaktu sadar[3].
Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama 
_____________________________

[1] M. Abul Quasem dan Kamil, Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk di dalam Islam, terj. J. Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. 13.
[2] Ibid , hal 14.
[3] Admad Amin, Etika, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar