Al-Ghazali dikenal sebagai seorang filsuf Muslim yang secara tegas menolak segala bentuk pemikiran filsafat metafisik yang berbau Yunani. Dalam bukunya berjudul The Incoherence of Philosophers, Al-Ghazali mencoba meluruskan filsafat Islam dari pengaruh Yunani menjadi filsafat Islam, yang didasarkan pada sebab-akibat yang ditentukan Tuhan atau perantaraan malaikat. Upaya membersihkan filsafat Islam dari pengaruh para pemikir Yunani yang dilakukan Al-Ghazali itu dikenal sebagai teori occasionalism.
Keraguan berpikir al-Ghozali bermula ketika puncak kejayaan ada dalam dirinya, dia melepaskan jabatannya sebagai rektor, setelah dipegangnya selama empat tahun. Ia bermasalah dengan keraguan dalam kepercayaannya pada pendapat-pendapat teologi tradisional (kalam) yang diperolehnya dari Al-Juwaini. Sebagaimana diketahui, di dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan dalam diri Al-Ghazali aliran manakah yang betul-betul benar di antara berbagai aliran kalam itu.
Selain itu, Al-Ghazali juga menganggap bahwa metode yang ditawarkan oleh kalam tidak cocok menjadi obat penawar keraguan yang dideritanya. Al-Ghazali menuturkan mereka (mutakallimin) mengandalkan premis-premis yang mereka ambil alih dari lawan-lawan mereka (falasifah), yang kemudian terpaksa mengakui mereka baik dengan penerimaan tak kritis (taqlid) atau pun karena konsensus komunitas (ijma), atau dengan penerimaan sederhana yang dijabarkan dari al-Quran dan Tradisi (hadits).
Sebagian dari polemik mereka ditujukan untuk membeberkan ketidak konsistenan lawan dan mencoba mengkritiknya karena konsekuensi-konsekuensi yang secara logis kurang berbobot dari yang mereka kemukakan. Dengan demikian, kalam tidaklah mencukupi dan bukan merupakan obat bagi penyakit yang tengah diderita[1].
Filsafat etika al-Ghozali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika al-Ghazali adalah teori tasawufnya. Mengenai tujuan pokok dari etika al-Ghazali kita temukan pada semboyan tasawuf yang terkenal : al-Takhalluq bi-Akhlaqillah ‘ala taqothil Basyathiyyah, atau pada semboyannya yang lain, al-Shifatir-Rahman ‘ala Taqhathil Basyathiyah.
Maksud semboyan itu adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, taqwa, zuhud, ikhlas beragama dan sebagainya.
Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama
_______________________
[1] Keraguan yang dialami Al-Ghazali, hampir melumpuhkan fisiknya selama dua bulan, sebagaimana yang ia kemukakan dalam riwayat hidup batinnya, Al-Munqidz min Al-Dhalal. Untuk menghilangkan keraguannya, ia mengasingkan diri (uzlah), mengungsi dan bermusafir selama sepuluh tahun di Syiria, Mesir serta kota-kota suci Islam. Pada tahun 484 H, Al-Ghazali pergi ke Makkah menyempurnakan rukun Islamnya. Setelah selesai mengerjakan haji, ia terus ke Damaskus, Bait Al-Maqdis, dan Alexandria sambil mengajar di universitas yang ada di kota-kota tersebut. Natsir, M, Kebudayaan Islam; Dalam Presfektif Sejarah, Editor, Endang Saefudin Anshari, (Jakarta: Grimukti Pusaka, 1988), hlm 170.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar