Senin, 13 Februari 2012

Al-Ghazali Hijrah dari dunia Filsafat ke Tasawuf

Filsafat moral merupakan masalah pokok bagi Al-Ghazali. Sentral filsafat menurutnya adalah etika. Pandangannya tersebut merupakan dampak dari kehidupan sufistiknya. Selain itu, faktor utama yang menyebabkan dirinya memandanga filsafat etika (moral) sebagai yang lebih utama daripada filsafat metafisika adalah bahwa etikalah yang menjadi dasar social of change. Dengan etika juga, manusia akan mendapatkan kebahagian. Bagi Al-Ghazali, seperti diungkapkan Amin Abdullah, bukanlah diskursus metafisika yang rumit dan mendalam yang dapat membimbing manusia untuk meraih keutamaan (kebahagiaan), melainkan aspek praktis atau moralitas (etika) yang dapat melayani tujuan tersebut (M. Amin Abdullah, 2002: 45-47).
Al-Ghazali menyusun Tahafut al-Falasifa (Kerancuan para Filosof) adalah untuk menunjukkan kesalahan pandangan mereka dalam dua puluh poin. Diantara yang membuat mereka berbeda adalah pandangan pada filosof yang mengatakan bahwa tidak ada kebangkitan kembali bagi tubuh; hanya roh yang diberi pahala atau disiksa, dan pahala dan siksa itu pun bersifat spiritual, tidak badani. Mereka betul-betul berbicara benar dalam menegaskan yang bersifat spiritual, karena memang hal itupun terjadi; tetapi mereka berbicara salah dalam menolak yang bersifat badani dan dalam pernyataan mereka itu tidak mengimani wahyu Tuhan.
Al-Ghazali, untuk pertama kalinya, menghancurkan otoritas Aristoteles dan pada saat yang sama menabur bibit-bibit filsafat mekanika, fondasi rnetafisika untuk sains modern. Pandangan Al-Ghazali ini, lagi-lagi berbeda dengan para filosof kebanyakan. Menurut para filosof, konsep tentang etika terkait dengan rasio. Bahwa prinsip-prinsip moral bisa didapatkan atau diketahui dengan rasio. Konsep para filosof muslim kebanyakan ini, memang merupakan pengaruh dari konsep etikanya Aristoteles. Bahwa baik dan buruk, menurut Aristoteles ditentukan oleh akal (rasio).
Dalam buku monumentalnya, Ihya Ulum Al-Din, Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian: Syar’iyyah dan Ghairu Syar’iyyah. Ilmu yang pertama ialah segala ilmu yang berasal dari para nabi yang wajib ditekuni oleh setiap muslim. Sedangkan ilmu yang kedua adalah segala ilmu yang bukan berasal dari para nabi, misalnya ilmu kedokteran, ilmu siyasah (politik), ilmu fisika, ilmu logika, matematika (ilmu hisab dan geometri) dan jenis ilmu lainnya yang bermanfaat untuk manusia[1].
Imam Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan  rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Al-ghazali juga mengakui bahwa kebaikan tersebur dimana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Ini artinya, Al-Ghazali tidak menolak filsafat seluruhnya. Ilmu fisika, matematika, logika, ilmu politik, dan filsafat moral, yang merupakan bagian dari Filsafat, oleh Al-Ghazali tidak ditolak, bahkan menurutnya ilmu-ilmu tersebut hukumnya wajib kifayah bagi kaum muslimin. Filsafat yang diserang oleh Al-Ghazali dengan nada yang sangat keras ialah aspek metafisis (ilahiyah). Al-Ghazali bersikap demikian, karena melihat filsafat metafisis, seringkali mengakibatkan penganutnya menjadi sesat bahkan kafir[2].


____________________________________

[1] Al-Ghazali, Muhammad Abu Hamid, Muqaddimah Hujjat al-Islam Ihya Ulum al-Din al-Majlid al-Awwal, (Bairut: Dar al-Jail, 1992), 1992, ibid, hlm 23-26.
[2] Muhammad, Afif, Dari Teologi ke Ideologi, (Bandung: Pena Merah, 2004), hlm 93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar