Judul buku: Dasar-Dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia; Penyusun; H. Munasir Sidik, SH; Penyunting: Zaenuda Ikhwanul Aziz, SH; Desain & Layout: D. Sumarta; Penerbit: IKAHAI, Tangerang, Banten; Cetakan Pertama: 2007; Jumlah halaman: v + 88; Ukuran buku: 15,5 X 23 cm.
Buku 'Dasar-Dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia' ini dapat membantu mengingatkan pembaca bahwa betapa konstitusi Undang-undang dasar negara kita Republik Indonesia sangat menghormati, menjamin dan melindungi hak kemerdekaan setiap warga negaranya dalam hal beragama dan berkeyakinan sesuai dengan hati nuraninya. Jaminan dan perlindungan negara terhadap warganya dalam hal kemerdekaan beragama dan berkeyakinan itu diberikan dalam dimensi yang luas dengan tanpa membeda-bedakan suku, ras, kelompok atau golongan.
Hak-hak dan kebebasan dasar umat manusia (human rights and fundamental freedom) telah menjadi norma dan ketentuan dalam sistem hukum nasional negara Indonesia. Hak-hak dan kebebasan dasar tersebut termasuk diantaranya hak-hak dan kebebasan dasar mengenai kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Hak tersebut melekat pada diri manusia, bersifat kodrati dan universal sebagai karunia dan anugerah Allah Swt yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu-gugat oleh siapapun.
Negara Republik Indonesia sangat menghormati dan melindungi hak-hak dan kebebasan dasar mengenai kemerdekaan beragama dan berkeyakinan itu dengan mencantumkannya dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar RI 1945 sebagai hak dasar yang dijamin dan dilindungi oleh negara. Namun sungguhpun demikian, norma-norma dan ketentuan itu masih sering disalahfahami atau bahkan tidak diindahkan.
Dari apa yang disuguhkan oleh buku ini, para pembaca akan dapat lebih memahami dan mengetahui bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai lembaga/institusi yang keberadaannya di negara Republik Indonesia dijamin oleh negara Republik Indonesia yakni Undang-Undang Dasar RI tahun 1945.
Selama kurang lebih 62 tahun sejak masa kemerdekaan, negara Republik Indonesia telah melewati berkali-kaii masa pergantian pemerintahan. Hal yang patut disyukuri adalah sekalipun kondisinya demikian, namun pemerintahan yang berkuasa tetap berpedoman kepada pondasi dan landasan negara yang sama yaitu Undang-Undang Dasar 1945, sehingga setiap warga negara Indonesia dapat menikmati jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam proses perjalanan upaya penerapan hukum dan Undang-Undang Dasar 1945 di negara Indonesia, masih ada pihak-pihak yang memiliki pemahaman yang keliru tentang hak-hak warga negara Republik Indonesia yang dijamin oleh undang-undang negara kita berkenaan dengan perbedaan pendapat, kebebasan berfikir dan berpemahaman. Pemahaman keliru ini semakin mengental dan mengancam kehidupan demokrasi. Ini tampak dari indikasi adanya 'pemaksaan' terhadap orang lain atau kelompok lain termasuk terhadap Jemaat Ahmadiyah yang tidak boleh beda, atau tidak boleh berpenafsiran beda. Pemaksaan tersebut terkadang dilakukan dengan cara- cara anarkis dan kekerasan. Sikap pemaksaan seperti ini tidak saja mematahkan semangat demokrasi, akan tetapi juga mematikan prinsip dan hak kemerdekaan berfikir, kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpemahaman serta prinsip dan hak kemerdekaan untuk berkeyakinan beda.
Khusus mengenai persoalan Jemaat Ahmadiyah, dalam buku ini, penyusun mencoba memberikan pandangan hanya dari aspek legalnya mengenai keberadaannya di Indonesia, agar pihak manapun yang mencintai negeri ini dan yang berpedoman kepada hukum dan falsafah negara UUD 45, dapat mengembangkan sikap yang lebih arif dalam menghadapi setiap perbedaan serta selalu mengedepankan sikap tenggangrasa,toleransi dan bisa duduk berdampingan di negeri yang sangat kita cintai ini.
Negara Republik Indonesia memiliki sifat dan prinsip sebagai negara hukum sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut:
a. Pasal 1 ayat (3): "Negara Indonesia adalah negara hukum".
b. Pasal 27 ayat (1): "Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".
c. Pasal 28-D ayat (1): "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adilserta perlakuan yang sama di hadapan hukum".
d. Pasal 28-I ayat (1-2): "(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang beriaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun".
Anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia terdiri dari warga Negara Indonesia yang juga memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal tersebut di atas.
Mengenai hal ini negara Republik Indonesia telah mengaturnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 seperti yang tercantum dalam pasal sebagai berikut:
a. Bab X Pasal 28-E ayat (1), (2) dan (3):
"(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali".
"(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya."
"(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumput, dan mengeluarkan pendapat".
b. Bab X Pasal 28-1 ayat (1) dan (2):
"(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun".
(2) setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu."
c. Pasal 29 ayat (2):
"(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu."
Anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah warga Negara Indonesia, berhak memperoleh jaminan kebebasan dan perlindungan sebagaimana tersebut dalam pasal-pasal diatas dalam hal memilih dan menentukan keyakinan.
Dalam buku ini, penyusun juga mencoba menyuguhkan data bahwa pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamasikan sebuah deklarasi tentang hak asasi manusia yang bersifat universal yang disebut Universal Declaration Of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM).
Deklarasi ini memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan dimaksudkan agar menjadi acuan umum untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik dikalangan rakyat Negara-negara anggota PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka.
Sebagai Negara yang ikut serta di dalam deklarasi ini, pada tanggal 28 Oktober 2005 Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pertimbangan Indonesia untuk menjadi Pihak pada International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dan harus menerbitkan Undang-undang ini dijelaskan sebagai berikut:
Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi HAM.
Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan (Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)); hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2)); hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28); kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing—masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2)); dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1))."
Penyusun juga memaparkan bahwa Anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah elemen warga negara yang berhak memperoleh dan mendapatkan hak-haknya dalam hal memiliki kepercayaan dan keyakinan sebagaimana yang dituangkan di dalam Deklarasi Universal Majlis Umum PBB.
Selain itu penyusun juga memaparkan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah organisasi masyarakat yang anggotanya warga negara Indonesia dimana tatanan organisasinya telah memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, baik mengenai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya maupun ketentuan ketentuan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Jemaat Ahmadiyah masuk ke wilayah Indonesia sebelum negara kita merdeka, yaitu melalui Muballigh Maulana Rahmat Ali HAOT yang ketika itu secara khusus diutus oleh pimpinan Ahmadiyah Internasional ke wilayah Indonesia. Muballigh Maulana Rahmat Ali HAOT membawa Ahmadiyah masuk ke wilayah Indonesia melalui kota Tapaktuan, Aceh (sekarang Nanggroe Aceh Daarussalaam) pada tanggal 2 Oktober tahun 1925 M. Dari sana Jemaat Ahmadiyah berkembang ke wilayah Sumatera Baratdan pada tahun 1931 masuk ke Batavia (sekarang Jakarta). Pada tahun 1932, Jemaat Ahmadiyah telah berkembang di wilayah Batavia (Jakarta) dan Bogor.
Pada tahun 1935 Jemaat Ahmadiyah Indonesia membentuk Hoofdbestuur atau Pengurus Besar. Dan pada tanggal 12-13 Juni tahun 1937, Jemaat Ahmadiyah di Indonesia menyelenggarakan kongres yang pertama di Masjid Hidajath, Jl. Balikpapan 1/10 Jakarta dihadiri oleh wakil-wakil Ahmadiyah dari cabang-cabang yang ada ketika itu untuk membahas AD dan ART Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Konferensi tersebut menyetujui AD dan ART Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan nama AADI, yaitu Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia. Pada tahun 1949, atau 3-4 tahun setelah Republik Indonesia berdiri, Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau yang ketika itu bernama AADI kembali menyelenggarakan kongres di Jakarta pada tanggal 9 s/d 11 Desember 1949 yang dihadiri oleh cabang-cabang AADI. Kongres tersebut menyetujui AD dan ART yang baru dan menyetujui penggantian nama Anjuman Ahmadiyah Departemen Indonesia atau AADI menjadi Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Jemaat Ahmadiyah adalah organisasi kerohanian, bukan organisasi politik dan tidak memiliki tujuan-tujuan politik. Di dalam mengembangkan dakwah rohaninya, Jemaat Ahmadiyah senantiasa loyal dan patuh kepada undang-undang negara serta kepada pemerintah yang berkuasa dimana pun Jemaat Ahmadiyah berdiri.
Pada akhir tahun 1952, Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia mengajukan surat kepada pemerintah Republik Indonesia yaitu surat permohonan pengesahan AD dan ART Jemaat Ahmadiyah untuk diakui sebagai Badan Hukum. Dan pada tanggal 13 Maret 1953 Menteri Kehakiman RI Indonesia melalui Surat Kaputusan No. JA.5/23/13 menetapkan, bahwa Perkumpulan atau Organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai sebuah badan hukum. Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI tanggal 31 Maret 1953 Nomor 26.
Pengakuan Badan Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia itu lebih dipertegas lagi oleh pemyataan Surat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 0628/KET/1978 tanggal 19 Juni 1978 yang menyatakan bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia telah diakui sebagai badan Hukum berdasarkan Statsblaad 1870 No.64.
Selanjutnya, Kelengkapan Organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga diakui telah memenuhi persyaratan ketentuan Undang-undang nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi kemasyarakatan sehingga keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga telah masuk dalam daftar inventarisasi Organisasi Kemasyarakatan pada Direktorat Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri 1988/1989 dengan nomor urut inventarisasi 297. [Admin]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar