Senin, 31 Maret 2014

Kenapa Persaksian Perempuan Setengah Persaksian Laki-laki

لمذا شهادة المرأة نصف شهادة الرجل فى الاسلام
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

" …Dan carilah dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara) kalian. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya..." (QS. Al-Baqarah: 282)

Tafsir Ayat

Disebutkan dalam tafsir ath-Thabari rahimahullah:" Kalau salah satu dari keduanya lupa, maka wanita yang lainnya mengingatkannya." Dalam tafsir al-Baidhawi rahimahullah disebutkan:" Alasan dipertimbangkan jumlah adalah bahwasanya jika salah seorang dari keduanya (saksi wanita) lupa dengan persaksiannya, maka yang lain (saksi wanita yang lain) akan mengingatkannya."

Tafisir dari Imam asy-Syaukani (dalam Fathul Qadiir) menyebutkan:"Abu Ubaid berkata:' Makna تَضِلَّ (hilang/sesat) adalah lupa, dan hilangnya persaksian adalah lupa dengan sebagiannya (sebagian persaksian) dan ingat sebgaian.'"

Dan kesimpulan tafsir-tafsir tersebut adalah bahwa sebab dijadikannya persaksian wanita setengah persaksian laki-laki adalah banyaknya lupa (yang terjadi pada wanita). Lalu, apakah wanita lebih banyak lupa dibandingkan laki-laki?

Pandangan Ilmu Pengetahuan Modern

Dalam sebuah studi modern yang dilakukan oleh para ilmuwan di Sydney, Australia dan hasilnya dipublikasikan oleh media CNN dan BBC dengan judul " Pregnancy does cause memory loss, study says" (Studi Mengatakan:" Kehamilan Menyebabkan Daya Ingat Menurun"). Studi tersebut membuktikan bahwa kehamilan menyebabkan melemahnya ingatan perempuan, dan terkadang keadaan ini terus berlanjut sampai masa setelah lahir, yang mana kehamilan menyebabkan berkurangnya sejumlah sel-sel memori otak ibu sedikit demi sedikit.

Julia Henry, salah seorang wanita pekerja pada penelitian tersebut, yang berasal dari University of New South Wales di Sydney berkata kepada CNN:" Apa yang kami temukan adalah bahwa upaya mental yang berkaitan dengan mengingat rincian-rincian baru atau menunaikan fungsi-fungsi yang multi tahap mengalami gangguan/goncangan."

Dia menambahkan:" Terkadang wanita hamil misalnya, tidak mampu untuk mengingat nomor (telepon) baru, akan tetapi ia akan mudah mengingat kembali nomor-nomor lama yang dahulu ia hubungi (panggil) secara rutin." Henry mengatakan bahwa dia telah membantu Dr Peter Rendell dengan melakukan penelitian ini dengan berlandaskan pada analisis dari 12 penelitian yang mencakup survei terhadap kemampuan mental wanita sebelum dan setelah melahirkan.

Dan ia menoleh pada hasil-hasil dari penelitian tersebut, bahwasanya ia (hasil-hasil itu) mengisyaratkan pada kemungkinan terus berlangsungnya kegoncangan/gangguan ini setahun penuh setelah melahirkan, tanpa bisa memastikan bahwa proses melahirkan akan membuat baik keadaan wanita tersebut setelah masa itu (masa melahirkan), mengingat disebabkan masih dibutuhkannya studi-studi tambahan. Hanya saja studi ini belum bisa menetapkan (menentukan dengan pasti) sebab-sebab dari fenomena ini, mengingat masih dibutuhkannya uji laboratorium tambahan yang lebih mendalam. Meskipun mereka telah meninjau berbagai skenario-skenario yang mungkin menjadi sebabnya, dan yang terdepan adalah perubahan hormon tubuh, dan perubahan gaya hidup yang cepat.

Kesimpulan Pandangan Ilmu Pengetahuan Modern

Ingat wanita hamil mengalami kelemahan dan kegoncangan pada masa-masa kehamilannya, dan bisa jadi ia mengalami hal tersebut (daya ingat menurun) selama satu tahun penuh –kadang-kadang- setelah kehamilan dan bisa jadi lebih lama dari itu disebabkan berkurangnya sejumlah sel-sel otak sedikit demi sedikit, dan juga dikarenakan sebab-sebab yang belum diketahui batasannya sampai sekarang.

Mukjizat Ilmiah yang Ada dalam Ayat di Atas

Ada isyarat (petunjuk) kepada banyaknya sifat lupa pada wanita, oleh sebab itu dijadikan persaksian mereka (para wanita) setengan dari persaksian laki-laki. Dan ini adalah hal yang telah ditetapkan oleh ilmu pengetahuan modern.

Subhaanaka Allahumma wa Bihamdika Asyhadu Allaa Ilaaha Illaa Anta Astaghfiruka wa Atuubu Ilaika

Sabtu, 29 Maret 2014

Tidak ada kata Pensiun bagi Nabi Muhammad

Usia Rasulullah SAW benar-benar produktif hingga usia terakhir. Apalagi ketika diukur dengan ukuran sebagian orang hari ini. Kosa kata pensiun terlanjur lekat di benak mereka. Pensiun bagi sebagian orang bukan saja berhenti bekerja, tetapi berhenti juga produktifitasnya. Seakan tidak lagi menjadi orang penting di masyarakatnya setelah sebelumnya begitu sentral posisinya. Seakan hanya tinggal menunggu dua hal: kedatangan cucu dan kedatangan kematian. Tentu ini tidak benar.

Penelitian yang dilakukan di Amerika oleh para pakar dari The University of Maryland mengatakan bahwa mereka yang tetap beraktifitas setelah usia pensiun, menikmati kesehatan yang lebih baik daripada yang tidak beraktifitas lagi setelah usia pensiun. Demikian juga keadaan psikologinya, lebih stabil.
Penelitian yang dilakukan di Inggris mendukung hal di atas. Dan menambahkan tentang hubungan antara penyakit pikun dan pensiun. Pikun yang masih dikategorikan sebagai penyakit yang belum diketahui penyebabnya itu diteliti untuk dicari hubungannya dengan berhentinya aktifitas produktif setelah usia pensiun. Hasil penelitian pada 1320 orang yang sudah pikun dan 382 orang yang berpotensi pikun itu adalah: ada hubungan antara terlambatnya seseorang pensiun dengan terlambat datangnya penyakit pikun. Karena otak masih terus aktif. (sumber: aljazeerah.net dan kaheel7.com)

Subhanallah. Islam memang tidak pernah mengenal usia pensiun. Lihatlah dua ayat berikut ini,

“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini.” [QS. Al-Hijr (15) : 99]

(Yang diyakini) adalah kematian. Seperti yang dijelaskan oleh Salim bin Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, Qatadah, al-Hasan al-Bashri, Mujahid. Sebagaimana yang dipilih oleh Ibnu Jarir dan Bukhari. (lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/553, MS)

Beribadah kepada Allah batasnya adalah ajal yang datang. Sebelum mati, seseorang harus terus beribadah. Ibadah sendiri adalah aktifitas yang menuntut kesehatan akal. Karena bagi yang sudah tidak sehat akalnya termasuk pikun sudah tidak mendapatkan beban beribadah. Itu artinya, pikun seharusnya jauh dari mereka yang menjaga ibadahnya, biidznillah.

Juga ayat berikut ini,

“Dan Katakanlah, ’Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” [QS. At-Taubah (9) : 105]

Ayat ini, menjelaskan bahwa bekerja atau beraktifitas kebaikan terus dilakukan hingga kembali kepada Allah yang Maha Mengetahui yang ghoib dan yang nyata.

Untuk itulah, Islam tidak pernah mengenal kata pensiun. Hal itu bisa kita lihat dari dalil-dalil di atas. Adapun penelitian hanya menguatkan ayat-ayat Allah yang tertulis. Untuk itulah, kita bisa jumpai orang-orang besar dalam sejarah Islam, mereka tetap beraktifitas seperti biasa hingga di penghujung usia.

Petunjuk utamanya berasal dari Rasulullah SAW. Usia beliau jelas menggambarkan hal ini. Mari kita lihat di akhir-akhir usia beliau.

Pada usia 53 tahun yang hari ini dianggap sebagai MPP (Masa Persiapan Pensiun), Rasulullah harus melakukan perjalanan menempuh padang pasir di tengah ancaman kematian. Yaitu perjalanan mulia: Hijrah ke Kota Madinah. Kepala beliau dihargai 100 ekor unta bagi siapapun yang bisa menangkapnya hidup atau mati. Perjalanan itu beliau tempuh selama kurang lebih 15 hari. Beliau meninggalkan Kota Mekah pada malam 27 Shafar 14 Kenabian dan sampai di Kota Madinah tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 H, setelah menetap di Quba’ selama 4 hari. Sebuah aktifitas yang terlalu melelahkan dan berisiko untuk orang seusia itu.

Pada usia 55 tahun di mana dianggap telah pensiun pada hari ini, Rasulullah SAW justru mendapatkan perintah baru yang belum ada sebelumnya dan memerlukan kekuatan fisik, otak berikut tekad. Yaitu jihad (perang). Perintah jihad baru diturunkan pada tahun 2 H. Jihad jelas memerlukan kekuatan fisik yang terkadang perlu berhari-hari untuk sampai di kamp musuh, dalam keadaan cuaca apapun. Juga kekuatan otak dalam mengatur strategi perang, menganalisa kekuatan dan kelemahan serta informasi. Kekuatan tekad sangat diperlukan dalam jihad. Tekad yang hadir dari iman yang menggelora dan tidak padam hanya oleh ketakutan atau kesenangan, kekalahan atau kemenangan. Kalau dirata-rata, beliau harus keluar untuk perang setiap 4 bulan sekali. Jumlah peperangan yang diikuti langsung oleh Rasul ada 28 kali dari tahun 2H – 9H (lihat: al-Athlas al-Tarikhi li Sirah al-Rasul, Sami Abdullah al-Maghluts, h. 151, Maktabah al-‘Ubaikan, 1435H).

Fisik, otak, tekad untuk perang, sungguh tidak mudah di usia 55 tahun.

Pada usia 60 tahun -madzhab pensiun di barat dan perpanjangan 5 tahun terakhir bagi jabatan tinggi di Indonesia-, Rasulullah SAW masih harus menjalani perjalanan jauh untuk melanjutkan dakwah beliau. Di usia itu beliau masih harus menjalan 3 peperangan; Fath Makkah, Hunain dan Thaif. Tanyakan hari ini, di mana ada panglima yang masih siap memimpin di lapangan hingga usia 60 tahun. Shallallahu alaika ya Rasulallah…

Hingga pada detik-detik terakhir beliau wafat, usia masih produktif untuk kebaikan. Dari 14 hari beliau sakit kepala dan demam tinggi hingga beberapa kali pingsan, beliau masih mampu memimpin para shahabatnya shalat berjamaah selama 11 hari. Pada Hari Sabtu (beliau wafat hari senin), Rasul SAW merasakan sakitnya mereda, maka beliau pun keluar untuk shalat di masjid walaupun harus dipapah oleh dua orang. Pada hari Ahad, beliau masih melakukan kebaikan; membebaskan beberapa budak, shadaqah sebesar 7 dinar (mata uang emas) dan menghibahkan senjata-senjata beliau untuk muslimin.

Di sela-sela sakitnya itu beliau SAW masih memberikan nasehat dan perintah kepada para shahabatnya. Di antaranya beliau memberi kesempatan bagi siapapun yang mau membalas semua kesalahan beliau selama ini. Menyampaikan agar tidak sama dengan Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid. Menasehati agar berbuat baik kepada seluruh masyarakat Anshar. Memerintahkan agar tidak boleh ada dua agama di Jazirah Arab. Pada Shubuh terakhir untuk Rasulullah SAW (senin pagi), beliau masih bangun pagi dan membuka sitar rumahnya untuk menyaksikan para shahabatnya melakukan Shubuh berjamaah dan untuk melemparkan senyum manis beliau; senyum perpisahan. Dan inilah kalimat terakhir yang dibisikkan di telinga istri tercinta Aisyah radhiallahu anha,

“…bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” [QS. An-Nisa’ (4) : 69]

“Ya Allah ampunilah dan rahmatilah aku, dan pertemukan aku dengan ar-Rafiq al-a’la, allahuma ar-rafiq al-a’la.” (Lihat: ar-Rahiq al-Makhtum h. 370-374, Dar Ibn al-Khaldun)

Sungguh inilah produktifitas usia yang tak pernah mengenal pensiun. Benar-benar hingga hembusan nafas terakhir. Hingga kekuatan terakhir, saat tangan terkulai. Dan beliau SAW pun menghadap Allah yang Maha Tinggi pada Hari Senin waktu Dhuha, 12 Rabi’ul Awwal 11 H.

Bukankah kita sering berbicara tentang prestasi hidup dan produktifitas usia. Kini kita tahu, Rasulullah SAW sang teladan itu. Capaian usia maksimal dan ideal. Karena beliau tidak pernah mengenal kata pensiun.

Minggu, 02 Maret 2014

Kekerasan (Violence) dalam Perspektif Agama

Pendahuluan

Krisis yang melanda kita dewasa ini merupakan krisis yang multi dimensional yang berada dalam seluruh persoalan, baik dalam persoalan politik, ekonomi, rasial, agama, strategi dan sebagainya, sehingga terasa sulit dari mana dimulai mengatasinya. Meskipun demikian, sebagai umat beragama tidak semestinya jika tidak bangkit berupaya untuk memulai mengatasinya, sebab berbagai persoalan-persoalan atau permasalahan-permasalahan tersebut itu tidak lain adalah karena hasil ciptaan manusia atas dasar kehendak dan rasa yang dimilikinya.


Krisis Sosial dan Kekerasan

Jika diperhatikan, krisis sosial itu tampaknya merupakan akumulasi dari terjadinya berbagai kekerasan yang pada saat ini merupakan tatanan dan pandangan keseharian. Sedangkan potensi teknologi lebih menawarkan ketakutan daripada harapan1 untuk ketenangan bersama. Dan kekerasan itu merupakan salah satu tantangan agama yang harus dipikirkan secara serius, dan hal itu dalam masyarakat saat ini tidak hanya terjadi eskalasi, namun juga sofistikasi, bahkan agamanisasi kekerasan. Hal itu tidak serta merta muncul begitu saja, namun kemunculannya merupakan hasil dari mata rantai yang mendahuluinya.
Camara dalam bukunya The Spiral of Violence menyatakan bahwa, spiral kekerasan terdiri dari tiga hal. Pertama, adanya ketidakadilan sebagai akibat terjadinya egoisme para penguasa dan kelompok-kelompok tertentu yang rakus. Kedua, perjuangan keadilan dengan jalan kekerasan (termasuk dengan angkat senjata), karena mereka merasakan tidak melihat jalan lain untuk memperjuangkannya. Ketiga, adanya tindakan represi pemerintah untuk menumpas bentuk kekerasan kedua, sebab legitimasi penguasa adalah stabilitas nasional telah menjadi ideologinya.2
Untuk mengetahui munculnya lingkaran kekerasan yang mengakibatkan adanya krisis itu secara pasti, tampaknya sulit untuk menemukannya. Namun, yang jelas kini orang mulai mengevaluasi suasana krisis, dan terutama masa reformasi ini dari segi kekerasan yang menjadi kategori baru untuk mengevaluasi transformasi sosio-budaya. Orang dapat mengevaluasi transformasi sosial dari segi integrasi sosial, keadilan, hak-hak asasi manusia, politik, kemajuan ekonomi, dan sebagainya, yang semuanya itu saling berkaitan. Dari analisis sederhana itu tampak dapat dilihat bahwa ketidakadilan biasanya merupakan pemicu utama bagi munculnya kekerasan yang akan berakibat pada adanya krisis sosial. Ketidakadilan berarti membiarkan orang lain menderita atau kekurangan, yang seharusnya demikian itu tidak boleh terjadi, dan hal ini (bidang materi) berarti terjadinya monopoli kekayaan pada orang tertentu. Ketidakadilan itu bersifat violent, sehingga ketidakadilan itu memiliki dimensi kekerasan dan memiliki bentuk yang bermacam-macam, seperti ekonomi, sosial, politik, media, hukum, dan sebagainya.3
Johan Galtung menggambarkan adanya kekerasan struktural dengan ekspresi yang bermacam-macam, seperti struktur ekonomi, struktur pemerintahan, struktur politik, struktur sosial, dan struktur kebudayaan. Secara struktural, baik secara individual maupun kolektif, kepentingan mereka tidak di dengar dan diperhatikannya lagi. Ya memang mereka diberi kesempatan untuk menggunakan jalur-jalur struktural, namun struktur yang tersedia telah violent. Mereka atau orang disediakan dan bahkan diberikan kebebasan untuk meminjam modal, namun struktur ekonomi tidak memungkinkan bagi mereka yang tidak memiliki apa-apa untuk meminjam modal tersebut. Sebab modal hanya mengalir di sekitar mereka yang telah memiliki segala sesuatunya. Dengan demikian akan berakibat menimbulkan frustasi baik secara individual maupun secara kolektif yang pada gilirannya akan mengundang ketegangan dan kekerasan di kalangan mereka dengan maksud untuk memperbaiki nasibnya,4 dan yang demikian itu sangat jelas menimbulkan keresahan dan kerawanan dalam kehidupan masyarakat.
Kini, hal-hal yang demikian itu telah menjadi pemandangan harian di hadapan kita, atau dengan kata lain telah menjadi budaya, dan telah menjadi wacana penting di kalangan para pengamat sosial budaya dan politik. Jika secara harfiah, kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa, maka kekerasan yang berakibat menimbulkan krisis sosial telah menjadi ciptaan manusia atas dasar kehendak dan rasa yang mereka milikinya.
Jika diperhatikan secara seksama, terjadinya krisis sosial tidak lain berpangkal pada tidak adanya pegangan moral yang kokoh. Jika orang tidak lagi memiliki pegangan moral, maka segala perilakunya tanpa kendali. Hal ini akan terlihat jika kita perhatikan orang telah memiliki harta, misalnya, tetap saja dia serakah, menginginkan yang lebih dari yang sebenarnya yang dia miliki dengan menghalalkan segala cara. Demikian pula dalam bidang-bidang lainnya.

Agama dan Krisis Sosial

Semua agama menolak krisis dengan berbagai macam bentuknya, dan semua krisis itu akan melahirkan pemaksaan kehendak dari satu pihak terhadap pihak lain, dan demikian ini adalah amoral. Hal ini pula berarti melanggar asas kemerdekaan (kebebasan) dalam berinteraksi sosial, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bebas secara moral dan dapat menentukan pilihannya secara sadar. Dengan pertimbangan demikian, maka semua agama menolak krisis sebagai prinsip yang harus direalisasikan.
Persoalan krisis akan menjadi lebih rumit manakala dipraktekkan dengan legitimasi etika-religius atau diberi label agama demi memenuhi ambisi-ambisi non-religius. Dengan cara memberi label agama ini pula krisis telah menjadi bagian dalam historisitas keagamaan. Dalam teologi Islam kita kenal dengan peristiwa tahkim yang berkepanjangan, demikian pula mihnah yang dilakukan oleh sekelompok Mu’tazilah, dan sebagainya. Jika frekuensi krisis sudah demikian tinggi atau bahkan sudah mempola dengan intensitas yang mendalam yang dilakukan oleh para pemeluk atau pengikutnya, maka nama agama itu akan tercemar karena perilaku para pemeluk atau pengikutnya itu.
Jika pengamatan tentang krisis tersebut dapat dibenarkan, maka agama berada dalam lingkungan masyarakat yang sedang mengalami krisis. Mengapa demikian? Secara faktual bahwa agama kecuali membina masyarakat umat manusia, juga dibina oleh manusia. Sehingga dapat dimengerti jika agama dipergunakan untuk melegitimasi perbuatan kekerasan yang dapat menimbulkan ketegangan, konflik, sekalipun berakibat terciptanya krisis di tengah masyarakat. Hal ini berarti, agama mulai kehilangan daya normatifnya dalam membina perilaku individual maupun kolektif. Dan ini wajar dapat terjadi, karena sebagai akibat dipinggirkannya agama dari fungsi yang sebenarnya, seperti fungsi kritis dan profetis. Demikian ini tampak dalam formalisasi agama, sehingga agama menjadi tidak siap ketika berhadapan dengan kondisi di mana dia harus kritis terhadap lingkungannya dan juga terhadap dirinya.
Adanya suasana krisis masuk dalam agama yang seharusnya memberikan rahmat bagi umat manusia seluruhnya, karena : Agama sebagai salah satu sub sistem dalam kehidupan masyarakat menganggap bahwa kekerasan merupakan cara yang paling efektif untuk menghadapi pihak lain, baik yang dilakukan secara intern maupun dengan bantuan pihak ekstern. Dan “budaya tandingan” yang sering muncul dalam organisasi politik telah merasuki dalam khazanah konflik dalam agama. Kekerasan fisik dan teror sudah bukan barang haram, negosiasi diganti dengan konfrontasi, prosedur hukum diganti dengan gaya premanisme, dan sebagainya. Di samping itu, agama dijadikan alat untuk memberikan atau melegitimasi terhadap kepentingan tertentu, sehingga agama kehilangan daya kritis dan profesinya.
Secara sederhana, krisis yang muncul dengan berlabel agama: 1). Adanya konflik intern agama, yakni yang biasanya terjadi dalam lingkungan satu agama tertentu. Adanya kritik dari dalam, baik yang menghendaki pembaruan maupun purifikasi berhadapan dengan kelompok yang menghendaki status quo, sehingga muncul radikalisme progresif maupun radikalisme ortodoks. Hal ini terjadi karena akibat kebuntuan komunikasi. 2). Ketika agama memandang dirinya berada di tengah-tengah masyarakat yang zalim, sehingga ia berusaha untuk melawannya dan menganggap dirinya (agamanya) sebagai alternatif. 3). Ketika agama merasa terancam oleh agama-agama lain. Seperti, adanya Kristenisasi, Islamisasi, Jawanisasi (de-Islamisasi), syirikisasi, desakralisasi dan sebagainya.5
Dengan adanya tiga pola konflik berlabel agama itu, sebenarnya diperlukan adanya demokratisasi, baik dalam diri agama itu sendiri, antara agama dengan penguasa, dan antar agama. Tersumbatnya demokrasi akan mudah terjadi krisis yang berlabel agama. Tiga pola tersebut sebenarnya merupakan simplifikasi, namun sebenarnya lebih komplek dan saling terkait, sehingga masyarakat umat beragama harus bersikap kritis terhadap hal-hal yang berada di luar moral agama pada khususnya.

Moral Agama

Konflik antara boleh dan tidaknya menggunakan kekerasan sebenarnya merupakan masalah moral yang komplek, tidak cukup hanya mendasarkan pada proof-text dari tradisi atau Kitab Suci saja untuk memberikan legitimasi etika-religius dalam menggunakan kekerasan, namun juga harus mempertimbangkan berbagai aspek yang lebih luas. Memang, kekerasan dapat dibenarkan jika dimaksudkan: 1). Untuk menghindarkan kekacauan, konflik, ketegangan dan kekerasan yang lebih luas. 2). Bersifat sementara. 3). Untuk pembebasan.
Akan tetapi, bagi para pendukung non-kekerasan yang berakibat timbulnya krisis, berusaha untuk mematahkan mata rantai kekerasan yang dapat menimbulkan krisis itu melalui tekanan moral, seperti dalam peringatan seratus tahun Parlemen Agama-Agama Dunia di Chicago (28 Agustus – 4 September 1993) merumuskan Deklarasi Etika Global (Erklarung zum Weltethos)6 yang salah satu prinsipnya untuk merintis etika global adalah kultur anti-kekerasan dan sikap hormat terhadap semua kehidupan. Sedang untuk merintis suatu weltethos diperlukan waktu dan proses yang panjang, karena berkaitan dengan : 1). Cara untuk menggali nilai-nilai kemanusiaan sedemikian rupa, sehingga dapat dipahami dan diterima oleh pihak lain secara menyeluruh. 2). Pencarian konsensus-konsensus secara dinamis, mencari basis bersama untuk menghadapi situasi yang cenderung memusuhi kemanusiaan manusia. 3). Memotong mata rantai kekerasan atau membangun budaya anti-kekerasan. Jangan sebaliknya, atas nama agama pola-pola itu disingkirkan untuk kepentingan politik atau ideologi orang hanya mengungkap sejarah konflik atau kepentingan sempit dan sesaat.
Sedang untuk menciptakan weltethos yang anti-kekerasan yang menimbulkan krisis sosial itu diperlukan norma moralitas yang berakar pada agama. Tanpa norma-norma itu menjadi relatif artinya dan layu. Agama sebagai salah satu sumber motivasi sosial, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat kolektif, mengambil tempat yang sangat penting. Di samping sumber-sumber motivasi sosial yang lain, seperti kemauan yang kuat untuk dapat hidup bersama dalam masyarakat yang keluar dari lubuk hati berdasarkan iman.7 Dan dalam semua agama kasih dan cinta terhadap sesamanya, merupakan unsur penting dalam menghayati berbagai usaha sosial yang memperkuat, mempertebal kerukunan dan rasa solidaritas dalam masyarakat, baik dalam lingkup masyarakatnya sendiri maupun dalam lingkup yang lebih luas. Kohesi suatu masyarakat banyak tergantung dari kemampuan ini yang berakar dari agama.

Penutup

Sebagai penutup dari uraian ini, perlu disampaikan bahwa manusia sebagai makhluk sosial harus memiliki kemauan atau tekad yang kuat untuk membangun suatu pandangan tertentu tentang hari depan, hari depan umat manusia. Memang sebagai makhluk yang future-oriented, perilaku hari ini harus benar-benar diperhitungkannya tentang hari depan (yang lebih baik).
Dalam memperhitungkan hari depan, manusia diliputi oleh harapan, ketakutan dan ketidakpastian yang beraneka ragam yang ikut menentukan perilakunya. Maka tidak mengherankan jika pandangan tentang makna hari depan menempati posisi yang amat penting dalam semua agama. Dan pada hari depan itu amat terbuka karunia Tuhan melalui ikhtiar dan keterlibatan manusia pada hari ini.

DAFTAR PUSTAKA
Bondurant, Joan V., Conquest of Violence, The Gandhian Philosophy of Conflict, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1969.
Camara, D.H., The Spiritual of Violence, London: 1971. Lihat, St. Sunardi, Keselamatan, Kapitalisme, Kekerasan, Kesaksian Atas Paradoks-Paradoks, Yogyakarta: LKiS, 1996.
Kung H & Kuschel, K.J., (ed.), Erklarüng zum Weltethos, Die Declaration des Parlementes des Weltreligiones, Seri Piper, Munchen-Zurich, 1993.
Lubis, Muchtar, Menggapai Dunia Damai, Jakarta: Obor, 1988.
Soedjatmoko, Etika Pembebasan, cet. II, Jakarta: LP3ES, 1985.

1 Joan V. Bondurant, Conquest of Violence, The Gandhian Philosophy of Conflict, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1969, hlm. xiii.
2 Camara, D.H., The Spiritual of Violence, London: 1971. Lihat, St. Sunardi, Keselamatan, Kapitalisme, Kekerasan, Kesaksian Atas Paradoks-Paradoks, Yogyakarta: LKiS, 1996, hlm. 163.
3 St. Sunardi, ibid., hlm. 165.
4 Johan Galtung, “Kekerasan, Perdamaian dan Penelitian Perdamaian”, Muchtar Lubis, Menggapai Dunia Damai, Jakarta: Obor, 1988, hlm. 164.
5 St. Sunardi, op.cit., hlm. 170-173.
6 Teks resmi ditulis dalam bahasa Inggris. Teks dalam bahasa Jerman dan penjelasannya termuat dalam Kung H & Kuschel, K.J., (ed.), Erklarüng zum Weltethos, Die Declaration des Parlementes des Weltreligiones, Seri Piper, Munchen-Zurich, 1993.
7 Soedjatmoko, Etika Pembebasan, cet. II, Jakarta: LP3ES, 1985, hlm. 203 dan 208.