Selasa, 28 Februari 2017

Ayat-Ayat tentang Kerasulan dan Kenabian

Oke para pembaca, berikut ini penjelasan tentang aya-ayat kerasulan dan kenabian, yang penulis rangkum pada 3 bagian; a) tujuan diutusnya Rasul; b) fungsi wahyu dalam kehidupan; dan c) misi ajaran seluruh rasul.
Perlu dipahami bahwa menurut bahasa, nabi berarti orang yang memberi kabar, orang yang mengkhabarkan hal-hal ghaib, orang yang meramalkan sesuatu. Adapun yang dimaksud dalam terminologi agama ialah, Nabi adalah seorang manusia yang memperoleh wahyu dari Allah yang berisi syariat, sekalipun tidak diperintahkan untuk disampaikan kepada manusia lainnya. Jika dia mendapat perintah Allah untuk disampaikan kepada orang lain, dinamailah dia Rasul. Setiap Rasul itu Nabi, tetapi tidak setiap nabi itu Rasul. (Kitab al-Jawahirul Kalamiyah)[1]

Dalam hubungan itu perlu dibedakan Rasul berupa malaikat dengan Rasul berupa Nabi, selain Rasul dalam bentuk malaikat, di dalam al-Qur’an juga tidak dapat dibedakan antara Nabi dan Rasul, justru nabi-nabi yang tercantum namanya itu sekaligus sebagai Rasul pula. Firman Allah dalam QS. Al-Hajj : 75
“Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Melihat”.
Dalam ayat tersebut menyatakan bahwa Allah berkehendak dan menetapkan memilih dari jenis malaikat dan juga dari jenis manusia untuk menjadi utusan-utusan-Nya. Ayat ini juga menunjukkan bahwa risalah illahiyah kerasulan atau kenabian adalah wewenang Allah semata-mata.
Dari uraian ayat di atas bahwa Allah memilih dan menetapkan para utusan-utusan-Nya. Maka tujuan diutusnya Rasul, serta fungsi wahyu akan kita bahas dalam makalah ini. Selain dari kedua hal tersebut, dalam makalah ini juga akan dibahas mengenai misi ajaran seluruh Rasul.


A. Tujuan Diutusnya Para Rasul

1. QS. Al-Baqarah 119
“Sesungguhnya kami Telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka”.[2]
2. QS. Al-Anbiya’ 45
“Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya Aku Hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan"
3. QS. Yasin 11
“Sesungguhnya kamu Hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia”.
Kata (اتبعittaba’ terambil dari kata (تبعtabi’a yang berarti mengikuti. Penambahan huruf (تta’ pada kata tersebut mengandung makna kesungguhan. Siapa yang bersungguh-sungguh mengikuti adz-dzikr yakni al-Qur’an, maka dia akan memperhatikan dengan seksama dan meneladani Nabi Muhammad saw, akan lahir keimanan yang kukuh dan mantap.
Penggunaan kata (الرحمنar-rahman pada ayat ini dan bukan lafadz “Allah” bertujuan menegaskan bahwa yang dimaksud adalah Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad saw, bukan Tuhan yang mereka persekutukan dengan berhala-berhala. Adapaun ar-rahman yang diperkenalkan Rasulullah saw sebagai salah satu nama Tuhan semesta alam. Kaum beriman yakin bahwa Dia Maha Pengasih, namun demikian, keyakinan tersebut tidak menjadikan mereka lengah dari sifat-Nya yang lain, seperti Jabbar/Maha Perkasa lagi Muntaqim/Maha Pembalas kesalahan pendurhaka. [3]
4. QS. An-Nahl 36
“Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang Telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.
Kata (طاغوتthaghut terambil dari kata (طغىthagha yang pada mulanya berarti melampaui batas. Ia biasa juga dipahami dalam arti berhala-berhala, karena penyembahan berhala adalah sesuatu yang sangat buruk dan melampaui batas. Dalam arti yang lebih umum, kata tersebut mencakup segala sikap dan perbuatan yang melampaui batas, seperti kekufuran kepada Tuhan, pelanggaran, dan kesewenang-wenangan terhadap manusia.
Hidayah (petunjuk) yang dimaksud ayat di atas adalah hidayah khusus dalam bidang agama yang dianugerahkan Allah kepada mereka yang hatinya cenderung untuk beriman dan berupaya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Secara panjang lebar macam-macam hidayah Allah telah penulis kemukakan ketika menafsirkan surah al-fatihah. Di sana antara lain penulis kemukakan bahwa dalam bidang petunjuk keagamaan, Allah menganugerahkan dua macam hidayah. Pertama, hidayah menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Cukup banyak ayat-ayat yang menggunakan akar kata hidayah yang mengandung makna ini, misalnya:
“Dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS. Asy-Syura [42]: 52)
Kedua, hidayah (petunjuk) serta kemampuan untuk melaksanakan isi hidayah itu sendiri. Ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah SWT, karena itu ditegaskannya bahwa :
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya”. (QS. Al-Qashash [28]: 56).
Allah menganugerahkan hidayah kedua ini kepada mereka yang benar-benar ingin memperolehnya dan melangkahkan kaki guna mendapatkannya.
Ketika berbicara tentang hidayah, secara tegas ayat di atas menyatakan bahwa Allah yang menganugerahkannya, berbeda ketika menguraikan tentang kesesatan. Redaksi yang digunakan ayat ini adalah telah pasti atasnya sanksi kesesatan, tanpa menyebut siapa yang menyesatkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kesesatan tersebut pada dasarnya bukan bersumber pertama kali dari Allah SWT, tetapi dari mereka sendiri. Memang ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa : “Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki”, tetapi kehendak-Nya itu terlaksana setelah yang bersangkutan sendiri sesat.
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka”. (QS. Ash-Shaf [61]: 5)[4]


B. Fungsi Wahyu dalam Kehidupan

Menurut bahasa, wahyu adalah pemberian isyarat, pembicaraan dengan rahasia, menggerakkan hati, penulisan segerakan. Adapun yang dimaksudkan dalam terminologi ialah pemberitahuan Allah kepada Nabi-Nya yang berisi penjelasan dan petunjuk kepada jalan-Nya yang lurus dan benar.
1. QS. Al-Baqarah 213
“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”.[5]
2. QS. Al-Anbiya’ 25
“Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".
Kami telah mewahyukan kepadamu bahwa tiada Tuhan penguasa dan pengatur langit dan bumi yang wajar disembah kecuali Aku dan Kami tidak mengutusmu wahai Nabi Muhammad, kecuali untuk mewahyukan kepadamu prinsip pokok itu dan demikian juga, Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelummu melainkan Kami wahyukan kepadanya masing-masing prinsip dasar yang sama, yakni: “Bahwa tidak ada Tuhan pencipta dan pengatur alam raya, lagi berhak disembah melainkan Aku, maka karena itu sembahlah Aku sendiri oleh kamu semua dan janganlah kamu mempersekutukan-Ku dengan apa dan siapa pun”.
Ayat di atas menggunakan bentuk jamak ketika berbicara tentang pewahyuan kepada para Rasul, yakni dengan menyatakan (نوحي إليهnuhi ilaihi/kami wahyukan kepadanya, tetapi menggunakan bentuk tunggal ketika menunjuk Allah SWT (Aku). Hal tersebut agaknya disebabkan karena ada keterlibatan selain Allah dalam penyampaian wahyu yakni malaikat, sedang dalam hal Ketuhanan dan kewajiban beribadah, maka ia adalah hak khusus Allah yang tidak disentuh oleh siapapun dan tidak boleh melibatkan apa dan siapa pun.[6]


C. Misi Ajaran Seluruh Rasul

1. QS. Ibrahim 4
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Di atas penulis jelaskan makna (إلا بلسان قومهilla bi lisani qaumihi dengan “kecuali dengan bahasa lisan dan pikiran sehat kaumnya”. Ini, karena bahasa di samping merupakan alat komunikasi, juga sebagai cerminan dari pikiran dan pandangan pengguna bahasa itu. Bahasa dapat menggambarkan watak dan pandangan masyarakat pengguna bahasa itu.
Ini merupakan bagian dari kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya bahwa Dia mengutus Rasul-Rasul dari kalangan mereka sendiri dan dengan menggunakan bahasa mereka supaya mereka dapat memahami risalah yang dibawa oleh para Rasul. Hal ini seperti diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi Dzar, dia berkata bahwa, rasulullah saw bersabda:
لَمْ يَبْعَثِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ نَبِيًّا إِلاَّ بِلُغَةِ قَومِهِ (رواه احمد)
“Tidaklah Allah azza wa jalla mengutus seorang Nabi kecuali dengan bahasa kaumnya”. (HR. Ahmad).[7]
2. QS. Fathir 24
“Sesungguhnya kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan tidak ada suatu umatpun melainkan Telah ada padanya seorang pemberi peringatan.
Karena tugas Nabi Muhammad saw selain memberi peringatan juga membawa berita gembira, maka ayat ini melanjutkan dengan menyatakan bahwa : sesungguhnya Kami mengutusmu kepada seluruh umat manusia dengan haq yakni perutusan yang haq lagi membawa kebenaran serta dari sumber Yang Haq yakni Allah SWT, engkau adalah pembawa berita gembira bagi yang taat dan pemberi peringatan bagi yang durhaka. Dan tidak ada satu umat pun dari umat yang terdahulu melainkan telah berlalu yakni telah datang padanya seorang pemberi peringatan – baik sebagai nabi atau Rasul yang ditugaskan langsung oleh Allah, maupun sebagai penerus ajaran Nabi dan Rasul.
Thabathaba’i menjadikan firman-Nya: (وإن من امة إلا خلا فيها نذيرwa in min ummatin illa khala fiha nadzir/ dan tidak ada satu umat pun melainkan telah berlalu padanya seorang pemberi peringatan, menjadikannya sebagai bukti bahwa setiap generasi masa lalu telah didatangi oleh seorang Rasul. Ini karena ulama itu memahami kata nadzir dalam arti “Rasul” yang menyampaikan berita gembira dan peringatan. Memang –tulisnya– tidak harus nabi itu berasal dari anggota masyarakat yang ada, karena ayat ini tidak menggunakan kata minba/ dari mereka tetapi fiha yakni di dalam masyarakat mereka.[8]
3. QS. Al-Mu’min 78
“Dan Sesungguhnya Telah kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak kami ceritakan kepadamu. tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; Maka apabila Telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. dan ketika itu Rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil”.
Persoalan ini memiliki banyak latar belakang. Allah mengisahkan sebagiannya di dalam kitab ini, dan sebagiannya tidak dikisahkan. Di antara masalah yang dikisahkan ialah isyarat tentang jalan panjang, yang mengantarkan, yang jelas dan yang memiliki rambu-rambu. Juga dikisahkan apa yang ditegaskan oleh sunnah terdahulu yang berlaku dan tidak dapat diingkari; serta penjelasan tentang hakikat risalah, fungsi Rasul, dan batasan-batasannya dengan sangat jelas.
Allah juga hendak memberikan pengertian kepada manusia ihwal hakikat ketuhanan dan kenabian. Mereka mengetahui bahwa para rasul itu manusia seperti mereka, yang dipilih Allah, dan ditentukan tugasnya. Mereka tidak mampu dan tidak pernah berusaha untuk melampaui batas-batas tugas ini. Juga supaya manusia mengetahui bahwa penangguhan suatu kejadian luar biasa merupakan rahmat bagi mereka.[9]

ANALISIS
Nabi adalah manusia pilihan Allah di antara sekian banyak manusia. Manusia memiliki tingkat kecerdasan, sehingga Nabi itulah yang memiliki tingkat kecerdasan yang paling tinggi. Sebagai insan pilihan Tuhan yang dapat menerima pancaran sinar wahyu, dan dengan akal Nabi yang bening sehingga mudah menangkap wahyu.
Nabi adalah penuntun umatnya dan sebagai suri tauladan. Tujuan diutusnya para Rasul yakni sebagai pembawa kabar gembira, peringatan, dan sebagai suri tauladan yang baik bagi umatnya. Wahyu yang dibawa oleh para Rasul itu secara garis besar berisi:
1. Aqidah
2. Hukum-hukum
3. Akhlak
4. Ilmu Pengetahuan
5. Tarikh
6. Informasi
Misi ajaran seluruh Rasul itu menyampaikan risalah-risalah Tuhan kepada umatnya. Allah mengutus para Rasul dengan membawa risalah sesuai dengan bahasa kaumnya.

KESIMPULAN
Nabi mempunyai prinsip yang sama dan tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Nabi adalah manusia pilihan Allah di antara sekian banyak manusia. Misi ajaran Rasul itu menyampaikan risalah-risalah Tuhan kepada umatnya. Allah mengutus para Rasul dengan membawa risalah sesuai dengan bahasa kaum-Nya.

DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin, Imam, Terjemah Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru, 1990.
Quthb, Sayyid, Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera, 2004.
Ya’qub, Hamzah, Filsafat Agama, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992.



[1] Dr. H. Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992, hlm. 137
[2] Imam Jalaluddin, Terjemah Tafsir Jalalain, Bandung: Sinar Baru, 1990, hlm. 62.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 11, Jakarta: Lentera, 2004, hlm. 129.
[4] Ibid., vol 7, hlm. 230.
[5] Imam Jalaluddin, op.cit., hlm. 116.
[6] M. Quraish Shihab, op.cit., vol. 8, hlm. 437.
[7] Ibid., vol. 7, hlm. 12.
[8] Ibid., vol. 11, hlm. 203.
[9] Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004, hlm. 139.