Sepeninggal Nabi Muhammad SAW sebagai sumber utama rujukan ketika muncul permasalahAn dikalangan kaum muslimin, para sahabat banyak yang menyebar ke daerah-daerah Islam yang baru. Mereka banyak berbeda pendapat dalam merumuskan jawaban-jawaban atas permasalahan yang muncul akibat perbedaan latar belakang.
Seperti diketahui bahwa para sahabat pada masa khalifah ke tiga yaitu Utsman bin Affan banyak dari mereka yang menyebar ke berbagai wilayah Islam. Mereka banyak membawa riwayat hadits Nabi ke Yaman, Iraq, Syam, dan hijaz sekaligus membawa hukum syariat Islam yang kemudian diikuti oleh para tabiin di berbagai daerah yang berbeda. Di daerah-daerah ini latar belakang kehidupan yang banyak timbul masalah-masalah baru dan sedikit nash-nash hadith yang sampai pada mereka mengakibatkan perbedaan metode pembentukan hukum Islam dengan para sahabat yang menetap di sekitar Hijaz dimana banyak terdapat nash-nash hadith dan tidak banyak muncul masalah-masalah baru.
Dari
sinilah timbul madarasah-madrasah pemikiran dalam pembentukan hukum Islam yang mendasarkan pada metode yang berbeda
yaitu metode yang mengedepankan ra’yu (akal) dan metode yang
mengedepankan teks.
Yang dimaksudkan dengan Ahlu
al-Ra’y adalah aliran ijtihad yang mempunyai pandangan bahwa hukum Islam itu
merupakan ketentuan-ketentuan doktrial yang mengacu pada kemaslahatan kehidupan
umat manusia.[1] Bukan berarti ra’yu di sini dipahami
penggunaan akal tanpa aturan, menyalahi nash atau mengutarakan pendapat dengan
gegabah dan kurangnya pengetahuan nash-nash dan pengambilan hukum di dalamnya.[2] Dalam penetapan hukum aliran ini banyak
dipengaruhi oleh cara berfikir ulama-ulama Iraq. Mereka mengikuti pola pikir Umar bin Khattab dan
Ibnu Mas’ud. Kecenderungan mereka dalam menetapkan hukum banyak menggunakan akal.
Jika melihat sejarah, Umar
bin Khattab adalah salah satu sahabat yang paling memahami nash-nash, paling
banyak melakukan ijtihad dalam memahaminya dan banyak menggunakan daya analisis
memperhatikan qarinah, maqashid syari’ah dan pertimbangan kemaslahatan,
kendatipun Umar selalu mengedepankan musyawarah dengan sahabat-sahabat yang
lain dalam menemukan hukum suatu permasalahan. Hal tersebut dapat digambarkan
oleh pernyataan imam as-Sya’by[3] yang mengatakan bahwa Umar telah memutuskan
seratus kasus melalui musyawarah dengan sahabat-sahabat yang lain ketika tidak
ditemukan nash al-Quran atau hadits dalam pemecahannya.[4]
Metode yang digunakan Umar
ini banyak diadopsi Abdullah bin Mas’ud dan mewariskan metodologi pemikirannya
kepada beberapa muridnya yang sangat apresiatif seperti Alqamah, Masruq dan
Syuraih. Dan dari Alqamah inilah, pemikiran rasioanlis itu dikembangkan oleh
Ibrahim al-Nakha’ie, pendiri madrasah ra’yu sekaligus guru Abu Hanifah.[5]
Beberapa hal yang melatar
belakangi munculnya madrasah ahl al-ra’y adalah
Pertama adalah pengaruh besar dari Abdullah bin
Mas’ud yang pernah tinggal dan menetap di Kufah Iraq, sebagai penerus pola
pemikiran Umar bin Khattab seperti yang telah dikemukakan sebelumnya.[6]
Kedua, hadits-hadits Nabi dan fatwa-fatwa sahabat
tidak banyak ditemukan di wilayah Iraq, jika dibandingkan dengan wilayah
Madinah. Penduduk Madinah mempunyai pembendaharaan hadits yang mereka jadikan
pedoman dalam menetapkan hukum karena Madinah adalah tanah air Nabi. Sedang
ahli fiqih Iraq kurang didukung oleh pembendaharaan hadits seperti ini,
sehingga dalam menetapkan hukum, mereka menggunakan kekuatan akal pikiran,
mereka berijtihad dalam memahami tujuan nash dan sebab-sebab ditentukannya
hukum tersebut.[7]
Ketiga, setelah terbunuhnya Khalifah Usman, kemudian
berlanjut dengan perang Jamal yang menuntut balas atas darah Ustman. Muawiyah
tidak mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib sehingga meletus perang Shiffin.
Setelah peristiwa tahkim muncul kaum Khawarij dan kelompok Syiah. Kericuhan itu
terus berlanjut sampai terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu
Bani Umayyah menguasai pemerintahan dengan cara paksa.Kelompok Khawarij, Syiah
dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan dan saling menumpahkan darah.
Sejak itu mulai timbul hadits-hadits palsu yang dibuat untuk memperkuat
kelompoknya masing-masing. Kelompok Syiah Rafidah yang bermarkas di Kufah
dikenal paling banyak membuat Hadits palsu. Para ahli fiqih Iraq sudah
menyaksikan aksi pemalsuan hadits, sedang ahli fiqih Madinah tidak
menyaksikannya. Dengan latar belakang tersebut selanjutnya para ulama Iraq
sangat hati-hati dalam menerima periwayatan hadits. Mereka hanya menerima
hadits-hadits yang benar-benar sudah populer di kalangan ahli fiqih saja. Kalau
mereka mendapatkan suatu hadits yang muatannya dipandang tidak relevan dengan
hikmah atau tujuan penetapan hukum dalam syari’at, maka mereka menta’wil hadits
atau meninggalkannya.[8]
Keempat
situasi kondisi di Irak berbeda dengan di Madinah. Sistem interaksi sosial,
muamalah, tradisi dan tata aturan yang ada di Iraq merupakan hasil dari
benturan beberapa peradaban, khususnya peradaban Persia. Medan ijtihad di Iraq
lebih luas dan diskursus pelbagai masalah lebih berwarna. Sehingga terjadi
kecenderungan untuk menggunakan analisis ketika menerapkan hukum suatu masalah.
Ibrahim al-Nakha’ie berkata,” ketika saya mendengar satu hadits, saya mempu
untuk mengqiyaskan kepadanya seratus permasalahan”[9]
Kelima Di kalangan umat Syi’ah muncul gerakan aliran kebathinan dengan
beragam nama, dan yang terpenting adalah Bathiniyah (para pencari makna batin
atau spiritual dari wahyu). Sedikit banyak gerakan ini memberi pengaruh
terhadap pola pikir umat Iraq, yang mengedepankan rasio dalam menggali hukum
suatu masalah, dikarenakan mereka meyakini bahwa segala sesuatu itu mempunyai
ma’na tersirat.[10]
Ciri khas Madrasah ahl al-Ra’y
Manna’ al-Qattan dalam
kitabnya, Tarekh al-Tasyri’ al-Islamy, al-Tasyri’ wa al-Fiqh menjelaskan
ciri khas atau karakter madrasah ahlu ra’yu sebagai berikut.
Pertama, penggunaan rasio terhadap
permasalahan-permasalahan parsial tidak hanya terbatas pada fenomena yang
terjadi pada masa itu. Bahkan mereka juga memprediksikan hukum suatu masalah
yang belum terjadi. Ungkapan yang sering mereka kemukakan adalah aroaita lau
kadza? “bagaimana pendapatmu seandainya begini..begitu..” sehingga mereka
dijuluki oleh kompetitornya, ahlu hadits dengan sebutan al-Aroaitiyyun. Metodologi
mereka dikenal sebagai fiqh iftiradli atau fiqih pengandaian.[11]
Kedua, sangat selektif dalam
penerimaan suatu hadits dengan membuat persyaratan yang ketat. Dan memang
mereka mengikuti pola pikir Umar bin Khattab dan Ibn Mas’ud seperti yang
diterangkan di atas, dalam penetapan suatu periwayatan hadits dengan tidak
memperbanyak periwayatan hadits dari Nabi, dikhawatirkan mereka terjerumus ke
dalam hadits-hadits palsu. Hal tersebut menjadikan mereka
meremehkan periwayatan hadits dan sebaliknya, mereka lebih mengedepankan rasio.[12]
Para ulama ahl al-hadits membatasi
kajian fiqihnya hanya merujuk pada al-Quran dan hadits Nabi serta tidak mau
melangkah lebih jauh dari keduanya, mereka cenderung tidak menyukai kajian
nalar juga sangat berhati-hati ketika mengemukakan fatwa suatu permasalahan.[13] Golongan ini mayoritas berdomisili di
Madinah, kecenderungan ini dapat dipahami karena di tempat inilah Nabi
bermukim, sehingga masyarakat yang tinggal di wilayah ini diyakini mencerminkan
tipe ideal yang mengacu pada Sunnah Nabi.[14]
Mereka berpegang pada
kedua sumber hukum, al-Quran dan Hadits secara ketat. Jika tidak ditemukan
hukumnya dalam keduanya, mereka berpaling pada praktek dan pendapat para
sahabat. Mereka menggunakan rasio pada situasi yang sangat terpaksa. Hal itu
tercerminkan ketika mereka tidak menemukan hukum suatu masalah pada nash-nash
qurani atau hadits dan praktek sahabat, mereka sepakat menggunakan ijtihad,
kendatipun dengan metode dan proporsi yang sangat terbatas jika dibandingkan
penggunaan rasio pada golongan ahl al-ra’y
Madrasah ini cenderung tidak
memberikan ruang yang luas bagi nalar dan banyak bersandar pada bukti-bukti
atsar atau nash-nash. Mereka ketika ditanya mengenai suatu permasalahan, jika
mereka mengetahui ada ayat quran atau hadis yang menerangkan hukumnya, maka
mereka akan berfatwa. Jika tidak menemukan ayat quran atau hadits, mereka
cenderung tawaqquf.[15]
Sikap tersebut merupakan hal yang
wajar karena beberapa faktor,:
Pertama, Madinah adalah tempat tinggal Nabi, menyerukan dakwah
islamiyah, kemudian para sahabat menyambut, mendengarkan, memelihara semua
pelajaran dari beliau kemudian menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Dan
generasi tabiin pun mewarisi tradisi tersebut dengan sangat baik.[16]
Kedua,
kehidupan sosial penduduk Madinah yang simpel jika dibandingkan dengan Iraq
yang telah bercampur dengan peradaban-peradaban bangsa lain, yang menjadikan
medan ijtihad semakin luas, berbanding seimbang dengan banyaknya
permasalahan-permasalahan baru yang muncul pada waktu itu.
Ketiga,
letak geografis Madinah yang jauh dari medan perselisihan beberapa golongan,
seperti khawarij dan syi’ah yang terjadi pergulatan politik di wilayah Iraq.
Terlepas dari semua itu, pola pemikiran penduduk Madinah waktu itu banyak
dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama sebelumnya yang sangat berlandaskan
nash-nash, serta menjauhi nalar akal dan qiyas, seperti Zaid bin Tsabit dan
Abdullah bin Umar.[17]
Ciri khas
Madrasah ahl al-Hadits
Dalam
penggalian hukum suatu masalah, Ulama
pengikut madrasah ini membatasi hanya merujuk pada al-Quran
dan hadits Nabi serta tidak mau melangkah lebih jauh dari keduanya, mereka
cenderung tidak menyukai kajian nalar juga sangat berhati-hati ketika
mengemukakan fatwa suatu permasalahan. Mereka juga mengungkapkan bahwa hukum
itu hanya bersandarkan pada fenomena yang terjadi saat ini, seakan menyindir
ahlu ra’yu dengan fiqh iftiradli-nya.
Nash-nash
hukum islam, baik al-Quran maupun hadits dipahami secara tekstual oleh pengikut
madrasah ini, serta menganggap hukum sebagai ketentuan ilahi yang tidak dapat
dirasionalisasi, sehingga mereka menafikan Illat dan hubungan suatu
hukum.
As-Sya’by mengomentari madrasah
ini sekaligus menolak gagasan rasionalisme Ibrahim al-Nakha’ie, “sesuatu yang
diriwayatkan dari para sahabat, ambil dan jagalah. Sedang sesuatu yang keluar
dari hasil nalar mereka, buanglah ke toilet”.[18]
Contoh dari pola pikir kedua madrasah ini dalam menyikapi hadits di
bawah ini,
-
فى كل أربعين شاة شاة الى عشرين ومائة. ( رواه الترمذى )
-
فرض رسول الله ص م زكاة الفطر صاعا من تمر او صاعا من
شعير. ( رواه مسلم )
Para ahli fiqih Iraq memahami hadits-hadits tersebut secara
rasional, yaitu berdasarkan tujuan ditetapkannya zakat itu. Pemilik 40ekor
kambing wajib memberikan seekor kambing tujuannya untuk membahagiakan orang
fakir miskin, maka boleh baginya memberikan harta yang senilai dengan satu
kambing itu yang bisa membahagiakan mereka.
Mengeluarkan zakat fitrah, tujuannya untuk menyenangkan fakir
miskin dan berbagi kemanfaatan, yaitu satu sha’ kurma atau selain itu yang sama nilainya. Dengan
demikian, penyebutan redaksi kambing dan satu sha’ kurma bukannya suatu
yang dituntut dan dimaksudkan oleh syara’. Tujuan utama dalam kewajiban zakat
adalah menutupi kebutuhan hidup fakir miskin. Maka dengan dasar pertimbangan
ini, diperbolehkan mengeluarkan zakat seekor
kambing dengan harga yang senilai, dan zakat fitrah yang senilai dengan satu sha’
kurma.
Adapun ulama fikih Madinah memahami hadits-hadits tersebut secara
tekstual tanpa mempertimbangkan illat dan tujuan ditetapkannya hukum
zakat itu, sehingga mereka tetap mewajibkan zakat kambing dan satu sha’
kurma itu sendiri sesuai dengan bunyi nash tersebut. Tidak sah mengganti dengan
harga yang senilai.[19]
Pengaruh kedua
aliran dalam penggalian hukum islam
Ketika wewenang dan kekuasaan tasyri’
berada di tangan generasi tabi’in dan tabi’ tabi’in
senior, maka arah dan sasaran penetapan hukum mereka mengikuti sesuai apa yang
pernah dilakukan dan ditempuh oleh guru-guru mereka dari generasi sahabat,
yakni dengan tetap merujuk kepada sumber-sumber tasyri’ dan
memperhatikan prinsip-prinsip dalam pnetapan hukum islam. Kemudian pada periode
ini, sudah mulai ada diskursus dan perbedaan pendapat dan pola pemikiran di antara
sebagian ulama. Hal ini mengakibatkan munculnya arah dan sasaran tasyri’
yang baru. Di Madinah tegak berdiri madrasah hadits, pemegang dan pemelihara
hadits.Dalam
penggalian hukum suatu masalah, mereka
hanya
merujuk pada al-Quran dan hadits Nabi serta tidak mau melangkah lebih jauh dari
keduanya, mereka cenderung tidak menyukai kajian nalar juga sangat berhati-hati
ketika mengemukakan fatwa suatu permasalahan. Mazhab
ini terkait dengan nash – nash syara’ yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits
dan tidak melakukan ra’yu yang bersandar pada usaha akal semata.
Argumentasi mereka bahwa syari’ah itu dari Allah, oleh sebab itu tidak layak
menjadi arena percaturan hamba – hambanya, pendapat manusia bisa salah dan
benar, sedangkan al-Qur’an dan as-Sunah terlepas dari kesalahan.
Kemudian di wilayah Iraq muncul
madrasah ra’yu, Madzhab ini disebut ahli ra’yu karena cenderung
mereka banyak menggunakan rasio dalam menetapkan hukum. Mereka memiliki
pandangan tersendiri terhadap syari’ah Islam. Mereka mempunyai pandangan bahwa hukum Islam itu
merupakan ketentuan-ketentuan doktrial yang mengacu pada kemaslahatan kehidupan
umat manusia.[20]dalam menetapkan hukum, mereka menggunakan
kekuatan akal pikiran, mereka berijtihad dalam memahami tujuan nash dan
sebab-sebab ditentukannya hukum tersebut.[21]
Perbedaan kedua kelompok tersebut dalam penggalian hukum berpengaruh pada
generasi selanjutnya dalam pembentukan fiqih. Pada satu sisi ahlu hadits tetap
menggunakan ra’yu meskipun hanya dalam kondisi yang sangat terpaksa. Begitu
juga ahlu ra’yu sangat selektif dalam menerima hadits, karena banyak
beredar pada waktu itu hadits-hadits palsu. Imam Malik yang mengikuti tradisi
ahlu hadits dalam menetapkan hukum juga tetap menggunakan ra’yu dalam Muwattha’nya.
Dari pola pemikiran ulama
periode inilah, khususnya teori nalarnya Ibrahim al-Nakha’ie, muncul
metode-metode baru dalam istinbath hukum, seperti qiyas, istihsan,
maslahah mursalah, ’urf, juga istishab, yang akan memberikan warna
dalam kajian keilmuan islam, khusunya dalam metode pembentukan hukum islam.Wallahu
a’lam bi al-shawab.
Kesimpulan
Pada akhirnya sebenarnya kedua
aliran tersebut tetap menggunakan akal pada setiap metode pembentukan hukum.
Hanya saja kadar yang digunakan berbeda. Ahl al-ra’y banyak menggunakan
akal karena tidak banyak nash hadits yang mereka terima untuk menghadapi masalah-masalah
baru yang muncul, dan lebih selektif terhadap
hadits karena khawatir akan terjerumus pada hadits-hadits palsu yang banyak
beredar. Dengan tetap berada pada jalur panggunaan akal yang tidak bertentangan
dengan teks.
Sedangkan aliran ahl al-hadits lebih
mengedepankan nash secara tekstual dikarenakan tempat berkembangnya aliran ini
yaitu di daerah hijaz lebih banyak terdapat hadits dan jauh dari
masalah-masalah baru. Tetapi tetap
menggunakan akal ketika dalam keadaan terpaksa.
[1].
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal.
119. Lihat juga Mukhtar Yahya dkk, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, PT.
Al-Ma’arif, Bandung, 1999, hal. 129.
[2].
Wahbah Zuhaily, Ijtihad al-Tabi’in, Damaskus,
Dar al-Maktaby, 2000, hal. 35.
[3].
Nama aslinya Amir bin Syarahil, dilahirkan di Kufah tetapi menetap di Madinah,
salah seorang ulama sentral penganut madrasah ahlu hadits. Meriwayatkan hadits
dari Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr, Jabir bin
Abdullah, Nu’man bin basyir, Abu Huraira dan lainnya. Lihat di kitab Thabaqat
Ibnu Sa’d, jilid 6, hal. 246
[4].
Manna’ al-Qattan, Tarekh al-Tasyri’ al-Islamy, al-Tasyri’ wa al-Fiqh, Riyadl,
Maktabah al-Ma’arif, 1996, hal 289.
[5]
Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, Sebuah Pengantar. Surabaya,
Risalah Gusti,1995, hal. 59.
[6].
Manna’ al-Qattan, Tarekh al-Tasyri’ al-Islamy, al-Tasyri’ wa al-Fiqh, Riyadl,
Maktabah al-Ma’arif, 1996, hal 290.
[7].
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta,
PT Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 89.
[8].
Ibid.
[9].
Manna’ al-Qattan, Tarekh al-Tasyri’ al-Islamy, al-Tasyri’ wa al-Fiqh, Riyadl,
Maktabah al-Ma’arif, 1996, hal 290. Lihat di kitab Jami’u Bayan al-Ilmi wa
Fadlihi karya Ibnu Abdil Bar, jilid 2 hal 28. Terbitan Dar al-Fikr, Beirut.
[10].
Syahrastani, Milal wa al-Nihal vol. I, , Beirut, Dar al-Fikr,2005,hal.
29
[11].
Manna’ al-Qattan, Tarekh al-Tasyri’ al-Islamy, al-Tasyri’ wa al-Fiqh, Riyadl,
Maktabah al-Ma’arif, 1996, hal 291.
[12].
Ibid.
[13].
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal.
134.
[14].
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Logos wacana Ilmu, Jakarta, 1997,
hal. 24.
[15].
Manna’ al-Qattan, Tarekh al-Tasyri’ al-Islamy, al-Tasyri’ wa al-Fiqh, Riyadl,
Maktabah al-Ma’arif, 1996, hal 292.
[16].
Dedi supriyadi, sejarah hukum islam, dari kawasan jazirah arab sampai
Indonesia. Bandung: CV.Pustaka Setia,2007, hal. 89.
[17].
Manna’ al-Qattan, Tarekh al-Tasyri’ al-Islamy, al-Tasyri’ wa al-Fiqh, Riyadl,
Maktabah al-Ma’arif, 1996, hal 293.
[18]
Manna’ al-Qattan, Tarekh al-Tasyri’ al-Islamy, al-Tasyri’ wa al-Fiqh, Riyadl,
Maktabah al-Ma’arif, 1996, hal 292.
[19].
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta,
PT Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 97.
[20].
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal.
119. Lihat juga Mukhtar Yahya dkk, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, PT.
Al-Ma’arif, Bandung, 1999, hal. 129.
[21].
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta,
PT Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar