Selasa, 08 Mei 2012

Biografi Muhammad Abduh


            Muhammad Abduh lahir pada tahun 1266 H atau 1849 M disebuah distrik bernama Sibsyir kota Mahallah Nasr dari profinsi Bakhirhah, Mesir. Tumbuh ditengah keluarga berperekonomian menengah yang berprofesi sebagai petani. Beliau belajar Al-quran di rumah ayahnya saat beliau berusia10 tahun. Dan selesai menghafalnya setelah dua tahun. Kemudian ayahnya mengutus beliu ke profinsi thanta guna memperbaiki bacaan tajwid disebuah sekolah al-quran bernama Al-Jamie Al-Ahmadi.
            Diusianya yang masih remaja Muhammad Abduh dikenal sebagai anak yang tekun dan semangat dalam menuntut ilmu. Hal ini terlihat dari hasil gemilang yang kerap diperoleh. Kemudian beliau pindah ke Universitas Al-Azhar pada pertengahan syawal 1282.H atau 1862.M guna melanjutkan jenjang pendidikan. Beliau slalu konsisten dan istiqomah menuntut ilmu dari guru-gurunya (suyukh). Hingga ia bertemu dengan syekh Syaid Jamaluddin Al-Afghani pada bulan muharram 1287.H. yang darinya beliau banyak belajar berbagai macam ilmu. Diantaranya: ilmu riyadi, filsafat, dan ilmu kalam. Keterikatan beliau dan Jamaluddin Al-Afghani sangatlah erat. Sehingga dalam waktu singkat dampak pemikiran Jamaladdin Al-Afghani tampak jelas pada diri Muhammad Abduh. Banyak buku yang telah dibaca dan dikuasai. Kemudian beliau mulai menulis dan menerbitkan buku. Beliau banyak menulis dalam ilmu mantiq dan ilmu kalam. Ulasan dan pembahasan sangat yang sistematis. Sampai-sampai beberapa mahasiswa memujinya dangan ungkapan: "tak pernah sebelumnya aku membaca yang sehebat ini". Sejak itu beliau mulai terkenal. Terlebih setelah beliau mendapatkan "Sahadah Alamiyah" dari Al-Azhar Univesity pada tahun 1294 H atau 1877 M. Selanjutnya beliu mengajar dibeberapa sekolah. [1]
            Pada tahun 1300 H atau 1882 M beliau dideportasi karena dianggap terlibat dalam revolusi arab. Kemudian beliau berdiam di Syam. Ditengah masa pengasingannya beliau sempat tinggal di Paris selama sepuluh bulan hingga menerbitkan sebuah jurnal urwatul wusqa bersama guru beliau Jamaluddin Al-Afghani. Beliau kembali ke Mesir pada tahun 1307 H atau 1889 M dan diangkat menjadi anggota Majlis Idaroh Al-Azhar. Kemudian mendapat kedudukan sebagai Mufti Mesir pada tahun 1317 H atau 1899 M.[2] 
            Perjuangannya dalam menegakkan agama Allah diperlihatkannya dengan jelas antara lain melalui sumpahnya. Walaupun ia berada dalam masa pembuangannya yang jauh dari Tanah Air sendiri, namun semangat juangnya tidak pernah luntur, bahkan lebih menyala-nyala. Saat itu dianggap sebagai suatu kesempatan yang terbaik untuk melebarkan sayap perjuangan dan mengembangkan dakwah Islam seluas-luasnya. Sebelum ia berada di kota Paris yang dikenal sebagai kota sentral peradaban dan kebudayaan Eropa, ia bersumpah dan berjanji untuk dirinya sendiri agar dia betul-betul berjuang dengan sungguh-sungguh. Diantara sumpah tersebut berbunyi:
“Saya bersumpah atas mana allah, bahwa saya akan berpegang teguh kepada kitab Allah dalam segala amal baktidan sikap moral saya tanpa penyimpangan dan penyesatan.
Saya akan senantiasa siap memperkenankan panggilan Tuhan dalam bentuk perintah atau larangan-Nya dan akan berdakwah sepanjang hayat saya tanpa pamrih.
Saya bersumpah atas nama Allah yang memiliki roh dan harta benda saya Yang menggenggam nyawa serta mengendalikan segenap perasaan saya; bahwa saya akan rela mengorbankan apa yanga da pada diri sayauntuk menghidupkan rasa solidaritas Islam yang mendalam.
Saya bersumpah atas nama kehebatan dan kekuasaan Allah bahwa saya tidak akan mendahulukan kecuali apa yang diprioritaskan oleh agama Allah dan tidak akan menbelakangkan sesuatu langkah kalau akan membawa kerugian bagi agama, sedikit atau banyak.
Dan saya berjanji kepada Allah bahwa sayaakan selalu berdaya upaya mencari segala jalan atau peluang untuk kekuatan Islam dan kaum Muslimin.[3]
            Menurut Abduh, Agama Islam datang dengan kepercayaan Tauhid, mengesakan Allah Swt dalam Dzat-Nya dan perbuatan-Nya serta bersihnya dari hal yang serupa dengan segala makhluk. Islam mengemukakan dalil-dalil bahwa alam ini mempunyai Tuhan Pencipta yang satu lagi memunyai sifat-sifat utama yang dibuktikan oleh tanda-tanda karya ciptaan-Nya, yaitu sifat-sifat Ilmu, Qudrat, Iradat dan lain-lain. Dan bahwa tidak ada satupun diantara makhluk-Nya yang menyerupai-Nya dan bahwa tidak ada nisbah (sandaran) antara-Nya dengan para makhluk kecuali bahwa Dialah yang mewujudkan mereka itu. Dengan ajaran tauhid, jadilah manusia selaku hamba Allah semata-mata, merdeka dari segala macam perhambaan yang lain daripada-Nya. Ia mempunyai hak asasi sebagai manusia yang merdeka, yang tidak ada perbedaan antara hak orang yang mulia dan orang rendah. Tidak ada dalam Islam orang bawah dan tidak pula orang atasan. Tidak ada kelebihan antar sesama manusia kecuali dengan kelebihan nilai-nilai amal mereka, dan dalam kelebihan akal serta pengetahuan mereka.[4]
            Islam menuntut semua orang yang mempunyai kesanggupan supaya bekerja. Islam menentukan bahwa keuntungan ataupun kerugian tiap-tiap diri itu tergantung kepada kerja yang dilakukannya.
`yJsù ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB >o§sŒ #\øyz ¼çnttƒ ÇÐÈ   `tBur ö@yJ÷ètƒ tA$s)÷WÏB ;o§sŒ #vx© ¼çnttƒ ÇÑÈ  
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.”(QS. Al-Zal-zalah [99]: 7-8)
            Islam menerangkan bahwa pintu-pintu karunia Ilahi tidak pernah terkunci bagi siapa yang mencarinya. Sedang rahmat-Nya yang meliputi segala sesuatu tidak pernah ditahan-tahan untuk kepentingan segala makhluk di bumi ini. Islam mencela dengan keras kepada penganut-penganut agama yang sangat fanatik kepada kekunoan para nenek moyang mereka dan hanya mau melihat jalan usang yang dibuat oleh para leluhur mereka. Maka, dengan ajaran Islam ini menjadi bebas merdekalah rasio manusia dari segala belenggu yang membelitnya. Dibebaskannya dari pengaruh taklid yang memperbudaknya, serta dikembalikannya kepada tempat di mana akal itu bertahta. Akal dipersilakan untuk memberikan putusan dengan ilmu dan kebijaksanannya sendiri disamping harus tunduk hanya kepada allah Yang Mahatunggal semata dan berdiri patuh pada peraturan syari’at agama-Nya.[5]
            Dengan pemahaman ajaran seperti inilah menjadi sempurna bagi manusia dua buah persoalan pokok besar yang selama ini merupakan tabu, bahkan haram, bagi manusia untuk menyetujuinya, yaitu Kebebasan Berkehendak (free will) dan kemerdekaan rasio atau akan dan pikiran. Sebab hanya dengan inilah terbuka kesempatan lebih luas bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan lebih yang telah disediakan Ilahi.[6]
            Dalam melakukan pembaharuan pemikiran Islam, Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah selamanya datang melalui revolusi atau cara serupa. Seperti halnya perubahan sesuatu secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode pemikiran pada umat islam. Melaui pendidikan, pembelajaran, dan perbaikan akhlaq. Juga dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang bisa melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengannya akan tercipta rasa aman dan keteguhan dalam menjalankan agama islam. Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan yang lebih besar dibanding melalui politik dan perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan suatu kebangkitan dan kemajuan.
            Sebagaimana telah diungkapkan oleh Muhammad Abduh bahwa metodenya dalam perbaikan adalah jalan tengah. Dalam hal ini beliau membagi umat Islam kepada dua bagian yaitu:
1.             Mereka yang condong kepada ilmu-ilmu agama dan apa yang berhubungan dengan itu semua. Mereka itu yang biasa disebut al-muqallid.
2.             Mereka yang condong pada ilmu-ilmu dunia. Yang silau dan kagum akan barat serta berbagai disiplin ilmu yang dimiliki,dan kemajuannya dalam bidang materi.
           Oleh karenanya, setidaknya terdapat dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Muhammad Abduh sebagaimana diakuinya sendiri:
1.             Membebaskan akal pikiran dari belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama dan mengupayakan dengan semaksimal mungkin untuk memahami permasalahan agama lansung bersumber dari al-Qur’an.
2.             Memperbaiki gaya bahasa Arab yang berkembang dalam komunikasi dan interaksi di kantor-kantor, maupun dalam tulisan-tulisan di media massa penerjemahan atau korespondensi.[7]
            Metode dalam pembaharuan yang digunakan oleh Muhammad Abduh adalah mengambil jalan tengah antara kedua kelompok di atas. Menyeimbangkan antara kedua jalan tersebut. Yaitu antara kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan mereka yang berlebihan dalam mengikuti barat baik itu pada budaya dan disiplin ilmu yang mereka miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh Muhammad Abduh dalam metode pembaharuannya: “sesengguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari ikatan belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat terdahulu”. Yang dimaksud dengan salaful umat di sini adalah kembali kepada sumber-sumber yang asli yaitu al-qur’an dan al-hadist sebagaimana yang dipraktikkan oleh para salafus shaleh terdahulu.
            Sesungguhnya bagi Abduh, persoalannya bukanlah apakah mungkin menjadi Muslim sambil tetap menerima dunia modern. Melainkan apakah Islam itu relevan dengan modernitas atau tidak. Karena itu, beliau ingin membuktikan bahwa Islam  merupakan agama yang mendukung pada rasionalitas yang hal tersebut menjadi basis kehidupan modern. Beliau menyebutkan pula bahwa tidak ada konflik antar Islam dan prinsip peradaban modern seta membersihkannya dari nodanya. Bila peradaban modern mengenal Islam sejati, maka Islam akan menjadi pembela yang gigih, dan sumber kekuatannya. Kekuatan akan sirna dan bukti kekuatannya adalah bahwa al-Qur’an tetap bertahan sebagai kebenaran Islam.[8]


[1] Pengantar penerjemah dalam Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terjemah Firdaus A.N. (Jakarta: Bulan Bintang, 1963), hlm. vii.
[2] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid ..., hlm. xiii. Lihat juga Khozin dkk., Pembaruan Islam..., hlm. 101.
[3] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid ..., hlm. x.
[4] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid ..., hlm. 127-131.
[5] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid ..., hlm. 134.
[6] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid ..., hlm. 134-135.
[7] Khozin dkk., Pembaruan Islam..., hlm. 102.
[8] Khozin dkk., Pembaruan Islam..., hlm. 104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar