Muhammad
Abduh lahir pada tahun 1266 H atau 1849 M disebuah distrik bernama Sibsyir kota
Mahallah Nasr dari profinsi Bakhirhah, Mesir. Tumbuh ditengah keluarga
berperekonomian menengah yang berprofesi sebagai petani. Beliau belajar
Al-quran di rumah ayahnya saat beliau berusia10 tahun. Dan selesai menghafalnya
setelah dua tahun. Kemudian ayahnya mengutus beliu ke profinsi thanta guna
memperbaiki bacaan tajwid disebuah sekolah al-quran bernama Al-Jamie Al-Ahmadi.
Diusianya yang masih remaja Muhammad
Abduh dikenal sebagai anak yang tekun dan semangat dalam menuntut ilmu. Hal ini
terlihat dari hasil gemilang yang kerap diperoleh. Kemudian beliau pindah ke
Universitas Al-Azhar pada pertengahan syawal 1282.H atau 1862.M guna
melanjutkan jenjang pendidikan. Beliau slalu konsisten dan istiqomah menuntut
ilmu dari guru-gurunya (suyukh). Hingga ia bertemu dengan syekh Syaid
Jamaluddin Al-Afghani pada bulan muharram 1287.H. yang darinya beliau banyak
belajar berbagai macam ilmu. Diantaranya: ilmu riyadi, filsafat, dan ilmu
kalam. Keterikatan beliau dan Jamaluddin Al-Afghani sangatlah erat. Sehingga
dalam waktu singkat dampak pemikiran Jamaladdin Al-Afghani tampak jelas pada
diri Muhammad Abduh. Banyak buku yang telah dibaca dan dikuasai. Kemudian
beliau mulai menulis dan menerbitkan buku. Beliau banyak menulis dalam ilmu
mantiq dan ilmu kalam. Ulasan dan pembahasan sangat yang sistematis.
Sampai-sampai beberapa mahasiswa memujinya dangan ungkapan: "tak pernah
sebelumnya aku membaca yang sehebat ini". Sejak itu beliau mulai terkenal.
Terlebih setelah beliau mendapatkan "Sahadah Alamiyah" dari Al-Azhar
Univesity pada tahun 1294 H atau 1877 M. Selanjutnya beliu mengajar dibeberapa
sekolah. [1]
Pada tahun 1300 H atau 1882 M beliau
dideportasi karena dianggap terlibat dalam revolusi arab. Kemudian beliau
berdiam di Syam. Ditengah masa pengasingannya beliau sempat tinggal di Paris
selama sepuluh bulan hingga menerbitkan sebuah jurnal urwatul wusqa bersama
guru beliau Jamaluddin Al-Afghani. Beliau kembali ke Mesir pada tahun 1307 H
atau 1889 M dan diangkat menjadi anggota Majlis Idaroh Al-Azhar. Kemudian
mendapat kedudukan sebagai Mufti Mesir pada tahun 1317 H atau 1899 M.[2]
Perjuangannya dalam menegakkan agama
Allah diperlihatkannya dengan jelas antara lain melalui sumpahnya. Walaupun ia
berada dalam masa pembuangannya yang jauh dari Tanah Air sendiri, namun
semangat juangnya tidak pernah luntur, bahkan lebih menyala-nyala. Saat itu
dianggap sebagai suatu kesempatan yang terbaik untuk melebarkan sayap
perjuangan dan mengembangkan dakwah Islam seluas-luasnya. Sebelum ia berada di
kota Paris yang dikenal sebagai kota sentral peradaban dan kebudayaan Eropa, ia
bersumpah dan berjanji untuk dirinya sendiri agar dia betul-betul berjuang
dengan sungguh-sungguh. Diantara sumpah tersebut berbunyi:
“Saya bersumpah atas mana allah, bahwa saya akan berpegang teguh kepada
kitab Allah dalam segala amal baktidan sikap moral saya tanpa penyimpangan dan
penyesatan.
Saya akan senantiasa siap memperkenankan panggilan Tuhan dalam bentuk
perintah atau larangan-Nya dan akan berdakwah sepanjang hayat saya tanpa
pamrih.
Saya bersumpah atas nama Allah yang memiliki roh dan harta benda saya Yang
menggenggam nyawa serta mengendalikan segenap perasaan saya; bahwa saya akan
rela mengorbankan apa yanga da pada diri sayauntuk menghidupkan rasa
solidaritas Islam yang mendalam.
Saya bersumpah atas nama kehebatan dan kekuasaan Allah bahwa saya tidak
akan mendahulukan kecuali apa yang diprioritaskan oleh agama Allah dan tidak
akan menbelakangkan sesuatu langkah kalau akan membawa kerugian bagi agama,
sedikit atau banyak.
Dan saya berjanji kepada Allah bahwa sayaakan selalu berdaya upaya mencari
segala jalan atau peluang untuk kekuatan Islam dan kaum Muslimin.[3]
Menurut Abduh, Agama Islam datang
dengan kepercayaan Tauhid, mengesakan Allah Swt dalam Dzat-Nya dan
perbuatan-Nya serta bersihnya dari hal yang serupa dengan segala makhluk. Islam
mengemukakan dalil-dalil bahwa alam ini mempunyai Tuhan Pencipta yang satu lagi
memunyai sifat-sifat utama yang dibuktikan oleh tanda-tanda karya ciptaan-Nya,
yaitu sifat-sifat Ilmu, Qudrat, Iradat dan lain-lain. Dan bahwa tidak
ada satupun diantara makhluk-Nya yang menyerupai-Nya dan bahwa tidak ada nisbah
(sandaran) antara-Nya dengan para makhluk kecuali bahwa Dialah yang mewujudkan
mereka itu. Dengan ajaran tauhid, jadilah manusia selaku hamba Allah
semata-mata, merdeka dari segala macam perhambaan yang lain daripada-Nya. Ia
mempunyai hak asasi sebagai manusia yang merdeka, yang tidak ada perbedaan
antara hak orang yang mulia dan orang rendah. Tidak ada dalam Islam orang bawah
dan tidak pula orang atasan. Tidak ada kelebihan antar sesama manusia kecuali
dengan kelebihan nilai-nilai amal mereka, dan dalam kelebihan akal serta
pengetahuan mereka.[4]
Islam menuntut semua orang yang
mempunyai kesanggupan supaya bekerja. Islam menentukan bahwa keuntungan ataupun
kerugian tiap-tiap diri itu tergantung kepada kerja yang dilakukannya.
`yJsù ö@yJ÷èt tA$s)÷WÏB >o§s #\øyz ¼çntt ÇÐÈ
`tBur ö@yJ÷èt tA$s)÷WÏB ;o§s #vx© ¼çntt ÇÑÈ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun,
niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.”(QS.
Al-Zal-zalah [99]: 7-8)
Islam menerangkan bahwa pintu-pintu
karunia Ilahi tidak pernah terkunci bagi siapa yang mencarinya. Sedang
rahmat-Nya yang meliputi segala sesuatu tidak pernah ditahan-tahan untuk
kepentingan segala makhluk di bumi ini. Islam mencela dengan keras kepada
penganut-penganut agama yang sangat fanatik kepada kekunoan para nenek moyang
mereka dan hanya mau melihat jalan usang yang dibuat oleh para leluhur mereka.
Maka, dengan ajaran Islam ini menjadi bebas merdekalah rasio manusia dari
segala belenggu yang membelitnya. Dibebaskannya dari pengaruh taklid yang
memperbudaknya, serta dikembalikannya kepada tempat di mana akal itu bertahta.
Akal dipersilakan untuk memberikan putusan dengan ilmu dan kebijaksanannya sendiri
disamping harus tunduk hanya kepada allah Yang Mahatunggal semata dan berdiri
patuh pada peraturan syari’at agama-Nya.[5]
Dengan pemahaman ajaran seperti
inilah menjadi sempurna bagi manusia dua buah persoalan pokok besar yang selama
ini merupakan tabu, bahkan haram, bagi manusia untuk menyetujuinya, yaitu
Kebebasan Berkehendak (free will) dan kemerdekaan rasio atau akan dan
pikiran. Sebab hanya dengan inilah terbuka kesempatan lebih luas bagi manusia
untuk mencapai kebahagiaan lebih yang telah disediakan Ilahi.[6]
Dalam melakukan pembaharuan
pemikiran Islam, Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah
selamanya datang melalui revolusi atau cara serupa. Seperti halnya perubahan
sesuatu secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan
metode pemikiran pada umat islam. Melaui pendidikan, pembelajaran, dan
perbaikan akhlaq. Juga dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya dan
berfikir yang bisa melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengannya
akan tercipta rasa aman dan keteguhan dalam menjalankan agama islam. Muhammad
Abduh menilai bahwa cara ini akan membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih
rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan yang lebih besar dibanding
melalui politik dan perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan suatu
kebangkitan dan kemajuan.
Sebagaimana telah diungkapkan oleh Muhammad Abduh bahwa metodenya dalam
perbaikan adalah jalan tengah. Dalam hal ini beliau membagi umat Islam kepada
dua bagian yaitu:
1.
Mereka yang
condong kepada ilmu-ilmu agama dan apa yang berhubungan dengan itu semua.
Mereka itu yang biasa disebut al-muqallid.
2.
Mereka yang
condong pada ilmu-ilmu dunia. Yang silau dan kagum akan barat serta berbagai
disiplin ilmu yang dimiliki,dan kemajuannya dalam bidang materi.
Oleh
karenanya, setidaknya terdapat dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran
Muhammad Abduh sebagaimana diakuinya sendiri:
1.
Membebaskan
akal pikiran dari belenggu taqlid yang menghambat perkembangan
pengetahuan agama dan mengupayakan dengan semaksimal mungkin untuk memahami
permasalahan agama lansung bersumber dari al-Qur’an.
2.
Memperbaiki
gaya bahasa Arab yang berkembang dalam komunikasi dan interaksi di
kantor-kantor, maupun dalam tulisan-tulisan di media massa penerjemahan atau
korespondensi.[7]
Metode dalam pembaharuan yang
digunakan oleh Muhammad Abduh adalah mengambil jalan tengah antara kedua
kelompok di atas. Menyeimbangkan antara kedua jalan tersebut. Yaitu antara
kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan mereka yang berlebihan
dalam mengikuti barat baik itu pada budaya dan disiplin ilmu yang mereka
miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh Muhammad Abduh dalam metode
pembaharuannya: “sesengguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari ikatan
belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat terdahulu”. Yang
dimaksud dengan salaful umat di sini adalah kembali kepada sumber-sumber yang
asli yaitu al-qur’an dan al-hadist sebagaimana yang dipraktikkan oleh para
salafus shaleh terdahulu.
Sesungguhnya bagi Abduh,
persoalannya bukanlah apakah mungkin menjadi Muslim sambil tetap menerima dunia
modern. Melainkan apakah Islam itu relevan dengan modernitas atau tidak. Karena
itu, beliau ingin membuktikan bahwa Islam
merupakan agama yang mendukung pada rasionalitas yang hal tersebut
menjadi basis kehidupan modern. Beliau menyebutkan pula bahwa tidak ada konflik
antar Islam dan prinsip peradaban modern seta membersihkannya dari nodanya.
Bila peradaban modern mengenal Islam sejati, maka Islam akan menjadi pembela
yang gigih, dan sumber kekuatannya. Kekuatan akan sirna dan bukti kekuatannya
adalah bahwa al-Qur’an tetap bertahan sebagai kebenaran Islam.[8]
[1] Pengantar penerjemah
dalam Muhammad Abduh, Risalah Tauhid terjemah Firdaus A.N. (Jakarta:
Bulan Bintang, 1963), hlm. vii.
[2] Muhammad Abduh, Risalah
Tauhid ..., hlm. xiii. Lihat juga Khozin dkk., Pembaruan Islam...,
hlm. 101.
[3] Muhammad Abduh, Risalah
Tauhid ..., hlm. x.
[4] Muhammad Abduh, Risalah
Tauhid ..., hlm. 127-131.
[5] Muhammad Abduh, Risalah
Tauhid ..., hlm. 134.
[6] Muhammad Abduh, Risalah
Tauhid ..., hlm. 134-135.
[7] Khozin dkk., Pembaruan
Islam..., hlm. 102.
[8] Khozin dkk., Pembaruan
Islam..., hlm. 104.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar