Sistem berfikir al-Maturidy tidak banyak berbeda dengan al-Asy’ary. Banyak segi persamaannya, disamping ada sekitar beberapa masalah yang mereka berbeda pendapat antara lain masalah takdir. Al-Asy’ary tampak lebih dekat kepada jabariyah, sedangkan al-Maturidy tampak lebih dekat kepada Qadariyah. Persamaanya, keduanya sama-sama gencar menentang Mu’tazilah dan membela kepercayaan-kepercayaan yang ada didalam al-Quran.
Perbedaan lain al-Asy’ari bependapat bahwa makrifat kepada Allah adalah berdasarkan tuntutan syara’, sedangkan al-Maturidy berpendapat hal itu diwajibkan oleh akal fikiran. Sesuatu itu baik atau buruk, diwajibkan oleh syara’ atau dilarangnya. Demikian menurut al-Asyary. Sedangkan menurut al-Maturidy, sesuatu itu sendiri mempunyai sifat baik dan buruk. Dalam hal ini al-Maturidy tampak lebih mendekati Mu’tazilah.
Pemikiran kalamnya
Sebagai seorang teolog, pemikiran teologinya tercermin dalam kitab karangannya Kitab al-Tauhid, yang inti pokok nya sebagai berikut:
1. Akal dan Wahyu
Al-Maturidy dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al-Qur’an dan akal, akal banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut Al-Maturidy, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadapAllah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut Namun akal, menurut Al-Maturidy tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain. Dalam masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti kemampuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu, walau ia mengakui bahwa akal terkadang tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi ini, wahyu dijadikan sebagai pembimbing. Al-Maturidy membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
a. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
b. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
c. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah, namun tentang kewajiban melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus didasarkan pada wahyu.[1]
Al-Maturidy, bertentangan dengan pendapat al-Asy’ary tetapi sefaham dengan Mu’tazilah, juga berpendapat bahwa akal dapat mengetahi kewajiban manusia berterimaksih kepada Tuhan. Hal ini dapat diketahui dari keterangan al-Bazdawi berikut: “percaya pada Tuhan dan berterimakasih kepadaNya sebelum adanya wahyu adalah wajib dalam faham Mu’tazilah…as-Syaikh Abu Manshur al-Maturidy dalam hal ini sefaham dengan Mu’tazilah. Demikian jugalah umumnya ulama Samarkand dan sebagian dari alim ulama Iraq. [2]
Syaikh Muhammad Abu zahrah dalam bukunya menerangkan:[3]
Sesungguhnya tidak ada keraguan lagi, keduanya (al-Asyariyah dan al-Maturidiyah) berusaha menetapkan aqidah-aqidah yang ada didalam al-Quran baik dengan perbuatan maupun dengan bukti-bukti logika, dan sebenarnya keduanya membela kepercayaan-kepercayaan al-Quran. Hanya saja salah satu diantara keduanya memberikan porsi yang berlebihan pada akal fikiran dari pada lainnya.
Al-Asy’ariyah berpendapat bahwa makrifat kepada Allah adalah kewajiban syara’, sedangkan al-Maturidiyah mengikuti jejak Abu Hanifah yang berpendapat bahwa hal itu diwajibkan oleh akal fikiran. Al-Asyariyah berpendapat bahwa sesuatu itu baik, dan tidak dapat diketahui oleh fikiran tanpa perintah Syari’(pembuat syara’), sedangkan al-Maturidiyah menetapkan bahwa sesuatu itu baik, dapat diketaui oleh akal juga.
Sekalipun al-Maturidiyah memberikan porsi akal fikiran lebih banyak dan karena itu di lebih dekat pendapat-pendapatnya dengan Mu’tazilah, namun bila diperhatikan ternyata terdapat pula perbedaan-perbedaan. Dalam hal ini Syaikh Muhammad Abu Zahrah jug menerangkan:[4]
Hal ini mendekati pendapat Mu’tazilah,akan tetapi ada perbedaan yang cukup mendasar, yaitu: Mu’tazilah berpendapat bahwa makrifat kepada Allah itu adalah kewajiban akal fikiran. Sedangkan al-Maturidiyah tidak menetapkan demikian. Bahkan mereka berpendapat bahwa makrifat kepada Allah itu adalah mungkin merupakan kewajiban akal fikiran, akan tetapi kewajiban itu taka akan terjadi kecuali dari yang membuat kewajiban, yaitu Allah.
Keterangan ini diperkuat oleh Abu Uzbah:” (dikutip dari kitab ushuluddin, al Bazdawi) :
“Dalam pendapat Mu’tazilah, orang yang berakal, muda-tua tak dapat diberi maaf dalam soal mencari kebenaran. Dengan demikian, anak yang berakal mempunyai kewajiban terhadap Tuhan. Jika sekiranya ia mati tanpa pecaya pada Tuhan ia mesti diberi hokum. Dalam Maturidiyah anak yang belum balig tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Tetapi Abu Manshur al-Maturidy berpendapat bahwa anak yang telah berakal berkewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini tak terdapat perbedaan antara Maturidiyah dan Mu’tazilah. [5]
Akal, kata al-Maturidy, mengetahui sifat yang baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat buruk adalah buruk dan berbaut baik adalah baik. Dan pengetahuan inilah yang memestiakn adanya perintah dan larangan.
Akal, kata al-Maturidy selanjutnya mengetahui bahwa sifat adil dan lurus adalah baik dan bahwa bersikap tak adil dan tak lurus adalah buruk. Oleh karena itu akal memendang mulia terhadap oran g yang adil serta lurus dan memandang rendah orang yang bersikap tak adil dan tak lurus. Akal selanjutnya memerintah mengerjakan perbuatan-perbuatan yang akan mempertinggi kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa pada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian, menjadi wajib dengna kemestian akal.[6] (dipetik dari Photocopy T Izutsu, Cambridge University Library MS add fol. 48 r.)
Jelaslah bahwa dalam pendapat al-Maturidy, akal dapat mengetahui baik dan buruk. Pendapatnya diatas diterima oleh pengikut-pengikutnya di Samarkand. Adapun pengikut-pangikutnya di Bukhara, mereka mempunyai faham yang berlainan sedikit. Perbedaan antara golongan Samarkand dan Bukhara berkisar sekitar persoalan kewajiban mengenal Tuhan. [7]
Dalam hubungan ini al-Bayadi mengatakan bahwa menurut pendapat Abu Hanifah mengetahui Tuhan adalah wajib walaupn pemberitaan dari Rasul tidak ada. Abu manshur dan sebagian terbesar dari alim Ulama Iraq, kata al-Bayadi selanjutnya, berpendapat bahwa ini berarti “wajib menurut akal naluri”. “jika kewajiban mengetahui dan percaya pada Tuhan berarti kewajiban menganut kepercayaan itu maka pada umumnya alim ulama tidak sefaham dengan imam abu Manshur; tetapi jika yang dimaksud adalah asal (ashl) kewajiban, maka umumnya alim ulama berpendapat demikian.(isyarat al-maram min ‘ibarat al-imam[lebih dikenal dengan Isyarat].[8]
Seperti dilihat sebelumnya, adanya perbedaan faham antara Samarkand dan Bukhara, telah disinggung pula oleh Abu ‘Uzbah. Al-Maturidy sefaham dengan Mu’tazilah, berpendapat bahwa matangnya akallah yang menentukan kewajiban mengetahui Tuhan bagi anak. Dalam faham mereka akal itu mampu untuk mengetahui sebabnya kewajiban.
Dengan demikian akal menurut faham golongan Bukhara tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi kewajiban. Akibat dari pedapat demikian ialah bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterimakasih kepada Tuhan, sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Dan ini memang pendapat Bukhara.[9]
Pendapat serupa ini juga terdapat dalam uraian al-Bazdawi . dalam member komentar terhadap ayat:
وَلَوْ أَنَّا أَهْلَكْنَاهُمْ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِهِ لَقَالُوا رَبَّنَا لَوْلَا أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ آَيَاتِكَ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَذِلَّ وَنَخْزَى(طه: 134)
“jika sebelumnya mereka kami hancurkan dengan siksaan, mereka akan berkata: Ya Tuhan, apa sebabnya tak engkau kirimkan seorang Rasul kepada kami, sehingga kami dapat mengikuti petunjuk-petunjukMu sebelum kami jatuh dalam keadaan rendah lagi hina”
Ia mengatakan bahwa menurut ayat ini bahwa kewajiban-kewajiban tidak ada sebelum pengiriman Rasul-rasul dan dengan demikian percaya kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib. Kewajiban-kewajiban kata Bazdawi ditentukan hanya oleh Tuhan dan ketentuan-ketentuan Tuhan itu tak dapat diketahui kecuali melalui wahyu.[10]
Tetapi, sebagian dari golongan Bukhara berpendapat bahwa akal tak dapat megetahui baik dan buruk, dan dengan demikian mereka sebenarnya masuk dalam golongan Asy’ariyah dan bukan dalam aliran Maturidiyah golongan Bukhara.[11]
Sungguhpun demikian terdapat juga perbedaan paham yang samar-samarsekali mengenai hal ini antara kedua aliran itu. Pendapat Maturidiyah bukhara bahwa akal dapat sampai kepada sebab kewajiban mengetahui Tuhan mengandug arti bahwa bagi meraka akal tidak hanya dapat sampai kepada pengetahuan adanya Tuhan, tetapi juga kepada sifat terpujinya pengetahuan demikian. Untuk dapat mengetahui sebab diwajibkannya sesuatu perbuatan orang harus terlebih dahulumengetahui sifat terpujinya perbuatan itu. Bagi Asy’ariyah akal dapat sampai hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan dan tidak lebih dari itu. Sejajaar dengan pendrian merekabahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk, mereka juga berkeyakinan bahwa akal juga tak dapat mengetahui sifat baik atau terpujinya pengetahuan tentang adanya Tuhan. Dari uraian ini dan uraian sebelumya dapat kita tarik kesimpulan bahwa Maturidiyah Bukhara member daya yang lebih besar kepada akal daripada Asy’ariyah.[12]
Berlainan dengan kedua aliran diatas, Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa akal dapat sampai tidak hanya kepada pengetahuan adanya Tuhan dan sifat terpujinya pengetahuan demikian tetapi juga kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Tetapi akal, dalam pendapat Maturidiyah Samarkand, tidak dapat mengetahui kewajiban beerbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan kejahatan. Disisni terdapat perbedaan antara Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand.[13]
Bagi kedua aliran ini, akal merupakan mujib dalam hal kwajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban berterima kasih kepadaNya. Tetapi dalam hal kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi kejahatan akal merupakan mujib hanya bagi Mu’tazilah. Mujib dalam hal ini bagii Maturidiyah Samarkand ialah Tuhan.[14]
Dengan demikian Maturidiyah samarkand megadakan perbedaan antara sifat terpujinya mengenai Tuhan dan berterimakasih kepadanya atas nikmat yang di anugerahkanNya dan sifat terpujinya peerbuatan menjauhi kejahatan. Dalam hidup sehari-hari akal dapat mengetahui keharusan berterimakasih kepada pemberi nikmat. Tuhan adalah pemberi nikmat terbesar. Untuk dapat berterimakasih kepadaNya orang harus mengetahuhi Tuhan. Dalam hal ini baik dan buruk tak terdapat usur penerima nikmat dan pemberi nikmat. Dengan demikian akal dalam hal ini akal tidak mempunyai petunjuk yang kuat untuk mengetahui tentang kewajiban melaksanakan pengetahuan tentang baik dan buruk. Inilah mungkin sebabnya maka akal, dalam pendapat Maturidiyah Samarkand, hanya bisa sampai kepada tingkat dapat memahami perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan mengenai baik dan buruk dan tidak pada kewajiban berbuat baik dan menjauhi kejahatan.[15]
Kesimpulannya bahwa Mu’tazilah memberikan daya besar pada akal. Maturidiyah Samarkand memberikan daya kurang besar dari Maturidiyah Bukhara.
2. Perbuatan Manusia
Menurut pendapat al-Maturidy, kekuasaan dan kehendak mutlak Allah itu diberi batasan-batasan tertentu, yaitu:
a) Adanya kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan yang ada pada manusia.
b) Allah menjatuhkan hukuman yang tidak berarti dilakukan secara sewenang-wenang, tetapi berdasarkan atas kebebasan manusia dalam mempergunakan daya yang telah diciptakan Allah pada dirinya, bukan berdasarkan atas kemutlakan kekuasaan dan kehendakNya.[16]
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al-Maturidy mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia. Dalam masalah pemakaian daya ini Al-Maturidy memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.
3. Sifat Tuhan
Menurut al-Maturidy Allah bersifat immateri, yang karenanya Ia tidak memiliki sifat-sifat jasmani (materiil). Ayat-ayat alQuran yang menggambarkan bahwa Allah (seolah-olah) memiliki sifat jasmani, seperti ayat-ayat mutasyabihat seperti surat al-fath 10:
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
“Tangan Allah berada diatas tangan mereka”(al-fath: 10)
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Dan kekallah wajah tuhanmu yang memiliki keagungan dan kemuliaan” (Ar-Rahman:27)
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا
“Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan peetunjuk wahyu kami” (Hud: 37)
Kata-kata seperti tangan, muka, dan mata yang dinisbatkan kepada Allah dalam alQuran maksudnya adalah kekuasaan, rahmat dan penguasaan Allah atas makhlukNya. Allah tidak mempunyai badan sungguhpun tidak sama dengan badan jasmani manusia, karena badann tersusun dari substansi dan aksiden. Berbeda dengan makhluk seperti manusia, berhajat kepada anggota badan, karena tanpa anggota badan mannusia tentu tidak ada. Sedangkan Allah tanpa anggota badanpun tetap wujud.[17]
Menurut pandangan al-Maturidy sifat Allah itu bukanlah sesuatu yang selain dzat. Pendapat ini pararel dengan pendapat al-Asy’ary yang juga menetapkan sifat bagi Allah. Hanya saja perbedaanya, al-Asy’ary mengatakan bahwa sifat itu adalah selain dzat, yang karena Allah mempunyai sifat Qudrat, iradat, ilm, hayat,dll. Sedang menurut al-Maturidy sifat itu bukanlah sifat yang berdiri dengan dzat Nya dan pula tidak terpisah dari dzat Nya. Sifat itu tidak mempunyai wujud atau essensi yang bebas dari dzat, sehingga dapat dikatakan bahwa terbilangnya sifat itu dapat mendatangkan pengertian terbilangnya yang Qadim atau ta’addud al-Qudama.[18]
Pendapat kedua tokoh ini dalam sifat Allah menetapkan adanya sifat bagi Allah dengan sedikit berbeda nuansa dalam hal menjelaskan hakikat sifat tersebut. Dengan demikian penapat kedua tokoh ini sama-sama menolak pendapat Mu’tazilah yang menafikan sifat bagi Allah. Menurut Mu’tazilah, sifat itu adalah sesuatu yang melekat pada esensi atau dzat, yang karena itu bisa menimbulkan paham Ta’addud al-Qudama’.
Tetapi nuansa tersebut lebih mendekati kepada Mu’tazilah, bahkan dapat dikatakan sinkron (muttafaq). Karena itu sesungguhnya tidak ada perbedaan diantara umat Islam mengenai bahwa Allah adalah ‘Alim, Qodir, bashar, dll. Perbedaan yang terjadi hanya dalam soal bahwa sifat-sifat Allah itu adalah sesuatu yang bukan dzat dan mempunyai wujud bukan dzat itu. Jelasnya ,bagi al-Maturidy sifat itu adalah bukanlah sesuatu yang berbeda dengan dzat. Jadi pendapatnya dekat dengan pendapat Mu’tazilah, yang mengatakan bahwa sifat itu tidak ada, yang ada hanyalah Asma’ (nama-nama) amrun I’tibary (sesuatu yang dianggap ada). [19]
Dengan demikian, sifat adalah nama yang bisa menunjukkan kepada sebagian dari keadaan dzat, seperti panjang, pendek, berakal dan sebagainya.
Menurut al-maturidy sifat bukanlah pensifatan (al Washif), dia juga menolak komentar al-Ka’bi, salah seorang tokoh Mu’tazilah, bahwa sifat Allah hanyalah murni sebutan (Qoul) karena Qoul adalah baru (hadits). Sedangkan Allah tidak disifati dengan hadits, ia adalah Qadim.
Seperti perkataan al-Maturidy yang di kutip oleh Qosim alGhaly (akal mewajibkan untuk mensifati Allah, meskipun dmikian sifat-sifat Allah itu berbeda dengan sifat-sifat makhluk dari segi elemen-elemennya. Dan sifat-sifatnya itu menunjukkan bahwa sifat Allah tidak sama dengan sifat secara umum tetapi adalah perbuatan otoritas Allah sendiri.[20]
4. Melihat Tuhan
Al-Maturidy mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam Al-Qur’an, surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23 :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ . إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia. Berbeda dengan Mu’tazilah yang mengQiyaskan ru’yatullah di akhirat dengan melihat sesuatu yang berbentuk jisim, mengqiyaskan sesuatu yang berbentuk dengan sesuatu yang tidak berbentuk, dan menurut al-Maturidy hal itu tidak sah.[21]
Al-Maturidy meyakini bahwa Allah dapat dilihat kelak di akhirat , karena ia mempunyai wujud. Sungguhpun Allah tidak mempunyai bentuk, tidak diketahui caranya dan tidak mengambil tempat serta tak terbatas. Kalau terbatas berarti ia bersifat materi atau jisim, karena jisim adalah nama bagi setiap yang terbatas.[22]
Al-Maturidy menolak pandapat yang diajukan oleh Mu’tazilah dalam hal menafikan ru’yah. Penolakan ini tercermin dalam penolakannya tentang pandangan al-Ka’bi . al-Ka’bi mengajukan dalil dari ayat alQuran
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِير
“dia tidak akan dapat dilihat mata manusia, tetapi dia mekihat mata manusia. Allah maha indah dan waspada. (QS. Al-An’am :102)
Al-Ka’bi mengartikan Idrak sebagai Ru’yah, yang berarti Allah maha suci dan bisa dilihat. Pendapat ini ditolak oleh al-Maturidy dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa arti Idrak ialah menguasai yang terbatas. Sedangkan Allah adalah maha suci dari sifat terbatas, karena sifat terbatas itu berarti titik maksimal dan membatasi yang lebih tinggi. Allah menjadikan bagi segala sesuatu batasan yang bisa dijangkau. Sedangkan ru’yah tidak meliputi yang terbatas, bahkan dapat terjadi atas beberapa hal yang tidak dapat diketahui hakikatnya kecuali dengan mengerti tentang hal ini. Idrak hanyalah berarti melihat pada batas sesuatu dan dengan batas itulah sesuatu itu dapat diketahui. Seperti terangnya waktu siang hari, ia dapat dillihat tetapi terangnya tidak dapat diketahui dengan dzatnya. Karena itu ru’yah tidak menghendaki jika yang dilihat itu terbatas. Al-Maturidy menguatkan pendapatnya tentang ru’yah ini dengan mengemukakan dalil hadits Nabi:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَر(رواه البخاري)َ
Melihat dalam hal ini batas dan luasnya, pada hakikatnya tidak dapat diketahui meskipun secara lahir apa yang dapat dilihat dapat dikuasai. Ia dapat dilihat secara yakin.[23]
5. Kalam Tuhan
Al-Maturidy membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al-qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al-Maturidy lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al-Qur’an.
Abu al-Mu’in an Nasafi dalam kitabnya Tahsunah al-Adillah seperti yang terkutip:
“orang-orang berbeda pendapat dalam masalah kalam Allah, apakah ia Qadim atau Hadits. Ahli kebenaran berkata: sebenarnya kalam Allah merupakan sifat azali yang tidka memiliki jenis, huruf maupun suara. Kalam Allah merupak sifat Allah yang terdapat dalam dzatNya, sifat yang menafikan dari diam dan bahaya dari sifat kekanak-kanakan, serta dari sifat bisu dan sebagainya. Allah berefirman dengan sifat tersebut, memerintah,melarang, dan memberi kabar”.[24]
Mengenai qodimnya alQuran al-Maturidy mengambil dalil ditantangnya orang-orang arab untuk menandingi alQuran sebagai kalam Allah dan hujjahnya. Hujjah bahwa alQuran adalah firman Allah, ada dua segi:
Pertama: terbukti ketidakmampuan orang arab membuat semisal alQuran atau menandinginya.
Kedua : semua yang dibacakan dari alQuran tidak disampaikan melalui ayat-ayat kecuali akal dapat menyaksikan keterbatasan memahami hikmah yang dikandung oleh alQuran. Ini menjadi dalil sebagai kalam dzat yang Maha Mengetahui yang gaib dan tidak ada sesuatupun yang rahasia bagiNya. Kesimpulannya alQuran adalah kalam Allah yang tidak baru. Ia adalah kalam Allah dengan pngertian bahwa ia adalah hakikat kalamNya.[25]
6. Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan dan perbuatannya. Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
Memang benar perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam ciptaan-citaannya maupun dalam peerintah dan larangan-larangannya (taklifi). Tetepi perbbuatan Tuhan tersebut tidak Karena paksaaan . karena itu tidak bisa dikatakan wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan terhadap irodahNya. Dan sebenarnya perbedaan pendapt al-Maturidy dan al-Mu’tazilah hanya perbedaan kata-kata (istilah) sekitar penggunaan kata”wajib” sedang inti persoalannya sama, yaitu bahwa kedua-duanya mengakui adananya tujuan pada perbuatan Tuhan. [26]
Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah Allah berbuat sekehendak dan sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak sewenang-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
7. Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
8. Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)
Al-Maturidy berpendapat iman itu tidak akan hilang karena melakukan dosa besar, dan Tuhan yang akan mengadili kelak dihari kiamat. Antara iman dan perbuatan tidak saling mempengaruhi atau menghilangkan, karena iman itu di dalam Qalb, sedang perbuatan letaknya pada gerakan anggota badan.[27]
Orang mukmin tidak selamanya di neraka ketika melakukan dosa, itu yang disepakati oleh jumhur. Al-Maturidy berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat.
Dalam hal ini dia berkata: [28] Allah telah menjelaskan dalam alQuran bahwa Dia tidak membalas perbuatan jelek kecuali dengan kejelekan pula. Firman Allah
(الانعام: 160) وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang tidak kafir dan tidak menyekutukan Allah dosanya tidak sama dengan orang yang kafir dan meneyekutukanNya dan Dia menyiksa mereka selamanya. Jika orang yang beriman melakukan dosa besar disiksa seperti siksaan kepada orang kafir maka siksaan itu melebihi batas dosanya. Dan ini bertentangan dengan janji Allah. Sementara Allah tidak menganiaya hamba dan tidak melanggar janji. Dan menyamakan balasan terhadap orang kafir dan mukmin yang berbuat dosa adalah menyalahi hukum Allah. Karena mukmin yang bebuat dosa mempunyai kebaikan dalam dirinya, yaitu iman. Dan tidak memiliki seburuk-buruk kejelekan, yaitu kekufuran. Jika Allah mengabadikannya dalam siksaan maka Allah telah berbuat dholim.[29]
Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik. Menurut Al-Maturidy, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
9. Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan5. Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 14 :
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آَمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’."
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa diimani oleh qalbu. Lebih lanjut Al-Maturidy mendasarkan pendapatnya pada surat Al-Baqarah ayat 260 :
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau menginginkan agar keimanannya menjadi keimanan ma’rifah. Ma’rifah didapat melalui penalaran akal. Adapun pengertian iman menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui segala pokok ajaran Islam secara verbal.
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau menginginkan agar keimanannya menjadi keimanan ma’rifah. Ma’rifah didapat melalui penalaran akal. Adapun pengertian iman menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui segala pokok ajaran Islam secara verbal.
Al-Maturidy menjelaskan bahwa iman adalah membenarkan dengan hati, dan ikrar adalah syarat untuk menjalankan hukum di dunia. Maka dari itulah Iman secara bahasa dinamakan “at tashdiq”, seperti dalam alQuran di sebutkan tentang berita yang disampaikan oleh saudara-saaudara Yusuf:
وما انت بمؤمن لنا )يوسف : 17 ) kata mu’min tersebut dengan arti : بمصدق
Tetapi pembenaran atas sesuatu yang samar (batiniyah) tidak bisa dijadikan media untuk membuat hukum. Maka dari itu Iqrar diwajibkan sebagai tanda dari tashdiq dan sebagai syarat untuk menjalakan hukum didunia.[30]
10. Kebaikan dan keburukan menurut akal.
Al-Maturidy dan juga golongan Maturidiyah jug amengakui adanya keburukan objektif(yang terdapat pada asustu perbuatan itu sendiri) dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan itu sebagi sesuatu perbuatan. Seolah-olah meerekamembagi perbuatan menjadi tiga bagian. Yaitu bagian yang dapat diketahui kebaikannya dengan akal semata. Sebagian yang tidak dapat diketahui keburukannya dengan akal semata dana sebagian lagi yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan bagian terakhir ini hanya bisa diketahui dengan melalui syara’.[31]
Pendapat al-Maturidy tidak sesuai dengan pendapat al-asy’ary yang menyatakan bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan atau keburukan objektif (zati) melainkan kebaika itu ada (terdapat) karena adanya perintah syara’. Jadi kebaikan dan keburukan itu tergantung kepada Tuhan. Dengan demikian, ternyata bahwapikiran-pikiran al-maturidy berada di tengah-tengah pendapat aliran Mu’tazilah dan al-Asy’ ary [32].
Di Indonesia para pengikut al-Maturidi masuk dalam JATMAN (Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al Mu'tabaroh An Nahdliyyah ) dalam wadah organisasi massa Nahdlatul Ulama. Karena faham kalam Nahdlatul Ulama mengikuti faham teologi al Asy’ariyah dan al Maturidiyah yang mengambil posisi menengah antara fungsi wahyu dan kekuatan akal, antara penyerahan segala persoalan kepada Tuhan dan kemampuan manusia untuk berbuat, mengambil jalan tengah menentukan criteria imna, kufur, serta mengakui adanya sifat Tuhan.
[1] . ibid
[2] . harun Nasution, Theologi Islam Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, hlm 87.
[3] . Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikhu al-madzahib al-Islamiyah fi as-siyasah wa-alaqoid, juz I (Mesir, Dar al-fikr al-Araby,2009) hlm.199
[4] . ibid.hlm. 201
[5]. harun Nasution, Theologi Islam Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, hlm 88.
[6] . harun Nasution, Theologi Islam Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan, hlm 89
[7] . ibid, hlm.90
[8] .ibid
[9]. harun Nasution, hlm 92
[10] .ibid, hlm93
[11] . ibid.
[12] . harun Nasution, Theologi Islam Aliran-aliran sejarah Analisa Perbandingan (UI Press; Jakarta 1986)hlm 94
[13] .ibid
[14] . ibid. hlm. 95
[15] . ibid, hlm 95.
[16] . K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya,(rajawali pers; Jakarta 2010) hlm 273.
[17] .K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 263.
[18] . ibid
[19] K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 263
[20] . Qosim al-Gholy. Abu Manshur al-maturidy, Hayatuhu wa arouhu al-aqdiyyah. Dar al-turky linnasyr. Hlm 135.
[21] . Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikhu al-madzahib al-Islamiyah fi as-siyasah wa-alaqoid, juz I (Mesir, Dar al-fikr al-Araby,2009) hlm 192
[22] . Abu Manshur al-Maturidy, at-Tawhid (maktabah al-irsyad, Istanbul) hlm 163.
[23] . K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 269.
[24] . K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 265.
[25] .ibid
[26] . A.Hanafi, Pengantar Theology Islam (Djajamurni;Djakarta) hlm 131.
[27] . K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 269
[28] . Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikhu al-madzahib al-Islamiyah fi as-siyasah wa-alaqoid, juz I (Mesir, Dar al-fikr al-Araby,2009) hlm 193
[29] .K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 270
[30] . K.H.Sahilun A.Nasir, pemikiran kalam(teologi Islam) sejarah,Ajaran, dan perkembangannya, hlm 271
[31] . A.Hanafi, Pengantar Theology Islam (Djajamurni;Djakarta) hlm.130.
[32] . ibid hlm. 131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar