Jumat, 27 April 2012

Falsifikasi Karl Raimund Popper

Bagi Popper, problem utama yang ada adalah apa yang disebutnya problem demarkasi (the problem of demarcation). Bagi ilmuwan Lingkaran Wina, hal itu merupakan sesuatu yang disebutkan untuk menunjuk pada garis batas antara ungkapan yang disebut bermakna (meaningfull) dan tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris (verifikasi-konfirmasi). Pembedaan itu digantinya dengan demarkasi atau garis batas antara ungkapan ilmiah (science) atau tidak ilmiah (pseudo-ilmiah). Karena menurut Popper, ungkapan yang tidak bersifat ilmiah mungkin sekali sangat bermakna (meaningful) dan begitu sebaliknya. 
Popper melihat beberapa kelemahan prinsip verifikasi Lingkaran Wina, antara lain: pertama prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Kedua berdasarkan prinsip verifikasi metafisika dianggap sebagai ungkapan yang tidak bermakna (meaninngless). Menurut mereka, metafisika termasuk dalam ‘pseudo-statements’, yaitu pernyataan yang tidak ilmiah. Dan perdebatan mengenai metafisika sebenarnya tidak perlu, karena tidak menghasilkan apa-apa (unfruitful). Biarpun dikatakan bahwa ia tidak bermakna oleh aliran neo-positivisme, akan tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisika atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi bisa juga benar, biarpun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites. Akibat pencampakan metafisika inilah, ilmu pengetahuan dan teknologi barat bersifat ambivalen. Ketiga, untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapan atau teori, lebih dulu harus dimengerti. Sehingga yang jadi persoalan, bagaimana bisa dimengerti jika tidak bermakna, lantas apa yang disebut teori. 
Untuk menghindari kesalahan kaum positivis seperti yang sudah disebutkan di atas, Popper selanjutnya mengajukan prinsip falsifikasi sebagai ciri utama teori ilmiah. Menurutnya suatu teori atau ucapan dikatakan bersifat ilmiah bila terdapat kemungkinan secara prinsipil untuk menyatakan salahnya. Sejarah menunjukkan, selama suatu teori bisa bertahan dalam upaya falsifikasi selama itu pula teori tersebut tetap kokoh, meski ciri kesementaraannya tidak hilang. Itulah yang dimaksud dengan “prinsip falsifibilitas” (the principle of falsifiability). Dan sebaliknya suatu teori yang secara prinsipil mengeksklusifkan setiap kemungkinan untuk mengemukakan suatu fakta yang menyatakan salahnya teori itu, menurut Popper pasti tidak bersifat ilmiah. Prinsip ini kemudian lebih dikenal dengan teori falsifikasionisme yang digunakan untuk mengkritik ilmuwan Lingkungan Wina, yang sangat dekat dengan pemikirannya.
Selanjutnya, falsifikasi digunakan untuk merumuskan hipotesis baru, menyempurnakan pengetahuan, dan pengujian hipotesis baru, dan demikian seterusnya. Menurut Popper, tujuan pengulangan riset adalah untuk menambah bukti kesalahan hipotesis, bukannya untuk memperkuat bukti kebenaran hipotesis. Maka pengembangan ilmu dilakukan dengan cara merontokkan teori karena terbukti salah, untuk mendapatkan teori yang baru. Untuk itu, falsifikasi menjadi alat untuk membedakan genuine science (ilmu murni) dari pseudo science (ilmu tiruan). 
Dengan demikian, ketika suatu hipotesa dapat ditunjukan kesalahannya dengan teori falsifikasi, maka dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan tengah menuai perkembangannya. Dan sebaliknya, jika hipotesa tidak dapat ditunjukan kesalahannya, maka ilmu pengetahuan belum dapat dikatakan berkembang. Di sini, falsifikasi nampak berbeda dengan prinsip verifikasi yang hanya menumpuk dan mengumpulkan bukti-bukti hipotesa sebelumnya untuk menguatkan hipotesa tersebut. Dimana hipotesa-hipotesa tadi belum bisa diyakini seratus persen kebenarannya.

       I.            Popper dan Persoalan Sosial Politik
Epistemologi Popper yang menekankan prinsip falsifibilitas tercermin dalam filsafat sosial dan politiknya. Berbicara tentang metode-metode ilmu sosial, Popper secara tegas menolak pandangan historisisme, yaitu “suatu pendekatan terhadap ilmu-ilmu sosial yang mengasumsikan bahwa tujuan ilmu-ilmu sosial dapat dicapai dengan menemukan 'ritme' atau 'pola', 'hukum' atau 'tren' yang mendasari evolusi sejarah”.[1] Bagi Popper, pandangan ini tidak hanya berbahaya karena cenderung totaliter, tetapi juga tidak memadai untuk memahami realitas sosial yang kompleks. Selain itu, pandangan kaum historisis juga problematis karena mengombinasikan tesis-tesis pro-naturalistis pada satu sisi tetapi anti-naturalistis pada sisi yang lain. Maksudnya, pada satu sisi mereka percaya pada hukum-hukum sosial yang bekerja sebagaimana hukum-hukum alam, sehingga menghasilkan prediksi sejarah, tetapi pada satu sisi mereka juga mempunyai kepercayaan yang besar pada keagenan manusia, sehingga jatuh pada pandangan deterministik, seperti konsepsi kelas pada kelompok Marxis sebagai contoh.
Dalam sebuah tulisannya, Popper menegaskan kembali posisinya terhadap kaum historisis.[2] Di sana Popper sekali lagi menyerang Marxisme. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sejak remaja Popper mengungkapkan kekecewaannya terhadap Marxisme. Menurut Popper, Marxisme tak lebih dari sebuah doktrin yang mendasarkan diri pada prediksi dan kenubuatan (prophecy). Bertolak dari dua hal tersebut, Marxisme menyusun proyek politiknya, padahal menurut Popper dua hal tersebut sejatinya adalah pengandaian normatif, tetapi oleh para pengikutnya dipaksakan untuk dibuktikan benar dalam sejarah. Selain itu, Popper juga mengkritik teori psikoanalisa-nya Freud dan teori psikologi individual-nya Alfred Adler. Teori-teori tersebut, menurut Popper, terlalu mengandalkan subjektivitas sehingga tidak menghasilkan objektifitas yang bisa difalsifikasi.[3] Akan tetapi, William A. Gorton berpendapat bahwa Popper sebenarnya mengagumi Marx sebagai seorang ilmuwan sosial yang hebat dan dia mengambil beberapa inspirasi darinya.[4]  Apa yang disebut Popper sebagai ‘Oedipus effect’ diambil dari Marx yang berbicara tentang ‘unintended consequensces of human actions’. ‘Oedipus effect’ berarti prediksi bisa mempengaruhi peristiwa yang diprediksi.[5]
Menurut Popper, teori ilmu-ilmu sosial seharusnya “trace the unintended social repercussions of intentional human actions”. Dengan itu, ilmu-ilmu sosial akan terhindar dari ideologisasi dan mencapai objektifikasi. Menurut Popper, seperti juga ilmu-ilmu alam, “most of the objects of social science, if not all of them, are abstract objects; they are theoritical constructions. (Even ‘the war’ or ‘the army’ are abstract concepts, strange as this may sound to some. What is concrete is the many who are killed; or the men and women in uniform, etc.,)”.[6] Oleh sebab itu, dunia objektif-nya Popper berbeda dengan relativisme epistemologis yang dianut oleh banyak antropolog atau sejarawan.[7] Pada Popper, terdapat konstruksi teoritis tertentu yang objektif, yang menjadi benang merang antara realitas yang satu dan realitas yang lain. Di sini terlihat pemikiran Popper masih diwarnai oleh positivisme. Pada titik ini Popper menjadi sasaran kritik Adorno dan para eksponen Madzhab Frankfurt lainnya.[8]
Lepas dari itu, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ sangat menarik dan terus menerus menjadi topik perdebatan sampai sekarang. Akan tetapi persis dalam gagasan ini pula Popper sering disalahpahami. Hari ini gagasan tersebut sering diasosiasikan dengan George Soros, seorang pengagum abadi Popper yang mendirikan The Open Society Foundation tetapi lebih dikenal publik sebagai seorang spekulan saham yang menjatuhkan ekonomi Asia pada krisis finansial 1998. Pengasosiasian itu tidak sepenuhnya salah, tetapi kita perlu memeriksa terlebih dahulu apa yang sesungguhnya diusulkan Popper dengan konsep masyarakat terbuka. Apa kaitan antara konsep yang awalnya dikemukakan oleh Henri Bergson itu dengan kapitalisme dan demokrasi liberal seperti yang sering kita baca dan lihat di media-media? 
Popper mengaku sebagai seorang liberal dalam pengertian klasik, tetapi bukan seorang simpatisan partai politik. Dia menyebut dirinya “simply a man who values individual freedom and who is alive to the dangers inherent in all forms of power and authority”.[9] Dalam perbincangan kita sehari-hari, khususnya di Indonesia, liberalisme dan kapitalisme memang seringkali problematis, lebih sering ditanggapi secara emosional daripada mendudukkan perkaranya secara rasional. Dalam lingkup global, istilah-istilah itu sering dialamatkan kepada kebijakan ‘neoliberal’ Thatcher di Inggris dan Reagen di Amerika Serikat pada 1980-an. Menurut mereka, peran negara dalam ekonomi harus diminimalisasi, bahkan sebaiknya angkat kaki. Pada masa itu Popper dan von Hayek diusung oleh kaum libertarian sebagai pemikir utama Kanan Baru. Dalam berbagai kesempatan Popper bahkan sering dijadikan senjata untuk menyerang model ‘negara kesejahteraan’ seperti yang dipraktikkan di negara-negara Skandinavia. 
Akan tetapi, beberapa pengamat seperti Brian Magee dan Ralf Dahrendorf mengklasifikasi Popper sebagai seorang ‘sosial demokrat’. Pengamat lain, Malachi Haim Hacohen, justeru menekankan latar belakang sosialis Popper ketika masih tergabung dalam kelompok pemuda sosialis di Wina. Hacohen berpendapat bahwa ketika menulis The Open Society sewaktu Perang, Popper tidak tahun apapun tentang Uni Soviet. Oleh karena itu, buku itu harus dibaca sebagai perlawanan terhadap fasisme, bukan sebuah “charter of cold war liberalism”. Popper, kata Hacohen, memang menekukan pandangan fasis pada Platon dan Hegel, tetapi Marx sebenarnya seorang demokrat progresif yang terperangkap jeratan historisisme.[10]
Popper membedakan masyarakat terbuka dengan masyarakat tertutup yang ‘magis atau tribal atau kolektivis’. Dalam masyarakat terbuka, individual dihadapkan pada kepeutusan pribadi. Dengan demikian mereka mempunyai tanggung jawab dalam menerima kebijakan publik. Menurut Niiniluoto, dalam konteks publik Popper sangat menekankan prinsip hukum dan etis, sehingga dia menolak kapitalisme tal terkendali (the unrestrained capitalism). Yang didukung oleh Popper bukan kapitalisme, melainkan ekonomi pasar. Dua hal itu mempunyai pengertian kontras. Pengertian kapitalisme lebih dekat dengan pengertian kaum Darwinisme sosial yang menyatakan bahwa evolusi sejarah manusia hanya akan menyisakan kemenangan bagi mereka yang terkuat. Dalam pengertian ini pula terdapat keyakinan bahwa campur tangan negara terhadap ekonomi akan mengganggu alih-alih membantu. Ekonomi akan selalu mencapai titik keseimbangannya melalui kehadiran ‘tangan yang tak terlihat’. Di sisi lain, ekonomi pasar berbasis pada kompetisi bebas, tetapi para pemain dalam kompetisi bebas tersebut tetap dibatasi oleh prinsip hukum dan etika yang berlaku. Juga kompetisi ini harus bebas dari manipulasi. Yang ditekankan oleh Popper adalah kebaikan bersama dan keadilan sosial. Untuk menjamin itu, campur tangan negara adalah keniscayaan.[11]
Oleh karena itu tidak tepat kalau dikatakan bahwa ‘masyarakat terbuka’nya Popper sebagai anti-negara kesejahteraan. Untuk mencapai ‘masyarakat terbuka’, ekonomi pasar harus diisi dan diperkaya dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam tafsiran Niiniluoto, bertentangan dengan pandangan libertarian yang menekankan persaingan antar individu yang bebas, gagasan masyarakat terbuka lebih dekat dengan pandangan etik komunitarian yang menekankan kerjasama dan dan saling hormat antara warga negara dan bangsa. Mengacu pada konsepsi keadilan Rawls, aktifitas ekonomi dalam masyarakat terbuka harus memberi keuntungan pada semua.[12]
Dalam politik, gagasan masyarakat terbuka jelas menolak segala bentuk totalitarianisme. Popper sendiri sudah mengulas banyak tentang itu dalam The Open Society dan The Poverty of Historicism. Lalu bagaimana kita menanggapi pendapat kalangan yang menyatakan bahwa demokrasi liberal adalah akhir perjalanan sejarah umat manusia seperti dikatakan Francis Fukuyama? Kalau mengikuti Popper, pendapat tersebut jelas bertentangan dengan prinsip falsifikasi, sehingga harus ditolak. Dengan kata lain itu tak lebih dari ekspresi dari historisisme kontemporer yang justeru semakin berkembang terutama pasca tragedi 9/11. Kita tentu saja tidak bisa menolelir aksi terorisme yang telah membuat banyak orang kehilangan hak hidupnya. Mereka adalah individu atau orang yang terperosok dalam lubang historisisme, menganggap nilai (agama) yang mereka yakini merupakan jalan hidup terbaik yang harus ditempuh umat manusia meski itu harus dibayar dengan aksi bom bunuh diri. Namun di sisi lain, perang terhadap terorisme (war on terror) yang pernah digelorakan oleh George W. Bush sewaktu menjabat Presiden Amerika Serikat juga sama-sama merupakan bentuk historisisme. Menurut Niiniluoto, terorisme tidak bisa diserang dengan membawa kembali jenis historisisme yang lain ke dalam gelanggang politik, yaitu kenubuatan bahwa demokrasi liberal ala Barat adalah sebuah keniscayaan sejarah. Jika pemahaman ala Bush diteruskan, yang terjadi adalah benturan antara historisisme yang telah mapan dan historisisme yang sedang diproyeksikan. Alternatif untuk mempromosikan dan membumikan gagasan ‘masyarakat terbuka’ sangat diperlukan, yaitu dengan jalan pendidikan, argumentasi rasional, kebebasan berpikir, pengakuan dan penghormatan diri, dan, yang tidak boleh dilupakan, kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial.[13]


[1] Roberta Corvi, An Introduction, 47-48.
[2] Karl R. Popper, “Prediction and Prophecy in the Social Sciences” dalam Patrick Gardiner (ed.), Theories of History (New York: The Free Press, 1959), 276-285.
[3] Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London dan New York: Routledge, 1989 [edisi kelima]), 34-35.
[4] William A. Gorton, Karl Popper, 1.
[5] Karl R. Popper, Conjectures, 39.
[6] Roberta Corvi, An Introduction, 49.
[7] Relativsme epistemologis adalah “suatu paham yang mengingkari adanya dan dapat diketahuinya kebenaran yang objektif dan universal oleh manusia”. Lihat, Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 55; lihat juga, Anton van Harskamp (ed.), Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 14.
[8] Perdebatan mereka direkam dalam Theodor W. Adorno et. all., The Positivist Dispute in German Sociology, translated by Glyn Adey dan David Frisby (London: Heinemann, 1977).
[9] Dikutip dalam Ilkka Niiniluoto, “The Open Society and Its New Enemies: Critical Reflections on Democracy and Market Economy”, http://www.tampereclub.org/e-publications/vol2_niiniluoto.pdf, diakses 8 Januari 2012. Uraian selanjutnya tentang gagasan masyarakat terbuka Popper dalam tulisan ini didasarkan pada penafsiran Niiniluoto. Ilkka Niiniluoto adalah seorang profesor filsafat dan matematika di Universitas Helsinki, Finlandia dan penulis buku Critical Scientific Realism (New York: Oxford University Press, 1999).
[10] Karlina Supelli, “Masyarakat Terbuka..”, 2.
[11] Karlina Supelli, “Masyarakat Terbuka..”, 11.
[12] Ibid, 12.
[13] Karlina Supelli, “Masyarakat terbuka..”, 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar