Rabu, 11 April 2012

Etika Hindu


Etika (Ethic = Bahasa Inggris) artinya, susila, kesusilaan, ilmu akhlak. Sila adalah salah satu kerangka dasar ajaran agama Hindu (Tatwa, Sila Upacara) atau merupakan ajaran pertama dan utama dari Saptangga Dharma, yaitu:
1)         Sila = Kesusilaan
2)         Yadnya = Persembahan suci
3)         Tapa = Pengendalian diri
4)         Dana = Berderma
5)         Prawrjya = Menyebarkan Dharma
6)         Diksa = Upacara inisisai
7)         Yoga = Menunggalkan diri dengan Tuhan
Pada Sloka Wrehaspati Tattwa No. 25 itu dijelaskan bahwa, “Sila ngaranya mangrakascara rahayu”, yang artinya Sila adalah menjaga perilaku/kebiasaan agar tidak menyimpang dari norma-norma kebenaran dan kebaikan. Dengan lain katanya, memelihara perangai yang baik dan benar menurut Dharma Agama dan sosial budaya. Suatu perilaku dikatakan etis apabila; sopan, pantas/wajar, baik, dan benar sesuai norma dan nilai yang berlaku. Sedangkan norma atau aturan tingkah laku yang baik dan mulia disebut Tata Susila.
Ajaran Hindu tidak memakai istilah dogmatik baik dan jahat atau surga dengan neraka melainkan memiliki etika-etika yang berdasar karena kebutuhan untuk menyelaraskan keinginan individu, emosi, dan ambisi untuk mengarahkannya pada sebuah kehidupan yang harmonis di bumi dengan tujuan mutlak dari agama Hindu untuk menyadari keberadaan kita sendiri. Kesadaran diri menurut pandangan Hindu adalah kesadaran pada diri kita dengan Tuhan, sebagai sumber dan intisari dari keberadaan manusia dan kebebasannya. Dalam kitab Hindu menyatakan bahwa setiap individu yang terdiri dari tubuh fisik (sarira), pikiran (manas), intelek (buddhi), dan diri (atman). Berdasarkan 4 hal itu, setiap individu membutuhkan hal-hal keduniawian (artha) untuk dapat mempertahankan tubuh fisik dan memuaskan segala kebutuhan keluarga dengan ketergantungannya. Untuk memuaskan pikiran dan intelek, kebutuhan untuk memenuhi keinginannya dan pengejaran intelek (kama) atau penyatuan dengan Tuhan merupakan tujuan utama dalam kehidupan manusia.
Setiap manusia harus memainkan perannya demi kebaikan masyarakat, bangsa, dan dunia dengan melakukan tindakan yang dimotivasi kebaikan sosial dan bertindak sesuai dengan batasan dharma (kebenaran), tugas, moral, dan hukum sosial. Sehingga dalam hal ini terdapat empat tujuan prinsip hidup manusia yaitu dharma, artha, kama, dan moksa. Dharma adalah yang pertama, yang menandakan bahwa ketiganya tidak dapat dipenuhi tanpa memenuhi kewajiban dharma. Moksa adalah tujuan yang terakhir karena keterikatan adalah memungkinkan ketika dari ketiga bagian lain sudah terpenuhi. Walaupun dharma memiliki arti yang berbeda dari sudut pandang etika, dharma adalah sistem moral dan nilai etika. Hindu Dharma menyadari adanya tujuh faktor yang membuat seseorang menyimpang dari jalan dharma atau mengarah untuk perbuatan dosa, yaitu penderitaan (tresna), kemarahan (krodha), ketamakan (lobha), keterikatan (moha), rasa bangga (mada), kecemburuan (matsarya), dan egoisme (ahankara).
Untuk menghindari manusia tidak menyimpang karena pengaruh ketujuh faktor tersebut, maka di dalam filsafat Hindu terdapat sepuluh kebajikan, yang dikenal dengan "Dharma Laksana", yang terdapat di dalam kitab "Manu Smrti" yaitu sebagai berikut:[1]
Akrodha (tidak marah): Kemarahan yang menutupi alasan, menghasilkan perbedaan antara benar dan salah, serta kebajikan dan keburukan. Ketika pemikiran yang dapat membedakan itu dirusak maka orang tersebut akan kehilangan identitas diri. Seseorang yang marah akan menyakiti diri sendiri dan orang lain, dengan tiga cara yang berbeda secara fisik (melalui kekerasan), secara verbal (melalui kata-kata kasar), dan secara mental (melalui keinginan yang buruk). Pengendalian kemarahan dapat diartikan sebagai sebuah pemikiran yang baik dalam diri.
Asteya (tidak mencuri): Secara umum mencuri dapat didefinisikan sebagai mengambil dengan paksa atau dengan tidak adil barang/benda milik orang lain. Dalam etika Hindu, mencuri juga termasuk didalamnya ingin menguasai barang/benda orang lain dan di atas kebutuhan legistimasi yang menghambat kemajuan orang lain, atau mengambil kesempatan mereka dengan memiliki sesuatu melalui maksud yang ilegal. Kurangnya pengendalian indera dan ketamakan seseorang biasanya menimbulkan suatu keinginan untuk mencuri. Seseorang yang memegang teguh asteya akan bebas dari ketamakan dan tidak memiliki keinginan untuk mencuri.
Atma Vinigraha (pengendalian pikiran): Pikiran yang terganggu tidak dapat akan membedakan benar dengan yang salah atau kebaikan dengan keburukan. Konsentrasi dalam memberikan kebijaksanaan dan kasih yang mendalam dapat meningkatkan kekuatan pikiran.
Dama (pengendalian diri atau pengendalian indera): Indera harus dapat dikendalikan sehingga dapat berfungsi sesuai dengan pengarahan alasan. Pengendalian diri bukan tidak berarti penolakan diri namun dalam bersikap sederhana dalam memuaskan kebutuhan dan menghindari kebodohan. Seseorang yang dapat mengendalikan dan membebaskan dirinya dari berbicara yang lepas kendali, gosip, minum berlebihan, dan menjaga tubuh dan pikirannya agar terkendali. Kurangnya diskriminasi antara apa yang yang harus dan tidak harus dilakukan yang mengarahkan seseorang pada angan-angan. Sebuah pikiran yang berkhayal menjadi tidak sehat untuk dapat menyadari tujuan dari hidup seseorang.
Dhi (kemurnian pikiran): Kemurnian pikiran dan intelek adalah lebih penting daripada kecerdasan. Seorang manusia yang memiliki kemurnian intelek akan bebas dari rasa sakit, temperamen yang tidak baik, perasaan yang buruk, dan keinginan yang tidak dapat diduga. Para Rsi Hindu berpendapat bahwa kecerdasan sangat dianjurkan untuk pengajaran pada kitab agar melakukan perbuatan yang baik dan pikiran yang mulia serta meditasi yang teratur.
Dhrti (ketetapan dan persistence): Seseorang harus tetap dalam hal pendirian untuk dapat menemukan kebenaran. Pikiran yang selalu terus beriak tidak akan dapat menemukan kebenaran. Hidup yang benar sangat dimungkinkan hanya dengan komitmen seseorang untuk menjalankan kehidupannya.
Ksama (pengampunan atau kesabaran): Pengampunan adalah kebaikan yang utama dari moral dan etika hidup. Pengampunan dapat mempertahankan kesucian pikiran bahkan situasi yang provokatif dalam kehidupan seseorang.
Satya (kebenaran): Satya tidak berarti semata-mata berkata yang benar, perkataan dan perbuatan, dan dalam hubungan kita dengan orang lain. Untuk menjalankan kehidupan yang bermoral dan hidup yang beretika, maka seseorang harus melakukan kebenaran. Konsep dari moralitas dapat berubah setiap waktu, namun kebenaran tidak akan pernah berubah. Tidak ada seorangpun yang dapat menyembunyikan kebenaran secara terus menerus.
Sauca (kemurnian tubuh dan pikiran): Kemurnian itu terbagi dalam dua jenis yaitu fisik dan mental. Kemurnian fisik berarti menjaga tubuh seseorang bersih dari luar maupun dalam. Kebersihan diri dari dalam dapat diperoleh dengan menjalankan hukum kesehatan yang baik dan memakan makanan yang "sattvika" (makanan yang menyehatkan, kekuatan metal, kekuatan, panjang umur, dan yang bergizi serta mengandung nutrisi). Kebersihan luar artinya mengenakan pakaian yang bersih dan menjaga kebersihan tubuh. Kemurnian mental berarti bebas dari pemikiran yang negatif dari nafsu, ketamakan, kemarahan, kebencian, rasa bangga, kecemburuan, dan lain-lain.
Vidya (pengetahuan): Kitab Hindu menyatakan bahwa pengetahuan itu ada dua jenis yaitu pengetahuan yang lebih rendah (apara-vidya) dan pengetahuan yang lebih tinggi (para-vidya). Pengetahuan yang lebih rendah artinya pengetahuan yang bersifat keduniawian dalam bidang ilmu dan pengetahuan yang sangat diperlukan untuk kehidupan di dunia. Sedangkan pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan spiritual yang mengajarkan cara untuk dapat mengatasi kesengsaraan yang tidak diharapkan, menggapai tujuan yang bukan halangan, serta mencapai kekuatan mental dan spiritual untuk dapat mengatasi perjuangan hidup. Pengetahuan spiritual dapat diperoleh melalui belajar kitab yang berhubungan dengan orang suci, dan dengan melakukan perbuatan yang tidak mementingkan diri (niskama). Pengetahuan spiritual juga dapat membantu seseorang untuk menjalankan kehidupan yang berarti, yang menguntungkan secara sosial. Tujuan pengetahuan spiritual ini adalah untuk mencapai penyatuan yang mutlak dengan Tuhan.

Dasar-Dasar Etika Hindu
Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan, dimana keyakinan tersebut merupakan kekuatan moral pemeluk agama Hindu yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
a)      Widdhi sraddha sebagai dasar etika Hindu. Karena yakin bahwa Brahman (Tuhan) berada dimana-mana dan selalu ada serta maha tahu, mengetahui semua yang tampak dan tak tampak, maka menjadi alasan atau dasar yang mendorong orang untuk selalu menjaga perilakunya agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Tuhan (Agama) dimana dan kapan pun, baik ada yang melihat maupun tidak. Walau hanya dalam angan atau pikiran saja semestinya tidak dibiarkan menyimpang karena Tuhan mengetahui apapun yang ada dalam pikiran manusia. Apalagi umat Hindu juga yakin bahwa Tuhan menyayangi orang-orang yang susila dan berbudi pekerti yang luhur.
b)      Karena yakin dengan Atma[2] adalah dewa yang memberikan kekuatan hidup pada setiap mahkluk, maha saksi yang tidak dapat ditipu, maka timbul etika tidak boleh bohong. “Sanghyang Atma sirata dewa ring sarira, manoning ala ayu tan keneng in imur-imur.” Artinya, Sanghyang Atma adalah dewa dalam tubuh, mengetahui palsu dan sejati (baik-buruk) tak dapat dikelabuhi.
Karena yakin bahwa pada dasarnya Atma semua makhluk adalah tunggal, tapi berbeda kondisinya karena karmanya dan tubuhnya masing-masing maka Hindu meyakini konsep “Bhineka - Tunggal” artinya berbdea-beda satu sama lain namun pada hakekatnya tunggal. Berdasarkan kenyataan bahwa manusia keadaannya berbeda-beda, ada yang lebih tua, ada yang lebih muda, ada yang lebih tinggi statusnya, ada yang lebih rendah, maka orang ber-tata krama atau ber-etika; orang yang lebih rendah statusnya atau lebih muda umurnya patut menghormati yang lebih tinggi statusnya atau lebih tua umurnya, orang lebih tinggi statusnya atau lebih patut menghargai yang lebih rendah dan yang lebih muda. Berdasarkan keyakinan bahwa, pada hakekatnya semua Atma adalah tunggal, melahirkan filsafat “Tat Twam Asi” artinya dia adalah kamu : melandasi serta mendorong etika untuk saling menghargai satu sama lain. Tat Twam Asi juga landasan dasar salah satu ajaran Etika Hindu: “Arimbawa” maksudnya punya pertimbangan kemanusiaan, punya rasa kasihan, ingin menolong, dapat memaafkan, sehingga dalam memperlakukan atau menindak orang lain mengukur pada diri sendiri. Sebelum bertindak tanya dulu kepada diri sendiri “Bagaimana seandainya aku diperlakukan atau ditindak demikian?” Bila menimbulkan rasa tak enak, menyakitkan, maka sebaiknya orang tidak diperlakukan demikian: bila menyenangkan atau membahagiakan (dalam arti positif) sebaiknya dilakukan.
c)      Karena yakin dengan Hukum Karma Phala (buah perbuatan) bahwa, setiap perbuatan pasti akan membawa akibat, maka orang menjaga sikap dan perilakunya agar selamat (anggraksa cara rahayu) termasuk menjaga pikiran.
“Yadiastun riangen-angen maphala juga ika” Artinya, walaupun baru hanya dalam pikiran akan membawa akibat itu. “Siapakari tan temung ayu masadana sarwa ayu, nyata katemwaning ala masadhana sarwa ala” Artinya, siapa yang tak akan memperoleh kebaikan bila sudah didasari dengan perbuatan baik? Pastilah hal-hal yang buruk akan dituai bila didasari dengan perbuatan buruk. Keyakinan pada KarmaPhala jelas menjadi dasar dan sekaligus kontrol dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Demikianlah keyakinan pada Hukum Karma Phala menumbuhkan Etika Hindu.
Konsep ini sama dengan hukum sebab akibat (causal law). Selain bernilai etika moralis, juga mempunyai nilai filosofis yang mendalam. Konsep ini juga merupakan penuntun bagi setiap orang yang mempercayai hukum alam dan hukum yang dibuat oleh manusia sendiri. Bila seseorang menanam jagung, pasti akan memetik buah jagung pada saatnya. Bila seseorang berbuat baik, pasti ada saatnya yang tepat dia akan memetik hasil perbuatannya tersebut. Oleh karena itu, dalam agama Hindu terdapat konsep Tri Kaya Parisudha (tiga hal yang menyangkut kesucian / kebenaran), yakni: ‘berpikir yang suci dan benar, berkata yang suci dan benar, dan berperilaku yang suci dan benar’.[3]
Adanya Hukum Karma Phala menuntun kebanyakan pemeluk agama Hindu untuk berbuat yang tidak merugikan orang lain termasuk pemeluk agama lain karena ada rasa kurang berani menerima akibat yang buruk bagi pelaku.
d)     Berdasarkan keyakinan pada Punarbhawa/samsara (reinkarnasi). Pemeluk agama Hindu sangat meyakini bahwa ada kehidupan setelah kematian. Setelah beberapa lama di alam “sana”, mungkin di surga atau neraka, atau sebentar di surga dan selebihnya di neraka, maka dia akan lahir sesuai karmanya. Sisa perbuatan pada masa kehidupan yang lalu, akan dinikmati sebagian pada kelahiran berikutnya yang dikenal dengan istilah wasana karma.  Bila orang berperilaku buruk dalam hidupnya akan lahir menjadi makhluk yang lebih rendah, mungkin menjadi manusia cacat bahkan mungkin menjadi binatang tergantung derajat keburukan perilakunya, sebaiknya bila dalam hidupnya didominasi oleh perbuatan-perbuatan baik, maka kelak ia akan lahir pada tingkat makhluk yang lebih mulia seperti menjadi manusia yang lebih rupawan, pintar, murah rezeki, memperoleh jalan hidup yang lebih baik, lebih berwibawa, dsb, maka mesti menjaga tingkah lakunya agar dapat menjelma dalam tingkat yang lebih tinggi derajatnya, lebih baik dalam segala hal, minimal tidak jatuh menjadi makhluk yang lebih rendah atau lebih sengsara.
e)      Yoga. Karena yakin dengan adanya sorga yaitu alam tempat arwah yang sangat menyenangkan, alam tempat meinkmati suka cita bagi arwah yang pada waktu hidupnya banyak berbuat baik. Apalagi yakin dengan adanya moksa yang lebih tinggi lagi daripada surga yaitu menyatunya Atma dengan Brahman (Tuhan) bagi yang berhasil melepaskan diri dari belenggu papa dengan berbuat baik (Subhakarma) menikmati “Sat cit ananda” atau “Suka tan pawali dukha”, artinya suka yang tak akan pernah kembali menemukan duka, dengan kata lain mencapai kebahagiaan abadi. Seseorang akan dapa lepas dari lingkaran karma dan samsara apabila sanggup membuat hidupnya betul-betul suci.  Dan itulah yang disebut moksha.[4] Pada saat itulah seseorang akan dapat menyatukan diri (siddha) dengan Brahma. Etika atau sila semakin menjauhkan orang dari neraka dan menghantarkan untuk semakin dekat dengan sorga dan moksa. Keyakinan ini mendorong orang untuk beretika, lebih semangat untuk menegakkan sila dalam hidupnya.
Dalam usaha mencapai moksa ini, kitab Bhagawat Gita telah menjelaskan bahwa jalan yang harus ditempuh ialah dengan melaksanakan yoga.
Yoga dalam pengertiannya yang sederhana adalah usaha mendisiplinkan diri, tata cara meditasi, cara mengendalikan atau cara mengawasi. Dimaksudkan dengan mengendalikan maupun mengawasi dan menguasai kegiatan ingatan dan kegiatan indra serta melakukan tekanan terhadapnya.
Yoga terdiri atas dua tingkatan. Tingkatan pertama bersifat perbuatan lahir. Dan tingkatan kedua bersifat perbuatan batin. Kedua tingkatan itu adalah sebagai berikut:[5]


Kriya Yoga
1)      Yama-yoga, menahan diri untuk membunuh, berdusta, curang, khianat, dengki, iri, ria, tamak dan segala jenis perbuatan yang dipandang dosa. Pelaksananya pada tingkatan ini merupakan anggota biasa di dalam masyarakat.
2)      Niyama-yoga, melatih dan membiasakan diri melakukan segala perbuatan yang bersifat kebaikan dan kebajikan. Pelaksananya pada tingkatan ini merupakan anggota biasa di dalam masyarakat.
3)      Asana-yoga, memilih dan menentukan sikap tubuh tertentu bagi meditasi. Pada tingkatan ini seseorang telah memilih tempat tertentu bagi meditasi tersebut.
4)      Pranayama-yoga, menahan nafas dalam sikap tubuh tertentu pada saat meditasi. Sifatnya bertahap sampai kemudian mampu menahan nafas dalam jangka waktu yang panjang.
5)      Pracahara-yoga, meniadakan pengaruh indra atas pengaruh apapun yang berada di sekitar diri sampai semuanya dipandang tidak ada sama sekali.
Raja-yoga
1)      Dharana-yoga, pemusatan pikiran atas satu titik sassaran, yaitu Brahman, tanpa tergetar oleh apapun.
2)      Dhyana-yoga, renungan rohani yang terus menerus terhadap titik konsentrasi, yaitu Brahman, tanpa ada ingatan lainnya.
3)      Samadhi, mencapai titik ekstasi hingga pada saat itu bersatulah Atman dengan Brahman, yang di dalam agama Brahman/Hindu dirumuskan dengan “Dia adalah Aku, Aku adalah Dia”.
Demikianlah tahap-tahap yang harus dilewati di dalam yoga. Namun tidak semua orang bisa mencapai tingkat raja-yoga, karena tahap-tahap di dalam kriya-yoga saja sudah demikian berat untuk bisa diselesaikan dengan baik dan sempurna. Dikatakan bahwa hanya orang-orang tertentu yang dapat mencapai tahapan raja-yoga.


Gerakan Reformasi dalam Agama Hindu
Gerakan pembaharuan di dalam Agama Brahma/Hindu bermula pada abad keenam sebelum masehi dan berkelanjutan sampai abad kedua puluh. Tiga tokoh pembaharu diantaranya kemudian melahirkan agama tersendiri. Pertama Siddharta Gautama (560-480 SM) dan ajarannya melahirkan Agama Buddha, kedua, Mahavira (599-527 SM) dan ajarannya melahirkan Agama Jaina. Dan ketiga, Guru Nanak (1469-1538 SM) dan ajarannya melahirkan Agama Sikh.

Kesimpulan
Agama Hindu sangat menjunjung tinggi sila (etika). Kitab Wrehaspati Tattwa meletakkan sila nomor satu pada ajaran dharma bukanlah suatu kebetulan. Melainkan mempunyai arti strategis bahwa di antara tujuh bagian dharma (sila, yajna, tapa, dana, prawrejya, diksas, dan yoga) sila adalah yang pertama dan utama. Tanpa sila yang lain tak akan ada artinya dan tak akan berhasil. Hidup ini pun tak ada artinya bila tidak diemban dengan sila. Tak ada artinya kaya, sakti, jabatan tinggi, rupawan, dsb bila tanpa sila. Perilaku yang bertentangan dengan sila disebut asusila atau dursila akan menghilangkan nama baik bahkan jatuh menjadi nica (orang rendahan). Orang yang demikian hakekatnya mati walaupun masih bernapas dan kuat lincah. Lalu apa artinya kekayaan, jabatan tinggi, kesaktian, dll bila tanpa sila. “Sila ktikang predhana ring dadi wwang”, yang artinya kemulyaan orang terletak pada silanya.
Bila sila (etika) baik, walaupun ia berasal dari kalangan masyarakat bawah miskin, kurang pintar, masih muda, dia adalah orang mulia yang patut dihormati. Sebaliknya walaupun ia dari bangsawan tinggi kaya pintar, jabatan tinggi, sakti berumur, tapi asusila/dursila sesungguhnya dia orang rendahan dan tak patut dihormati.
Pada jaman Krtha Yuga, manusia sangat mulia dan yang diutamakan pada jaman ini adalah tapa disebutkan “Tapah param kertha yuge”, artinya tapa adalah yang paling utama pada jaman Krtha Yuga; siapa yang lebih mampu melakukan tapa (mengendalikan diri) dia yang dianggap paling mulia dan paling dihormati.
 Memang hasil tapa-brata itu sangat tinggi nilainya; hampir semua tokoh-tokoh Hindu seperti para Maha Rsi di jaman yang lampau lahir dari Tapa Brata, maksudnya menjadi besar dan sangat mulia karena hasil tapanya. Namun Bh. Brgu tetap meletakkan sila sebagai yang terbaik. Artinya : “Sarwasya tapasomulam acaram jagrhuh param” Dari semua hasil Tapa Brata dan lain sebagainya, tetap perbuatan baik (sila) adalah yang terbaik.
Umat Hindu mempunyai lima keyakinan dasar yang menjadi sisi kekuatan moral Agama Hindu, yang disebut Pancasraddha. Kelima keyakinan tersebut, yakni: Widdhi sraddha sebagai dasar etika Hindu yaitu yakin akan adanya Tuhan; yakin dengan Atma (Roh) adalah dewa yang memberikan kekuatan hidup pada setiap mahkluk; Karma Phala (buah perbuatan) bahwa, setiap perbuatan pasti akan membawa akibat; Punarbhawa/samsara/reinkarnasi bahwa pemeluk agama Hindu sangat meyakini bahwa ada kehidupan setelah kematian; moksa yang lebih tinggi lagi daripada surga yaitu menyatunya Atma dengan Brahman (Tuhan) bagi yang berhasil melepaskan diri dari belenggu papa dengan berbuat baik (Subhakarma).
Keyakinan-keyakinan yang berujung pada moksa tersebut membawa umat Hindu pada moral/etika tertinggi dalam ajaran Agama Hindu.


[2] Bila Atman meninggalkan badan orangpun mati. Alat-alat tubuh hancur kepada asalnya. Atman yang menghidupi badan disebut jiwatman. Jiwatman dapat dipengaruhi oleh karma hasil perbuatannya di dunia ini. Menurut ajaran Agama Hindu, jiwatman orang yang meninggal dapat naik ke sorga atau jatuh ke neraka. Orang-orang yang berbuat buruk akan jatuh ke neraka. Di neraka, jiwatman mendapatkan siksaan. Namun orang-orang suci yang tak terikat lagi pada ikatan dunia akan sampai ke alam nirvana, alam kelepasan. I Wayan Watra, op.cit, hlm. 155
[3] I Wayan Jendra “Brahman, Avatar, Dewa dan Sumbangan Agama Hindu dalam Pembangunan Mental Spiritual Bangsa”. Dalam Wiwin Siti Aminah, dkk, op.cit., hlm. 121
[4] Istilah moksha berarti bebas dari semua keterbatasan, perbudakan dan ketidaksempurnaan. Moksha adalah suatu keadaan penyatuan dengan Tuhan yang merupakan hak setiap manusia. Sifat sejati jiwa  manusia adalah bebas dan Illahi. Bagi manusia, kebebasan muncul dari pengetahuan tentang diri sejatinya. Swami Prabhavananda (Kepala Pusat Vedanta, Hollywood, U.S.A, Agama Veda dan Filsafat, (Surabaya: Penerbit Paramita, 2006), hlm. 79
[5] Joesoef Sou’yb, op.cit, hlm. 55-56. Lihat juga Mudjahid Abdul Manaf, op.cit, hlm. 19-20. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar