Rabu, 11 April 2012

Masyarakat Madani: Konsep Civil Society

Dalam pembahan perkuliahan.com kali ini ingin mengetengahkan tentantang kajian penelitian oleh saudara saya dalam bentuk pembahasan skripsi. namun saya rasa perlu untuk menerbitkanya disini guna pelajaran dan pencerahan bersama mengenai masyarakat madani, khusunya tentang pembahasan masyarakat madani di indonesia.
Kajian konsep civil society (masyarakat madani) di Indonesia banyak mengalami proses perubahan – perubahan, kritik, dan juga dekontruksi. Dalam melihat persoalan itu, perlu dilihat dalam dua tataran, yakni, pertama, tataran institusional – sosiologis, dan kedua, tataran ideal menyangkut visi.
Pada tataran institusional, bagaimanapun harus diakui bahwa akar – akar civil society (masyarakat madani) di Indonesia sudah ada, sekalipun sangat sederhana, seperti lembaga – lembaga intermediary antara negara dan masyarakat, baik yang bersifat tradisional maupun modern, termasuk yang dimiliki oleh organisasi dan gerakan Islam sejak zaman dahulu hingga sekarang. Oleh karenanya, pada tataran ini, yang diupayakan adalah bagaimana mengembangkan lembaga itu menjadi semakin rasional, sehingga melakukan kontak, komunikasi, atau networking dengan kelompok – kelompok di luar gerakan – gerakan Islam. Lembaga – lembaga seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan lain – lain secara institusional dan sosiologis merupakan akar – akar dari civil society (masyarakat madani) secara kelembagaan itu. [1] Lebih menarik lagi dalam tataran institusional ini, ternyata ormas – ormas Islam tersebut telah mencoba melakukan gerakan Islam yang mampu menyerap enlightement (pencerahan) berupa sikap rasionalitas, sekularisasi, dan nilai – nilai demokrasi yang sangat humanitarian. Di mana pencerahan tersebut — dalam wacana keIndonesiaan — bukan berarti tidak transendental (berdasar adat dan agama), karena yang jelas civil society (masyarakat madani) di Indonesia berbeda dengan di Barat.[2]
Sementara itu pada tataran visi, kita agak mengalami kesulitan, sebab sebuah visi dari civil society (masyarakat madani) menuntut adanya kemampuan untuk menyerap nilai – nilai dari luar yang mungkin untuk sementara masih dianggap di luar Islam seperti warisan – warisan enlightenment (pencerahan) : rasionalitas, sekularisasi, dan nilai – nilai demokrasi yang sangat humanitarian, ini pun – sebenarnya – sudah banyak dilakukan oleh pemikir – pemikir Islam, terutama dalam konteks modern seperti K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Upaya mencari persamaan antara produk enlightement (pencerahan) dengan khazanah Islam di tampak berjalan, walaupun tidak semuanya tidak semuanya sudah melahirkan kesepakatan – kesepakatan. Yang kita cari bukan perbedaan, sebab hal itu hanyalah masalah pendekatan saja.
Dan konsep civil society (masyarakat madani) kian relevan di Indonesia sebab kita menghadapi struktur yang hampir sama yang terjadi di negara – negara totaliter di mana negara begitu berkuasa dengan kuat, sampai mengurus hal – hal yang sangat pribadi. Oleh karena itu, dalam tataran visi mengenai civil society (masyarakat madani), kita tidaklah kemudian mencari alternatif yang Islami, atau harus Islami. Cara – cara tersebut justru tidak produktif. Upaya menggantikan visi civil society dengan masyarakat seperti yang ada pada jama Nabi jelas menghalangi kemungkinan – kemungkinan kita melakukan pencangkokan enlightement. Dengan kata lain, tekanannya adalah pada kemampuan kita melakukan pencangkokan tanpa harus menghilangkan identitas masing – masing fihak. Dan ini, dalam pandangan orang yang melihat sisi Islam saja, tentu kurang memuaskan, sehingga kita perlu melakukan kajian yang lebih luas dalam masalah civil society (masyarakat madani).[3]
Memang harus diakui, selama ini dalam kerangka pemikiran intelektual Muslim Indonesia terjadi perbedaan di antara mereka, seperti contoh, M. Dawan Rahardjo lebih sepakat jika civil society mengalami “Islamisasi”, dalam sudut pandang sama Nurcholish Madjid lebih melihat pada aspek agama Islam sebagai dominant ideology, sedangkan Gus Dur melihat Islam harus dipandang secara komplementer.
Dari sekian kesulitan melakukan identifikasi masyarakat madani (civil society) dalam tataran visi, menarik untuk merunut pendapat Nurcholish Madjid bahwa masyarakat madani (civil society) identik dengan beberapa hal yaitu: Pluralisme, toleransi, demokrasi dan terciptanya modern state.[4] Dengan analisis sebagai berikut :

Pluralisme
Berkenaan dengan masalah pluralisme – suatu unsur yang sangat asasi dalam masyarakat madani sebagaimana diletakkan dasar – dasarnya oleh Nabi, kita dapatkan dalam wacana masyarakat sipil (Indonesia) masih menunjukkan pemahaman yang dangkal dan kurang sejati. Istilah “pluralisme” sudah menjadi barang harian dalam wacana umum nasional. Namun dalam masyarakat ada tanda – tanda bahwa orang memahami pluralisme hanya sepintas lalu, tanpa makna yang lebih mendalam, tidak berakar dalam ajaran kebenaran.
Paham kemajemukan masyarakat atau pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan kemajemukan itu sebagai bernilai positif, sebagai rahmat Tuhan kepada manusia, karena akan memperkaya pertumbuhan budaya melalui interaksi yang dinamis lewat pertukaran silang budaya yang beraneka ragam.
Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good) yang hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan – ikatan keadaban.” Bahkan Pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.[5]
Hal senada diungkapkan A. Najib Burhani, yang mengatakan bahwa gagasan civil society (masyarakat madani) hanya bisa tumbuh subur dalam masyarakat yang mengakui pluralitas. Gagasan civil society (masyarakat madani)  yang memiliki prasyarat utama adanya pluralisme itu dapat dilihat pada beberapa gagasan dan tema yang sebenarnya kuno namun klasik. Misalnya apa yang diperkenalkan Emile Durkheim dengan solidaritas organis, Ferdinand Tonis dengan bentuk – bentuk ikatan paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesellschaft) untuk munculnya wilayah yang bersifat privat dan bersifat publik. Jadi, dalam perwujudan masyarakat madani atau civil society adalah pluralisme lembaga – lembaga masyarakat sebagai penyeimbang institusi  negara sangat dituntut. Piagam Madinah menjadi tonggak pertama kali diperkenalkannya umat manusia pada pluralisme, kebebasan, terutama dibidang agama dan ekonomi, serta tanggungjawab sosial dan politik, khususnya pertahanan.[6]
Kosep keragaman (Pluralisme) yang merupakan ciri civil society (masyarakat madani), Di mana tumbuhnya berbagai organisasi masyarakat akan mendukung terwujudnya civil society (masyarakat madani), apabila organisasi masyarakat itu memiliki tanggungjawab untuk memperbaiki kualitas perilaku warganya tanpa menghilangkan identitas individu yang bersifat plural.[7]
Dalam konteks yang lebih luas, pluralisme dipahami sebagai sesuatu yang normatif, karena kemajemukan sebagai suatu perbedaan adalah shahih, sehingga mau tidak mau motif yang kita kembangkan bukan untuk menghilangkan perbedaan yang ada, tetapi bagaimana menjadikan perbedaan – perbedaan yang ada dalam segala hal seperti ideologi, kepercayaan, agama, suku, ras, warna kulit dan kepentingan diarahkan pada konsep mutualisme simbiosisme (saling mengisi atau saling membutuhkan). Jika situasi kondusif tersebut tercipta, pluralisme akan menjadi artefak yang indah dalam masyarakat, masyarakat akan menikmati situasi perbedaan sebagai “rahmat” dan “rahmat” yang tercipta dengan sendirinya akan membawa masyarakat pada kecerdasan dalam mengembangkan peradaban.

Toleransi
Jika toleransi menghasilkan adat dan tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda – beda, maka itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari suatu ajaran yang benar. Hikmah atau manfaat itu adalah sekunder nilainya sedangkan yang primer adalah ajaran itu sendiri. Maka sebagai primer, toleransi harus kita laksanakan dan wujudkan dalam masyarakat, sekalipun untuk kelompok tertentu — bisa jadi untuk diri kita sendiri — pelaksanaan toleransi secara konsekuen itu akan menghasilkan sesuatu yang baik.[8]
Toleransi sebagai salah satu asas masyarakat madani adalah lebih prinsipil daripada toleransi seperti yang pernah tumbuh di masyarakat Eropa. Dalam sejarah, paham toleransi di Eropa antara lain di mulai oleh “Undang – undang Toleransi 1689” (The Tolerantion Act of 1689) di Inggris, Tetapi toleransi di Inggris itu hanya berlaku dan diterapkan terhadap berbagai pecahan intern Gereja Anglikan saja, sementara paham Katolik dan Unitarianisme tetap dipandang tidak legal. Dan abad 18, toleransi dikembangkan sebagai akibat ketidakpedulian orang terhadap agama, bukan karena keyakinan kepada nilai toleransi itu sendiri. Apalagi saat revolusi Prancis, kebencian kepada agama (semangat laicisme dan anti – clecalisme) sedemikian berkobar – kobar. Maka yang muncul tidak saja sikap tidak peduli kepada agama, tetapi kebencian yang meluap – luap. [9]
Jika di Barat terjadi demikian, maka ketika kita kembalikan dalam konteks Indonesia, maka sikap toleransi menjadi sesuatu yang wajib. Karena dengan kondisi masyarakat yang sangat plural, baik adat istiadat, suku, agama dan ras, tidak bisa tidak sikap toleransi harus selalu dikedepankan. Konflik – klonfik SARA, yang pernah terjadi di Situbondo, Tasikmalaya, Ambon, Poso, Sambas dan lain sebagainya, sebagai bukti bahwa ketika kita ingin menciptakan masyarakat yang beradab, sikap toleran harus harus selalu dikedepankan.
Bahkan dalam sejarahnya Rasulullah Muhammad SAW ketika memimpin Madinah, nilai – nilai toleransi dijadikan salah satu “asas” negara Madinah. Pluralitas yang ada di Madinah waktu itu dengan adanya pemeluk agama Yahudi dan Nasrani tentunya menjadikan nilai toleransi sebagai ajaran yang secara mutlak harus dilakukan, karena bagaimanapun juga Rasulullah tentunya ingin menunjukkan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil alamin dengan tidak memberangus kelompok minoritas, bahkan sebagai jaminan Rasulullah menjadikan nilai toleransi sebagai “konstitusi” yang termaktub dalam piagam Madinah.

Demokrasi
Bicara tentang demokrasi, biasanya orang berbicara tentang interaksi antara negara dan civil society (masyarakat madani). Asumsinya adalah, jika civil society (masyarakat madani) vis a vis negara relatif kuat maka demokrasi akan berlangsung, sebaliknya, jika negara kuat dan civil society lemah (masyarakat madani), maka demokrasi tidak berjalan dengan baik. Dengan demikian demokratisasi dipahami sebagai proses pemberdayaan civil society (masyarakat madani).
Selain itu, konsep masyarakat madani (civil society) yang berkaitan dengan kekuatan sosial yang demokratis, progresif dan terbuka. Maka untuk pembentukan masyarakat madani (civil society),  perlu menjamin terjadinya proses demokratisasi, yang diselenggarakan melalui sistem perundang – undangan dan kelembagaan yang sesuai, serta peletakan landasan etik dan pengaturan hukum dari pola perilaku pemegang kekuasaan.[10]
Berkenaan dengan fenomena tersebut, banyak orang berkeyakinan bahwa demokratisasi dalam upaya membangun civil society (masyarakat madani) yang kokoh itu secara simplitis harus diikuti juga dengan proses demiliterization society (demiliterisasi masyarakat), yaitu mengembalikan lembaga militer pada posisinya, tugas dan fungsi pokoknya.[11]
Dari uraian di atas dapat diambil asumsi bahwa demokrasi dalam pembentukan masyarakat madani (civil society) adalah adanya penguatan dari dari masyarakat sipil terhadap kekuasaan, yang berarti masyarakat sipil diberi kebebasan dalam bersikap, berkehendak dan berserikat/berkumpul atau dalam dataran teknis tercermin lewat organisasi baik organisasi kemasyarakatan (ormas) atau politik, di mana lembaga – lembaga tersebut dilindungi lewat undang – undang.
Selain itu, peranan militer dalam konteks negara demokrasi harus diminimalisir. Kekuatan militer adalah kekuatan pertahanan yang mempunyai kekhususan dalam porsi dan posisi mereka, sehingga akan sangat berbahaya jika masuk dalam kehidupan sipil secara praktis terutama dalam lembaga – lembaga politik. Beberapa kasus seperti yang terjadi di Pakistan ketika Jenderal Perves Musharraf menumbangkan kekuatan sipil, atau yang pernah terjadi di Indonesia, militer dengan “modal” dwi fungsinya menjadikan lembaga – lembaga sipil dan posisi sipil sebagai bagian dari penancapan hegemoni militer terhadap sipil, sehingga yang terjadi kemudian militer menjadi kelompok masyarakat yang mempunyai kelas tersendiri di atas masyarakat sipil, sehingga apresiasi masyarakat selalu didominasi kekuatan militer, jika terjadi demikian maka penguatan demokrasi menjadi tidak sehat, karena segala sesuatunya harus mendapat “restu” dari militer.

Semangat Madani dan Modern State
Semangat madani dan modern state bukanlah sebagai “proses” pembentukan masyarakat madani (civil society) tetapi lebih sebagai “hasil”,  dengan uraian sebagai berikut :
Sebagaimana kita ketahui bahwa inti dari konsep masyarakat madani (civil society) adalah terbentuknya lembaga – lembaga atau organisasi di luar negara, yang mempunyai otonomi relatif, dan memerankan fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.[12] Yang berarti masyarakat madani (civil society) memberikan adanya public space (ruang publik) agar kekuatan besar berupa negara tidak bertindak   macam – macam dan semenang – wenang. Tetapi, yang jelas, harus ada tradisi terlebih dahulu yang dibentuk dari sana.[13] Atau dalam bahasanya Nurcholish Madjid, semangat penghargaan kekuasaan terhadap warga negaranya (berupa ; hak – hak asasi, martabat kemanusiaa, hak hidup dan lainnya) adalah bentuk negara modern dalam masyarakat madani.[14]
Selain itu, kehidupan negara atau bangsa yang modern ditandai oleh adanya relasi, praktek, dan pembagian kekuasaan yang bersifat rasional. Hal ini jelas berbeda dengan alam pikiran tradisional yang menganggap kekuasaan bersifat pribadi. Untuk waktu lama banyak sekali negara – negara berkembang atau yang belum merdeka menerapkan pengertian seperti ini. Dalam pengertian ini ada kerancuan apa yang menjadi wilayah publik dan pribadi. Di samping itu, dalam kerangka kehidupan politik tradisional, kekuasaan tidak disertai dengan mekanisme pertanggung- jawaban yang semestinya.[15]
Dari sinilah peran – peran lembaga – lembaga atau organisasi di luar kekuasaan menjadi strategis, karena mempunyai “hak” melakukan kontrol dan berpartisipasi langsung maupun tidak langsung dalam penyelenggaran kehidupan bermasyarakat atau bernegara. Secara khusus M. Dawam Rahardjo lebih sepakat jika konsep tersebut juga diperjuangkan lewat lembaga swadaya masyarakat atau bahkan partai politik agar keberadaanya dalam berbagai bentuk dan perwujudan dari masyarakat madani (civil society) bukan saja mendapat pengakuan yang sah, tetapi juga mampu mengimbangi negara.[16] Dan pada unit sosial partial rakyat akan menemukan kemampuan bersuara kolektif dan kemungkinan defferensi, hubungan interpersonal langsung. Asosiasi – asosiasi antara adalah penting, baik dari bahaya identitas yang berbeda oleh normalisasi massa maupun demokrasi yang menghadapi oligarki.[17]
Perlu di garis bawahi bahwa partisipasi publik dalam tataran ini secara perspektif normatif instrumen yang paling praktis digunakan adalah dengan menganut dan melaksanakan asas konstitualisme. Apalagi secara langsung bisa menjadikan penguatan masyarakat madani (civil society). Masalahnya, tentu saja, tak semudah itu mengharapkan pihak penguasa mau melaksanakannya. Dalam masalah ini kita tidak bisa mengharapkan inisiatif datang dari negara atau menunggu simpati penguasa dan aparatur negara. Penguasa totaliter dimanapun tak mengendaki menguatnya masyarakat madani (civil society). Karenanya, para anggota masyarakat sendirilah yang harus memperjuangkannya, dapat dengan melakukan gerakan sosial (mobilisasi unsur – unsur strategis masyarakat seperti kaum buruh, tani mahasiswa dan kelas menengah pada umumnya; melakukan demonstrasi dengan mengangkat isu yang berdimensi publik) maupun melalui gerakan kultural (diskusi, aksi, informasi, kegiatan penyadaran dan seterusnya).[18]
Sebagai suatu “norma” tampaknya apa yang ditawarkan di atas menginginkan kita untuk menjadikan lembaga – lembaga masyarakat baik lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi politik sebagai “saluran resmi” dalam pengembangan supremasi sipil sebagai inti dari demokrasi tersebut. Cuma persoalannya kekuasaan yang biasanya mempunyai kecenderungan untuk otoriter dan korup tidak mudah untuk memberikan kesempatan dan penghargaan pada masyarakat berupa jaminan hidup dan hak asasi, untuk itulah perlu adanya kontrol yang gigih dari masyarakat, meminjam istilahnya Miriam Budihardjo partisipasi dan kontrol yang dikembangkan masyarakat tidak hanya partisipasi konvensional (Pemilu), tetapi juga bisa disalurkan lewat cara non konvensional (diskusi, aksi / demonstrasi). Proses – proses tersebut yang jelas dalam kerangka menjadikan kekuasaan tidak “melecehkan” aspirasi masyarakat dan itulah demokrasi yang sebenar – benarnya sebagai prasyarat terbentuknya negara modern.
Setelah kita melakukan identifikasi konsep masyarakat madani (civil society), maka tampak dengan jelas bahwa masyarakat madani (civil society) adalah suatu masyarakat demokratis dan menghargai hak – hak dan tanggungjawab manusia. Tanggungjawab tersebut menjadikan toleransi, pluralisme dan demokrasi sebagai kunci paling utama dalam pembentukan masyarakat idaman (masyarakat madani).
Melihat keadaan masyarakat dan bangsa Indonesia maka ada beberapa prinsip yang khas yang perlu kita perhatikan di dalam membangun masyarakat madani (civil society) di Indonesia. Ciri – ciri khas tersebut    ialah : [19]
  1. Kenyataan adanya keragamaan budaya Indonesia yang merupakan dasar pengembangan identitas bangsa Indonesia dan kebudayaan nasional.
  2. Pentingnya adanya saling pengertian antara sesama anggota masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh filosof Isaiah Berlin, yang diperlukan di dalam masyarakat bukanlah sekedar mencari kesamaan dan kesepakatan yang tidak mudah untuk dicapai. Justru yang penting di dalam masyarakat yang ber-bhineka ialah adanya saling pengertian. Konflik – konflik nilai merupakan dinamika dari suatu kehidupan bersama di dalam masyarakat madani. Konflik – konflik nilai tidak selalu berarti hancurnya suatu kehidupan bersama. Dalam masyarakat demokratis, konflik akan memperkaya horison pandangan dari setiap anggota.
  3. Berkaitan dengan kedua ciri khas tadi ialah toleransi yang tinggi. Dengan demikian masyarakat madani Indonesia bukanlah masyarakat yang terbentuk atau dibentuk melalui proses indoktrinasi tetapi pengetahuan akan ke-bhinekaan dan penghayatan terhadap adanya ke-bhinekaan tersebut sebagai unsur penting dalam pembangunan nasional.
  4. Akhirnya untuk melaksanakan nilai – nilai khas tersebut diperlukan wadah kehidupan bersama yang diwarnai oleh adanya kepastian hukum. Tanpa kepastian hukum sifat – sifat toleransi dan saling pengertian antara sesama anggota masyarakat pasti tidak dapat diwujudkan.
Secara sederhana bisa kita ambil kesimpulan dari empat ciri khas di atas bahwa bangsa ini (Indonesia) secara sunatullah telah memiliki kemajemukan yang justru merupakan ciri khas tersendiri, yang perlu dilakukan adalah adanya saling pengertian di antara anggota masyarakat yang memiliki perbedaan tersebut. Sikap saling pengertian itu berwujud toleransi sebagai sebuah keniscayaan akan doktrin kebhinekaan yang kita miliki, tetapi semuanya dilaksanakan atas dasar adanya kepastian hukum, sehingga toleransi bukan barang semu yang melangit tetapi jelas bagi kemungkinan – kemungkinan yang akan terjadi.
Sebagai epilog ; Civil society,  masyarakat madani atau istilah apapun yang dimunculkan, yang jelas keinginan untuk menciptakan masyarakat yang beradab, yang menjadikan nilai – nilai pluralisme, toleransi, demokrasi untuk mewujudkan sebuah negara modern, adalah persoalan yang lebih substantif daripada harus terjebak pada perdebatan – perdebatan konsepsional. Karena bagaimanapun juga ketika kita memilah dan mereduksi berbagai peristilahan dalam kerangka pemikiran yang partikulalistik (sebagian), yang terjadi kemudian kita justru kehilangan “ruh” dari nilai – nilai yang ada pada istilah tersebut, baik civil society atau masyarakat madani.
Selain itu, akan lebih arif jika masyarakat madani atau civil society pengembangan konsep dan aplikasinya dalam konteks keIndonesiaan tidak meninggalkan aspek transendental (adat istiadat dan agama), karena bagaimanapun juga, spesifikasi masyarakat Indonesia mempunyai nilai lebih atau kurang dibandingkan dengan objek civil society  di manapun juga. Dan semuanya kiranya untuk menjadikan bangsa ini lebih baik pada masa yang akan datang. Amin.


[1] Muhammad AS. Hikam, “Nahdlatul Ulama, Civil Society dan Proyek Pencerahan”, dalam Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani Arkeologi Pemikiran “Civil Society” Dalam Islam di Indonesia,  Pustaka Hidayah, Bandung, Cet. ke – 1, 1999,  hlm. 9 – 10.
[2]  Ibid., hlm. 11.
[3] Ibid.
 [4] Nurcholish Madjid, Op.Cit., hlm. 23 – 30.
[5]  Ibid., hlm. 23.
[6] Ahmad Najib Burhani, Op.Cit., hlm. 21.
[7] Djohar, Loc.Cit.
[8] Nurcholish Madjid, Op.Cit., hlm. 24.
[9] Ibid., hlm. 25.
[10] M. Taufik Abdullah, “Di Sekitar Hasrat Ke Arah Masyarakat Madani”, dalam Membangun Masyarakat Madani Menuju Indonesia Baru Milenium Ketiga, Pasca Sarjana UMM dan Aditya Media,  Cet. ke – 1, Yogyakarta, 1999, hlm. 71.
[11] Muhajir Effendy, Op.Cit., hlm. 3 – 4.
[12] Bahtiar Effendy, “Wawasan Al – Qur’an Tentang Masyarakat Madani”, dalam PARAMADINA, Vol. I, No. 2, Jakarta, 1999, hlm. 83 – 84.
[13] Muhammad AS Hikam, Op.Cit., hlm. 14.
[14] Nurcholish Madjid, Op.Cit., hlm. 29.
[15] Bahtiar Effendy, Loc.Cit.
[16] Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani di Indonesia …….. Op.Cit., hlm. 17.
[17] Craig Colhoun, “Nasionalisme dan Civil Society, Demokrasi, Keanekaragaman dan Penentuan Nasib Diri Sendiri”, dalam Wacana Masyarakat Sipil, WACANA No. 1, Yogyakarta, 1999, hlm. 112.
[18] Adnan Buyung Nasution, Op. Cit., hlm. 8.
[19] H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, PT Remaja Rosdakarya, Cet. ke – 1, Bandung, 1999, hlm. 160.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar