Jumat, 27 April 2012

Pemikiran Karl Raimund Popper

Karl Raimund Popper lahir di Himmelhof, sebuah distrik di Wina, Austria, pada tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya adalah seorang pengacara yang menaruh minat besar pada filsafat dan ilmu-ilmu sosial, sementara ibunya adalah seorang yang sangat mencintai musik. Di perpustakaan pribadi ayahnya tersimpan koleksi buku-buku yang cukup banyak di bidang itu. Dia tumbuh di lingkungan yang ‘decidedly bookish’. Sejak kecil ketertarikan popper terhadap dunia intelektual sudah terbentuk. Pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolah ‘realgymnasium’-nya karena menurutnya pelajaran-pelajaran di sana terlalu membosankan. Dia kemudian menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada usia 20 tahun diterima resmi menjadi mahasiswa di universitas itu.[1]
Ketika Popper studi di universitas, Eropa sedang goncang. Kemaharajaan Austria-Hungaria runtuh akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Kondisi perekonomian memburuk secara drastis, sehingga kelaparan dan kerusuhan terjadi di seluruh penjuru negeri. Pada saat itu Popper sempat masuk perkumpulan pelajar sosialis dan seorang pengagum Marxisme. Akan tetapi kekaguman Popper terhadap Marxisme pudar setelah menyaksikan kebrutalan yang dilakukan oleh kelompok komunis terhadap lawan ideologisnya. Rangkaian peristiwa tersebut cukup membekas pada Popper, sehingga sejak itu topik tentang kebebasan menjadi sentral dalam filsafat sosial politiknya. Dalam pandangan Popper, “sosialisme negara hanyalah opresi dan tidak bisa direkonsiliasi dengan kebebasan; bahwa kebebasan lebih penting daripada persamaan” karena “jika kebebasan hilang, tidak akan ada persamaan bahkan di antara orang yang tak bebas”.[2] 
Pada tahun 1937 Popper dan istrinya pergi meninggalkan Austria untuk menghindari fasisme Nazi. Perlu diketahui, meskipun dibaptis di gereja Protestan, Popper adalah keturunan Yahudi. Popper pergi ke Selandia Baru melintasi Inggris. Di tempat barunya dia mengajar filsafat di Canterbury University College, Christchurch. Di sana ia menyelesaikan buku Open Society and Its Enemies dan the Poverty of Historicism. Di buku pertamanya ia mengkritisi pemikiran Plato, Hegel, dan Marx. Di buku kedua ia menujukkan bahwa ketiga pemikiran tersebut pada dasarnya adalah ramalan sejarah, dia menyebutnya sebagai historisisme, yang berubah menjadi ideologi. Dalam praktiknya, ideologi cenderung bersifat totaliter karena ia tidak bisa/mau dikritisi dan, apalagi, disalahkan.
Setelah Perang Dumia II berakhir, Popper pindah ke Inggris untuk mengajar di London School of Economics (LSE). Di sana ia terus mengembangkan pemikirannya, termasuk menerjemahkan tulisan-tulisannya dalam bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris. Sejak itu pengaruh Popper meluas cepat. Setelah resmi pensiun pada 1969, Popper tetap aktif menulis dan memberikan kuliah, termasuk beberapa kali kunjungan ke berbagai negara, sampai meninggal pada 1994. Oleh para pengagumnya, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ terus menerus dikembangkan dan dijadikan jargon cita-cita politik dan ekonomi liberal. George Soros, bekas muridnya di LSE, mendirikan The Open Society Foundation yang bertujuan untuk “opening up closed societies, making open societies more viable, and promoting a critical mode of thinking”.[3] Dengan dana yang dimilikinya, yayasan ini aktif mempromasikan nilai-nilai yang sedikit banyak mengacu pada pemikiran Popper ke seluruh dunia. Di Indonesia, baru-baru ini majalah Prisma yang diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial) bekerjasama dengan Yayasan Tifa mengangkat tema ‘Masyarakat Terbuka Indonesia: Pesona atau Persoalan?’. Di sana Terdapat tulisan menarik dari Karlina Supelli yang membahas problematik gagasan masyarakat terbuka Popper jika diimplementasikan di Indonesia.[4] Di bagian akhir kita akan kembali ke topik ini, namun sebelumnya kita akan mendiskusikan terlebih dahulu pemikiran Popper pada ranah epistemologi dan ontologi.

       I.            Dasar-dasar Pemikiran Popper
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan ruang lingkup dan cara memperoleh pengetahuan. Sejak masa Yunani Kuno diskusi tentang epistemologi telah dimunculkan, terutama oleh kaum Sophis yang mengajukan skeptisisme. Akan tetapi, terutama pada Plato-lah epistemologi menemukan rumusannya yang lebih spesifik. Plato mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa pengetahuan itu? Di mana pengetahuan biasanya diperoleh? Di antara apa yang biasa kita anggap kita ketahui berapa yang benar-benar pengetahuan? Dapatkah indera menghasilan pengetahuan? Bisakah akal memberikan pengetahuan? Apa hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan yang benar?[5]
Pada periode modern, Descartes mengembangkan apa yang disebut rasionalisme. Pandangan ini -dikenal sebagai pandangan Cartesian- mendasarkan diri pada prosedur tertentu dari akal atau rasio. Descartes percaya bahwa pengetahuan rasional bersifat mutlak dan berlaku universal. Sebagai reaksi terhadap pandangan Cartesian ini muncul empirisme. Tokoh utamanya adalah John Locke. Dia menyatakan bahwa pengetahuan yang benar didapatkan dari pengamatan inderawi. Akan tetapi, David Hume, seorang yang sebenarnya beraliran empiris, meragukan kemampuan inderawi untuk benar-benar menjangkau semesta pengetahuan. Hume lebih lanjut menyangsikan apakah pengetahuan yang partikular, yang disusun secara induktif, bisa menjadi pengetahuan yang universal. 
Adalah Immanuel Kant, seorang filsuf yang berusaha mengatasi rasionalisme dan empirisme. Dalam banyak hal, Popper menyetujui pandangan Kant, termasuk pandangannya tentang pengetahuan apriori, yaitu pengetahuan yang ada sebelum pengalaman. Akan tetapi, Popper tidak setuju dengan Kant mengenai keabsahan pengetahuan apriori. Bagi Popper, teori pengetahuan adalah penemuan kita yang bersifat konjektur, sehingga ia bisa salah kalau dikemudian hari ditemukan pengetahuan yang lebih meyakinkan. Mengikuti Darwin, Popper melihat teori pengetahuan atau epistemologi secara evolutif dan saling berkompetisi. Tidak ada epistemologi yang tunggal. Oleh karena itu, teori pengetahuan tidak bisa menjadi sebuah dogma yang berlaku sepanjang sejarah, melainkan sebentuk hipotesis yang bisa dikritisi dan bahkan disalahkan.[6]
Popper, dengan demikian, ingin menyelamatkan rasionalisme tetapi dengan catatan. Rasionalisme Popper dikenal dengan rasionalisme kritis. Proyek Popper ini terutama ditujukkan untuk membantah kaum positivisme logis yang berbasis di Wina, -Austria- dikenal sebagai Lingkaran Wina. Salah satu proyek mereka adalah hendak memisahkan mana ungkapan yang bermakna dan ungkapan yang tidak bermakna. Ungkapan ini bisa ditemukan dalam bahasa sebagai objektifikasi pikiran manusia. Menurut kaum postivisme logis, pemisahan itu ditentukan oleh sejauh mana ungkapan-ungkapan itu bisa ditangkap oleh inderawi atau tidak. Ungkapan yang tidak bisa ditangkap inderawi berarti tidak bermakna. Sebaliknya, ungkapan yang bisa ditangkap oleh inderawi adalah yang bermakna. Ungkapan yang bermakna inilah, yang hanya bisa diverifikasi secara empiris, yang dianggap oleh kaum positivisme logis sebagai pengetahuan. 
Popper menyangkal pandangan kaum positivisme logis tersebut. Dalam pemahamannya manusia tidak mungkin mengetahui semesta hanya dengan mengandalkan verifikasi empiris. Popper memberi contoh kasus angsa putih dan angsa hitam. Orang Eropa selama ratusan atau mungkin ribuan tahun percaya bahwa semua angsa adalah putih karena memang sejauh itu tidak ditemukan angsa selain angsa putih. Keyakinan ini goyah dan kemudian runtuh ketika para pelancong Eropa menemukan angsa hitam di Sungai Victoria di Australia pada pertengahan abad ke-17. Dengan penemuan itu keyakinan orang Eropa terbukti salah. Contoh serupa bisa ditemukan dalam semua hal yang ada di ‘dunia objektif’. Oleh karena itu, bagi Popper, teori pengetahuan selalu bersifat hipotesis dan konjektural. 
Melihat argumennya, Popper jelas tetap berusaha menyelamatkan empirisme tetapi dengan catatan. Bagaimanapun prinisp falsifikasi Popper dilakukan melalui pengujian yang sifatnya empiris. Akan tetapi, empirisme Popper tidak berasal dari sebab-musabab yang berujung pada akibat, dari yang partikular menuju yang universal. Empirisme Popper lahir dari pengetahuan apriori yang ditimba dari pengetahuan apriori-nya Kant, tetapi Popper meneruskan itu dengan menambahkan prinsip falsifikasi. Ketika ada bukti empiris yang lebih kuat, teori pengetahuan lama otomatis terbukti salah. Namun jika bukti empiris baru ternyata lebih lemah, teori pengetahuan lama justru dikuatkan (corroborated) oleh bukti empiris baru tersebut. Dengan prinsip inilah ilmu penegetahuan berkembang dan terhindar dari pembakuan yang bisa memerosotkan ilmu menjadi mitos dan ideologi. 
Berangkat dari prinsip falsifikasi, Popper ingin menghindari objektivisme dan subjektivisme dalam pengertiannnya yang ekstrem. Untuk itu dia mengajukan gagasan ontologis tentang tiga Dunia. Dunia 1 adalah dunia fisik, Dunia 2 adalah dunia mental, Dunia 3 adalah dunia objektif. Dunia 1 dan Dunia 2 saling berinteraksi. Dunia 2 dan Dunia 3 saling berinteraksi. Akan tetapi, Dunia 1 tidak bisa langsung berinteraksi dengan Dunia 3 kecuali melalui Dunia 2. Dengan kata lain, benda-benda fisiologis berinteraksi dengan benda-benda psikologis, benda-benda psikologis berinteraksi dengan benda-benda logis, tetapi benda-benda fisiologis tidak bisa langsung berinteraksi dengan benda-benda logis kecuali terlebih dulu melalui dunia psikologis.[7] 
Apa yang dimaksud Dunia 3 tak lain adalah pendekatan objektif. Pada Popper, itu berarti pendekatan yang memandang pengetahuan manusia sebagai suatu sistem pernyataan atau teori yang dihadapkan pada diskusi kritis, ujian intersubjektif, atau kritik timbal-balik. Pendekatan objektif adalah kata lain untuk epistemologi pemecahan-masalah (problem-solving). Analisis yang lahir dari epistemologi Popper ini bersifat situasional, sehingga ia hanya sebuah solusi tentatif. Ia mesti menyesuaikan diri secara terus menerus dengan problem-problem baru.[8] 
Pendapat Popper tentang Dunia 3 adalah gagasan ontologis yang berpijak pada bahasa sebagai objektifikasi dunia mental manusia yang subjektif. Secara jelas Popper menyatakan bahwa “... Diri kita, fungsi bahasa yang tinggi (deskriptif dan argumentatif) dan Dunia 3 telah berevolusi dan muncul bersama dalam interaksi yang terus menerus ... untuk lebih spesifik, saya menyangkal bahwa binatang mempunyai kesadaran penuh atau bahwa mereka mempunyai diri yang sadar. Diri kita berkembang bersama dengan fungsi-fungsi bahasa yang lebih tinggi yaitu fungsi yang deskriptif dan argumentatif”. Kutipan ini merupakan kritik Popper terhadap kaum positivisme logis yang juga sama-sama berangkat dari permasalahan bahasa.[9]

       I.            Kritik terhadap karl R. Popper
Kritik pertama disampaikan oleh Thomas Khun, menurutnya antara pandangan neo-positivisme dan Popper tampak seperti berbeda, terutama kriteria dari sesuatu yang disebut ilmiah, sebenarnya kedua pandangan tersebut memiliki persamaan, bahkan cukup fundamental. Keduanya jelas memiliki nuansa positivistis, yang cenderung memisahkan antara ilmu dan unsur-unsur subjektifitas dari ilmuwan, keduanya juga sama-sama memandang, proses perkembangan ilmu adalah dengan jalan linier-akumulasi dan eliminasi.
Menurut Kuhn, ilmuwan (termasuk ilmuwan kalangan Lingkaran Wina dan Popper) bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip seperti para pemecah teka-teki yang bekerja dalam pandangan dunia yang sudah mapan. Kuhn menamai sistem keyakinan yang sudah mapan dengan istilah “paradigma”. Dalam pandangan Kuhn, seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu. Jadi menurut Kuhn, Popper sama saja dengan ilmuwan Lingkaran Wina, yang masih berkutat dalam paradigma positivistik.




[1] Roberta Corvi, An Introduction to the Thought of Karl Popper, translated by Patrick Camiller (London dan New York, 1997), 3.
[2] Roberta Corvi, An Introduction, 3.          
[3] William A. Gorton, Karl Popper and the Social Sciences (Albany: State University of New York Press, 2006), 1.
[4] Karlina Supelli, “Masyarakat Terbuka: Catatan Kritis untuk Pesona Sebuah Konsep”, Prisma, Vol. 30, No. 1, 2011,  3-14.
[5] Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991), 18.
[6] Roberta Corvi, An Introduction, 16.
[7] Taryadi Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991), 94-95.
[8] Taryadi Alfons, Epistemologi Pemecahan, 30-33.
[9] Ibid, 102.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar