Selasa, 27 Maret 2012

Biografi Abu Yazid al-Bustami

Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 804 – 874 M. nama kecilnya adalah Taifur. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana.[1]
Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau menyantap makanan yang diragukan kehalalannya.[2] Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surat Luqman yang berbunyi : “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhis etiap panggilan Allah. 
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seorang fakih dari Mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam buku. 
Dalam menjalani kehidupan zuhud selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara digurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan, dan minum yangsedikit sekali.[3] 
Sufi melakukan tingkatan-tingkatan suluk untuk melepaskan diri dari segala sesuatu selain Allah, dan membersihkan ruh dari segala yang tidak berhubungan dengan-Nya, dan menghasilkan keadaan fana’ dari wujud, persaksian, dan perumpamaan selain Dia. Sehingga sufi dapat menyingkap kebenaran pada pengalaman pertama, namun dia tidak sabar atas apa yang disaksikannya, namun sebaliknya malah sibuk dalam kemabukan lantaran penglihatannya tersebut, sampai penyebutan “Aku adalah Kamu!” Maka ketika dia konsisten dalam keadaan mabuk ini, dia malah tertutup dari rahasia yang lebih besar, lantaran tidak kuat menahan berat amanah yang sangat besar dalam batin si sufi. Dari pengalaman atas apa yang dirasakannya itu dia tidak mampu menguasai diri sendiri, sehingga keluarlah ucapan yang nyata. Dan ucapan-ucapan yang keluar dari sufi lantaran dia tidak mampu menguasai dirinya itulah disebut Syatahat.


 (("فالشطح كلام يترجمه اللسان عن وجد يفيض عن معدنه مقرون بالدعوى  وهو عبارة مستغربة فى وصف وجد فاض بقوته وهاج بشدة غليانه وغلبته" السراج "اللمع" ص.))
Sarraj berpendapat dalam Lumma’ fi al-Tasawuf bahwa Syatahat adalah perkataan lisan yang berusaha menerjemahkan perasaan cinta yang konsisten atas pengalaman yang dialami sufi (Sarraj, 346). Ia adalah ucapan yang aneh dalam pensifatan rasa cinta yang meluap-luap kuat dan bergejolak kuat lantaran puncak dan kuatnya perasaan cinta tersebut (Sarraj, 375).

Ajaran Tasawuf Abu Yazid al-Bustami

1. Fana dan Baqa’ 

Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana’ dan baqa’. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini abu bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H / 988 M) mendefinisikannya : “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.[4] 

Pencapaian Abu Yazid ketahap fana’ dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah. 

Perjalanan Abu Yazid dalam menempuh fana itu sebagaimana dijelaskan : “Permulan adanya aku di dalam Wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya daripada daimunah. (Tetap dan kekal). Maka senantiasalah aku terbang di dalam udara kaifiat sepuluh tahun lamanya, sehingga aku dalam udara demikian rupa 100 juga kali. Maka senantiasalah aku terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka kelihatanlah ! olehku pohon ahdiyat” (lalu beliau terangkan apa yang dilihatnya pada pohon itu, buminya, dahannya, buahnya dan lain-lainnya. 

Akhirnya beliau berkata : “Demi sadarlah aku dan tahulah aku bahwasanya : sama sekali itu hanyalah tipuan khayalan belaka”. 

Kata-kata yang demikian dinamai oleh syatahat, artinya kata-kata yang penuh khayal, yang tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum.[5] 

Pada suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Tuhan dan bertanya kepada-Nya; Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu ? Tuhan menjawab: “Tinggalkanlah dirimu dan datanglah”. Peninggalan Abu Yazid adalah menghilangkan kesadaran akan dirinya dan alam sekitarnya untuk dikonsentrasikan kepada Tuhan. Proses ini disebut juga dengan at-Tajrid atau al-fana’ bittauhid. 

Ucapan-ucapan Abu Yazid yang menggambarkan bahwa ia telah mencapai al-fana’ antara lain : “Aku kenal pada Tuhan melalui diriku sehingga aku hancur (fanait(u), kemudian aku kienal pada-Nya melalui diri-Nya maka aku hidup (hayait(u). 

Kehancuran (fana’) dalam ucapan ini memberikan 2 bentuk pengenalan (Al-Ma’rifat) terhadap Tuhan, yaitu : 

  1. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Abu Yazid. 
  2. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Tuhan.[6] 

Adapun baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan paham fana’ karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’.[7] 

2. Ittihad 

Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan fana dan baqa’. Hanya saja dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan.apakah karena pertimbangan keselamatan jiwa ataukah ajaran ini sangat sulit dipraktekkan merupakan pertanyaan yang sangat baik untuk dianalisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution uraian tentang ittihad banyak terdapat di dalam buku karangan orientalis.[8] 

Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.[9] Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fana nyatak mempunyai kesadaran lagidan berbicara dengan nama Tuhan.[10] 

Al Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baqa’ untuk mencapai ittihad dengan Tuhan.[11] 

Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad disampaikannya dalam ungkapan “pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan, lalu Ia berkata: “Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin memandangmu. Aku menjawab: “Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu. 

Puncak pengalaman kesufian al-Bustami dalam ittihad juga tergambar dalam ungkapan berikut : 

“Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan aku adalah Engkau. 

Terputus munajat. Kata menjadi satu, bahkan semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, “Engkaulah yang satu. Aku menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku menjawab, aku adalah aku.” 

Dalam ittihad kelihatannya lidah berbicara melalui lisan Al Bustami. Ia tidaklah mengaku dirinya Tuhan, meskipun pada lahirnya ia berkata demikian.[12] 

Suatu ketika seorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu. Abu Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari ?” Orang itu menjawab. “Abu Yazid”. Abu Yazid berkata, “Pergilah, di rumahmu ini tidak ada, kecuali Allah Yang Mahakuasa dan Mahatinggi.[13] 

Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Karena itu, dalam sejarah ada sufi yang ditangkap dan dipenjarakan karena ucapannya membingungkan golongan awam.[14] 


_________________________________________

[1] Fariduddin Al-’Aththar, Warisan Para Auliya’, Pustaka, Bandung, 1983, hlm. 128. 

[2] Ibid, hlm. 129 

[3] M.M. syarif, A History of Muslim Philosophy, Otto Harrassowitz, Wiesbaden, 1966, vol.1, hlm. 342. 

[4] Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi, At-Ta’arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf, Isa Al-Babi Al-Halabi, 1960, hlm. 147. 

[5] Prof. DR. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993, hlm. 94 – 95. 

[6] Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, jakarta: PT. Ichtiar Baru, 2001, hlm. 58 

[7] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, hlm. 132. 

[8] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, hlm. 79. 

[9] Abdurrahman Badawi, Syatahat Ash-Shufiyyah, Dar Al Qalam, Beirut, hlm. 82 

[10] Harun Nasution, Op. Cit. hlm. 83 

[11] van Hoeve, Enseklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru, 2001, hlm. 263 

[12] Enseklopedi Islam, Jakarta: CV. Ahda Utama, 1993, hlm. 263. 

[13] Harun Nasution, Op. Cit, hlm. 57. 

[14] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Op. Cit, hlm. 135.

Modal Simbolik dan Kekerasan Simbolik

Bagi Marx, “modal (capital) bukanlah sebuah relasi sederhana, melainkan sebuah proses, di dalam mana berbagai gerakan adalah selalu (berupa) modal.” Bourdieu melihat modal simbolik atau symbolic capital (seperti: harga diri, martabat, atensi) merupakan sumber kekuasaan yang krusial. Modal simbolik adalah setiap spesis modal yang dipandang melalui skema klasifikasi, yang ditanamkan secara sosial. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya, ini akan berhadapan dengan agen yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Maka, hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik (symbolic violence). 
Bourdue looks at the symbolic capital such as status; atensi; and etc are the sources of crucial authority. Symbolic capital is every symbolic species which is viewed through scheme of classification and legitimated socially. When the owner of symbolic capital will to use it, he will encounter to his opposed that is lower (agent symbolic). For that, agent will try to change his actions. This indication shows the happened of symbolic violance.
 Contohnya bisa terlihat, ketika seorang gadis membawa pacarnya ke rumah orangtua si gadis. Orangtua si gadis, yang menganggap si pemuda ini tidak pantas disandingkan dengan anak perempuan mereka, menunjukkan wajah dan tindakan yang menandakan rasa kurang senang. Simbol-simbol ini menyampaikan pesan bahwa si gadis tidak akan diizinkan meneruskan hubungannya dengan sang pacar. Namun, orangtua si gadis tidak secara paksa atau eksplisit menyatakan ketidaksetujuannya. 
For the example, when a girl invites her boyfriend to go to her home and meet with her parent, they show unkind behaviour and assume that her boyfriend. This is the symbol of symbolic violence. These symbols deliver some messages to the girl that they will not admit her to continuo their relation. Her parents do not show it explicitly about their disliked. But then, by these, they force the girl to do that.
Orang mengalami kekuasaan simbolik dan sistem pemaknaan (budaya) sebagai sesuatu yang sah (legitimate). Maka, si gadis sering akan merasa wajib memenuhi tuntutan orangtuanya yang tak terucapkan, tanpa memperdulikan kebaikan sebenarnya dari si pemuda pelamarnya. Gadis itu dibuat menyalahartikan atau tidak mengenali hakikat si pemuda. 
People who experiences a symbolic violence and meaning system (culture) as something legitimated will do it as his obligation. Concerning with a girl above, she must does what her parent symbolized although just by behaviour implicitly and without considering the good aspect of her boyfriend. The girl will be forced to do not admit the goodness of him. Finally, the girl assumes that her parent will be in good position, and then she follows them.
 Lebih jauh, dengan memandang kekerasan simbolik yang dilakukan orangtuanya sebagai sesuatu yang sah, gadis itu ikut terlibat dalam ketundukannya (subordination) sendiri. Rasa kewajiban telah berhasil memaksanya secara lebih efektif, ketimbang yang dapat dilakukan oleh teguran atau omelan eksplisit dari si orangtua. 
Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori-kategori pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang kemudian menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang “adil.” Ini adalah penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang struktur-struktur tindakan dari pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang posisi pihak yang dominan ini sebagai yang “benar.” 
Basically, symbolic violence is forcefulness of categorical of thought and just perception toward social agent which is dominated and then consider that this social structure as “just” thing. It is a combination of unconscious condition which repeats the actions of structures of dominant subject.
Kekerasan simbolik dalam arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial. 
Actually, a symbolic violence is stronger than physical violence, because, it attributed to every actions and cognition of individual structure then forces to be legitimated to social structure.
Dalam tulisan-tulisan teoretisnya, Bourdieu menggunakan beberapa terminologi ekonomi untuk menganalisis proses–proses reproduksi sosial dan budaya, tentang bagaimana berbagai bentuk modal cenderung untuk ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya. 
Bagi Bourdieu, pendidikan formal mewakili contoh kunci proses ini. Keberhasilan pendidikan, menurut Bourdieu, membawakan keseluruhan cakupan perilaku budaya, yang meluas sampai ke fitur-fitur yang seakan-akan bersifat non-akademis, seperti: gaya berjalan, busana, atau aksen. 
Anak-anak dari kalangan atas (privileged) telah mempelajari perilaku ini, sebagaimana juga guru-guru mereka. Sedangkan anak-anak berlatar belakang kalangan bawah tidak mempelajarinya. Anak-anak kalangan atas dengan demikian –tanpa banyak kesulitan-- cocok dengan pola-pola yang diharapkan oleh guru-guru mereka. Mereka terkesan “patuh.” Sedangkan anak dari kalangan bawah terlihat “sulit diatur,” bahkan “suka menentang.” Bagaimanapun, kedua macam anak ini berperilaku sebagaimana yang didiktekan oleh latar belakang asuhannya. 
Bourdieu menganggap, “kemudahan” atau kemampuan “alamiah” –pembedaan (distinction)-- pada faktanya adalah produk dari kerja sosial yang berat, yang sebagian besar dilakukan para orangtua mereka. Hal itu melengkapi anak-anak mereka dengan kecondongan-kecondongan perilaku serta pikiran, yang memastikan mereka sanggup berhasil dalam sistem pendidikan, dan kemudian dapat mereproduksi posisi kelas orangtuanya dalam sistem sosial yang lebih luas. 
Modal budaya (seperti: kompetensi, keterampilan, kualifikasi) juga dapat menjadi sumber salah-pengenalan dan kekerasan simbolik. Karena itu, anak-anak dari kelas pekerja dapat melihat keberhasilan pendidikan teman sebayanya --yang berasal dari kelas menengah-- sebagai sesuatu yang selalu sah. Mereka melihat hal yang sering merupakan ketidaksetaraan berdasarkan kelas, dilihat sebagai hasil kerja keras atau bahkan kemampuan “alamiah.” 
Bagian kunci dari proses ini adalah transformasi warisan simbolik atau ekonomi seseorang (seperti: aksen atau harta milik) menjadi modal budaya (seperti: kualifikasi universitas) –suatu proses di mana logika ranah-ranah budaya dapat menghalangi atau menghambat, tetapi tidak dapat mencegah.

Senin, 26 Maret 2012

Update Jadwal Pertandingan Bola

Selasa, 27 Maret 2012 :
* 01:30 WIB | Manchester United vs Fulham (MNCTV) * 02:00 WIB | Granada vs Sevilla (tvOne)

Rabu, 28 Maret 2012 :
* 01:30 WIB | Champions League| SL Benfica vs Chelsea FC (RCTI)

Kamis, 29 Maret 2012 :
* 01:30 WIB | SUPERBIGMATCH Champions League | AC Milan vs FC Barcelona (RCTI)

Kamis, 22 Maret 2012

Album Terbaru Epica: Requiem For The Indifferent (2012)

Halo teman-teman... meskipun SOPA berjalan di Amerika, namun tetep saja saya bandel, dengan bangga mempersembahkan Album Terbaru EPICA Requiem For The Indifferent (2012)

Tanggal release: 9 Maret 2012
01. Karma
02. Monopoly On Truth
03. Storm The Sorrow
04. Delirium
05. Internal Warfare
06. Requiem For The Indifferent
07. Anima
08. Guilty Demeanor
09. Deep Water Horizon
10. Stay The Course
11. Deter The Tyrant
12. Avalanche
13. Serenade Of Self-Destruction


Personel grup:
Mark Jansen - vocals, guitar
Simone Simons - vocals
Coen Janssen - keyboards
Isaac Delahaye - guitar
Ariën Van Weesenbeek - drums
Yves "Yvel" Huts - bass 

donload torrent

untuk mendownload torrent di atas, membutuhkan software bittorent, atau u-torrent.

Selasa, 20 Maret 2012

Kaligrafi Surat Ad Dhuha(93): 11

Kaligrafi Surat Ad Dhuha(93): 11
Bahan: Stereofoam
Rp. 125.000,-
Posted by Picasa

Biografi Ibnu Miskawaih

Nama Lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Yaqub Ibn Miskawaih, adalah seorang filosof muslim yang di anggap mampu memadukan dua tradisi pemikiran Yunani dan Islam, di samping juga ahli dalam filsafat Romawi, India, Arab, dan Persia, yang memusatkan perhatiannya pada filsafat etika Islam, meskipun sebenarnya Ibnu Miskawaih adalah seorang dokter, sejarawan dan ahli bahasa.[T.J.De Boer, Tarikh al –Falsafah fi al-islam. Terjemah Muhd. Abd al-Hadi Abu Ridah.Kairo Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah. Tt. hlm 73] Ia lahir pada tahun 320 H/932 M di Rayy (Teheran Iran) dan meninggal di Istafhan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H/16 Februari 1030 M, Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyyah (320-450 H/932-1062 M) yang besar pemukanya bermazhab Syi‟ah. Latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara rinci, cuma sebagian antara lain terkenal mempelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar dan mempelajari kimia dari Abi Thayyib.
Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihiyyah. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel. Pokok-pokok pemikiran filsafat etika Ibn Miskawaih secara terperinci dipaparkan dalam karya monumentalnya Tahdzib al-al-Akhlaq wa Tathhir al-A`raq. Karya ini terdiri dari tujuh bab yang secara sistematis dimulai dengan pembahasan tentang jiwa; pada bab dua, tentang fitrah manusia dan asal usulnya bab tiga, yang merupakan bagian utama akhlak, membicarakan keutamaan, terutama membicarakan tentang kebaikan dan kebahagiaan; bab keempat, tatkala membicarakan keadilan dia mengikuti ethics Aristoteles, bab kelima membahas persahabatan dan cinta kembali mengikuti Aristoteles. Pada bab keenam dan ketujuh membahas pengobatan ruhani dan dia mengikuti Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi dalam kitab “ al-Tibb al-Ruhani” dan Ibnu Miskawaih menggunakan istilah yang hampir sama, Tibb al-Nufus. Dalam kitab ini membahas hal yang berkaitan dengan berbangga diri, susah dan takut mati serta penyembuhan penyakit jiwa yang oleh al-Kindi di tulis sebuah penjelasan tentang menolak kesedihan. [F M.M. Syarif (ed) A. History of Muslim Philoshopy, Waesbaden: Otto Harrosowitz, 1963, Vol. I hlm 90-96]
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah. Semua karyanya tidak luput dari kepentingan pendidikan akhlak (Tahzib al-Akhlak), diantara karyanya adalah: al-Fauz al-Akbar, Al-Fauz al-Asghar (tentang metefisika: ketuhanan, jiwa dan kenabian) kitab Adab al-Arab wa al-A`jam (tentang etika); Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M); Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara); Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik); al-Musthafa (syair-syair pilihan); Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak); al-Jami’ al-Syiar (tentang aturan hidup); Tentang pengobatan sederhana (mengenai kedokteran); Tentang komposisi Bajat (mengenai seni memasak); Kitab al-Asyribah (mengenai minuman); Tahzib al-Akhlaq (mengenai akhlaq); Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi Jauhar al- Nafs (naskah di Istanbul, Raghib Majmu'ah no. 1463, lembar 57a-59a); Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu‟ah tersebut diatas dalam raghib majmu‟ah di Istanbul); Al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats (naskah di Teheren, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31); Risalah fi Jawab fi Su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql (perpustakaan Mashhad di Iran, I no 43 (137); Thaharat al-Nafs (naskah di Koprulu Istanbul no 7667) dan lain-lain.[Tim penyusun, Ensiklopedi Islam, ( Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997 hlm 162)] Muhammad Baqir Ibn Zain al-Abidin al-Hawanshari mengatakan bahwa ia juga menulis beberapa risalah pendek dalam bahasa Persi (Raudhat al-Jannah, Teheran, 1287 H/1870 M hal. 70). Mengenai urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Miskawaih sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar dan Tahzib al-akhlak ditulis setelah Tartib al-Sa'adah. Adapun beberapa gagasan dasar pemikiran Ibnu Miskawaih yaitu: pertama, gagasan tentang jiwa. Jiwa bukan tubuh dan bukan sifat, dan jiwa dapat mengetahui alam yang ada ini, baik yang kongkrit maupun yang ghaib dan segala sesuatu yang dapat di pikirkan dan di tangkap oleh panca indera. Jiwa merupakan elemen yang hidup, kekal, tidak mati dan tidak binasa. Kedua, gagasan tentang tuhan. Menurutnya untuk membuktikan adanya tuhan dapat mengambil dari gerak-gerak dari beberapa macam diantaranya gerak alam, gerak kebinasaan, gerak tumbuh, gerak kurang dan gerak perubahan serta gerak pindah.
Ketiga, gagasan tentang perkembangan alam semesta. Seperti Ikhwan Al-Safa, Ibnu Miskawaih menganut faham Evolusi. Bila dalam faham Ikhwan al-Safa dikatakan bahwa yang lebih dahulu muncul dibumi ini adalah alam mineral, kemudian baru tumbuhan, kemudian binatang, dan kemudian baru manusia. Dengan penjelasan bahwa pada puncak perkembangan alam binatang terdapat kera yang banyak persamaannya dengan dalam bentuk dan kelakuan. Maka Ibnu Miskawaih juga mengajukan prinsip yang sama. Evolusi manurutnya berlangsung dari alam mineral ke alam tumbuh-tumbuhan, selanjutnya ke alam binatang, seterusnya ke alam manusia. Transisi dari alam mineral ke alam tumbuhan terjadi melalui merjan (kerang), dari alam tumbuhan ke alam binatang melalui pohon kurma dan dari alam binatang ke alam manusia melalui kera.[Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Filsafat Dalam Islam, Jakarta, Djambatan, cet. I, 2003 hlm 89-90]

Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama

Senin, 19 Maret 2012

Surat Tilang Merah atau Biru?

Hai temen- Temen semoga bermanfaat :


Beberapa waktu yang lalu sekembalinya berbelanja kebutuhan, saya sekeluarga pulang dengan menggunakan taksi. Ada adegan yang menarik ketika saya menumpang taksi tersebut, yaitu ketika sopir taksi hendak ditilang oleh polisi. Sempat teringat oleh saya dialog antara polisi dan sopir taksi.


Polisi (Pol) : Selamat siang mas, bisa lihat Sim dan STNK?
Sopir ( Sop ) : Baik Pak?

Pol : Mas tau..kesalahannya apa?
Sop : Gak pak

Pol : Ini nomor polisinya gak seperti seharusnya (sambil nunjuk ke plat nomor taksi yg memang gak standar) sambil langsung mengeluarkan jurus sakti mengambil buku tilang?lalu menulis dengan sigap
Sop : Pak jangan ditilang deh? wong plat aslinya udah gak tau ilang kemana? kalo ada pasti saya pasang

Pol : Sudah?saya tilang saja?kamu tau gak banyak mobil curian sekarang? (dengan nada keras !! )
Sop : (Dengan nada keras juga ) Kok gitu! taksi saya kan Ada STNK nya pak , ini kan bukan mobil curian!

Pol : Kamu itu kalo di bilangin kok ngotot (dengan nada lebih tegas) kamu terima aja surat tilangnya (sambil menyodorkan surat tilang warna MERAH)
Sop : Maaf pak saya gak mau yang warna MERAH suratnya?Saya mau yg warna BIRU aja

Pol : Hey! (dengan nada tinggi) kamu tahu gak sudah 10 Hari ini form biru itu gak berlaku!
Sop : Sejak kapan pak form BIRU surat tilang gak berlaku?

Pol : Inikan dalam rangka OPERASI, kamu itu gak boleh minta form BIRU? Dulu kamu bisa minta form
BIRU? tapi sekarang ini kamu Gak bisa? Kalo kamu gak kamu ngomong sama komandan saya (dengan nada keras dan ngotot)
Sop : Baik pak, kita ke komandan bapak aja sekalian (dengan nada nantangin tuh polisi)

Dalam hati saya ?berani betul sopir taksi ini ?

Pol : (Dengan muka bingung) Kamu ini melawan petugas!?
Sop : Siapa yg melawan!? Saya kan cuman minta form BIRU? Bapak kan yang gak mau ngasih

Pol : Kamu jangan macam-macam yah? saya bisa kenakan pasal melawan petugas!
Sop : Saya gak melawan!? Kenapa bapak bilang form BIRU udah gak berlaku? Gini aja pak saya foto bapak aja deh? kan bapak yg bilang form BIRU gak berlaku
(sambil ngambil HP)

Wah ? wah hebat betul nih sopir ?. berani, cerdas dan trendy ? (terbukti dia mengeluarkan hpnya yang ada berkamera.
Pol : Hey! Kamu bukan wartawankan! ? Kalo kamu foto saya, saya bisa kandangin (sambil berlalu)

Kemudian si sopir taksi itupun mengejar itu polisi dan sudah siap melepaskan ?shoot pertama? (tiba-tiba dihalau oleh seorang anggota polisi lagi )

Pol 2 : Mas, anda gak bisa foto petugas sepeti itu

Sop : Si bapak itu yg bilang form BIRU gak bisa dikasih (sambil tunjuk polisi yg menilangnya)
lalu si polisi ke 2 itu menghampiri polisi yang menilang tadi, ada pembicaraan singkat terjadi antara polisi yang menghalau si sopir dan polisi yang menilang.
Akhirnya polisi yg menghalau tadi menghampiri si sopir taksi

Pol 2 : Mas mana surat tilang yang merah nya? (sambil meminta)
Sop: Gak sama saya pak?. Masih sama temen bapak tuh (polisi ke 2 memanggil polisi yang menilang)

Pol : Sini tak kasih surat yang biru (dengan nada kesal)

Lalu polisi yang nilang tadi menulis nominal denda sebesar Rp..30.600 sambil berkata ?nih kamu bayar sekarang ke BRI ? lalu kamu ambil lagi SIM kamu disini, saya tunggu?..

Sop : (Yes!!) Ok pak ..gitu dong kalo gini dari tadi kan enak?

Kemudian si sopir taksi segera menjalnkan kembali taksinya sambil berkata pada saya, ?Pak .. maaf kita ke ATM sebentar ya ... mau transfer uang tilang . Saya berkata ya silakan.

Sopir taksipun langsung ke ATM sambil berkata, ? ?Hatiku senang banget pak, walaupun di tilang, bisa ngasih pelajaran berharga ke polisi itu.? ?Untung saya paham macam2 surat tilang.?

Tambahnya, ?Pak kalo ditilang kita berhak minta form Biru, gak perlu nunggu 2 minggu untuk sidang
Jangan pernah pikir mau ngasih DUIT DAMAI?. Mending bayar mahal ke negara sekalian daripada buat oknum!?

Dari obrolan dengan sopir taksi tersebut dapat saya infokan ke Anda sebagai berikut:

SLIP MERAH, berarti kita menyangkal kalau melanggar aturan Dan mau membela diri
secara hukum (ikut sidang) di pengadilan setempat.
Itupun di pengadilan nanti masih banyak calo, antrian panjang, Dan oknum pengadilan yang melakukan pungutan liar berupa pembengkakan nilai tilai tilang... Kalau kita tidak mengikuti sidang, dokumen tilang dititipkan di kejaksaan setempat, disinipun banyak calo dan oknum kejaksaan yang melakukan pungutan liar berupa pembengkakan nilai tilang..

SLIP BIRU, berarti kita mengakui kesalahan kita dan bersedia membayar denda.
Kita tinggal transfer dana via ATM ke nomer rekening tertentu (kalo gak salah norek Bank BUMN).

Sesudah itu kita tinggal bawa bukti transfer untuk di tukar dengan SIM/STNK kita di kapolsek terdekat dimana kita ditilang.

You know what!? Denda yang tercantum dalam KUHP Pengguna Jalan Raya tidak melebihi 50ribu! dan dananya RESMI MASUK KE KAS NEGARA.

dari: https://www.facebook.com/groups/KUPUNET/
Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama 

Sabtu, 17 Maret 2012

Rembang Tidak Pernah Ada Demo BBM Naik

Rembang adalah kota yang sangat aman dan nyaman bagi rakyatnya. Makanya, silakan anggap seperti rumah sendiri, SPBU sendiri, BBM sendiri, ...... Lha wong ngisi sendiri aja boleh kayak di USA atau Japan gituuu...
SPBU di antara Kota Rembang dan Kota Lasem
beberapa hari yang lalu.

Jumat, 16 Maret 2012

Biografi Jurgen Habermas

Jurgen Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf Jerman. Pengalaman pahitnya sewaktu remaja yang ditandai dengan dua peristiwa besar Perang Dunia II dan hidup di bawah tekanan rezim nasional-sosialis Adolf Hitler, mengantarkannya untuk mengintrodusisasi pentingnya demokrasi dalam pemikiran politiknya (Santoso, 2003: 219).
Awal pendidikannya dimulai dengan mempelajari filsafat di Universitas Gottingen dan Bonn dan mulai bergabung ke dalam Institute Fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah Institut itu didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno. Waktu itu ia berusia 27 tahun dan mengawali karier akademisnya sebagai asisten Theodor Adorno (seorang filsuf Jerman terkemuka di Institute for Social Research) antara tahun 1958-1959. Gelar Ph.D, didapatkannya setelah berhasil menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul Das Absolut und die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) yang kemudian diterbitkan menjadi buku pada tahun 1954 dan berisi tentang pertentangan antara yang Mutlak dan Sejarah dalam pemikiran Schelling (Santoso, 2003: 219). 
Habermas melibatkan diri dalam kesibukan-kesibukan Institut, ia mempersiapkan sebuah Habilitationsschrift yang berjudul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan dalam Struktur Pendapat Umum, 1962), dan menjadi salah satu karya yang termasyhur diantara karya-karya awalnya sebagai anggota Institut. Habilitation itu dilaksanakan di Mainz pada tahun 1961, sementara pada tahun itu juga memberikan kuliah di Universitas Heidelberg sampai pada tahun 1964, dan setelah mengakhiri tugas mengajarnya, ia kembali ke Universitas Frankfurt dan menggantikan kedudukan Horkheimer dalam mengajar sosiologi dan filsafat (Santoso, 2003: 220).
  Satu hal yang penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir Marxis adalah peranannya di kalangan mahasiswa Frankfrut, seperti halnya Adorno dan Hokheimer, Habermas melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman (new left), meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis. Ia terutama menjadi popular di kalangan kelompok yang menamakan dirinya Sozialistischer Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiwa Sosialis Jerman). Habermas mendapat reputasi sebagai pemikir baru yang diharapkan dapat melanjutkan tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse, namun sejak tahun 1970-an, hubungan baiknya dengan gerakan ini mengendur sejak gerakan ini mulai melancarkan aksi-aksi dengan cara kekerasan yang tidak dapat ditolerir, seperti para pendahulunya. Hebermas juga melontarkan kritikannya kepada gerakan-gerakan itu, ia mengecamnya sebagai gerakan “Revolusi Palsu”, “bentuk-bentuk pemerasan yang diulangi kembali”, “Picik” dan kontraproduktif (Santoso, 2003: 221). 
Konfontrasi itu agaknya membuka tahapan baru dalam posisi Habermas sebagai pemikir neo-Marxis. Pada tahun 1970 ia mengajukan pengunduran diri dari Frankfrut dan bergabung pada Institut lain, yaitu Max Planck Institute zur Erfoschung der Lebensbedingungen Wissenshaftlich-technischen Welt (Institut Max Planck untuk Penelitian Kondisi-Kondisi Hidup dari Dunia Teknis-Ilmiah) di Starnberg bersama dengan C.F.Von Weizsacker, bahkan Habermas pada tahun 1972 sempat menjabat sebagai direkturnya dan diangkat sebagai profesor filsafat dan pensiun tahun 1994. Ia juga memiliki keleluasaan untuk mengembangkan dasar-dasar teori kritisnya yang berbeda dengan gaya, isi dan jalan dari pendahu-pendahulunya, seperti Adorno, Hokheimer dan Marcuse dan juga sangat berbeda warna dengan pemikir Marxis pada umumnya (Santoso, 2003: 221).

Hal itu nampak dari karya-karya terpenting Habermas, seperti:
  1. The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1962) diterjemahkan oleh Thomas Burger bersama dengan Frederick Lawrence, Cambridge, Polity Press, 1989;
  2. Theorie und Praxis / Theory and Practice (1963), diterjemahkan oleh John Viertel, Boston, Beacon Press, 1973; 
  3. Erkenntnis und Interesse / Knowledge and Human Interest, (1968), diterjemahkan oleh Jeremy J. Shapiro, Boston, Beacon Press, 1971; 
  4. Toward a Rational Society : Student Protest, Science and Politics (1968-9), diterjemahkan oleh Jeremy J. Shapiro, Boston, Beacon Press, 1970;
  5. On the Logic of the Social Sciences (1970), diterjemahkan oleh Shierry W. Nicholsen dan Jerry Stark, Cambridge,Mass, MIT Press, 1988; 
  6. Legitimation Crisis (1973), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Boston, Beacon Press, 1975; 
  7. Communication and thr Evolution of Society (1976), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, London, Heinemann, 1979;
  8. Theorie des Kommunikativen Handelns /The Theory of Communication Action. Volume 1 Reason and Rationalization on Society (1981), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Boston, Beacon Press, 1984;
  9. Theorie des Kommunikativen Handelns / The Theory of Communication Action. Volume 2 Lifeworld and System: a Ctitique of Functionalist Reason (1981), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, B: aoston, Beacon Press, 1987; 
  10. Der Philosophische Diskurs der Moderne / The Philosophical Discourse of Modernity (1985), diterjemahkan oleh Frederick Lawrence, Cambridge, Polite Press, 1987.


Habermas dan Madzhab Frankfurt 

Agar bisa memahami pemikiran Habermas, maka terlebih dahulu harus dipahami latar belakang yang mempengaruhi teori-teori pemikirannya. Bisa dipastikan bahwa Habermas sangat dipengaruhi oleh warisan intelektual Madzhab Frankfurt yang terkenal dengan Teori Kritisnya, sejak tahun 30-an Habermas sudah tertarik dan mengkaji gaya karya-karya Hokheimer dan Adorno. Ternyata di kemudian hari teori Madzhab Frankfrut ini tidak saja menentukan gaya pikir dan isi teori-teorinya namun lebih jauh Habermas juga melakukan semacam pembaruan atas kelemahan teori kritis itu terutama dengan melihat pesimisnya pendahulunya dalam memandang dunia modern. Pemikiran Habermas disbeut Teori Kritis karena madzhab pemikiran ini dikenal sangat getol mensosialisasikan suatu gaya berpikir analisis (Santoso, 2003: 224). 
Kritik adalah konsep kunci untuk memahami Teori Kritis. Kritik juga merupakan suatu program bagi Madzhab Frankfrut untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. Kritik-kritik mereka diarahkan pada berbagai bidang kehidupan masyarakat modern, seperti seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan pada umumnya yang bagi mereka telah menjadi rancu karena diselubungi ideologi-ideologi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu sekaligus mengasingkan manusia individual di dalam masyarakatnya. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Dengan bertolak dari pemikiran yang dikembanhkan oleh Horkheimer, pendiri teori kritis masyarakat: mengembangkan sebuah teori masyarakat yang kritis, yang, sebagai kritik, menjadi praksis perubahan sosial (Suseno, 205: 161). 
Filsafat kritis berdiri dalam tradisi besar pemikiran yang mengambil inspirasinya dalam karya intelektual Karl Marx. Ciri khas filsafat kritis adalah bahwa ia selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan-hubungan sosial yang nyata. Filsafat ini tidak mengisolasi diri dalam menara gading teori murni, seakan-akan filsafat dapat secara netral menganalisa hakikat manusia dan masyarakat tanpa sekaligus terlibat di dalamnya. Pemikiran kritis yang dikembangkan Habermas merasa diri bertanggung jawab terhadap keadaan sosial yang nyata, dan dari situlah gagasan kritis emansipatoris yang digagas Habermas dipijakkan (Santoso, 203: 222). 
Pemikiran Habermas bukan merupakan panduan atau bimbingan dalam usaha mewujudkan keadilan sosial, semacam teori transformasi masyarakat yang tinggal dilaksanakan. Gaya berfikir filsuf kritis seperti Habermas ini menolak untuk menjadi ajaran yang dapat menjadi pegangan, karena mereka curiga terhadap segala ajaran. Hal itu karena ciri khas filsafat kritis adalah bahwa di satu pihak perdebatan tetap berlangsung di tingkat filosofis-teoretis, sehingga tidak mau menjadi ideologi perjuangan, tetapi di lain pihak filsafat kritis berdasarkan anggapan-anggapan mana masuk sampai ke dalam inti metodologinya – bahwa justru sebagai kegiatan teoretis yang tetap tinggal dalam medium fikiran, filsafat kritis menjadi praktis dimana kata “praktis” kalau dipergunakan oleh Habermas harus selalu difahami dalam arti sebagai komunikasi yang mewujudkan kehidupan nyata masyarakat, maka para filsuf “kritis” menolak menjadi “guru”. Itulah kenapa “murid-murid” yang mau “berguru” kepada mereka selalu mesti kecewa. Madzhab Frankfurt –tempat Habermas dan para pendahulunya seperti Hokheimer, Adorno dan Herbert Marcuse mengembangkan pemikirannya- memang menjadi sangat populer di kalangan mahasiswa yang menyuarakan perubahan (antara tahun 1965-1975 M) yang akhirnya kecewa karena tidak menemukan ideologi yang menjadi basis gerakan dalam mendukung perlawanan mereka terhadap sistem “kapitalisme tua”. Para mahasiswa itu akhirnya kecewa karena “guru-guru” mereka di Madzhab Kritis tidak memberikan wejangan tentang revolusi sebagaimana yang mereka harapkan. Bahkan “guru-guru” Madzhab Kritis itu memperingatkan para mahasiswa akan membuat simplifikasi fatal kalau mau melakukan semacam revolusi. Demikian akhirnya Habermas sebagai seorang profesor di Frankfurt kemudian menghadapi banyak gangguan dan demonstasi dari para mahasiswa (Santoso, 2003: 221). 
Habermas juga mengkritik bahwa masyarakat Barat kontemporer nyata-nyata mempromosikan sebuah konsepsi rasionalitas terdistorsi yang mengandung impuls-impuls destruktif yang hanya berujung pada dominasi, contohnya, dominasi sains dan teknologi atas alam. Teori Marx tidak relevan lagi untuk menganalisis situasi kapitalisme lanjut dimana ada peralihan dari kapitalisme private ke kapitalisme Negara dimana Negara yang ditopang oleh teknologi memainkan peran yang signifikan untuk memperkuat dan mempertahankan industri-industri besar. Hal ini melemahkan otonomi dan kemampuan kritis masyarakat. Impuls ini, menurut Madzhab Frankfurt, telah diungkapkan dalam cita-cita agung sejak zaman pencerahan abad ke-18, namun Habermas juga merintis sebuah upaya untuk mempertahankan apa yang ia lihat sebagai aspek-aspek yang lebih konstruktif dan emansipatoris dari jaman pencerahan itu. Walaupun atas pikiran-pikirannya itu Habermas banyak mendapatkan kritik. Sebagian dari kritik-kritik itu mengklaim bahwa “situasi pembicaraan idealnya” itu tidak dapat divalidasi oleh pengalaman praktis, sehingga tidak akan ada sebuah standar yang pas untuk menilai legitimasi hukum dan institusi. Ada juga yang mencermati bahwa teori demokrasi deliberatifnya muncul lebih menyerupai sebuah aturan bagi rasionalitas daripada aturan bagi manusia. Lebih dari filsuf pasca periode perang Jerman lainnya, bagaimana pun Habermas telah berhasil memposisikan gagasan-gagasan Madzhab Frankfurt ke tengah-tengah kancah arus utama perbincangan pemikiran kontemporer mutakhir. 
Habermas dikenal sebagai pembaru tradisi intelektual yang dirintis oleh Max Horkheimer, dan sepanjang yang dirumuskan Habermas ada enam tema dalam program teori mereka: a) Bentuk-bentuk integrasi sosial, b) Masyarakat postliberal c) Sosialisasi dan perkembangan ego, d) Media massa dan kebudayaan massa, e) Psikologi sosial protes, dan f) Teori seni dan kritik atas positivism. 


Pengaruh Habermas di Barat

Pada abad ke-20 ini barangkali tidak ada seorang filsuf pun yang bisa menandingi popularitas Jurgen habermas. Ketenaran Herbert Marcuse, seniornya di mazhab Frankfurt, boleh dibilang 'tidak seberapa' bila dibandingkan dengan kemasyhuran Habermas. Popularitas dan gagasan Marcuse hanya terbatas di Eropa Barat dan Amerika pada era 1960-an dan 1970-an, lalu berakhir tatkala "sang nabi"menolak ikut dalam suatu proyek rencana aksi. Gagasan Marcuse mengenai "manusia satu dimensi"dan masyarakat industry modern pun kini mulai dilupakan orang.
Habermas tak cuma dikenal di Eropa dan Amerika. Namanya merambah secara global hingga ke Asia dan Australia. Gagasannya sangat memikat minat dikalangan luas dan diperbincangkan dalam wilayah tak terbatas, apakah itu universitas-universitas, pusat-pusat kebudayaan, lembaga-lembaga penelitian, kantor-kantor LSM, atau kedai-kedai (café) kopi tempat para seniman berkumpul. Publikasi tulisannya pun beredar dimana-mana dan dalam berbagai bahasa pula - - termasuk dalam bahasa Indonesia. Maka tak aneh jika cukup banyak muncul komentator atau 'ahli' tentang Habermas- - termasuk dari Indonesia (F.Budi hardiman dan Franz magnis Suseno).
Habermas dikenal sebagai filsuf yang rajin berdialog dan berdebat mengenai berbagai perihal dengan para filsuf dan pemikir sezamannya. Misalnya, sekadar beberapa contoh, perdebatan 'Rasionalisme Kritis' dengan (Karl R. popper dan Hans Albert), diskusi "Harmeneutik" (dengan Hans-Georg Gadamer), dan kritik terhadap "Dekonstruksi dan Post Modernisme" (dengan Jacques Derrida). Meski kini orang sedang gandrung pada gerakan Post modern, kejayaan Habermas belum berakhir. Itu sebabnya, menjelang akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, kita barangkali bias menyodorkan pertanyaan: mungkinkah ia menelorkan pemikiran-pemikiran baru, atau ia akan merevisi ulang ide-ide terdahulu yang pernah dihasilkannya?
Habermas adalah seorang filsuf yang kritis terhadap pemikiran-pemikiran Marxis, bukan hanya Marxisme-ortodoks, melainkan juga Neo-Marxisme pada umumnya, seperti para pendahulunya yang bermaksud menyesuaikan warisan Marxis dengan tuntutan-tuntutan zaman ini, dan lebih melakukan kritik karena bagi Habermas karya Marx ini merupakan kritik, dengan jalan tidak hanya dengan mengupas karya-karya Marx tetapi juga melakukan penafsiran ulang dari penafsiran yang dilakukan oleh para penganut aliran ini. Corak penafsiran Habermas bersifat ilmiah dan filosofis, ia berusaha mengeliminir ciri-ciri romantis dari pemikiran Marx yang secara dominan mempengaruhi Adorno, Hokheimer dan Marcuse. Hal ini ia lakukan dengan tujuan Habermas ingin memurnikan pemikiran-pemikiran Marxis dari romantisme maupun positivisme yang dianut oleh partai-partai komunis dan cendekia Marxis lainnya (Suseno, 1992: 211).
Habermas menilai, apabila Marx hanya sebagai ilmuwan belaka maka para penganut ajaran Marxisme akan jatuh kepada sikap positivistis yang sekaligus bersifat ideologis. Positivistis karena, mereka mengambil begitu saja pernyataan-pernyataan Marx yang sebenarnya tidak lagi memiliki relevansi bagi masyarakat dewasa ini, dan dengan cara seperti ini teori-teori Marx itu dipalsukan dan menjadi dogmatisme, dan ideologis karena pemikiran-pemikiran Marx akan digunakan sebagai legitimasi praksis politis yang kebal dari argumen-argumen lawan. Ideologi adalah ide-ide yang dipercaya sebagai alasan tindakan akan tetapi tidak pernah efektif sebagai motif tindakan, alasan Habermas adalah karena menggerakkan kelompok sosial sebenarnya adalah motif yang sengaja disembunyikan dan lama-kelamaan tidak disadari lagi sebagai motif (Suseno, 2005; 184).
Habermas menulis dengan judul, Between Philosophy and Science : Marxism as Critique, seperti dikutip Suseno (2005: 184-85), memaparkan empat alasan historis mengapa konsep-konsep Marx di dalam Kritik Ekonomi Politisnya tidak lagi relevan bagi keadaan zaman sekarang, yaitu :
  1. Bahwa pemisahan negara dan masyarakat yang menandai periode kapitalisme liberal sudah tidak relevan lagi. Politik tidak lagi merupakan superstruktur seperti dikira Marx dan masyarakat sendiri tidak lagi dapat dipandang secara simplisistis sebagai hubungan antara basis ekonomi dan superstruktur politis.
  2. Sekarang era masyarakat kapitalisme lanjut, dimana standar hidup sudah berkembang sedemikian jauh sehingga revolusi tak dapat dikobarkan secara langsung dengan istilah-istilah ekonomis. Kelas-kelas sosial juga semakin terintegrasi di dalam keseluruhan masyarakat dan berbagai bentuk penindasan semakin tersamar dan terorganisasikan. Deprivasi yang dalam masyarakat kapitalis liberal dirasakan oleh kaum buruh, dewasa ini tidak hanya dirasakan oleh kelas tertentu saja, dan dalam konteks itu, teori kelas tak dapat dijadikan dasar untuk membangun teori revolusioner.
  3. Kaum proletar tidak dapat dijadikan tumpuan harapan-harapan sebagai pengemban revolusi sejati. Perjuangan kelas dalam level negara nasional telah distabilisasikan dan sebagai gantinya terjadilah persaingan keras antara “kubu kapitalis” dan “kubu sosialis”, pada level internasional.
  4. Bangkitnya Negara Komunis Uni Soviet, menyebabkan diskusi sistematis sekitar Marxisme dipadamkan dan sebagai gantinya konsep-konsep Marxisme ortodoks membuktikan dirinya menjadi ideologi. Jalan sosialis yang ditempuh Uni Soviet sendiri jauh dari kenyataan terwujudnya masyarakat bebas yang dicita-citakan oleh Karl Marx sendiri.


Habermas, Idealisme Jerman dan Neo-Kantianisme

Berdasarkan segi isi dan latar belakang pemikiran-pemikirannya, Habermas tetap berakar pada tradisi idealisme Jerman seperti para pendahulunya, khususnya transendentalisme Kant, Idealisme Fichte dan Hegel, dan materialisme Marx. Sebagaimana lazimnya Madzhab Frankfrut, Habermas juga mengintegrasikan psikoanalisis Freud ke dalam teori kritisnya. Bahkan perhatiannya terhadap psikoanalisis nampak mencolok bila dibandingkan dengan para pendahulunya. Lewat Habermas, Teori Kritis mendapat wawasan baru yang diperoleh dari tradisi Anglo Amerika, yaitu Lingustic-analysis dari Wettgenstein, Searle dan Austin. Jadi melampaui para pendahulunya, ia mencoba mengintegrasikan pemikiran analitis ini ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritisnya. Perhatiannya terhadap aspek linguistis manusia dapat dijumpai pula sejak karya-karya awalnya, sekurang-kurangnya dalam bentuk rencana untuk mengarahkan pemikirannya kepada tradisi analitis itu. Beberapa kalangan menilai bahwa telah terjadi “linguistic turn” dalam pemikiran Habermas. Apapun mau disebut, minatnya terhadap analisis bahasa dapat dimengerti dalam konteks pemahaman baru Teori Kritisnya mengenai komunikasi sebagai salah satu dimensi dari praksis. Selain filsafat analitis, Habermas juga dipengaruhi oleh para pemikir pragmatis Amerika, seperti Pierce, Mead, dan Dewey. Dari aneka tradisi filsafat yang melatarbelakangi ini, ia mencoba mengintegrasikannya sebagai suatu teori yang integral dan sistematis. Watak sistematis dari teori-teorinya itulah yang secara tajam membedakannya dari para pendahulunya yang terkenal sebagai antisistem.
Pada tahu 1880 terjadi sebuah peristiwa yang bernama Methodenstreit- sebuah peristiwa pembantahan metode, antara dua ahli ekonomi C, Mengger dan Schmoller. pada abad ini juga terjadi perdebatan anatara dua Filusuf Neo-Kanatian, Windelband, dan Rickert. Pada tahun 1909 dan 1914 anatara sosiaolog Max Weber dan Sombart, perdebatan jug adilakukan oleh Karl Popper dengan beberapa cendekiwan yang pada akhirnya di kenal dengan Mazhab Frankfurt. Habermas sebagai bapak pendiri fenomenologi, mendapat kritikan hebat dari Edmund Husserl dalam tiga langkah, yaitu :
  1. Ilmu pengetahuan jatuh pada objektivisme yakni cara pandang melihat dunia sebagai susunan fakta objektif tentang dunia berasal dari Lebenswelt.
  2. Kesadaran manusia atau subjek ditelan oleh penafsiran objektivisme itu, karena ilmu pengetahuan sama sekali tidak membersihkan diri dari kepentingan dunia kehidupan sehari-hari.
  3. Bahwa teori yang dihasilkan berdasarkan pembersihan pengetahuan dari kepentingan itu adalah teori sejati yang dipahami dalam tradisi pemikiran barat, namun habermas tidak setuju akan tujuan akhir dari denomenologi untuk menghasilkan teori murni yang diyakini hasserl dapat diterapkan dalam ilmu praktik. Teori murni hasil pendekatan fenomenologi itu adalah tujuan ontologi.
Menurut Habermas teori sudah menyimpang jauh dari konsep teori. Asal kata teori dari Theoria yang berarti kontemplasi atas kosmos atau realitas. Bios theoretikos dalam bahasa yunani menunjukkkan bahwa teori adalah salah satu cara hidup. Menurut habermas, dengan melalui kontemplasi, filusuf memisahkan unsur tetap unsur yang berubah-ubah. Usaha untuk menemukan tatanan yang tetap abadi dalam kosmos dan seluruh realitas itulah ontologi, sedang yang ingin dicapai oleh ontologi adalah sebuah penjelasan objektif tentang seluruh realitas dengan kata lain, teori murni. Habermas pun mengkaitkan untuk memperoleh teori ilmu dengan proses emansipatoris.

Habermas membedakan ilmu pengetahuan melalui tiga cakupan :
a. Ilmu emansipatoris analitis (ilmu-ilmu alam),
b. Ilmu historis-hermeneutis (ilmu sosial kemanusiaan) 
c. Ilmu kritis.

Habermas dengan dasar dari penelitian dari mazhab frankfurt, mengatakan refleksi diri adalah kritis, yang diarahkan untuk kepentingan kognitif emansipatoris.
Habermas mengatakan suatau pemahaman baru yang bertentangan dengan paham yang lazim pada ilmu positif. Salah satu tesisnya berbunyi ‘pencapaian subjek transendental memiliki dasar dalam sejarah alam dan manusia‘, dengan pengertian bahwa pengetahuan yang bisa melamapaui data konkret (transdental) itu "tidak berasal dari langit. Pengetahuan adalah hasil perkembangan evolusioner species manusia. Ia menambahkan bahwa kepentingan yang mengarahkan pengetahuan muncul dari alam sekaligus dari keputusan kita dengan alam karena kebudayaan.
Wawasan antropologis marxis mengenai kerja dan kebudayaan, kebudayaan adlah hasil kerja manusia, dan melalui pekerjaan manusia mewujudkan «hasrat-hasrat dan naluriahnya justru dengan cara menunda naluri itu. Istilah yang dipakai Habermas pada tesisnya keduanya «pengetahuan berlaku sebagai pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri » adalah «kuasi-transendental ». pada tesis ketiganya pada sebuah pidatonya Habermas mengatakan bahwa kepentingan kognitif manusia sebagai spesies sejak awal terwujud dalam tiga medium oraganisasi sosial yaitu kerja, bahasa, kekuasaan. Ketiga medium itu secara hakiki memiliki fungsi pertahanan diri atau penjagaan kelangsungan hidup bangsa manusia.
Titik tolak kritik Habermas terhadap ilmu pengetahuan berawal dari pandangannya jika ilmu pengetahuan telah mengalami krisis sebagai ilmu pengetahuan, dan bahwa dalam kesulitan hidup dewasa ini, ternyata ilmu pengetahuan tidak memberikan nasehat apa-apa kepada masyarakat. Ilmu pengetahuan telah mengalami kebuntuan cita-cita dalam membebaskan masyarakat. Ilmu pengetahuan modern dengan rasionalitas-empiriknya dan positivisme-logiknya telah berkembang menjadi ideologi baru dalam masyarakat modern. Alih-alih menjadi alat emansipasi masyarakat, justru membantu terjadinya proses mekanisasi masyarakat dalam bentuk sistem ekonomi dan administrasi birokratis (Santoso, 2002: 226). 
Habermas membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis. Positivisme untuk kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris analitis, humanisme untuk praktis ilmu-ilmu historis hermeneutis, dan emansipatoris untuk ilmu-ilmu kritis. Tiga aliran ini berangkat dari perkembangan filsafat ilmu. Positivisme berakar pada filsafat rasionalisme (Plato) yang dipadukan empirisme (Aristoteles). Humanisme mengambil epistemologi transedental (Immanuel Kant). Sedangkan kritis, bermula dari upaya mencari jalan keluar dari perdebatan panjang positivisme dan humanisme ilmu sosial (Felix Weil, Freiderick Pollock, Carl Grudenberg, Karl Wittgovel, Henry Grossman, dan Mazhab Frankfurt). Adapun dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. 
Menurut Habermas, sebagaimana diungkapkan Franz-magnis Suseno, ilmu-ilmu modern kehilangan kerangka acuan kosmologis. Ilmu-ilmu modern masih tetap terikat pada tradisi kontemplatif dimana mereka mengandaikan bahwa penelitian harus “bebas nilai”, bahwa pengetahuan harus dipisahkan dari kepentingan dan pernyataan-pernyataan logis dari yang normatif (Suseno, 1992: 179). 
Hasil pertimbangan-pertimbangan sekarang adalah: (1) Ilmu pengetahuan yang dikatakan bebas nilai sebenarnya ditentukan secara normatif oleh suatu kepentingan teknis; (2) Ruang keputusan-keputusan normatif yang secara keliru dianggap irasional. Dengan demikian maka kesan ilmu pengetahuan bebas nilai bersifat ideologis (Suseno, 1993: 202). 
Posisi teori dalam ilmu pengetahuan menduduki tempat penting untuk menjelaskan realitas karena pengetahuan dirumuskan ke dalam dan diperoleh lewat teori, sedangkan dalam ilmu pengetahuan modern, kata teori sudah kehilangan makna, karena itu, Habermas mengadakan penelitian genetik tentang konsep teori. Ia kemudian mengembalikan konsep teori itu pada asal katanya “theoria”, bahwa kata ini sudah sangat tua dan berakar pada kosmologi dan tradisi religius Yunani purba dengan melakukan kontemplasi seorang filsuf lalu memandang atau menatap kosmos yang bergerak teratur dan membuat lukisan-lukisan di dalam dirinya. Dia meniru kosmos atau melakukan mimesis (meniru), sehingga teori atau kontemplasinya itu mengarahkan tingkah lakunya sampai pada tahap teori dalam pengertian kuno itu terkait dengan praksis yang dalam filsafat Yunani Bios Theoritikos menunjukkan bahwa teori adalah salah satu cara hidup (way of life). Menurut Habermas, konsep kuno itu menjadi dasar ontologi, dan dengan kontemplasi seorang filosof dapat memisahkan unsur-unsur yang tetap dan unsur-unsur yang selalu berubah. Usaha untuk menemukan yang tetap abadi dalam kosmos dan seluruh realitas itulah ontologi. Apa yang ingin dicapai ontologi adalah penjelasan objektif tentang seluruh realitas atau dengan kata lain teori murni (Suseno, 1992: 178). 
Pemikiran teori murni ini mengingatkan kita dengan rasio murninya Emanuel Kant. Satu hal yang menarik adalah bahwa Habermas mengaitkan usaha untuk memperoleh teori murni itu dengan proses emansipasi (Husserl mengatakan bahwa krisis disebabkan ilmu pengetahuan tidak lagi menganut konsep klasik tentang teori itu, sebaliknya Habermas mengatakan sebaliknya bahwa krisis itu terjadi karena ilmu pengetahuan menganut konsep yang klasik itu).

Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama 

Etika Emansipatoris / Komunikatif Jurgen Habermas

1. Habermas dan Pembaruan Teori Kritis melalui Paradigma Komunikasi dan Bahasa

Jauh sebelum menggabungkan diri di dalam Institut, Habermas telah membaca karya-karya Hokheimer dan Adorno di tahun 30-an, antara lain Traditionelle und Kritische Theorie, tetapi juga karya mereka yang diterbitkan setelah perang, Dialektik der Aufklarung. Buku-buku tersebut sangat mempengaruhi gaya dan alur pemikiran-pemikiran Habermas selanjutnya. Dialektik merupakan kritikan terhadap pemikiran positivisme yang (menurut Marcus, 1964) dinyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang setelah penemuan metode empiris-eksperimental sebagaimana dituntut oleh positivisme, telah berubah menjadi ideologi dan menimbulkan model berpikir satu dimensi (Suseno, 2005: 148).

Melalui penelusuran dan analisis terhadap pemikiran modern (pencerahan) itu, mereka menyimpulkan bahwa pencerahan telah menghasilkan “rasionalitas bertujuan” (Zweckrasionalitat) yang ujung-ujungnya menimbulkan bentuk positivisme, saintisme serta teknokratisme. Buku Dialektik tidak hanya memikat hatinya, melainkan juga menggugah minatnya untuk memperdalam permasalahan pokok yang dibahas di dalamnya, yaitu masalah rasionalitas dan pencerahan, yang oleh Adorno dan Horkheimer dihadapi secara pesimistis. 

Hal ini dinyatakan sendiri oleh Habermas, yang oleh Bertens dinyatakan: “Buku itu (Dialektik) membuat saya berani untuk membaca Marx secara sistematis dan tidak hanya secara historis. Teori Kritik Madzhab Frankfrut- tak ada tandingannya waktu itu. Membaca Adorno membuat saya berani membahas secara sistematis apa yang secara historis dipaparkan oleh Lukacs dan Korsch: Teori reifikasi sebagai teori rasionalisasi menurut Weber. Sudah sejak saat itu, masalah saya adalah teori tentang modernitas, suatu teori mengenai patologi modernitas dari sudut pandang realisasi-realisasi yang bercatat –dari rasio dalam sejarah”. 

Dialektik der Aufklarung, bertendensi pada keinginan untuk mencerahkan, memberikan cahaya dan pengertian, atau ingin membebaskan manusia dari prasangka, kepercayaan-kepercayaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, takhayul, penipuan dan kebohongan, yang berujung menjadi jembatan keprihatinan antara Habermas dan para pendahulunya dalam menyusun Teori Kritisnya. 

Seperti kita ketahui, para pendahulunya memandang pencerahan telah membuahkan Zweckrationalitat (Rasionalitas Tujuan), sumber dari berbagai bentuk saintisme, positivisme, teknokratisme dan barbarisme gaya baru. Pandangan mereka mengenai rasionalitas modern itu tak lain merupakan radikalisasi teori rasionalisasi Max Weber dan dapat dipandang sebagai teori rasionalisasi versi Teori Kritis setelah banyak mendapat inspirasi dari Lukacs, seperti yang kita ketahui dari kritik-kritik mereka, teori rasionalisasi tidak hanya menyangkut analisis atas berbagai macam bentuk rasionalitas dalam sejarah, melainkan juga perwujudan rasionalitas itu dalam berbagai bentuk kehidupan politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Habermas juga meminati masalah rasionalisasi ini sebagai masalah kemanusiaan pada umumnya. Keprihatinannya terhadap masalah ini mendorongnya untuk memikirkan kembali permasalahan rasionalitas dan proses rasionalisasi itu dengan membuat analisis baik atas rasio manusia maupun perwujudannya di dalam praxis hidup sosial (Santoso, 2003: 221). 

Satu hal yang membedakannya dari para pendahulunya menghadapi rasionalisasi adalah sikapnya terhadap masalah ini. Jika para pendahulunya menghadapi rasionalisasi secara pesimistis sebagai jalan tunggal menuju perbudakan gaya baru, Habermas menemukan aspek-aspek positif dari proses itu sehingga dalam arti tertentu masih ada harapan real yang dapat ditempatkan dalam konteks rasionalisasi. Meskipun demikian, tidak seperti Adorno dan Horkheimer, Habermas menolak teori Marx sebagai teori (Suseno, 1992: 211), seperti juga pesimisme kultural yang ada pada generasi pertama dari Madzhab ini. Habermas yakin bahwa generasi pertama Madzhab ini keliru saat mengacaukan “rasionalitas sistem” dengan “rasionalitas aksi”. Memang Habermas sangat menekankan signifikansi rasionalitas dalam pemikiran filsafatnya. Hal ini menjadi sumbangannya yang paling berharga bagi perkembangan teori sosial kontemporer. Ia disebut-sebut sebagai teoritikus sosial anggota Madzhab Frankfurt paling representative. Habermas merupakan generasi terkini dari para pengikut Madzhab ini (Suseno, 2005”: 148-50).

Sama seperti para pendahulunya, Habermas hendak membangun sebuah “teori dengan maksud praksis”, maka dalam banyak hal Habermas tidak dapat meninggalkan teori warisan dari Madzhab Frankfrut pendahulunya. Di sini Habermas menghadapi masalah positivisme dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan aplikasinya sebagai teknologi sosial. Jika para pendahulunya menolak sama sekali pemikiran modern tersebut, Habermas melihat segi-segi positifnya. Unsur-unsur modernitas, seperti teknologi, ilmu-ilmu empiris dan positivisme sendiri sebagai cara berpikir, merupakan faktor yang penting bagi salah satu dimensi dari praksis hidup manusia, yaitu kerja. Dengan jalan itu manusia berhasil membebaskan diri dari alam eksternalnya. Meskipun Habermas menerima cara berpikir positivistis dan teknologi dalam konteks kerja, ia bersikap tegas terhadapnya apabila diterapkan dalam konteks interaksi sosial dan di sini seperti para pendahulunya, ia mengecam positivisme sebagai “ideologis” dan saintisme karena positivisme mengklaim diri sebagai pengetahuan sejati yang meliputi segala bidang, termasuk kehidupan sosial manusia.

Bidang-bidang yang menjadi pusat pengolahan Teori Kritisnya tidak terbatas hanya pada psikologi sosial ataupun ilmu-ilmu sosial seperti para pendahulunya. Pemahamannya mengenai praksis, memungkinkannya untuk menyentuh wilayah-wilayah pengetahuan yang sebelumnya tidak disinggung oleh para pendahulunya. Tentang luasnya kemungkinannya mempelajari bidang-bidang itu, B. Thompson memujinya, “Sebagai pemikir sosial terkemuka di Jerman dewasa ini, Habermas mengolah orientasi teoritis yang relevan bagi wilayah disiplin-disiplin yang luas, dari politik dan sosiologi ke filsafat, psikologi dan linguistik. Karyanya menyatakan pemahaman yang menakjubkan atas berbagai tradisi intelektual dan kaya akan gagasan-gagasan orisinil. Habermas menonjol sebagai pemikir dengan bidang dan pandangan yang luas sekali”. 

Habermas juga tidak menutup mata terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial dewasa ini meskipun teori-teori itu berkembang dari tradisi pemikiran yang bagi intelektual Marxis kerap dicap sebagai “Ilmu-Ilmu Borjuis”. Misalnya, dengan minat yang cukup besar sebelum melontarkan kritiknya, ia mencoba menelaah teori fungsionalisme struktural dan teori sistem Parsons. Perkembangan metodologi lainnya juga tidak ia lewatkan, misalnya, diikutinya perkembangan dalam lapangan etnometodologi dan berbagai ilmu sosial fenomenologis dan hermeneutis. Dalam beberapa kesempatan ia terlibat dalam diskusi hangat dengan beberapa filsuf lain, antara lain dengan Gadamer.

Akhirnya melalui pengetahuan ensiklopedisnya, Habermas mengerjakan suatu Teori Komunikasi Masyarakat sebagai jalan baru bagi Teori Kritis. Pihak-pihak kiri yang memegang teguh “jalan konfliknya” pernah menuduhnya sebagai seorang Marxis yang “sesat” dan “bekerja” demi ilmu-ilmu borjuis. Tuduhan seperti ini dapat dipahami karena Habermas memberi tempat sentral bagi consensus di dalam kritik ideologinya. Dari sudut generasi pertama, Teori Komunikasi itu justru menjadi alasan yang selayaknya untuk menempatkan Habermas sebagai pembaru. Bersama para sahabatnya (Clauss Offe, Alberch Wellmer, Klaus Eder, dan Rainer Dobert), pada tempatnyalah Habermas dipandang sebagai Generasi Baru Teori Kritis atau Generasi Kedua Teori Kritis.

Menurut Budi Hardiman, tampilnya Fasisme dan Stalinisme adalah fenomena yang diacu oleh Madzhab Frankfurt sebagai kristalisasi ideologi yang menindas. Namun pada perkembangan selanjutnya, Habermas juga melakukan kritik pada kapitalisme lanjut dan negara kesejahteraan, yang ternyata hanya berdiri di atas satu kaki, yaitu paradigma kerja, penguasaan alam dan produksi semata (Hardiman, 1993: xvii). 

Pada dasarnya, Habermas masih tetap mempertahankan cita-cita Teori Kritis Horkheimer dan Adorno: Mengembangkan sebuah teori masyarakat yang kritis. Ia hendak memperbarui program Teori Kritis Klasik. Untuk itu dia melakukan dua hal: Pertama, ia mempertanyakan pengandaian-pengandaian teoretis yang menyebabkan Teori Kitis akhirnya macet total. Kedua, melawan prasangka Horkheimer dan Adorno terhadap ilmu analitis modern (yang mereka anggap “positivistik”), Habermas mempergunakan semua metode ilmiah analitis; teori kritis tentang masyarakat mau dibukanya bagi program penelitian empiris (Suseno, 2005: 162). 

Pemikiran-pemikirannya sangat terlihat mengerucut pada keinginannya untuk menempatkan modernitas sebagai realitas empiris yang harusnya dapat memberdayakan kehidupan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Untuk mencapai tujuannya membentuk masyarakat yang merdeka, independent, dan bebas dalam menentukan tujuan hidupnya sendiri, masyarakat harus melakukan komunikasi-komunikasi baik verbal maupun non-verbal (communication action) agar dicapai apa yang sebenarnya disebut kesadaran kolektif, yaitu dalam bentuk kesepakatan atau konsensus. Habermas tidak lagi mengikatkan diri pada sosialisme melainkan pada rasio publik yakni pemahaman publik tentang pentingnya membangun masyarakat yang emansipatoris. Maka di sinilah harus ada ruang publik (public spare) yang bebas bagi semua pihak untuk berkomunikasi dengan baik untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya, sehingga dengan demikian masyarakat tersadar bahwa sebenarnya mereka hidup di atas dunia yang penuh kepalsuan dengan menerima segala bentuk situasi sebagai keadaan yang tidak bisa diubah, padahal jika masyarakat menyadarinya maka dengan sendirinya masyarakat akan menjadi entitas yang bebas untuk memperjuangkan emansipasinya sendiri seperti yang diinginkannya serta tidak terjebak dalam kepura-puraan modernisasi yang hanya berpihak pada satu sisi ansich.

2. Alasan Habermas Memilih Komunikasi 

Konsep ilmu pengetahuan dan kepentingan adalah konsep sentral yang dikemukakan Habermas dalam melakukan kritikan terhadap paradigma positivisme, akibat klaim teori positivisme yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, seperti halnya yang terjadi pada ilmu-ilmu alam. Para pendukung positivisme menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial bersifat kontemplatif dan affirmatif, oleh karena itu metode yang dipakai ilmu-ilmu alam tidak berbeda dan dapat diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Artinya jika ilmu-ilmu sosial ingin diterima sebagai ilmu pengetahuan harus dapat menghasilkan hukum-hukum umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti didalam ilmu-ilmu alam. 

Bagi positivisme sebuah riset sosial harus menghasilkan deskripsi dan penjelasan-penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan tidak memberikan penilaian apapun. Seorang ilmuwan dan peneliti harus mampu meninggalkan rasa perasaannya, harapan-harapannya, keinginan-keinginannya dan penilaian-penilaian moralnya atau singkatnya segala kepentingannya itu untuk mendekati objek penelitian sosialnya sehingga diperoleh “pengetahuan Objektif” tentang kenyataan sosial atau fakta social (Suseno, 2005: 153). 

Hokhiemer dan Adorno telah mengembangkan pendekatan kritis dan materialistik itu menjadi kritik menyeluruh terhadap masyarakat industri Barat, semakin maju masyarakat industri modern menjadi masyarakat konsumsi berlimpah serta berhasil melarutkan pertentangan-pertentangan antar kelas sosial mengakibatkan masyarakat itu semakin bersifat total. Hal ini dalam pandangan teori kritis masyarakat sebagai akibat dari dominasi prinsip dasar kapitalisme yaitu prinsip tukar. Akan tetapi kekuasaan halus prinsip tukar itu juga semakin total sehingga setiap usaha-usaha untuk pembebasannya pun justru semakin memperkuatnya. Akibatnya Horkheimer dan Adorno bersikap semakin pesimistis. Berbeda dengan gaya berfilsafat Habermas yang tidak mengikuti gaya berfilsafat kedua gurunya yang pesimistis itu, Habermas tidak pesimistis, ia tidak mencurigai teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Sebaliknya Habermas menganggap teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai “aktor produktif terpenting” dalam bagian kedua abad ke-20, dan untuk mengembangkan serta memantapkan teori kritis masyarakat secara teoritis justru memakai teori-teori ilmu pengetahuan yang paling canggih. 

Refleksinya atas salah satu unsur terpenting teori kritis masyarakat klasik ialah hubungan antara perumusan teori dengan kepentingan ideologis yang berhasil membawa Habermas untuk membedakan antara ilmu-ilmu empiris di satu pihak dengan ilmu-ilmu historis hermeneutis di lain pihak. Menurutnya distorsi ideologis terjadi apabila kepentingan yang memberikan arah dasar kepada ilmu-ilmu empiris analitis yaitu kepentingan akan penguasaan alam, melimpah ke dalam wilayah ilmu-ilmu historis hermeneutis. 

Ilmu-ilmu historis hermeneutis sebenarnya didasari kepentingan akan komunikasi yang berhasil dan bukan penguasaan alam. Penemuan ini membawa keuntungan yang amat penting bagi Habermas, karena dengan temuan itu ia mampu membuktikan dimana letak kekurangan fundamental dalam perspektif dasar Karl Marx. 

Pandangan Karl Marx tentang komunikasi antara manusia harus dipahami menurut model pekerjaan atau hubungan produksi, oleh karenanya Habermas berhasil menyumbangkan salah satu kritik fundamental pada pemikiran Karl Marx sekaligus keluar dari lingkaran pesimisme teori kritis masyarakat klasik. Sebab dalam pandangan Habermas setiap komunikasi menuntut kebebasan, maka di dalam kepentingan akan keberhasilan komunikasi ada kepentingan yang lebih fundamental lagi yaitu kepentingan-kepentingan dasar manusia akan emansipasi menyatakan diri (Suseno, 2005: 196). 

Oleh karena itu pendekatan monokausal sebagaimana diyakini oleh Karl Marx bahwa masyarakat yang sungguh-sungguh manusia adalah dapat dihasilkan dengan mengubah hubungan produksi menjadi gugur dan tidak dapat dipertahankan lagi. Begitu pula kekuasaan ideologis prinsip tukar atas masyarakat industri kapitalis tua yang membuat Hokheimer dan Adorno begitu pesimistis menjadi terkuak totalitasnya, maka dengan demikian pemikiran Habermas menjadi begitu multi dimensional, meskipun pendekatannya kritis dan materialistik, dan sekalipun ia masih berbicara tentang materialisme historis, akan tetapi dalam kenyataannya ia telah meninggalkan kubu pemikiran Marxisme. Orang-orang yang mengikuti perkembangan ilmu-ilmu sosial di Barat tidaklah terkejut jika mendengar bahwa secara intelektual, Marxisme dalam bentuk ortodoksnya sudah lebih dari setengah abad silam ditanggapi dengan sikap kritis. 

3. Pemikiran Etika Komunikatif/Emansipatoris Jurgen Habermas

Jurgen Habermas dengan Teori Kritisnya menawarkan pemahaman baru yang dikembangkan lewat masyarakat kritis emansipatoris, maka paradigma yang dipakai bukan paradigma kerja melainkan paradigma komunikasi. Dalam hal ini dia membedakan antara pekerjaan dan komunikasi. Dua-duanya tidak sama dan tidak dapat dikembalikan yang satu pada yang satunya. Pekerjaan adalah tindakan instrumental, jadi tindakan yang merupakan sarana untuk mencapai hasil tertentu, sedangkan tujuan komunikasi adalah saling pengertian. Teori Kritis yang mengikuti Marx yang menganggap pekerjaan sebagai tindakan utama manusia maka mereka tidak dapat menghindari kemacetannya. Kemajuan dalam dimensi rasionalitas pekerjaan yaitu rasionalitas sasaran, tidak dapat menunjukkan jalan keluar dari irasionalitas kehidupan karena kehidupan ditentukan oleh komunikasi dan bukan oleh pekerjaan. Karena itu, Teori Kritis hanya dapat memahami jalan buntu kemajuan yang semata-mata teknologis, tetapi tidak dapat menunjukkan cara bagaimana manusia membebeaskan diri dari dilema itu (Suseno, 2005: 162-63). 

Etika emansipatoris sangat terkait dengan aksi komunikasi yaitu sebuah bentuk interaksi yang tingkat keberhasilannya tergantung kepada ke dua belah pihak yang berinteraksi dalam mencapai persetujuan/kesepakatan dan saling pengertian, atau hubungan antara subyek dengan subyek (dialogis) dan bukan hubungan rasionalitas sasaran (monologis). Komunikasi dialogis ini masing-masing pihak berperan aktif, dimana semua pihak mengambil alih peran orang lain sehingga terjadi apa yang disebut mead “ideal role-taking”. Pada komunikasi dialogis ini saling pengertian dapat tercapai, sehingga Habermas menamakannya Rasionalitas Komunikatif. Teori aksi komunikasi Habermas terbagi menjadi speech-act philosophy filsafat seni pembicaraan, sosiolinguistik, dan khususnya dari ide keterlibatan percakapan (the idea of conversational implicature). Maka dari itu, yang pertama perlu dibuktikan oleh Habermas adalah bahwa struktur bahasa mengandung rasionalitas (Mundigkeit, harfiah kedewasaan, kemandirian). Dengan kata lain, Habermas mencoba mengembangkan sebuah teori kompetensi komunikatif. Ia meneliti kemampuan apa yang termuat dalam kemampuan (kompetensi) untuk berbicara. Teori ini juga disebutnya pragmatika universal (dari kata Yunani pragma, tindakan) karena bicara merupakan tindakan, dan “universal” karena yang diteliti adalah apa yang tersangkut dalam segenap pembicaraan (Suseno, 2005: 164).

Bertolak dari distingsi dasar antara tindakan instrumental dan komunikatif, Habermas secara lebih terperinci membedakan: (1) antara tindakan rasional-sasaran (kemudian juga disebut tindakan teleologis), di satu pihak, dan tindakan komunikatif, di pihak lain. Yang pertama mengenai dunia obyek; sasarannya adalah hasil obyektif yang diinginkan (orientasi pada hasil). Tindakan instrumental dibagi lagi ke dalam tindakan instrumental atau pekerjaan yang menghasilkan perubahan dalam dunia luar dan tindakan strategik yang bertujuan untuk mencapai hasil-hasil tertentu pada manusia, artinya di mana hasil tindakanku harus memperhitungkan sikap yang diambil orang lain (Suseno, 2005: 164).

Tindakan komunikatif dibagi dua: komunikasi (omong-omong lewat pagar) dan diskursus. Komunikasi dapat dianggap omongan spontan, berdasarkan kepercayaan dan pengandaian-pengandaian nonverbal yang biasa dalam lingkungan sosial itu, sedangkan diskursus bertujuan untuk menjelaskan norma-norma omongan spontan yang dipertanyakan. Ada tiga macam komunikasi murni, yaitu omong-omong atau percakapan (coversation), pernyataan yang mana kita bertindak menurut norma-norma dan dramaturgik (berbicara tentang diri kita sendiri) (Suseno, 2005: 164).

Menurut Habermas, sebagaimana dikutip Magnis-Suseno (2005: 165), tindakan menurut norma itu dibagi lagi menjadi tiga macam pernyataan yang masing-masing dikembangkan dalam sebuah subsistem yang dalam masyarakat modern menjadi sistem sosial yang mandiri, yaitu:

  1. Pernyataan faktual-teoretis, yaitu pernyataan tentang fakta bersifat kognitif-instrumental dan harus benar; dikembangkan dalam subsistem ilmu-ilmu;
  2. Pernyataan moralis-praktis tentang apa yang harus dilakukan; pernyataan itu harus betul dan dikembangkan dalam bidang moralitas dan etika;

Pernyataan estetik-ekspresif tentang keindahan yang harus autentik dan dikembangkan menjadi subsistem seni (pernyataan ketiga ini oleh Habermas baru diberi perhatian agak lebih kemudian). 



Untuk lebih jelasnya lihat skema berikut ini:


Skema Pertama

(A) Tindakan Instrumental: Perbuatan terhadap alam luar (pekerjaan)
(B)Tindakan Sosial : Interaksi antarmanusia (melalui tindakan simbolis, verbal dan nonverbal)
B.1. Tindakan Strategis: Manipulasi orang lain untuk mencapai sasaran tertentu
B.2. Tindakan Komunikatif: Untuk mencapai saling pengertian


Skema Kedua

1. Tindakan Rasional-Sasaran (Teleologis): Berorientasi pada hasil atau sasaran tertentu:
1.1.Tindakan Instrumental : Manipulasi alam luar (pekerjaan)
1.2.Tindakan Strategis : Manipulasi orang lain.
2. Tindakan Komunikatif: Untuk mencapai saling pengertian; semua bentuknya harus memenuhi empat tuntutan: harus jelas, benar, tepat, dan jujur, namun dengan tekanan berbeda.
2.1.Komunikasi Spontan (“omongan lintas pagar kebun”)
2.1.1. Omong-omong: tuntutan atau klaim utama: harus jelas.
2.1.2. Pernyataan (eksplisit):
2.1. Pernyataan teoretis: harus benar; subsistem yang bersangkutan: ilmu-ilmu.
2.2. Pernyataan moral-praktis: harus betul/tepat; subsistem yang bersangkutan: moralitas/etika.
2.3. Pernyataan estetik-ekspresif: harus autentik, subsistem yang bersangkutan: kesenian.
2.1.3. Tindakan dramaturgis: harus jujur.
2.2. Diskursus; pengandaian konterfaktual: situasi wacana ideal.


Perbedaan antara dua skema hanyalah bahwa yang pertama membuat pembagian utama antara tindakan terhadap alam (pekerjaan) dan terhadap manusia (interaksi), sedangkan yang kedua yang lebih terperinci – itulah yang pada umumnya dipakai Habermas- pembagian utama adalah antara tindakan dengan rasionalitas sasaran dan tindakan dengan rasionalitas komunikatif, maka dari skema di atas yang perlu diperhatikan adalah tindakan yang paling fundamental adalah komunikasi, kemudian memperhatikan apa yang terjadi apabila manusia berkomunikasi, dan siapa yang membuat pernyataan atau janji itu.

Menurut Habermas, dalam memahami dan memperhatikan apa yang terjadi apabila manusia berkomunikasi adalah sama artinya dengan memahami interaksi antar manusia yang dapat dimediasikan secara simbolis lewat bahasa dan gesture tubuh yang ekspresif (mengandung makna), sedangkan hakekat bahasa adalah komunikasi, dan komunikasi hanya mungkin dilakukan dalam keadaan saling bebas, karena tujuan komunikasi adalah menjalin saling pengertian, oleh karena itu rasionalitas dalam bahasa harus menjadi pusat perhatian (Suseno, 2005: 167).

Menurut Habermas, seperti dikutip Magnis-Suseno (2005: 167), komunikasi dalam bahasa akan berhasil jika memenuhi empat norma atau klaim yaitu:
1. Jelas, artinya orang dapat mengungkapkan dengan tepat apa yang dimaksud.
2. Ia harus benar, artinya mengungkapkan apa yang mau diungkapkan.
3. Ia harus jujur, jadi tidak boleh bohong.
4. Ia harus betul, sesuai dengan norma-norma yang diandaikan bersama.
Guna mencapai saling pengertian dalam komunikasi syarat yang harus dipenuhi adalah: inevitably, yakni keinginan untuk melakukan pembicaraan bersama, dan adanya saling ketertarikan dalam melakukan komunikasi itu, sehingga persetujuan/pengertian itu dapat mencapai hasil maksimal. 


4. Epistemologi Rasional(isasi) sebagai Penggerak Evolusi Sosial menuju Masyarakat Emansipatoris 


Menurut Habermas, perkembangan masyarakat merupakan akibat proses-proses belajar dalam dua dimensi: Dalam dimensi kognitif-teknis, dan dalam dimensi moral-komunikatif (Suseno, 2005: 170). Rasionalitas individu selalu tertanam dalam rasionalitas masyarakat. Maka pertanayannya adalah: bagaimana sebuah masyarakat mencapai tingkat rasionalitasnya? Sebuah masyarakat disebut bertindak secara rasional apabila mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dengan cara yang bagi semua yang bersangkitan memuaskan. Sebuah pemecahan masalah disebut memuaskan apabila menghasilkan kesejahteraan semaksimal mungkin, mengurangi penderitaan dan pengorbanan dalam masyarakat sedapat-dapatnya, itupun secara damai, dengan tingkat kekerasan seminim mungkin.

Habermas menilai rasionalitas -yakni kemampuan berpikir logis dan analitis- lebih dari sekadar kalkulasi strategis bagaimana mencapai beberapa tujuan yang telah dipilih. Alih-alih, rasionalitas merupakan sebentuk “tindakan komunikatif” yang diorientasikan untuk mencapai kesepakatan atau konsensus dengan orang lain. Jadi, menurut Habermas, adalah suatu hal yang sangat penting bahwa dalam menggunakan bahasa berarti kita berpartisipasi di dalam apa yang menurut Habermas disebut “Situasi Pembicaraan yang Ideal” atau “Komunikasi Dialogis-Emansipatoris Bebas Kekuasaan”. Dalam situasi seperti ini masyarakat akan mampu menghindari penggunaan klaim-klaim politik dan moral dan mendasarkan diri semata pada rasionalitas (Bertens, 2002: 249).

Menurut Bertens, Habermas mengukur rasionalitas itu dengan mengajukan kriteria tentang pandangan dunia terhadap dinamika sebuah masyarakat dan menjelaskan proses-proses belajar mana yang mengembangkannya. Jika Karl Marx menemukan adanya hubungan lurus antara perkembangan alat-alat produksi, terhadap masyarakat, namun bagi Habermas tak ada garis lurus antara perkembangan teknologi dengan pemahaman diri masyarakat, melainkan sebaliknya, yaitu perkembangan alat-alat produksi itu datang belakangan (Bertens, 2002: 250), sedangkan menurut Habermas, yang menentukan kemajuan sebuah masyarakat bukan kemajuan dalam rasionalitas intrumental-teknis (rasionalitas dalam bidang teknologi, organisasi, strategi-strategi perkembangan dan keterampilan teknis masyarakat), melainkan dalam rasionalitas komunikatif, jadi dalam memecahkan konflik, dalam gambaran-gambaran dunia dan dalam “formasi-formasi identitas sosial”, jadi dalam bagaimana integrasi sosial masyarakat terkait dengan individuasi anggot-anggotanya (Suseno, 2005: 171).

Habermas kemudian mengalihkan teori tindakan komunikatifnya pada domain politik dan hukum. Ia membela “demokrasi deliberatif”, dimana suatu hukum dan institusi pemerintah akan lebih menjadi sebuah refleksi dari diskusi publik terbuka dan bebas. Habermas mengasumsikan bahwa banyak kepercayaan Barat, misalnya, legitimasi hak milik pribadi, mau tidak mau harus direvisi jika mereka terus-menerus mempersoalkan diskusi yang tidak dipaksakan dan tidak dibatasi oleh persamaan dan kebebasan manusia. Dalam demokrasi, Habermas mengandaikan bahwa setiap orang, baik laki-laki dan perempuan, akan semakin menyadari perwujudan kepentingan mereka yang harus disertai dengan otonomi (self-governance) dan tanggung jawab, dan mereka hanya akan bersedia menyepakati sesuatu hanya jika argumen-argumennya bisa dinalar secara lebih baik.

5. Pandangan Habermas atas Agama 

Mendieta yang menulis buku Religion and Rationality Essays on Reason, God and Modernity, dalam subab bab Athens or Jerusalem (2002: 25) mengungkapkan bahwa Habermas berargumen ada satu kemiripan tajam antara tipe-tipe tertentu dalam tradisi budaya Yahudi dengan idealisme Jerman, yang akarnya seringkali dipandang berasal dari Pietisme Protestan.

Suatu kemiripan penting, yang krusial khususnya bagi pemahaman Teori Kritis, adalah ide Cabalistic lama bahwa tuturan, ketimbang gambar, adalah satu-satunya cara untuk mendekati Tuhan. Jarak antara agama bahasa Ibrani, bahasa sakral, dan tuturan profane dalam Kitab Pelarian (satu kitab dalam perjanjian lama) berimbas kepada orang Yahudi yang tidak percaya kepada dunia wacana terkini. Hal ini karena sejalan dengan kritik idealis terhadap realitas empiris, yang mencapai puncaknya pada dialektika Hegelian. Meskipun orang tidak dapat membuat batas tegas antara para pendahulu Yahudi di Madzhab Frankfurt dengan teori dialektikanya (Mendieta, 2002: 129).

Lebih dari itu, Habermas juga mengatakan, bahwa globalisasi terjadi karena adanya kepentingan pasar antar industri trans-nasional, tetapi meskipun keadaan ini mampu membuat infrastruktur baru secara sosial kepada masyarakat, kemampuan negara dalam memberikan kesadaran baru masyarakat itu sangat minim, di sinilah agama memegang peranan penting sebagai peacemaker secara mental. 

PENUTUP

Pemikiran Habermas berakar pada idealisme Jerman dan merupakan filsuf generasi kedua Madzhab Frankfurt yang meneruskan tradisi berfikir kritis untuk praktis emansipatoris. Habermas berbeda dengan Marx yang memandang interaksi sosial dengan paradigma kerja, sementara Habermas memandangnya dengan paradigma komunikasi. Dia juga berbeda dengan para pendahulunya di Madzhab Frankfurt seperto Horkheimer dan Adorno yang pesimistis terhadap modernitas dan teknologi. Bagi Habermas, modernitas dan teknologi memang perlu dikritik tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk emanspasi masyarakat.

Etika emansipasi/komunikasi Habermas menjadikan konsensus dua pihak yang berkomunikasi dalam interaksi sosial menjadi kunci bagi terwujudnya masyarakat yang bebas dan merdeka. Dalam kaitan itulah komunikasi harus jelas, jujur, benar dan betul, dan karena itu, rasionalitas masyarakat sangat terkait dengan keberhasilannya dalam memecahkan masalah atau konflik yang dihadapinya dengan memuaskan pihak-pihak yang terlibat. Hal ini menemukan momentumnya dalam konteks lokalitas Jerman yang setelah perang.

Pemikiran Habermas tidak memberikan panduan untuk perubahan yang bisa menjadi ideologi pergerakan. Hal itu karena dia tidak sepakat jika pemikirannya menjadi ideologi atau ajaran karena itu hal itu bertentangan dengan semangat kritik yang dipegangnya.


Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama