Rabu, 07 Maret 2012

Etika menurut Immanuel Kant

Filsafat Kant juga disebut “Kritisime”. Istilah ini dipertentangtangkannya dengan ”Dogmatisme”. Sementara dogmatisme merupakan filsafat yang menerima begitu saja kemampuan rasio tanpa menguji batas-batasnya. Kritisme dipahamai sbagai sebuah filsafat yang lebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum memulai penyelidikannya. Dengan kata lain, Kant mengatakan bahwa kritisme adalah filsafat yang lebih dahulu menyelidiki die

Dan pertanyaannya kenapa Immanuel Kant menyatakan filsafatnya kritisisme : Karena I.Kant menggabungkan ke 2 paham yang bersebrangan, yaitu Rasionalisme Eropa yang teoritis, "a priori", sesuai rasio, dan terinspirasi oleh Plato dan Empirisme Inggris yang berpijak pada pengalaman, 'a posteriori" dan terinspirasi oleh Aristoteles. I.Kant beranggapan kedua paham tersebut sama baiknya, dan bisa di gabungkan untuk mencapai hal yang sempurna.

I. Kant sebenarnya "meneruskan" perjuangan Thomas Aquinas yang pernah melakukannya. Immanuel Kant sendiri mulanya sangat berpegang teguh dengan Rasionalisme, secara dia adalah seorang Jerman, namun dia tersadarkan akan Empirisme dari bukunya David Hume (filsuf Inggris). Dan sejak itulah Immanuel Kant merasa Rasionalisme dan Empirisme bisa digabungkan dan merupakan sebuah bagian yang dapat melengkapi satu sama lain.

Immanuel Kant mengkritik Empirisme harus dilandasi dengan teori-teori dari rasionalisme sebelum di anggap sah melalui proses Epistomologi, itu merupakan isi dari buku pertama Immanuel Kant yang berjudul Critique Of Pure Reason (Kritik Atas Rasio Murni). Selain itru I.Kant juga menelurkan 2 buku lainnya yang juga menyatakan filsafat kritisisme, yaitu adalah Kritik atas Rasio Praktis (Etika) dan yang terakhir adalah Kritik atas Pertimbangan (Judgment) -Estetika- -beauty-.

Immanuel Kant menganggap Empirisme (pengalaman) itu bersifat relative bila tanpa ada landasan teorinya..contohnya adalah kamu selama ini tahu air yang dimasak sampai mendidih pasti akan panas, itu kita dapat dari pengalaman kita di rumah kita di Indonesia ini, namun lain cerita bila kita memasak air sampai mendidih di daerah kutub yang suhunya di bawah 0 derajat, maka air itu tidak akan panas karena terkena suhu dingin daerah kutub, kareena pada teorinya suhu air malah akan menjadi dingin. dan contoh lainnya adalah pada Gravitasi, Gravitasi hanya dapat di buktikan di bumi saja, tetapi tidak dapat di terapkan di bulan. jadi sudah terbukti bahwa pengalaman itu bersifat relative, tidak bisa kita simpulkan atau kita amini begitu saja tanpa di buktikan dengan sebuah akal dan teori.

Dan oleh karena itu Ilmu pengetahuan atau Science haruslah bersifat berkembang, todak absolute atau mutlak dan tdak bertahan lama karena akan melalui perubahan yang mengikuti perkembangan zaman yang terus maju. (mungkin Sir Issac Newton bila hidup kembali bakal merevisi teroi Gravitasinya kembali)

Ajaran Etika Immanuel Kant 
Dalam ruang lingkup filsafat etika, Kant termasuk pada filsafat etiak aliran deontologi, yaitu suatu aliran filsafat yang menilai setiap perbuatan orang danmemandang bahwa kewajiban moral dapat diketahui dengan intutif dengan tidak memperhatikan konsep yang baik. Aliran lainnya adalah aliran teologi, yaitu faham di aman perbuatan orang dinilai dari tujuian yang hendak dicapainya (Ningolan. 1997:68)

Etika Immanuel Kant (1724-1804) diawali dengan pernyataan bahwa satu-satunya hal baik yang tak terbatasi dan tanpa pengecualian adalah “kehendak baik”. Sejauh orang berkehendak baik maka orang itu baik, penilaian bahwa sesorang itu baik sama sekali tidak tergantung pada hal-hal diluar dirinya, tak ada yang baik dalam dirinya sendirikecuali kehendak baik. Wujud dari kehendak baik yang dimiliki seseorang adalah bahwa ia mau menjalankan Kewajiban. Setiap tindakan yang kita lakukan adalah untuk menjalankan kewajiban sebagai hokum batin yang kita taati, tindakan itulah yang mencapai moralitas, demikian menurut Kant. Kewajiban menurutnya adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum, tidak peduli apakah itu membuat kita nyaman atau tidak, senang atau tidak, cocok atau tidak, pokoknya aku wajib menaatinya.

Ketaatanku ini muncul dari sikap batinku yang merupakan wujud dari kehendak baik yang ada didalam diriku. Menurut Kant ada tiga kemungkinan seseorang menjalankan kewajibannya, Pertama, ia memenuhi kewajiban karena hal itu menguntungkannya.Kedua, Ia memenuhi kewajibannya karena ia terdorong dari perasaan yang ada didalam hatinya, misalnya rasa kasihan. Ketiga, Ia memenuhi kewajibannya kerena kewajibannya tersebut, karena memang ia mau memenuhi kewajibannya. Tindakan yang terakhir inilah yang menurut Kant merupakan tindakan yang mencapai moralitas.

Lalu Kant membedakan dua hal antara Legalitas dan Moralitas. Legalitas adalah pemenuhan kewajiban yang didorong oleh kepentingan sendiri atau oleh dorongan emosional.Sedang Moralitas adalah Pemenuhan kewajiban yang didorong oleh keinginan memenuhikewajiban yang muncul dari kehendak baik dari dalam diri.Selanjutnya Kant menjabarkan criteria kewajiban moral, landasan epistemologinya bahwa tindakan moral manusia merupakan apriori akal budi praktis murni yang manasesuatu yang menjadi kewajiban kita tidak didasarkan pada realitas empiris, tidak berdasarkan perasaan, isi atau tujuan dari tindakan.

Kriteria kewajiban moral ini menurut Kant adalah Imperatif Kategoris. Perintah Mutlak demikian istilah lain dari Imperatif Kategoris, ia berlaku umum selalu dan dimana-mana, bersifat universal dan tidak berhubungan dengan tujuan yang mau dicapai. Dalam arti ini perintah yang dimaksudkanadalah perintah yang rasional yang merupakan keharusan obyektif, bukan sesuatu yangberlawanan dengan kodrat manusia, misalnya “kamu wajib terbang !”, bukan juga paksaan, melainkan melewati pertimbangan yang membuat kita menaatinya.

Ada tiga Rumusan Imperatif kategoris menurut Kant, Pertama, “ Bertindaklah semata-matamenurut menurut maksim yang dapat sekaligus kau kehendaki menjadi hukum umum”.Kata Maksim artinya adalah prinsip subyektif dalam melakukan tindakan. Maksim iniyang kemudian menjadi dasar penilaian moral terhadap tindakan seseorang, apakahtindakan moral yang berdasarkan maksimku dapat diuniversalisasikan, diterima olehorang lain dan menjadi hokum umum?. Prinsip penguniversalisasian ini adalah ciri hakikidari kewajiban moral. Rumusan kedua adalah “ Bertindaklah sedemikian rupa sehingg aengkau memperlakukan manusia entah didalam personmu atau didalam person orang lain sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri bukan semata-mata sebagai sarana belaka”.Maksudnya bahwa segala tindakan moral dan kewajiban harus menjunjung tinggi Penghormatan terhadap person.

Dua rumusan diatas tidak dapat berlaku jika tidak ada rumusan yang ketiga ini yaitu otonomi kehendak, tanpa otonomi kehendak, manusia tidak dapat bertindak sesuai dengan rumusan Imperatif Kategoris.Moralitas menurut Kant merupakan implikasi dari tiga Postulat antara lain ; Kebebasankehendak manusia, immortalitas jiwa dan Eksistensi Allah. Kehendak bebas manusia merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal karena terimplikasi langsung dalam kesadaran moral. Immortalitas jiwa menyatakan bahwa kebahagiaan tertinggi manusiatidak munggkin dicapai didunia tapi dikehidupan nanti. Dan Keberadaan Allah yangmenjamin bahwa pelaksanaan kewajiban moral manusia akan merasakan ganjarannyadikemudian hari berupa kebahagiaan sejati. Ketiganya itu disebut Kant sebagai “Postulat”yaitu suatu kenyataan yang sungguh ada dan harus diterima, dan tidak perlu dibuktikan secara teoritis, ini merupakan hasil penyimpulan akal budi praktis atas moral manusia.

a. Kewajiban sebagai Dasar Tindakan Moral 
Bagian awal buku Grundlegung zur Metapyhsik der Sitten (GSM), ”pendasaran metafisika kesusilaan”. Kant merumuskan bahwa tidak hal lain yang baek secara mutlak kecuali ”kehendak baik” (guter Wile). Agar tidak sekedaar mengulang definisi (baik), Kant menjelaskan ”kehendak baik” sebagai kehendak yang baik pada dirinya (an sich), tergantung pada yang lain.

Kehendak baik adalah sesuatu yang baik pada dirinya, tanpa pamrih, tanpa syarat. Di dunia ini manusia berjuang untuk melawan hawa nafsu-nasfu dirinya, maka kehendak bisa dilakukan dengan maksud-maksud tertentu yang tidak baik pada dirinya. Dalam tindakan menunaikan kewajiban menurut Kant manusia meninggalkan pamrih-pamrihnya, maka kehendak baik di dunia ini terwujud dalam pelaksanaan kewajiban (F. Budi hardiman, 2004: 145).

Kant lebih lanjut membedakan antara ”tindakan yang sesuai dengan kewajiban” dan ”tindakan yang di lakukan demi kewajiban”. Yang pertama bagi Immanuel Kant baginya tidak berharga secara moral dan disebut legalitas (legalitat), sedang yang kedua bernilai moral dan di sebut moralitas (moralitat).

Immanuel Kant berpendapat bahwa, dalam membedakan antara dua hal. Pertama, ”Tindakan yang sesuai dengan kewajiban” (pflichtma Big Handlung) adalah tindakan yang dilakukan bukan karena kecenderungan langsung (misalnya rasa iba), melainkan demi suatu kepentingan atau tujuan tertentu yang baik atau menguntungkan. Sebagai contoh tindakan seorang pedagang yang tidak ingin menipu pembeli adalah tindakan yang sesuai dengan kewajiban untuk bersifat baik dan jujur. Namun, kenyataan ini belum menunjukkan apa-apa tentang nilai moral tindakan tersebut, sebab bisa jadi pedagang tadi berbuat demikian supaya dagangannya laris atau sipembeli itu mungkin merupakan pelanggan tetapnya. Kedua, ”tindakan demi kewajiban” (hanlung aus Pflich). Tindakan ini mengesampingkan unsur-unsur Subjektif seperti kepentingan diri sendiri, pertimbangan untung rugi dan berbagai kecenderungan langsung, seperti rasa senang atau rasa enak. Dengan kata lain, tindakan ini berpedoman pada kaidah Objektif yang mmenuntut kataatan kita, yaitu hukum yang diberikan oleh rasio dalam batin kita. (Simon Petrus L. Tjahyadi, 2004: 287)

Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian, Pertama karena moralitas bersumber pada tekad batin untuk memelaksanakan kewajiban, maka secara moral kita tidak dapat menilai orang lain dengan pasti. Yang bisa kita lihat hanyalah apa yang tampak secara lahir, dengan demikian kita tidak bisa memberikan penilian moral yang mutlak terhadap orang lain. Kedua, perbedaan antar ”tindakan yang sesuai dengan kewajiban” dan ”tindakan yang di lakukan demi kewajiban” mengimplikasikan adanya perbeadaan dalam kekuatan atau ”daya ikat” suatu kewajiban. Kant mengatakan bahwa suatu kewajiban memerintahkan kita untuk melakukan suatu tindakan secara hipotesis atau kategoris. Dengan demikian ada dua macam imperatif bagi tindakan, yaitu imperatif hipotesis dan imperatif kategoris (Simon Petrus L. Tjahyadi, 2004: 288-289)

b. Prinsip Hukum Umum (allgemeines Gesetz)

Prinsip hukum umum mengatakan: “bertindaklah berdasarkan maksim yang bisa dan sekaligus kamu kehendaki sebagai hukum umum”. Disini ada kata “maksim”, maksim dibedakan dari “hukum” yaitu prinsip objektif yang berlaku bagi semua orang tanpa kecuali. Maksud Kant dalam prinsip hukum adalah untuk mengetahui apakah suatu tindakan yang ingin kita lakukan adalah wajib dijalankan atau tidak, maka kita harus bertanya apakah maksim dapat diuniversalkan (dijadikan hukum umum untuk semua orang) atau tidak.

Ada dua macam maksim, yaitu maksim empiris atau materiil dan maksim apriori atau formal. Yang bernialai formal adalah apriori, maksim ini mematuhi hukum universal an sich dan tidak mengacu pada hasrat inderawi, sedangkan maksim impiris mengacu pada efek-efek tindakan. Kant mencontohkan mengenai orang yang diancam sehingga terpaksa dia mengucapkan janji palsu kepada pihak yang mengancamnya. Mengucapkan janji palsu dalam situasi terancam ini adalah maksim empiris, sebab mengacu pada efek tindakan “keselamatan”. Maksim ini tidak bersifat apriori, sebab tidak bisa kita universalkan. Kehidupan akan kacau kalau setiap orang berjanji dengan maksud mengingkarinya. Yang ingin dicari Kant adalah maksim a priori (Faranz Magnis-suseno, 1998:137).

c. Prinsip Hormat Terhadap Pribadi

Prinsip menyatakan “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau selalu memperlakukan umat manusia entah di dalam pribadimu atau di dalam pribadi orang lain sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan hanya sebagai sarana” (Immanuel Kant1785: 79)
Prinsip ini mengatakan dua hal, pertama, kita tidak boleh menjadikan diri sendiri atau orang lain sebagai sarana untuk mencapaisuatu tujuan. Kalau ini dilakukan, maka kita menjadikan diri kita atau manusia lain hanya sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Perintah agar manusia harus diperlakukan sebagai tujuan berarti bahwa ia tidak boleh dijadikan objek rencana dan keinginan. Semua tujuan lain hanya beleh diusahakan sejauh martabat manusia tetap di junjung tinggi. Dalam kaitannya dengan prinsip pertama (hukum umum), prinsip kedua menunjukkan satu aspek lain yang cukup penting, yaitu bahwa dalam memilih dan menentukan tujuan kita sebagai kaidah tindakan (atau dalam bahasa modern, mengambil keputusan moral), kita wajib memperhatikan pertimbangan-pertimbangan dari pihak lain. Oleh karean itu, tidak seorangpun boleh diabaikan dan diremehkan. Penghormatan terhadap manusia merupakan ciri penting dari zaman pencerahan pada abad ke-17 dan 18 (Robert C.Solomon dan Kathleen, 1996: 418).
Kant memberikan contoh mengenai orang yang ingin bunuh diri karena putus asa mengalami penderitaan yang bertubi-tubi. Orang ini bertanya ”apakah tindakanku untuk bunuh diri sesuai dengan prinsip hormat kepada manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri?”. apabila ia bunuh diri agar terlepas dari penderitaan, dia memang tidak ”merugikan” orang lain. Namun Kant berpendapat, tindakan itu tidak boleh dilakukan sebab akan menghancurkan dirinya sendiri. Dalam tindakan tersebut, ia memperlakukan diri semata-mata sebagai sarana untuk mencapai keadaan yang bebas dari pendertiaan.

d. Prinsip Otonom
Prinsip ini mengatakan bahwa kita harus bertindak sedemikian rupa”sehingga kehendak akan terwujud sebagai penentu hukum umum” (Immanuel Kant, 1785:68).

Jika prinsip ”hukum umum” mengatakan hukum maksim atau tujuan kita hendaknya bisa diuniversalkan dan prinsip hormat terhadap pribadi memerintahkan kita untuk memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, maka prinsip otonomi ini menegaskan bahwa yang menghendaki dan menjalankan semua itu bukanlah pihak lain, melainkan kita sendiri. Kitalah yang yang membuat hukum, tanpa ditentukan oleh sesuatu “d luar” kehendak kita

Kant menegaskan, prinsip ”otonom kehendak” adalah kehendak untuk melakukan sesuatau berdasarkan hukumyang telah ditetapkan sendiri. Jadi, otonom bukan berarti kita bertindak tanpa prinsip atau hanya ikut-ikutan orang lain. Jika demikian, kehendak kita hanyalah “heteronomi” yaitu sikap ketiak sesuatu dilakukan bikan demi hukum yang lain, di luar hukum kewajiban. Kant menyebut prinsip otonom sebagai “prinsip kesusilaan paling tinggi”, karena langsung membawa kita kepada pandangan tentang kebebasan. Kita menaati hukum moral karena hal tersebut merupakan perwujudan kodrat kita sebagai pelaku yang mendasarakan tindakan prinsip rasional yang meyakinkan. Dengan demikian Kant melihat kebebasan sebagai kemampuan kita untuk mennetukan diri sendiri dalam tindakan moral.

Kritik Ajaran Etika Immanuel Kant
Setiap orang yang mempelajari etika Kant dengan cermat tidak akan meragukan bahwa etika ini sangat mengesankan. Kant menemukan otonomi dan moralitas bagi etika. Perbedaan antara moralitas dan legalitas, antara sikap moral dan sikap taat pada aturan merupakan perbeadaan dasar bagi pengertian moralitas secara universal. Penegasan yang diberikan kepada Kant bahwa moralitas adalah masalah keyakinan dan sikap batin, bukan sekedar siakp penyesuaian dengan semua aturan dari luar (adapt istiadat, Negara dan agma) memiliki arti bahwa ketaatan pada peraturan belum menjamin kualitas moral.

Meskipun memiliki beberapa keunggulan, bukan berarti etika Kant tanpa masalah. Terhadap ajaran Kant mengenai etika, ada sejumlah pernyataan kritis pada dasarnya menentang pandangan Kant bahwa kita harus menaati kewajiban secara mutlak. Secara mendasar menaati kewajiban secara mutlak tidak ada msalah, namun pernyataanya bagaiman kalau ada dua kewajiban yang saling bertentangan?.

Dalam sauatu peristiwa, seorang pemuda yang menyembunyikan rekannya dari kejaran seorang pembunuh. Apa yang harus dilakukannya?Berbohong (untuk menyelamatkan nywa temannya) aatau mengatakan sebenarnya (bearti temannya mati). Dalam kasus ini pendapat Kant berbicara, bukankah menyelamatkan dan menyatakan kebenaran adalah kewajiban kita. Lalu bagaimana dilema moral ini dipecahkan?

Wiliam David Ross (1877-1971) memberikan jalan keluar dengan menambah nuansa lain pada pandangan tentang kewajiban prima facie (pertama), atau dengan kata lain, suatu kewajiban hanya bersifat mutlak, sampai timbul kewajiban lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama tadi. Dengan demikian keajiban adalah ”kewajiban utuk sementara”. Apabila berdasarkan pertimbangan lain ternyata kita tahu bahwa ada kewajiban lain yang lebih penting, maka kewajiban yang lebih penting tersebut harus didahulukan. Dalam kasus diatas tampak jelas bahwa menyelamatkan nyawa adalah kewajiban yang lebih mendesak dana lebih penting dibandingkan sekedar membeikan jawaban yang benar atau jujur kepada pembunuh.

Selain itu masalah kewajiban dalam pandangan Kant masih abstrak. Apakah dalam kenyataannya orang bertindak melakukan kewajiaban demi kewajiban belaka?. Seandainya kita memenuhi kewajiban demi kewajiban semata-mata, tau sikap tersebut bisa dipertanggungjawabkan di hadapan akal budi yang sehat?. Bukankah orang melakukan kewajiban tidak secara buta demi kewajiban itu sendiri, melainkan demi nilai-nilai yang ingin diperjuangkan?.



Dengan demikian, kewajiban bertujuan pada pelaksanaan nilai-nilai (kritik dari Max Scheler, 1874-1924). [1] Menurut Scheler orang bertindak bukan demi kewajiban semata belaka sebgaiman diajarkan Kant, melainkan demi nilai-nilai. Dengan demikian kewajiban saja tidak cukup, perlu ditambah menjalankan kewajiban untuk bertindak berdasarkan nilai. 
Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama 
_____________________________

[1] Max Scheler, filosof Jerman memperlihatkan pandanganny di dalam buku “Der Formalismus in der Ethik und die materiale Werthetik” (formalisme dalam etika dan etika nilai yang bersifat material).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar