Kamis, 28 Juni 2012

Dorongan Mencari Rizki yang Halal


Islam telah mengajarkan tentang bagaimana cara mencari rizki yang halal lagi, tetapi tidak semua orang dapat mengetahui dan memahami tentang hal itu. Maka berikut ini kami bahas lebih lanjut tentang bagaimanakah tata aturan Islam bagi seorang muslim dalam mencari rizki yang halal.
Sebelum menelusuri lebih jauh tentang hadits-hadits yang menerangkan tentang rizki yang halal, tidak ada salahnya jika kita mengetahui lebih dahulu tentang arti dari rizki itu sendiri, adapun arti rizki ialah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh makhluk hidup.[1] Hal kedua yang perlu kita ketahui adalah kata halal. Kata halal berasal dari kata kata yang berarti “lepas” dari ikatan atau “tidak terkait”. Sesuatu yang halal adalah lepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi.[2]
Jadi rizki yang halal adalah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan boleh dikerjakan atau dimakan dengan pengertian bahwa yang melakukannya tidak mendapat sanksi dari Allah. Selain itu memohon dan berdo’a juga termasuk salah satu bagian dalam usaha mencari rizki.
Hadits di bawah ini akan dibahas hadits-hadits mengenai dorongan mencari rizki yang halal.
a. Hadits Abdullah bin Umar tentang orang memberi lebih baik dari orang yang menerima
حدثنا اَبُوالنُعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَأ حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ اَيُّوْبَ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ التَّبِيَّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عن عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يقول : قال َّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ وَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ وِ الْمَسْأَلَةِ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَاهي الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَىهي السَّائِلَةُ {البخارى في كتاب الزكاة}[3]
Artinya :
Bercerita kepada kita Abu Nu’man berkata telah bercerita pada kita Khammad bin Zaid dari Ayyub dari Nafi’ bin Umar r.a dia berkata: saya telah mendengar Nabi Saw bercerita kepada kita Abdullah bin Maslamah dari Malik bin Nafi’. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a : di atas mimbar Rasulullah SAW berbicara tentang sedekah, menghindari dari meminta pertolongan (keuangan) kepada orang lain, dan mengemis kepada orang lain, dengan berkata “tangan atas lebih baik dari tangan di bawah. Tangan di atas adalah tangan yang memberi, tangan di bawah adalah tangan yang mengemis”.
Pada lafadz وَهُوَ وَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ, yang dimaksud adalah menyebut keutamaan shodaqoh dan ta’affuf (menjaga diri dari perbuatan meminta-minta). Dan pada lafadz الْيَدِ السُّفْلَى adalah orang yang mau menerima, maksudnya orang yang tidak mau memberi dan diartikan pula orang yang meminta-minta.الْيَدُ الْعُلْيَا diartikan orang yang memberi shodaqoh.
Dari hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang memberi lebih baik daripada orang yang meminta-minta. Karena perbuatan meminta-minta merupakan perbuatan yang mengakibatkan seseorang menjadi tercela dan hina.
Sebenarnya meminta-minta itu boleh dan halal, tetapi boleh disini diartikan bila seseorang dalam keadaan tidak mempunyai apa-apa pada saat itu, dengan kata lain yaitu dalam keadaan mendesak atau sangat terpaksa sekali. Jadi perbuatan meminta-minta itu dikatakan hina jika pekerjaan itu dalam keadaan serba cukup, sehingga akan merendahkan dirinya sendiri baik di mata manusia maupun dalam pandangan Allah SWT di akhirat nanti.[4]
Orang yang dermawan lebih utama dari pada orang yang kerjanya hanya meminta-minta saja. Jadi bagi mereka yang memperoleh banyak harta harus diamalkan orang yang membutuhkan, sebab Islam telah memberi tanggung jawab kepada orang muslim untuk memelihara orang-orang yang karena alasan tertentu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu melalui zakat dan shadaqah dan Islam tidak menganjurkan hidup dari belas kasihan orang lain atau dengan kata lain Islam tidak menyukai pengangguran dan mendorong manusia untuk berusaha.
Dalam hadits ini juga berkaitan dengan kisah Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim dari Ibnu Khizam yang mana terjadi dialog antara Nabi dengan sahabat yang bernama Hakim, di situ dalam percakapannya hakim meminta sesuatu dari Rasulullah, maka di situ beliau memberikannya hingga dua kali, yang mana terakhir disertai dengan sabdanya : “Hai Hakim, sesungguhnya harta itu sesuatu yang manis dan menyenangkan, maka barang siapa yang mengambilnya dengan sikap kedermawanan diri tentu diberkati Allah apa yang diperolehnya, barang siapa mengambilnya dengan sikap diri yang menghambur-hamburkan tidaklah harta itu diberkati dan dinamakan tiada menyenangkan. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”.
b. Hadits Abu Hurairah tentang menjual kayu bakar lebih baik dari pada meminta-minta
حدثنا يحي بن بكير حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهابٍ عن أبي عبيد مولى عبد الرحمن بن عوف أنه سمع ابا هريرة رضي الله عنه يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لان يحتطب احدكم حزمة على ظهره خير له من ان يسال احد فيعطيه او يمنعه {اخرجه البخارى في كتاب المساقة}[5]
Artinya :
Bercerita kepada kita Yahya bin Bakir bercerita kepada kita Laits dari Uqail dari Ibnu Syihab dari Abi Ubaid Maula Abdurrahman bin Auf sesungguhnya telah mendengar dari Abu Hurairah r.a. dia berkata : Rasulullah bersabda “Mencari kayu bakar seberkas lalu dipikul di atas punggungnya terus dijual itu lebih baik bagi seseorang dari pada mengemis kepada orang lain yang kadang-kadang diberinya atau tidak”.
Makna hadits tersebut adalah bahwasanya Rasulullah SAW menganjurkan untuk kerja dan berusaha serta makan dari hasil keringatnya sendiri, bekerja dan berusaha dalam Islam adalah wajib, maka setiap muslim dituntut bekerja dan berusaha dalam memakmurkan hidup ini. Selain itu jika mengandung anjuran untuk memelihara kehormatan diri dan menghindarkan diri dari perbuatan meminta-minta karena Islam sebagai agama yang mulia telah memerintahkan untuk tidak melakukan pekerjaan yang hina.
Dalam menari rizki harus mengenal ketekunan dan keuletan. Rasulullah memerintah mereka bekerja dengan kemampuan kerja dan memberinya dorongan agar tidak merasa lemah dan mengharapkan belas kasihan orang lain. Dalam al-Qur’an menyatakan bahwa pertolongan Allah hanya datang kepada mereka yang berusaha dengan komitmen dan kesungguhan. Dalam surat al-Isra’ ayat 84 menyatakan bahwa seseorang harus bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuan :
Artinya : Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing." Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (al-Isra’ : 84)
c. Hadits Miqdam bin Ma’dikariba tentang Nabi Daud makan dari usahanya sendiri
حدثناإبراهيم ابن موسى أخبرنا عيسى بن يو نس عن ثورٍ عن خالدبن معدان عن المقدام رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما اكل احد طعاما قط خيرا من ان ياءكل من عمل يده وان نبي الله داوودعليه السلام كان ياء كل من عمل يده {اخرجه البخارى في كتاب المساقة}[6]
Artinya :
Telah bercerita Ibrahim bin Musa dikabarkan pada kita Isa bin Yunus dari Tsaurin dari Khalid bin Ma’dan Diriwayatkan dari al-Miqdam ra : Nabi Saw pernah bersabda, “tidak ada makanan yang lebih baik dari seseorang kecuali makanan yang ia peroleh dari uang hasil keringatnya sendiri. Nabi Allah, Daud as, makan dari hasil keringatnya sendiri”.
Dari hadits tersebut dijelaskan bahwa rizki yang paling baik adalah rizki yang di dapat dari jalan yang dihalalkan Allah SWT, serta dari usaha diri sendiri.
Dengan mengambil contoh, bahwasanya Nabi Daud as adalah seorang Nabi, akan tetapi beliau makan dari hasil tangannya sendiri. Dengan cara membuat pakaian (rompi/baju perang) dari besi dan diperjual belikan kepada kaumnya.[7]
d. Hadits Abu Hurairah r.a tentang Nabi Zakariya seorang tukang kayu
حدثناهدّاب بن خالدٍ. حدثنا حمادبن سلمة عن ثابت، عن أبي رافعٍ، عن ابى هريرة رضي الله عنه يقول قال رسول الله صلىالله عليه وسلم قال كان زكرياء نجّارا {اخرجه مسلم في كتاب الفضائل}[8]
Artinya :
Telah bercerita pada kita Haddab bin Kholid telah bercerita pada kita Khammad bin Salamah dari Tsabit dari Abi Raafi’ dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Bahwa Nabi Zakariya as, adalah seorang tukang kayu
Dalam hadits di atas memberi ketegasan bahwa pekerjaan apapun tidak dipandang rendah oleh Islam, hanya perlu ditekankan bahwa dalam berusaha harus memperhatikan prosesnya yang terkait dengan halal dan haram.
Firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ {البقرة : 168}
Artinya :
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;” (QS. Al-Baqarah : 168)
Nabi adalah contoh dan suritauladan bagi umatnya seperti yang tertera pada hadits ini bahwa Nabi pun mengajarkan kita bahwa bekerja apapun asalkan halal, maka kita boleh melakukannya.
Nabi Muhammad sendiri pun pernah menggembala kambing milik penduduk Makkah sebelum menjadi Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa prosesi Nabi dan Rasul itu tidak merintangi tugasnya sebagai pembawa risalah kebenaran dari Allah SWT.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa mencari rizki yang halal itu wajib. Sedangkan rizki yang halal adalah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya baik diri sendiri maupun keluarganya. Dan dalam mencari rizki yang halal, Islam mendorong umatnya untuk tidak memperhatikan jenis pekerjaan, asalkan pekerjaan itu halal. Dalam artinya bahwa yang melakukannya tidak mendapat sanksi dari Allah SWT.



[1] M. Ali Usman, dkk., Hadits Qudsy, CV. Diponegoro, Bandung, 1995, hlm. 263
[2] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 2000, hlm. 148
[3] Imam Bukhari, Shahih Bukhari Juz I, Daarul Fikr, Beirut Libanon, 1981, hlm. 117-118
[4] Usman as-Sakir al-Khaubawiyi, Butir-butir Mutiara Hikmah, Durratun Nasihin, Alih Bahasa Dr. Abdul Ghani, Wicaksana, Semarang, 1985, hlm. 214
[5] Imam Bukhari, Shahih Bukhari Juz 3, Daarul Kutub al-Ilmiyah, Beirut Libanon, 1992, hlm. 112. Hadits tersebut dibahas dalam bab 14, hadits ini merupakan hadits ke 2074 yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari.
[6] Ibid.,
[7] Musthoya Muhammad Imaroh, Jawahir al-Bukhari dan Syekh al-Qostholani, Sarah an-Nur, Asia, 1271 H, hlm. 233
[8] Imam Muslim, Shohih Muslim Juz 8, Daarul Kutub al-Ilmiyah, Beirut Libanon, t.th, hlm. 142. Hadits ini dibahas dalam bab 45 yang merupakan hadits ke 2379

Rabu, 20 Juni 2012

Biografi dan Pemikiran Ahmad bin Hanbal

Nama lengkap Ahmad bin Hanbal ialah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syalban. Panggilan sehari-harinya Abu Abdullah. Ahmad bin Hanbal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriah (780 Masehi). Ayahnya menjabat sebagi walikota Sarkhas dan pendukung pemerintahan Abbasiyah. Menurut satu riwayat, ayahandanya yang bernama Muhammad asy-Syalbani telah meninggalkan beliau sebelum dilahirkan ke dunia fana ini. Sehingga beliau tumbuh remaja hanya dalam asuhan ibundanya, Syafiyah binti Maimunah seorang wanita dari golongan terkemuka kaum Banu Amir.
Imam Ahmad adalah seorang zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan. Beliau juga dikenal seorang yang pendiam tetapi beliau tertarik untuk selalu berdiskusi dan tidak segan meralat pendapatnya sendiri apabila jelas bahwa pendapat orang lain lebih benar. Beliau adalah orang yang berwawasan luas, ulama yang sangat dalam pemahamannya terhadap ruh syariat. Selama hayatnya, Imam Ahmad cinta sekali kepada sunnah Rasulullah SAW, sehingga mendorongnya untuk banyak meniru Rasulullah dalam segala urusan agama dan dunia. Beliau tidak hafal satu hadispun kecuali mengamalkannya.[1] Sehingga ada suatu kalangan yang lebih melihat beliau sebagai seorang ilmuwan hadist daripada ilmuwan fiqh.
Sebagian fuqoha’ berkata tentang beliau, “Ahmad menguasai seluruh ilmu”. Selain itu Imam Syafi’i selaku gurunya juga mengungkapkan, “ketika saya meninggalkan Baghdad, disana tidak ada orang yang lebih pandai dibidang fiqih dan lebih alim ketimbang Ahmad bin Hanbal”.

Setting Sosial-Budaya Pada Masa Imam Hanbali
Ketika menginjak masa muda, Ahmad melihat kehidupan orang-orang disekitarnya sangat mengagumkan. Namun semaraknya bid’ah telah mengancam sunnah. Orang yang berpendidikan telah mencelakakan orang yang tidak tahu, para penimbun harta kenyang dengan emas dan perak timbunannya, tetapi mereka tidak tahu bagaimana mereka akan membelanjakannya. Tidak jarang pula mereka terjerumus dalam kemunafikan dan kejahatan. Kata-kata rayuan dan penipuan telah mengelabuhi manusia hingga mereka meninggalkan kesejahteraan hidup yang dihalalkan, yang biasa disebut wara’ atau zuhud.[2]
Ahmad yang sejak kecil hafal al-Qur’an, memahami hukum-hukumnya, dan mempelajari ilmu hadist untuk berhadapan dengan kehidupan dunia yang demikian parah. Apapun yang beliau lakukan tidak lain adalah untuk menunjukkan bahwa beliau membenci kehidupan dunia seperti itu. Beliau menamakan semua itu dengan bid’ah dan bernazar untuk meluruskannya dan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW. Namun sebagian masyarakat menuduhnya sebagai orang yang mempersulit pelaksanaan agama.
Imam Ahmad yang hidup dimasa penuh dengan bid’ah dan agama ditawar-tawar sehingga menggoyangkan sendi-sendinya, karena itu beliau memutuskan untuk selalu berpegang pada al-Qur’an dengan sekuat-kuatnya.[3] Ahmad tertuntut untuk mencari jalan bagi pembebasan diri dan bersikap keras dalam menegakkan kebenaran serta membebaskan orang-orang yang menjadi hamba bagi kondisi mereka. Alangkah jeleknya kondisi waktu itu!
Yang mulia Imam Hambali selaku seorang alim besar dari ahli sunnah, senantiasa bersikap keras akan urusan bid’ah dan orang yang ahli bid’ah, sebagai buktinya ditunjukkan pada :
a. Beliau pernah berkata : “pokok pangkal “sunnah” itu bagi saya ialah memegang teguh dan mengikut dengan kokohnya kepada apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi, dan menjauhi atau meninggalkan perbuatan bid’ah, karena tiap-tiap bid’ah di dalam urusan agama itu sesat”. Jadi, sudah cukup jelas bahwa segala perbuatan bid’ah yang bertalian dengan urusan ibadah itu sesat, dan tiap-tiap kesesatan itu di dalam nerakalah tempat kembalinya.
b. Beliau juga pernah berkata : “janganlah kamu bertukar fikiran dengan orang ahli bid’ah di dalam urusan agamamu, dan janganlah kamu berkawan dengan seorangpun dengan mereka itu di dalam pelayanmu”.[4]
Sehingga sudahlah jelas akan sikap Imam Hambali atas bid’ah itu sendiri dan juga orang-orang yang termasuk dalam ahli bid’ah.

Kehidupan Politik Pada Masa Imam Hanbali
Ahmad bin Hanbal mengetahui bahwa yang paling mengundang kemarahan para penguasa bani Abbas adalah penyebaran fiqh Ali bin Abi Thalib. Keturunannya berkali-kali mengadakan pemberontakan terhadap para khalifah yang berbuat aniaya dari Bani Umayyah, juga terhadap para khalifah Bani Abbas. Hal inilah yang mengakibatkan timbulnya berbagai peperangan besar. Fiqih Imam Ali dan keputusan-keputusannya hanya dihafal oleh sejumlah kecil ulama, terutama dari kalangan syi’ah.
Kemudian setelah Bani Abbas merasa khawatir terhadap fiqih Ali, maka itu dipergunakan oleh para penentang fiqih Imam Ali untuk mengkritiknya. Hingga akhirnya Bani Abbas tidak tahan menghadapi pertentangan tersebut, dan bila ada orang yang datang menyampaikan pengaduan, kritikan, atau rintangan, maka pasti akan merasakan tajamnya pedang para algojo atau lidahnya membisu dibalik tembok penjara.[5]
Namun demikian, Imam Ahmad tidak bisa bersikap masa bodoh terhadap perilaku tersebut. Imam Ahmad mencari fiqih dan keputusan para Khulafaur Rasyidin, kemudian beliau mulai menyiarkan dan mempersaksikannya. Imam Ahmad tidak ingin berpolitik tetapi mulai hanya berpendapat wajib mentaati khalifah meskipun mereka menyimpang. Sebab, menurut beliau, taat kepada penguasa yang menyimpang itu lebih baik ketimbang fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang berbuat aniaya saja. Akan tetapi bukan berarti mendiamkan saja khalifah yang zalim. Dan menasehatinya akan lebih baik daripada memberontaknya.[6]
Ahmad bin Hanbal tidak menerjunkan dirinya langsung dalam kancah konflik politik yang menyala-nyala. Akan tetapi, beliau berpendapat dengan sesuatu yang beliau yakni kebenarannya dalam rangka mengikuti sunnah bagaimanapun caranya mencapai pendapat tersebut, karena beliau adalah orang yang paling ingin meniru Rasulullah SAW. Beliau berkata “Ahli hadist adalah orang yang mengamalkannya”.
Sepanjang riwayat, ketia yang mulai Imam Syafi’i diminta oleh baginda harun al-Rasyid untuk mencari ahli hukum dan yang berilmu pengethuan dalm pusat pemerintahannya, maka Imam Syafi’i menunjuk Imam Hanabli untuk mendudukinya. Namun, berulang kali dan secara tegas Imam Hanbali berkata : “Saya datang kepada engkau ini hendak menuntut ilmu pengetahuan, bukan hendak mencari kedudukan atau pangkat disisi kepala negara”.[7] Meskipun demikian, Imam Ahmad tidak dapat menjauh dari politik, karena politik selalu menyertai kehidupan dan politik juga mengantarkan manusia mendekati kemaslahatan dan menjauhi kerusakan.
Begitu juga ketika aliran Mu’tazilah menguasai pemerintahan Ma’mun bin Harun al-Rasyid yang membaca ajaran tentang kemahlukan al-Qur’an, kebijakan ini mendapat reaksi keras dari para ahli fiqih aliran ahlussunah terutama Imam Ahmad. Tetapi, kebijakan politik oleh penguasa Khalifah Ma’mun dan Mu’tashim tidak mampu menyurutkan dan merubah pendiriannya, meskipun beliau mendapat penyiksaan keras dari mereka. Bahkan semakin keras penyiksaan itu, semakin kuat pula pendiriannya. Hingga akhirnya, muncullah seorang khalifah baru berpaham Ahlussunah yang berhasil membasmi para pengikut aliran Mu’tazilah.[8]


Wacana Keilmuwan Yang Digunakan
Dalam pesantrennya setiap selesai sholat ashar, Imam Ahmad membiasakan memberi fatwa dan bersama dengan peserta pesantrennya menyebutkan diri dengan apa yang dilakukan oleh para ulama salaf dalam pesantren mereka, yaitu pengkajian al-Qur’an dan tafsirnya. Beliau mengajukan bahwa ayat al-Qur’an itu ditafsirkan oleh sebagian yang lain oleh sebagian yang lain atau oleh hadits dan atsar para sahabat. Beliau lebih menekankan pada pesantrennya untuk menetapkan pengetahuan di bidang bahasa arab, sastra dan ilmu bahasanya agar mereka dapat memahami al-Qur’an dan hadits dengan mudah.
Adapun ilmu-ilmu lainnya yang tersebar dimasa Imam Ahad adalah tentang perbincangan masalah akidah. Sebagian para pemikir dan fuqaha juga pernah mambahas tentang Jabr dan ikhtiar. Sementara yang lainnya lagi berpendapat bahwa tindakan-tindakan dan sifat Allah yang dapat ditangkap dengan panca indra haruslah ditakwilkan dari maknanya yang lain. Mereka memperpanjang dan membicarakan semua itu dengan ilmu kalam.[9]


Metode Istinbat Hukum
Telah kita kenal bahwasanya Ahmad bin Hambal dikenal luas sebagai pembela hadits Nabi yang gigih. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara yang digunakannya dalam memutuskan hukum. Ia tidak suka menggunakan akal, kecuali dalam keadaan sangat terpaksa atau sangat perlu dan sebatas tidak ditentukan hadits yang menjelaskannya.
Ibn Hanbal sangat berhati-hati tentang riwayat hadits, karena hadits sebagai dasar tidak akan didapatkan faedahnya tanpa memiliki riwayatnya. Dalam hal ini beliau berkata-kata “Barangsiapa yang tidak mengumpulkan hadits dengan riwayatnya serta pembedaan pendapat mengenainya, tidak boleh memberikan penilaian tentang hadits tersebut dan berfatwa berdasarkannya”.[10]
Kemudian, tentang dasar-dasar yang dipakai Ahmad bin Hanbal dalam memutuskan hukum, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gurunya, Imam Syafi’i, yang didasarkan atas lima hal :
a. Nash al-Qur’an dan Hadits Marfu’
Selama ada teks ini, Ahmad pasti akan memutuskannya berdasarkan teks tersbut, meskipun ada dasar lain.
b. Fatwa para sahabat Nabi
Apabila beliau tidak mendapatkan suatu nash terang, baik dari al-Qur’an maupun sunnah, barulah menggunakan fatwa dari sahabat yang dirasa tidak ada fatwa lain yang menandinginya. Katanya “itu bukanlah ijma’”. Fatwa sahabat didahulukan daripada akal atau qiyas.
Apabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat, maka beliau Mengambil pendapat yang lebih dekat dengan bunyi teks al-Qur’an atau hadits dan tidak akan mencari yang lainnya. Akan tetapi bila semuanya tidak jelas, maka beliau tidak akan mengambil kesimpulan apapun.
c. Hadits Mursal dan Hadits Dha’if
Jalan ini diambil bila tidak dijumpai hadits lain yang setingkat. Hadits dha’if menurutnya ialah “yang tidak batil” atau “tidak munkar”, atau yang didalamnya tidak terdapat perawi yang muttaham, karena beliau memadang bahwa hadits dho’if yang bertingkatan tidak sampai ketingkat shahit, tetapi termasuk dalam hadits hasan itu lebih kuat dan lebih baik daripada qiyas.
d. Qiyas
Beliau menggunakan qiyas bila sudah dalam keadaan terpaksa karena tidak didapatkan dalam hadits mursal ataupun dha’if dan juga fatwa para sahabat.[11]
Tentang ijma’, pendirian Imam Hanbali ini sebenarnya tiak berbeda dengan pendirian Imam Syafi’i, karena Imam Syafi’i sendiri pernah berkata “Barang apa yang belum diketahui ada perselisihan di dalamnya itu belum atau bukan ijma’ namanya”. Sedangkan Imam hanbali berpendapat bahwa ijma’ tidak diakui keberadaannya setelah periode sahabat. Beliau berkata, “apa yang dituduh oleh seseorang tentang ijma’ adalah dusta”. Beliau bukannya tidak mengakui ijma’ setelah periode sahabat, tetapi tidak memungkinkan akan terjadinya. Karena itu beliau lebih berpegang pada qiyas setelah teks al-Qur’an, sunnah dan atsar sahabat.
Kemudian pendirian Imam Hanbali terdapat ra’yi dan ahli ra’yi dalam hukum keagamaan, tidak berbeda dengan para imam ahli hadits seperti Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan lainnya, yakni hukum agama tidak selayaknya dan tidak pada tempatnya jika hanya bersandar atas pendapat dari buah fikiran orang yang tidak pada tempatnya jika hanya bersandar atas dalil atau alasan dari al-Qur’an ataupun sunnah.[12]
Imam Hanbali bukan seorang yang fanatik akan pendapt yang sampai padanya. Sehinga beliau sering melarang penulis fiqih yang diajarkannya, karena seringnya berubah pandangan. Beliau khawatir bila fiqih dibukukan, maka hukum-hukum syariat akan beku dan taklid akan merajalela sepanjang masa. Sedang fiqih seyogyanya selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman.

Sekilas Tentang Mazhab Hanbali
Untuk sekedar diketahui, bahwa mazhab Imam Hanbali ini mazhab yang kurang berkembang di dunia Islam. Mula mazhabnya hanya berkermbang di Bagdad, tempat kediaman Imam Hanbali. Hingga abad IV H, mazhab inipun belum merambah di negara Mesir, tetapi baru sampai pada perbatasan Irak. Dan baru pada akhir abad VI Hijriah, mazhab Hanbali terdengar beritanya di Mesir. Kemudian, dengan usaha gigih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayim, mazhab ini menjadi lebih berkembang lagi dan di abad 12 H dengan kesungguhan Muhammad ibn Abdil Wahhab Mazhab Hanbali menjadi mazhab penduduk Najed. Dan sekarang resmi di pemerintahan Saudi Arabia dan memiliki pengikut terbesar di Jazirah Arab, Palestina, Syria, Irak.[13]



Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka kita dapat mengetahui bahwasanya Ahmad Ibnu Hanbal merupakan seorang ilmuwan hukum yang relatif paling tektual dalam memahami al-Qur’an dan sunah. Akan kecintaan beliau kepada sunnah dan hadits Nabi, sehingga tidak heran bila ada suatu golongan yang menyebutnya sebagai ilmuwan hadits daripada ilmuwan fiqih. Sebagai pembela hadits Nabi yang sangat gigih dapat dilihat dari cara-cara yang digunakan dalam memutuskan hukum, yakni tidak menggunakan akal kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.
Fatwa-fatwa Ahmad bin hanbal didasarkan atas 5 hal :
ë Nash Al-Qur’an dan Hadits Marfu’
ë Fatwa para sahabat
ë Bila ada perselisihan diambil yang paling dekat dengan nash al-Qur’an atau hadits
ë Hadits Mursal dan hadits Dha’if
ë Qiyas


DAFTAR PUSTAKA
Khalil, K.H. Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta, 1983.
Asy-Syarqawi Abdurrahman, Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka, Al-Bayan, Bandung, 1994.
Mushtofa Al-Maraghi Abdullah, Pakar-Pakar Fiqh Sepajang Sejarah, LKPSM, Yogyakarta, 2001.
Munawir Imam, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Prof. Dr. TM, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.


[1] Abdurrahman Asy-Syarqawi, 5 Imam Mazhab Terkemuka, al-Bayan, Bandung, 1994, hlm 148.
[2] Ibid, hlm. 140.
[3] Ibid, 142.
[4] K.H. Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hlm. 290.
[5] Abdurrahman asy-Syarqawi, Op. Cit, hlm. 153-154.
[6] Ibid.
[7] K.H. Munawar Khalil, Op.Cit, hlm. 265.
[8] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, LKPSM, Yogyakarta, 2001, hlm. 105-106.
[9] Abdurrahman asy-Syarqawi, Op. Cit, hlm. 168-169.
[10] Imam Munawir, Mengenal pribadi 30 pendekar dan pemikiran Islam Dari masa Ke Masa, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hlm. 295-296.
[11] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Op.Cit, hlm. 108.
[12] K.H. Munawar, Khalil, Op.Cit, hlm. 291.
[13] Prof. TM. Hasbi Ash-Shidiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hlm. 148.

Selasa, 19 Juni 2012

LA Maujuda Illa Allah

La Maujuda Illallah (paling tidak artinya begini: Tidak ada yang wujud kecuali Allah)

Martabat Tujuh:
1. Ahadiyah
2. Wahdat
3. Wahidiyat
4. Alam Arwah
5. Alam Mitsal
6. Alam Ajsam
7. Alam Insan

Asal muasal kejadian segala sesuatu melewati ketujuh martabat di atas, asal kejadian tsb juga melewati kandungan alam yang empat:
A. Lahut
B. Malakut
C. Jabarut
D. Nasut

Martabat dan alam yang dilewati adalah proses “TURUN”
Bagaimana Proses “NAIK” ?

Ibarat :
Seorang yang tidur, bagaimana awalnya tidur? darimana awalnya seorang tidur? tidur dimulai dari ujung kaki (hilang kesadaran di kaki)mengalir terus ke atas hingga sampailah ke kepala, jika sudah hilang kesadaran dikepala barulah dapat dikatakan SEMPURNA tidurnya.
Bagaimana seorang bagun dari tidurnya? darimana awal bangun tidur? mulai dari kepala mengalir (bangun) kesadaran hingga ke ujung kaki, (bila anda dalam hitungan detik ‘terbangun’ langsung berdiri, maka anda akan terjungkal, karena kaki anda masih tidur), jika sudah sampai di kaki, maka SEMPURNA lah anda dalam HIDUP dan berdoa’ “Segala puji bagi engkau Ya Allah, yang telah menghidupkan aku dari matiku”
_____________________
LA Maujuda Illa Allah
1. Merupakan hakekat Dzat mutlak yang kadim. Artinya; hakekat Dzat yang lebih dulu, yaitu Dzatullah, yang menjadi wahana alam Ahadiyat yang ada adalah pohon kehidupan yang berada dalam jagad yang sunyi senyap segalanya, dan belum ada sesuatu apapun
2. hakekatnya cahaya, yang diakui sebagai tajalinya Dzat di dalam nukat gaib, sebagai sifatnya Atma, menyebabkan adanya alam Wahdat
3. diakui sebagai rahsa Dzat, sebagai namaNya, menyebabkan adanya alam Wahadiyat
4. berasal dari nur muhammad, itulah hakekat Sukma yang diakui sebagai keadaan Dzat sebagai tabirnya Atma, menyebabkan adanya alam Arwah
5. keadaan nur muhammad dan tempat berkumpulnya darah seluruhnya adalah hakekat angan-angan yang diakui sebagai bayangan Dzat, sebagai ikatannyaNya, menyebabkan adanya alam Mitsal
6. hakekat Budi, diakui sebagai hiasannya Dzat, sebagai pintunya Atma, menyebabkan adanya alam Ajsam
7. hakekat Jasad yang meliputi 5 warna yang bergerak , yang diakui sebagai Wahana Dzat, sebagai tempat Atma, menyebabkan adanya alam Insan Kamil
Selanjutnya tentang Kenyataan dalam alam Hukmi ;
1. Alam Ruhiyah – alam nyawa
2. Alam Sirriyah – alam perwujudan budi ( jasad) dan disinilah adanya 4 nafsu inti ; – Lawwammah cahayanya hitam disebut alam Nasut
- Amarah cahayanya merah disebut alam Jabarut ( antara lain khodam ada disini )
- Sufiah cahayanya kuning disebut alam Latut
- Muthmainah cahayanya putih disebut alam Malakut
3. Alam Nurriyah-alam cahaya
4. Alam Uluhiyah-alam Ke-Tuhanan
_________________
Kehilangan adalah merupakan Kesedihan
Beruntunglah bila kita tidak punya apa2, karena kita tidak pernah Kehilangan apapun
1. Ahadiyah —> Allah sendirian, tiada awal, maka tiada dapat dihitung berapa lama Kesendirian-Nya itu, dan tiada kata pula pertanyaan ‘berapa lama?” (karena ‘lama’ adalah di dalam waktu, karena ‘Kesendirian Allah di atas waktu atau tiada berwaktu, jika berwaktu maka ada start ber-awal dan ber-akhir, mustahil bagi Allah mempunyai awal dan akhir)
2. Wahdat —> Allah mencipta cukup mengatakan KUN, maka Kun yang pertama adalah CAHAYA yaitu NUR maka dikenal dengan NUR MUHAMMAD adalah “Muhammad fil Awwalin”.
Dari No.1 ke No.2, ‘tidak di dalam waktu’ karena jika di dalam waktu berarti Allah terkemudian berencana mencipta, datang suatu niat yang baru dari Allah untuk mencipta, mustahil bagi Allah berubah2 dari tiada niat menjadi ada niat mencipta.
Dari No.1 ke No.2 adalah hanya dalam ILMU, artinya hanya ‘klasifikasi dalam otak’ bukan ‘dalam kenyataan’ karena tidak ada jeda waktu, sebagai ilustrasi: bahwa terciptanya angka 1 sampai dengan angka 9 itu tiada jeda waktu, tidak lah angka 1 tercipta kemudian angka 2 tercipta semenit kemudian dst. Ada secara bersamaan tapi berpisah dan berbeda
_____________________
LA Maujuda Illa Allah

Taraqi ( Mendaki )
1 Semua orang mengandalkan kemampuannya sendiri2 baik mulai dari mengandalkan muka, suara, ilmu pengetahuan atau fisiknya untuk mendapatkan uang atau materi, jelas sudah bahwa kita selama ini disibukkan dengan urusan2 fisik sehingga makin tebal saja untuk dapat melihat Tuhan, maka dapat dikatakan kebanyakan manusia terhijab pandangannya untuk melihat Tuhan oleh dinding yang paling Luar atau alam Ajsam ini
2. Manusia adalah makhluk yg berjiwa dan diberikan akal dan hatinya sehingga lebih maju daripada manusia yang sekedar mengandalkan fisik saja, namun Tuhan memberikan akal dan hati inipun rupanya bertingkat2. Kerja akal yang paling bawah adalah ‘aql atau akal dalam al qur’an afalaa ta’qiluun. Kerja akal adalah memikirkan sesuatu yang bersifat kealaman, dan dgn akal ini akan ditemukan kebenaran dan kesalahan serta kebaikan dan keburukan dalam perspektif duniawi. Demikan juga kerja hati, ia memiliki beberapa tingkatan , yg terendah adalah qalb atau hati yang selalu berbolak-balik, kadang baik kadang buruk…dan orang yang biasa menggunakan ‘aql dan qalb ini cenderung akan serakah pada dunia. Inilah hijab yang lebih tipis dibanding dengan fisik. Lebih tinggi lagi bila manusia bisa mengaktifkan akal kedua yaitu fikr ( Ta’ala afalaa tatafakkaruun )yang akhirnya dapat menjangkau hal2 yang tak tampak di dunia ini. Islam diturunkan dengan membawa kabar gembira juga membawa peringatan kepada manusia tentang adanya siksa yang pedih di akhirat kelak. Kebanyakan manusia sulit untuk dapat mengenalTuhan secara sempurna, maka Rasulullaah Muhammad SAW al mustafa diutus memberikan jalan tengah agar mereka menyembah Tuhan sesuai kemampuannya, adanya sorga neraka adalah merupakan motivasi agar mereka menyembah Tuhan. Sayyidina Ali menyebut manusia seperti itu sebagai pedagang yaitu hanya menyembah Tuhan jika diancam dgn neraka dan dijanjikan sorga sebagai hadiah, dan dgn fikr-nya yg sudah terbuka lebih baik dari pada mereka yang masih terkungkung nafsu dan sudah memasuki pengenalan alam Mitsal
3. Selanjutnya manusia diharapkan mengenal rohnya (nyawa), inilah nyawa yg membuat jasmani dan jiwa menjadi hidup, jasmani tidak akan dapat bergerak bila tida dapat perintah dari jiwa, dan jiwa tdk dpt memberi perintah pada gerakan jasmani jika tidak terdapat roh di dalamnya. Ketika sdg tidur, manusia tidak bergerak dan tidak merasakan sesuatu karena jiwanya keluar dari jasad, namun ia tetap dikatakan hidup karena rohnya masih ada dalam jasad. Dalam al qur’an, Tuhan meniupkan roh manusia ini yang berasal dari roh-Nya. Roh berasal dari Tuhan secara langsung adapun jasmani hanyalah gambaran maya saja dan bisa enjadi penghalang bagi manusia yang tidak mampu menangkap rahasia diciptakannya jasmani tersebut. Mengenal Tuhanpun dapat dilakukan melalui jasmani dengan menganggapnya sebagai gambaran dari Wajah Tuhan, adapun Dzat sesungguhnya adalah dalam Rahsa, sedangkan jiwa adalah gambaran dari perbuatan, nama dan sifat Tuhan, sama seperti alam semesta ini juga sebagai tajaliNya
4. Roh manusia satu dan roh manusia lainnya juga satu, karena dari sumber yang satu yang bersumber dari Nur Muhammad dalam alam Wahidiyat dan roh manusia ini hanyalah titipan kecil dari Roh Agung kepada roh kecil di dunia
5. Roh Agung pada Martabat Wahdah ini bukan lagi sebagai makhluk, namun lebh dekat dengan sifat keTuhanan, Dia adalah satu namun bukan Tuhan namun bukan lagi makhluk dan tidak berkaitan dengan mahkluk
6. Bila kita dapat menggulung semuanya menjadi satu termasuk sifat Hayyun atau Maha hidup dalam Martabat Wahdah maka akan timbul Dzatullah
7. Tiada bernama, berawal-berakhir, tiada bertepi dan keberadaanNya tak dapat dijangkau dengan nama

Tanazul ( Menurun )
1. Dzat Tuhan yang tidak bernama, karena tidak satupun yang mampu mewakili KeberadaanNya, tiada berawal dan berakhir serta Maha Esa, tidak ada yang dapat mengenalNya karena tidak ada yang lain selain diriNya, Dia berkeinginan menciptakan makhluk agar makhluk itu mengenalNya…Penampakan Tuhan ini berjalan menurun, dan penurunan petama yang Dia lakukan adalah sebagai Nur Muhammad atau sering disebut Allah dan ini hanya sebuah nama untuk menyebut diri Tuhan, padahal sejatinya Dia tak dapat dijangkau dengan nama
2. Penurunan ini bukan berarti bahwa Tuhan ada 2, Dia hanya menampakkan Diri dalam kualitas menurun agar lebih mudah di kenal karena Dzat Tuhan terlalu suci untuk dikenal, jadi nama adalah jembatan agar Dia mudah untuk dikenal inilah Martabat Wahdah
3. Tetap dengan penurunan Diri dengan nama Allah ini pun masih sulit dikenal secara mudah, maka Tuhan menurunkan Diri lagi menjadi bersifat kemakhlukan, yakni Nur Muhammad yang tidak lagi bernama Allah dan dalam tahap ini bersifat mendua atau berpasang-pasangan sebagai cikal bakal penciptaan alam semesta dan tahapan ini biasa disebut dengan Martabat Wahidiyat
4. Dari Nur Muhammad yang bersifat kemakhlukan ini terurai menjadi bagian2 halus yang belum tampak. Itulah roh2 atau alam arwah, roh merupakan sumber kehidupan bagi tiap2 benda. Kehidupan merupakan syarat mutlak bagi makhluk untuk dapat mengenal Tuhan
5. Sumber kehidupan berupa roh tersebut tidak akan mampu mewakili keinginan Tuhan jika tidak disertai sarana atau wadah. Dalam alam Mitsal ini manusia sudah ada namun masih berbentuk jiwa. Ia belum memiliki raga, selanjutnya Tuhan menampakkan DzatNya sebagai wadah perbuatan, nama dan sifatNya, sehingga muncullah alam Ajsam
6. Tuhan menampakkan diri secara menyeluruh, Raga adalah perwujudan Rupa DiriNya, perbuatan nama dan sifat alam semesta adalah WajahNya, semuanya terbungkus sifat kemakhlukan yang serba mendua
7. Setelah mengetahui hakikat diri secara menurun, maka tahulah bahwa alam semesta hakikatNya adalah manifestasi Tuhan
_________________
Kehilangan adalah merupakan Kesedihan
Beruntunglah bila kita tidak punya apa2, karena kita tidak pernah Kehilangan apapun

Sabtu, 16 Juni 2012

ULAMA AL AZHAR AL-SYARIF MENOLAK WAHHABY


ULAMA AL AZHAR AL-SYARIF MENOLAK WAHHABY
Ulama’ Al-Azhar dan Pakar Gerakan-gerakan Islam Menegaskan bahwa Wahhabiyyah Mengancam Islam dan Dunia.
[Di dalam satu simposium di Kaherah/Kairo, Para Ulama’ dan Pakar Menegaskan: Al-Wahhabiyyah adalah Satu Ancaman terhadap Islam dan Dunia]
Tertanggal : 26 April 2010
Ulama Al Azhar Tolak Wahhabi

في ندوة بالقاهرة علماء وخبراء يؤكدون: الوهابية خطر على الإسلام والعالم
أكد علماء الأزهر والخبراء المتخصصون في دراسة الحركات الإسلامية أن الوهابية فكراً وحركة تمثل العدو الأخطر على المسلمين والعالم، وأنها لا تقل سوءاً عن الكيان الصهيوني ، لما تبثه من أفكار وسلوكيات تحض على العنف والإرهاب والكراهية وسهولة التكفير ضد كل من يخالفهم في الرأي، وتشوه بسلوكها الشائن المقاومة الإسلامية في فلسطين والعراق، وأنه من الواجب شرعاً مقاومة هذا الفكر وأتباعه بكافة السبل المتاحة، جاء ذلك في الندوة الإسلامية المتخصصة والموسعة التي عقدت بالأمس في القاهرة تحت عنوان (الوهابية: خطر على الإسلام والعالم) وشارك فيها بالأبحاث والنقاش كل من (الشيخ الدكتور/ عبد الرحمن السبكي من علماء الأزهر الشريف ـ المفكر الدكتور/ أحمد السايح أستاذ العقيدة والفلسفة الإسلامية بالأزهر الشريف ـ المستشار/ أحمد عبده ماهر من كبار العلماء المتخصصين في الحركات الإسلامية في مصر ـ أ/ عبد الفتاح عساكر المفكر الإسلامي المعروف ـ د/ عبد الله السعداوي المفكر والمعارض القومي الحجازي ـ د. أحمد شوقي الفنجري المفكر الإسلامي المعروف ـ د/ علي عبد الجواد الخبير في دراسات الحركات الإسلامية) ولفيف من العلماء والخبراء، هذا وقد خلصت الندوة إلى جملة من التوصيات والنتائج كان أبرزها:
أولاً: أكد الخبراء والعلماء في أبحاثهم (7 أبحاث) ومناقشاتهم أن الوهابية كدعوة وفكر تقوم على نفي الآخر وتكفيره، وأنها تهدد الأمن والسلم في كافة دول العالم الإسلامي لما تبثه من أفكار إرهابية وإجرامية شديدة الخطورة، أفكار تدفع الشباب الإسلامي إلى تكفير وإرهاب المجتمع والحكام لأوهى الأسباب، وأن العالم المعاصر لم يعان من تنظيم أو دعوة مثلما عانى من الوهابية سواء تمثلت في (القاعدة) أو في التنظيمات الإسلامية الأخرى، وأنه لولا المال السعودي لما انتشرت الوهابية ولولا النفاق الأمريكي لأمكن مقاومتها والقضاء عليها، ولكن أمريكا والسعودية تستفيدان من هذا الشذوذ الفكري المنتسب زوراً للإسلام والمسمى بالوهابية وذلك لإرهاب العالم تارة أو لابتزازه تارة أخرى.
ثانياً: أكد المشاركون في الندوة على أن الوهابية لها موقف سلبي من المرأة والعلم، والموسيقى وجميع الفنون، ومن المسيحيين بل من أصحاب المذاهب الإسلامية الأخرى (كالشيعة والأشاعرة وغيرهم)، وهي دعوة للجاهلية، وأغلب الموروث الوهابي قائم على الإرهاب الفكري والديني، ومخاصمة الواقع والعقل، ولذلك اعتبره البعض بمثابة (دين آخر) غير دين الإسلام، دين يدعو إلى الإرهاب والقتل باسم الله، والله منه براء، وأن ما يجري في العراق وأفغانستان بل وحتى السعودية راعية هذا الفكر من قتل وإرهاب على الهوية يؤكد أننا أمام دعوة للإجرام والقتل وليس أمام دعوة لإسلام سمح معتدل.
ثالثاً: طالب العلماء والخبراء في الندوة بضرورة إعداد استراتيجية إسلامية وعالمية ثقافية وسياسية لمقاومة الوهابية، وأنه ينبغي أن يكون للأزهر الشريف دور في ذلك لأنه مؤسسة الاعتدال الإسلامي قبل أن يتم اختراقه من الوهابية ومن يسموا بالدعاة الجدد من السلفيين المتشددين، إن الأزهر الشريف إذا عاد كمؤسسة تنويرية ووسطية معتدلة فإنها تستطيع الرد بقوة على هذا الغلو الوهابي المعادي لروح الإسلام المحمدي المعتدل.
TERJEMAHAN:
Para ulama’ Al-Azhar dan pakar-pakar dalam bidang kajian Gerakan-gerakan Islam menegaskan bahwa sesungguhnya Wahhabiyah adalah merupakan satu pemikiran/faham dan gerakan musuh yang paling bahaya bagi umat Islam dan dunia, dan ia tidak kurang bahayanya berbanding Gerakan Zionis, karena ia menyebarkan pemikiran-pemikiran dan sikap serta perilaku yang bengis, bersifat keganasan (teroris), perasaan benci, serta sikap mudah mengkafirkan mana-mana pihak yang bertentangan pendapat dengan mereka.
Dan sikap serta tindak tanduk mereka yang memalukan ini merusak gerakan mempertahankan Islam di Palestin dan Iraq. Dan adalah menjadi kewajiban Syar’i untuk menentang pemikiran ini serta pengikut-pengikutnya dengan segala cara yang ada. Ini dinyatakan di dalam Simposium Islam Perbincangan Khusus (al-Mutakhasisah) dan Perkembangan (al-Muwassa’ah) yang telah dianjurkan kemarin di Kaherah/Kairo dengan Tema:
AL-WAHHABIYYAH: SATU ANCAMAN BAHAYA KEPADA ISLAM DAN DUNIA
Dan para tokoh pembentangan penyelidikan serta perbincangan adalah terdiri dari:
Al-Sheikh Dr. Abdurrahman al-Subki – salah seorang ulama’ dari Al-Azhar al-Sharif;
Al-Mufakkir Dr. Ahmad al-Sayih – Professor di dalam bidang Aqidah dan Falsafah Islam di Al-Azhar al-Sharif;
Al-Mustashar (Penasihat) Ahmad Abduh Maher – salah seorang dari ulama’ besar yang mempunyai kepakaran/Spesialisasi berkenaan Gerakan-gerakan Islam di Mesir;
Prof. Abdul al-Fattah ‘Asakir – Pemikir Islam yang terkenal;
Dr. Abdullah Al-Sa’dawi – Pemikir dan pembangkang nasional al-Hijazi
Dr. Ahmad Shawqi al-Fanjari – Pemikir Islam yang terkenal;
Dr. Ali Abdul Jawwad – Pakar kajian Gerakan-gerakan Islam;
Dan beberapa ulama’ dan pakar-pakar yang lain.
Pada simposium ini telah sepakat dari beberapa cadangan dan kesimpulan, dan yang paling penting adalah seperti berikut:
Pertama:
Pakar-pakar dan para ulama’ menegaskan di dalam penyelidikan mereka (terdapat tujuh (7) penelitian ) dan pembahasan bahwa sesungguhnya:
Al-Wahhabiyyah sebagai satu bentuk dakwah/seruan dan pemikiran berdiri di atas prinsip menolak dan mengkafirkan pihak lain. Dan sesungguhnya ia mengancam keamanan dan kesejahteraan di seluruh negara-negara Islam dengan sebab ia menyebarkan pemikiran-pemikiran teroris/keganasan dan doktrin yang sangat bahaya. Pemikiran-pemikiran ini menyebabkan pemuda-pemuda Muslim mengkafirkan serta membuat kekacauan terhadap masyarakat dan pemerintah dengan berlandaskan alasan/sebab yang sangat remeh. Dan dunia sekarang ini tidak mendukung pergerakan atau dakwah semacam al-Wahhabiyyah baik dalam bentuk (Al-Qaedah) ataupun pergerakan-pergerakan yang lain.
Dan sesungguhnya jikalau tidak karena harta/dana Saudi, Al-Wahhabiyyah tidak akan tersebar, dan jikalau tidak dengan sikap berpura-pura/kemunafikan Amerika, pasti ia dapat ditentang dan dihapuskan. Tetapi Amerika dan Saudi mendapat manfaat dari pemikiran pelik/jumud ini yang disandarkan secara palsu kepada Islam dan yang dinamakan al-Wahhabiyyah ini. Dan ia digunakan pada sesuatu masa untuk melancarkan serangan keganasan kepada dunia atau pada masa yang lain untuk melakukan pemerasan.
Kedua:
Para peserta simposium menegaskan bahwa sesungguhnya Al-Wahhabiyyah mempunyai sikap/pendirian yang sangat negatif terhadap wanita dan ilmu, muzik dan segala bentuk kesastraan, serta terhadap penganut agama Kristian, bahkan terhadap orang-orang dari mazhab-mazhab Islam yang lain (seperti Shi’ah, Al-Asha’irah dan lain-lain). Dan ia sesungguhnya adalah satu bentuk dakwah/seruan kepada Jahiliyyah. Dan kebanyakan kesan-kesan Wahhabi adalah dalam bentuk teroris pemikiran dan agama, menolak realiti dan intelek.
Dan oleh sebab itu, sebagian (pengkaji) menganggapnya sebagai (sebuah agama yang baru) selain dari agama Islam; ia adalah agama yang menyeru kepada terorisme/keganasan dan pembunuhan dengan menggunakan nama Allah sedangkan Allah “bebas” dari (dakwaan mereka). Dan apa yang berlaku di Iraq dan Afghanistan, bahkan di Saudi – yang merupakan penaja kepada pemikiran ini – dari pembunuhan dan keganasan dengan mudah menguatkan lagi bahwa kita sedang berdepan dengan satu gerakan dakwah/seruan yang menyeru kepada jinayah dan pembunuhan dan bukanlah dakwah/seruan kepada Islam yang bertoleransi dan sederhana (tidak ekstrim).
Ketiga:
Para ulama’ dan pakar di dalam simposium ini membuat tuntutan berkenaan kepentingan penyediaan satu strategi yang Islamic di peringkat antar bangsa serta strategi kebudayaan dan politik untuk menentang al-Wahhabiyyah. Dan sesungguhnya perlu bagi Al-Azhar Al-Syarif memainkan peranan dalam hal ini karena ia merupakan satu institusi Islam yang bersikap sederhana/tidak ekstrim sebelum ia dirusakkan oleh al-Wahhabiyyah dan golongan yang menamakan diri mereka sebagai pendakwah pembaharuan dari golongan Salafiyyin yang keras/melampau batas.
Sesungguhnya sekiranya Al-Azhar Al-Syarif kembali menjadi institusi yang menerangi dengan sikap sederhananya dan tidak melampau batas, maka ia sesungguhnya mampu dan mempunyai kekuatan untuk menolak sikap melampau Wahhabi yang memusuhi ruh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Sallollohu Alaihi Wasallam yang bersifat sederhana/tidak melampau batas.

Ibnu Arabi : Wahdat Al-Wujud Dalam Perdebatan

Ibnu Arabi : Wahdat Al-Wujud Dalam Perdebatan
(DR. Kautsar Azhari Noor)1

Ilmu Tasawuf telah memberikan sumbangan besar bagi kehidupan spiritual dan intelektual islam. Pengaruh tasawuf tidak terbatas pada golongan elit keagamaan tetapi menjangkau seluruh lapisan masyarakat dari paling atas sampai paling bawah. Tasawuf telah mempengaruhi sikap hidup, moral dan tingkah laku masyarakat. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, muncul konflik antara golongan yang pro dan kontra terhadap tasawuf bisa dilukiskan sebagai konflik antara ahli tasawuf dan ahli fiqih. Konflik semakin menajam sejak timbulnya kecenderungan yang mengarah kepada panteisme sebagaimana yang tampak dalam ajaran ittihad Abu Yazid al-Bustami dan ajaran hulul al-hallaj.
Dalam perjalanan selanjutnya muncul konsep ajaran wahdat al-wujud ala ibn al-‘Arabi yang diidentikkan oleh sebagian besar ulama fiqh, kalam maupun Islamolog Barat dengan konsep panteisme atau monisme. Faktor utama yang menimbulkan kecurigaan dan dan kecaman keras terhadap tasawuf ialah munculnya ajaran-ajaran yang mengarah kepada panteisme. Menurut panteisme dalam pengertian yang popular, Tuhan identik dengan alam semua yang ada sebagai keseluruhannya adalah Tuhan, dan Tuhan adalah semua yang ada sebagai keseluruhannya. Tuhan adalah sebagai satu realitas atau satu wujud. Disini imanensi Tuhan terlihat secara total dan transendensinya hilang; perbedaan antara Tuhan dan alam sudah tidak ada lagi.
Dalam konteks Indonesia, ajaran tasawuf yang berkembang pada masa-masa permulaan, dapat dikategorikan sebagai tipe mistik pertama. Tipe mistik ini sangat identik dengan paham wahdat al-wujud atau wujudiyah yang merupakan pengembangan teori ibn al-‘Arabi. Di Aceh, pada abad 17 khususnya, doktrin wujudiyah ini pernah menjadi perdebatan dikalangan para ulama sufi sendiri. Selain karena adanya faktor sosial-politik saat itu yang mempengaruhi masing-masing pihak yang berselisih, kontroversi seputar wujudiyah ini juga diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam menafsirkan doktrin tersebut. Demikian sengitnya itu, hingga mengakibatkan sebuah tragedi di Aceh, yakni pembakaran karya-karya mistis Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani yang memuat ajaran wujudiyah oleh ar -Raniri dan para pengikutnya, serta pengejaran dan pembunuhan terhadap mereka yang tidak mau meninggalkan ajaran tersebut.2
Doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi telah membangkitkan perdebatan panjang antara pengecam dan pendukung doktrin ini. Persoalan inti yang diperdebatkan adalah hubungan ontologis antara Tuhan dan alam. Persoalan inilah yang menjadi kajian ilmiah yang menarik bagi para sarjana dan Muslim sendiri. Perbedaan pendapat tentang pendeskripsian doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi pun muncul dari kalangan Islam maupun dari kalangan Barat. Tuduhan bahwa doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi dapat diberi label panteisme, monisme, monisme ontologis, atau isme-isme yang lain termasuk konsep manunggaling kawula-gusti yang berkembang diberbagai belahan dunia ditolak dengan tegas oleh beberapa sarjana muslim kontemporer. Salah satunya adalah Seyyed Hosseein Nasr yang memandang bahwa istilah-istilah diatas tidak dapat dipakai untuk mendeskripsikan doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi. Sementara dikalangan orientalis Barat ada pula yang menyangkal isme-isme Barat tersebut dianggap sama dengan konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi, salah satunya adalah Henry Corbin.
Dari perbedaan pendapat diatas menggugah Kautsar Azhari Noer untuk melakukan penelitian tentang doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi. Alasan lain bahwa sampai hari ini, sarjana Indonesia yang menjadi anggota The Muhyiddin Ibn ‘Arabi Sosiety bisa dihitung sebelah tangan. Dalam hal ini, Kautsar (sebagai pengembang intelektual keilmuan dan anggota pengagum Ibn al-‘Arabi) merasa berkewajiban untuk memberikan pemetaan yang sejelas-jelasnya posisi wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi dan isme-isme yang dianggap sama dengan doktrinnya.

RUMUSAN PERMASALAHAN
Agar pembahasan lebih terfokus dan tidak meluas kepada pembahasan lain, maka dengan berangkat dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan pembahasan; yaitu apa perbedaan antara wahdat al-wujud Ibn al-‘Arabi dengan panteisme?

PENTINGNYA TOPIK PENELITIAN
Setelah mendeskripsikan semua pandangan ibn al-‘Arabi tentang wahdat al-wujud secara mendalam, maka topik ini menjadi sangat penting guna memberikan penjelasan kepada semua pihak agar tidak terjadi atau setidaknya meminimalisir perdebatan tentang konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi.

KAJIAN PUSTAKA
Literatur-literatur primer yang digunakan Kautsar dalam megkaji wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi adalah karya ibn al-‘Arabi itu sendiri. Yaitu;
al-futuhat al-makkiyyah dan Fusus al-Hikam. Karena kitab inilah yang paling banyak mengandung pemikiran wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi. Sedikit tentang Fusus al-Hikam, yang diterjemahkan pada tahun 1980 oleh Ahmad Sahidah dan Nurjana Ariyanti, bahwa ibn al-‘Arabi bermaksud masing-masing nabi, yang dijadikan judul bab dalam buku ini adalah tempat manusia dimana bentuk dari masing-masing jenis hikmah ditetapkan, kemudian menjadikan masing-masing nabi sebagai penanda atau tanda berdasarkan pilihan dari sebuah aspek tertentu hikmah keilahian. Metode yang digunakan untuk menterjemahkan kitab ini dengan mengunakan manuskrip yang istimewa dan menggunakan beberapa dari banyak komentar murid-murid ibn al-‘Arabi.3
Sedangkan karya-karya yang dianggap penting dalam melakukan kajian ilmiah ibn al-‘Arabi telah banyak dilakukan. Antara lain : karya William C. Chittick (1989) yang berjudul The Sufi Path of Knowledge : Ibn al-‘Arabi’s Metaphiysics of Imagination. Dan kemudian dialih bahasakan kedalam bahasa Indonesia dengan Pengetahuan Spiritual Ibn al-‘arabi. Karya ini adalah suatu studi sistematis tentang berbagai aspek metafisika wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi. Buku ini lebih pada suatu kumpulan terjemahan dari bagian-bagian kitab al-futuhat daripada suatu analisis ilmiah lebih dari 600 bagian dari al-futuhat diterjemahkan dalam buku ini sehingga kira-kira 75 % kandungannya, diluar catatan dan indeks, adalah terjemahan utuh. Karena karya Chittick ini sebagian besar merupakan karya terjemahan, maka tidak banyak pengembangan pemahaman yang dilakukannya. Permasalahan yang diangkat dan sumbangan pemikiran yang disimpulkan merupakan murni dari pengarang buku aslinya yaitu Ibn Al-‘Arabi. Dimana telah dikenal bahwa Futuhat al-Makiyyah adalah adalah sebuah ensiklopedia ilmu-ilmu keislaman yang sangat luas yang bertumpu pada ajaran tawhid, pengakuan terhadap ke-esaan Tuhan, yang menjadi inti ajaran islam. Futuhat terderi dari 560 Bab, beberapa diantaranya yang dapat menjadi buku tersendiri jika diterbitkan secara terpisah.4 Sedangkan dalam menulis bukunya, Chittick, mengadakan studi literature primer dan kemudian baru menterjemahkannya. Dan dalam perjalanannya bahwa buku karya Chittick menjadi rujukan untuk menjembatani peneliti pemikiran ibn al-‘Arabi. ini sangat membantu kajian tentang pemikiran ibn al-‘Arabi Karya H.S.Nyberg, M. Asin Palacios, Henry Corbin, Rom Landau, Seyyed hossen Nasr, Toshihiko Izutsu, dan masih banyak karya-karya yang mewarnai penulisan Kautsar dalam menjelaskan wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi.

METODOLOGI
Dalam melakukan penelitiannya, Kautsar Azhari Noer mengadakan studi pustaka mendalam terhadap pemikiran-pemikiran ibn al-‘Arabi. Diantaranya dengan menjadi anggota Ibn al-‘Arabi society. Kegiatan pokok organisasi ini ialah menyelenggarakan riset, seminar dan penerbitan seputar sejarah, pemikiran dan pengaruh ibn al-'Arabi. Selain itu,-dalam menulis buku ini- Kautsar juga mempelajari karya-karya yang berhubungan dengan konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi. Salah satu karya tersebut adalah buku yang berjudul al-Futuhat al-Makiyyah dan Fusus al-Hikam. Setelah mendapatkan gambaran dan keterangan yang cukup tentang wahdat al -wujud ibn al-‘Arabi, Kautsar selanjutnya mengkomparasikan dengan konsep Barat yang dianggap sama dengan konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi, yaitu konsep panteisme, panenteisme, maupun monisme.
Kemudian dalam melakukan pendekatan terhadap konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi, Kautsar mengambil pendekatan filosofis-teologis. Yaitu mendekati pandangan ibn al-‘Arabi tentang wahdat al-wujud dengan menekankan pada alasan-alasan rasional yang dapat dijangkau akal dan tidak mengabaikan teori-teori agama untuk memberikan taukid atau penguatan.

RUANG LINGKUP PENELITIAN
Riwayat Hidup Ibn al-‘Arabi
Nama lengkap Ibn al-‘Arabi adalah Muhammad ibn ‘Ali ibn al-‘Arabi al-Ta’i al-Hatimi. Lahir di Mursia, Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau bertepatan dengan 28 Juli 1165 M. Dan lebih dikenal dengan Ibn al-‘Arabi. Beliau mulai belajar formal di Seville dengan mempelajari al-Qur’an dan tafsirnya, hadits, fiqh teologi dan filsafat skolastik. Dan memasuki jalan sufi (tarekat) secara formal seperti yang diceritakannya sendiri pada 580 H/1184 M, saat berusia duapuluh tahun. Diantara guru spiritual Ibn al-‘Arabi terdapat dua wanita lanjut usia; Yasamin dan Fatimah. Ia sangat mengagumi kedua wanita itu dan mengakui jasa mereka dalam memperkaya kehidupan spiritualnya. Sampai disini disebut fase pertama Ibn al-‘Arabi, dimana merupakan fase persiapan dan pertumbuhan dirinya sebagai seorang sufi.
Fase kedua Ibn al-‘Arabi ditandai dengan kepindahannya ke Makkah di penghujung tahun 598H/pertengahan tahun 1202 M. Baginya, Makkah bukanlah sekedar tempat menjalankan ibadah haji. Namun baginya Makkah adalah tempat meningkatkan kualitas kehidupan spiritualnya. Setelah melakukan perjalanan ke berbagai daerah, seperti; Madinah, Yerusalem, Bagdad, Kairo, kembali lagi ke Makkah, melanjutkan lagi ke Armenia, dan pada akhirnya Ibn al-‘Arabi memutuskan untuk memilih Damaskus sebagai persinggahan terakhirnya hingga wafat. Di Damaskuslah fase ketiganya berlangsung dan merupakan fase terakhirnya. Dimana merupakan fase kematngan kehidupan spiritual dan intelektualnya sebagai seorang sufi. Dan pada akhirnya wafat pada 22 Rabiul-Tsani 638 H/November 1240.
Diantara para pemikir Muslim, Ibn al-‘Arabi merupakan penulis paling produktif. Jumlah yang pasti karya-karyanya tidak diketahui, ada yang menyebut sekitar 700 ada juga yang menyebut 846 judul. Dua karya Ibn al-‘Arabi yang paling penting dan masyhur adalah al-Futuhat al-Makiyyah yang menyebut uraian uraian tentang prinsip-prinsip metafisika, berbagai ilmu keagamaan dan juga pengalaman keagamaan Ibn al-‘Arabi. Dan kitab Fusus al-Hikam yang menyebutkan aspek-aspek tertentu kebijaksanaan ilahi dalam konteks kehidupan dan person duapuluh tujuh nabi.5
Sejarah singkat Istilah Wahdat al-Wujud
Penelitian awal tentang sejarah istilah Wahdat al-Wujud dilakukan oleh W.C. Chittick dan menyimpulkan bahwa orang pertama kali yang menggunakan istilah Wahdat al-Wujud adalah al-Qunawi, istilah ini bukanlah istilah teknis yang independen, namun muncul secara wajar dalam pembicaraannya tentang hubungan antara wujud Tuhan dan keesaannya. Kemudian Farghani salah satu pengikut Qunawi merumuskan istilah Wahdat al-Wujud adalah taraf terendah di antara taraf perkembangan spiritual yang dilalui oleh orang yang mendalaminya. Taraf yang kedua adalah kontemplasi tentang katsrat al-‘ilm, dan taraf yang tertinggi adalah pemaduan antara taraf kedua dan taraf ketiga. Temuan W.C. Chittick tentang Qunawi adalah bantahan pada Ibrahim Madkur yang menemukan bahwa ibn Taymiyyah adalah tokoh pertama yang menggunakan istilah Wahdat al-Wujud.
Bisa dikatakan bahwa ibn Taymiyyah (w. 728 H/1328 M) adalah tokoh yang paling besar perannya dalam mempopulerkan istilah Wahdat al-Wujud, dan sekaligus pengecam keras ibn al-‘Arabi dan para pengikutnya. Bagi ibn Taymiyyah, istilah Wahdat al-Wujud adalah istilah yang mempunyai pengertian negatif. Ia menggunakannya sebagai kutukan dan ejekan. Baginya, Wahdat al-Wujud merupakan istilah yang sinonim dengan ajaran bid’ah: adalah ittihad dan hulul. Ajaran Wahdat al-Wujud adalah ajaran kufr dan bid’ah.
Pemahaman istilah Wahdat al-Wujud antara ibn Taymiyyah dan ibn al-‘Arabi ada perbedaan. Bagi ibn Taymiyyah istilah Wahdat al-Wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam, yang dalam istilah moderen sinonim dengan panteisme, monisme, monisme panteistik. Sehingga bagi sarjana-sarjana Barat pemikiran ibn al-‘Arabi dianggap pemikiran Islam lain. Sedangkan bagi pengecam ibn al-‘Arabi dari kalangan fuqaha’ (ahli fiqh), istilah Wahdat al-Wujud berkonotasi negatif, yang diberi label kufr, zandaqah, bid’ah. Tetapi bagi penganut Wahdat al-Wujud ibn al-‘Arabi, istilah ini mempunyai pengertian positif. Lebih dari itu, istilah ini bagi mereka adalah sininim dengan tawhid yang paling tinggi. Wahdat al-Wujud adalah pendekatan sufi dalam mengekspresikan tawhid.6

Wahdat al-Wujud Ibn al-‘Arabi
Wahdat al-Wujud secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu Wahdat yang berarti satuan7. Sedangkan wujud berarti wujud/ada 8. Jadi, wahdatul wujud adalah satuan wujud, atau unity of existence. Konsep ini timbul dari paham bahwa Allah ingin melihat diriNya di luar diriNya dan oleh karena itu dijadikanNya alam ini. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah dikala ia ingin melihat diriNya, ia melihat kepada alam, pada benda-benda yang ada pada alam, karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan, tuhan melihat diri-Nya. Dari sini timbul faham kesatuan yang ada dala alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak ubahnya hal ini sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan disekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya : dalam cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya sebenarnya satu.9 Dalam menjelaskan konsep Wahdat al-Wujud ibn al-‘Arabi, Kautsar menjelaskan hal-hal dibawah ini:

Wujud dan ‘Adam
Kata Wujud biasanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan being atau existence. Dalam menjelaskan wujud dan ‘adam, Ibn al-‘Arabi membedakan tiga jenis kategori ontologis. Pertama adalah yang ada dengan zatnya sendiri dalam entitasnya. Wujudnya mustahil dari tiada. Ia mewujudkan segala sesuatu. Ia adalah wujud Absolut (al-wujud al-mutlaq).

Al-Haqq dan al-Khalq
Kata al-Haqq dalam karya ibn al-‘Arabi mempunyai beberapa pengertian yang berbeda dalam konteks-konteks yang berbeda pula. Persoalan yang akan dijawab disini adalah; bagaimana hubungan ontologis antara al-Haqq (Allah, Sang Pencipta, Yang Esa, wajib al-wujud) dan al-Khalq (alam, mahkluk, yang banyak, al-mumkinat).
Al-Haqq dan al-Khalq dalam aspek ibn al-‘Arabi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keduanya adalah subyek dan obyek yang serentak. Keduanya adalah satu dan mempunyai peran yang sama secara timbal balik. Hanya saja al-Haqq mempunyai wujud dan peran yang mutlak, sedangkan al-Khalq mempunyai wujud dan peran yang relatif.

Tajalli al-Haqq
Teori tajalli secara keseluruhan dapat diringkaskan sebagai berikut. Tajalli Pertama, penampakan diri al-Haqq kepada diri-Nya sendiri dalam bentuk-bentuk “entitas-entitas permanen”, yaitu realitas-realitas yang hanya ada dalam ilmu Tuhan, tetapi tidak ada dalam alam nyata. Entitas ini tidak lain daripada bentuk-bentuk penampakan Nama-Nama Tuhan pada taraf kemungkinan-kemungkinan ontologis. Entitas permanen ini selamanya tidak berubah dan tidak dapat diubah. Tajalli Kedua adalah penampakan entitas-entitas permanen dari alam ghaib ke alam nyata, dari potensialitas ke aktualitas, dari keesaan ke keanekaan, dari batin ke zahir. Dalam Tajalli Kedua ini, al-Haqq menampakkan diri-Nya dalam bentuk-bentuk yang tidak terbatas dalam alam nyata.

Al-Zahir dan al-Batin
Salah satu bentuk utama kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi dalam memahami Tuhan (coincidentia oppositorum atau al-jam’u bayna al-‘addad: kesatuan dari yang bertentangan ) dalam struktur ontologi ibn al-‘Arabi adalah hubungan antara al-zahir (Yang Tampak) dan al-batin (Yang Tidak Tampak). Menurut al-Qur’an, Allah adalah al-zahir dan al-batin (Q.S. 57:3). Ibn al-‘Arabi mengartikan ayat ini apa adanya tanpa usaha menjelaskannya lebih jauh.

Yang satu dan Yang Banyak
Untuk menjelaskan hubungan ontologis ini, ibn al-‘Arabi menggunakan penjelasan matematis. Ia membandingkan struktur ontologis bahwa yang satu menampakkan diri-Nya dalam benyak bentuk yang tidak terbatas pada alam, pada satu pihak, dengan struktur matematis bahwa yang satu “melahirkan” bilangan-bilangan yang jum;ahnya tidak terbatas, pada pihak lain. dalam struktur matematis, ibn al-‘Arabi menjelaskan hubungan timbal balik antara Yang Satu dengan Yang Banyak: bagaimana Yang Satu mereproduksi Yang Banyak atau bilangan dan bagaimana yang banyak pada hakikatnya adalah satu10.

Tasybih dan tanzih
Pembahasan khusus tentang tasybih dan tanzih akan diuraikan secara lengkap pada bagian ke 4 dari pembahasan ruang lingkup ini.

Zat dan Nama-nama Tuhan
Pernyataan bahwa zat Tuhan tidak berhubungn dengan nama-nama adalah untuk menekankan tanzih Tuhan yang bersifat absolut. Nama-nama yang tidak ada hubungannya dengan, atau yang tidak dimiliki zat Tuhan adalah nama-nama yang menyatakan tanzih dimiliki oleh zat Tuhan. Nama-nama yang menyatakan tanzih menafikan semua nama dan sifat mahkluk dari zat Tuhan. Dengan kata lain, zat Tuhan memiliki nama-nama tanzih tetapi tidak memiliki nama tasybih. Nama yang paling tinggi dan mencakup semua nama ilahi dalam keesaan adalah Allah. Ibn al-‘Arabi berkata: “nama yang paling besar dan mencakup semua nama adalah Allah. Allah adalah kumpulan-kumpulan realitas dari nama-nama ilahi keseluruhannya. Sesungguhnya Allah, adalah yang mencakup nama-nama yang saling berlawanan dan yang bukan saling berlawanan. Maka ia memiliki arti-arti semua nama ilahi. Ibn al-‘Arabi nampaknya memandang Allah adalah nama yang menunjukkan Tuhan, baik dari segi zat-Nya maupun dari segi nama-nama-Nya.

Al-A’yan dan al-Tsabitah (entitas-entitas permanen)
Konsep Al-A’yan (substansi, esensi, zat, diri individualistis) dan al-Tsabitah (tak berubah, tetap, pasti, tertentu) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam teori ontologi ibn al-‘Arabi. Kedudukannya kira-kira sebanding dengan konsep platonik tentang “ide-ide”.

Al-Insan al-Kamil
Doktrin Al-Insan al-Kamil (manusia sempurna) perlu dibicarakan secara khusus dalam menjelaskan konsep wahdat al-wujud, yang merupakan dasar metafisis ibn al-'Arabi.
Ibn al-'Arabi mengatakan bahwa untuk menjadi manusia sempurna, manusia harus “berakhlak dengan akhlak Allah”, “mengambil akhlak Allah”, atau berakhlak dengan nama-nama Allah”, “Mengambil nama-nama Allah”. Dalam teks-teks sufi, ungkapan ini, yang biasanya dianggapm berasal dari Nabi saw. Dalam anaisis ini terlihat dengan jelas bahwa manusia sempurna mengandung paradoks kesempurnaan.

Tanzih dan Tasybih
Dilihat dari segi zat-Nya, Tuhan berbeda sama sekali dengan alam, melebihi dan mengatasi alam. Karena itu, Tuhan diluar jangkuan pengetahuan manusia, tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata dan apa pun. Tetapi dilihat dari segi nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang termanifestasi dalam alam, Tuhan serupa dan mirip dengan alam karena alam melalui alam Tuhan menampakkan diri-Nya. Tuhan memperkenalkan diri-Nya dalam bentuk-bentuk alam. Alam adalah perwujudan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Alam mempunyai keserupaan dan kemiripan dengan Tuhan pada tingkat tertentu. Alam adalah tanda atau ayat yang memberitahu identitas Tuhan. Melalui alam, manusia dapat mengetahui Tuhan. Demikianlah pandangan Ibn al-‘Arabi yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai dua segi: kemisterian dan penampakan diri. segi pertama disebut tanzih dan segi kedua kedua disebut tasybih.
Dalam ilmu kalam (teologi Islam), penekanan pemahaman bahwa Tuhan berbeda secara mutlak dengan alam dan dengan demikian tidak dapat diketahui melahirkan konsep tanzih, sedangkan penekanan pemahaman bahwa Tuhan, meskipun hanya pada tingkat tertentu, mempunyai kemiripan atau keserupaan dengan manusia dan alam melahirkan konsep tasybih, tanzih (berasal dari kata kerja nazzaha, yang secara harfiah berarti “menjauhkan atau membersihkan sesuatu dari sesuatu yang mengotori, sesuatu yang yang tidak murni”) dipergunakan para mutakallimun (teolog-teolog Islam) untuk “menyatakan atau menganggap bahwa Tuhan secara mutlak bebas dari semua ketidaksempurnaan,”11 yaitu semua sifat yang serupa dengan sifat-sifat makhluk meskipun dalam kadar yang paling kecil. Dengan kata lain, tanzih menyatakan bahwa Tuhan melebihi sifat atau kualitas apa pun yang dimiliki oleh makhluk-makhluk-Nya. Adapun tasybih (berasal dari kata kerja syabaha, yang secara harfiah berarti “menyerupakan atau menganggap sesuatu serupa dengan yang lain”) dalam ilmu kalam berarti “menyerupakan Tuhan dengan ciptaan-ciptaan-Nya. Maka tasybih adalah mempertahankan bahwa keserupaan tertentu bisa ditemukan antara Tuhan dan makhluk”.
Tanzih dan Tasybih adalah dua istilah kunci yang telah lama dipakai dalam ilmu kalam. Kedua istilah ini merupakan istilah yang sangat penting dalam perdebatan tentang hubungan ontologis antara tuhan dan alam sejak periode awal perkembangan ilmu kalam. Ibn al-‘Arabi menyatakan bahwa Tuhan mempunyai dua segi: kemisterian dan penampakan diri. Segi pertama disebut Tanzih (Tuhan melebihi sifat atau kualitas apapun yang dimiliki oleh mahkluk-Nya) dan segi kedua disebut dengan Tasybih (bahwa keserupaan tertentu bisa ditemukan antara Tuhan dan mahkluk).
Ayat al-Qur’an yang paling sering digunakan ibn al-‘Arabi untuk menjelaskan Tanzih dan Tasybih Tuhan adalah ayat yang berbunyi Laysa ka-mitslihi sysy’, wa-huwa al-sami’ al basir (Q.S. 42:11). Beliau memberikan dua penafsiran terhadap ayat ini: pertama Bagian pertama yang berbunyi Laysa ka-mitslihi syay’ , menyatakan tanzih, sedangkan bagian kedua yang berbunyi wa-huwa al-sami’ al basir, menyatakan tasybih Tuhan. Kedua, bagian ayat pertama menunjukkan tasybih dan bagian ayat yang kedua menyatakan tanzih. Jadi kedua penafsiran saling bersilang balik. Sehingga beliau memperingatkan kepada kita agar berpegang tidak hanya pada tanzih atau pada tasybih saja, namun harus berpegang pada keduanya. Beliau juga mengecam pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh dengan kemampuan akal oleh para mutakallimun (para ahli ilmu kalam) dan filsuf, pengetahuan yang diperoleh dengan akal tidaklah sempurna. Akal hanya mampu pada hal yang bersifat Tanzih, dan tidak dapat menjangkau tasybih. Pengetahhuan yang sempurna tentang Tuhan adalah dengan menggabungkan antara Tanzih dan Tasybih.
Dalam terminologi ibn al-‘Arabi, Tanzih menunjukkan aspek “kemutlakan” (itlaq) pada Tuhan, sedangkan tasybih menunjukkan aspek “keterbatasan” (taqayyud) pada-Nya. Dalam pengertian ini Tuhan tidak tidak diketahui dan tidak dapat diketahui, tidak dapat ditangkap, tidak dapat dipikirkan, dan tidak dapat dilukiskan. Dia adalah transenden. Satu-satunya sifat yang berlaku bagi-Nya adalah “kemutlakan”12.
Dilihat dari segi nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan penampakan diri-Nya dalam bentuk-bentuk alam, Tuhan adalah musyabab, serupa dengan makhluk-makhluk-Nya pada tingkat tertentu. Tuhan adalah “yang menampakan diri” (majla), yaitu alam, yang tidak lain adalah “lokus penampakan” (mazhar) nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Dapat pula dikatakan “bahwa alam keseluruhannya adalah bentuk-bentuk penampakkan diri Tuhan dari segi Nama Yang Tampak. Jika dikatakan bahwa Tuhan “mendengar” dan “melihat”, itu berarti bahwa Tuhan, dengan “menampakkan diri-Nya” (tajalla) dalam alam, “mendengar dan melihat” dalam bentuk setiap siapa dan apa yang mendengar dan melihat, dan dengan kata lain Tuhan adalah substansi atau “ke-Dia-an” setiap apa yang mendengar dan melihat. Menurut Ibn al-Arabi, Allah telah menyatakan “ke-Dia-an” al-Haqq adalahpendengaran, penglihatan dan semua daya sang hamba. Allah adalah “ke-Dia-an” setiap anggota badan sang hamba. Karena itu pada hakekatnya pelaku setiap perbuatan adalah al-Haqq. “Ke-Dia-an” al-Haqq terkandung dalam setiap manusia dan mahluk. Jika kita melihat al-Khalq, niscaya kita melihat Yang Awal Dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin13.
Al-Haqq memiliki sifat-sifat al-Muhdatsat dan mahluk memiliki sifat-sifat al-Haqq. Jika al-Haqq adalah Yang Tampak, maka al-Khalq tersembunyi di dalam-Nya, dan al-Khalq merupakan semua nama al-Haqq, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya dan semua hubungan-Nya. Jika al-Khalq adalah Yang Tampak maka al-Haqq tersembunyi di dalamnya dank arena itu al-Haqq menjadi pendenmgaran al-Khalq, penglihatannya, tanganya, kakinya dan semua dayanya. Ini adalah bukti-bukti yang menunjukan dengan tegas bahwa Tuhan serupa dengan alam.
Penafsiran Ibn al-Arabi tentang tanzih dan tasybih sesuai dengan doktrin ontologisnya tentang wahdat al-wujud, yang bertumpu pada perumusan ambigu: “Dia dan bukan Dia” (huwa la huwa)sebagai jawaban atas persoalan apakah alam identik dengan Tuhan. Dalam perumusan ini, terkandung dua bagian jawaban: bagian positif, yaitu “Dia” dan bagian negative “bukan Dia”. Bagian pertama menyatakan bahwa alam identik dengan Tuhan. Dan begian kedua mengaskan aspek tanzih Tuhan. Dapat pula dikatakan bahwa penafsiran Ibn al-Arabi tentang tanzih dan tasybih sejalan dengan prinsip al-jam’byn al-addad, yang memadukan kontradiksi-kontradiksi, misalnya Yang Satu dan Yang Banyak, unitas dan multisiplitas. Yang Lahir dan Yang Batin.
Ibn al-Arabi melukiskan Nabi Nuh sebagai wakil yang menganut pendirian dan sikap tanzih. Dalam Al-Qur’an diceritakan bahwa syirk (politeisme), penyembahan berhala, merajalela di kalangan umat Nabi Nuh. Beliau berusaha keras mengembalikan umatnya kepada tawhid (monoteisme murni). Dalam konteks ini beliau mendesak umatnya agar memegang teguh prinsip tanzih. Usaha ini diakui Ibn al-Arabi sebagai keharusan sejarah dan ini dapat dibenarkan. Namun demikian, Ibn al-Arabi mengecam pendirian dan sikap nabi Nuh itu karena ia menganggap Nabi Nuh terlalu mementingkan tanzih dan meremehkan tasybih. Nabi Nuh mengajak umatnya hanya untuk memegang tanzih, tidak mengajak mereka untuk memegang tasybih pada saat yang sama. Ibn al-Arabi memandang pengetahuan tentang Tuhan yang hanya berdasar pada prinsip tanzih tidak sempurna, sehingga pendirian Nabi Nuh adalah pendirian yang pincang dan berat sebelah dan oleh sebab itu keliru.14 Menurut Ibn al-Arabi jika Nabi Nuh menyatukan dua dakwah (tanzih dan tasybih) bagi umatnya, niscaya mereka akan menjawab positif dakwah itu.
Ibn al-Arabi tidak mempersoalkan umat Nabi Nuh sebagai umat yang sesat sepenuhnya. Ia cenderung memihak dan membela umat Nabi Nuh sebagai lambang realitas penampakan diri ilahi (tajalli illahi) dalam multisiplitas yang selalu berubah dalam bentuk-bentuk alam. Situasi umatnya tidak dipahami oleh Nabi Nuh. Ibn al-Arabi lebih mempermasalahkan Nabi Nuh dalam persoalan ini.
Dalam pandangan Ibn al-Arabi, dakwah Nabi Nuh salah arah: ditujukan hanya kepada arah “penutupan” (satr). Padahal seharusnya dakwahnya, disamping kepada arah “penutupan”, ditujukan pula kepada arah “penyingkapan” (kasyf). Pengertian “penutupan” diambil Ibn al-Arabi dari kata ghafara yang terdapat dalam Al-Qur’an pada surah Nuh ayat 4 dan 7. Ibn al-Arabi berkata: kemudian Nabi Nuh memberitakan bahwa beliau berdakwah kepada umatnya agar Tuhan menutup bagi mereka dosa-dosa tasybih yang berlebih-lebihan, bukan agar tersingkap bagi mereka tasybih di samping tanzih.
Tanzih yang didakwahkan oleh Nabi Nuh tanpa tasybih kepada umatnya disebut al-furqan oleh Ibn al-Arabi. Al-furqan yang secara harfiah berarti “pemisahan”, “pembedaan” di sini, penafsiran Ibn al-Arabi tentang al-furqan dengan arti pemisahan dijelaskan oleh T.Izutzu antara lain sebagai berikut: “pemisahan, di sini berarti pemisahan secara radikal aspek ke- Esa-an dari aspek keanekaan penampakan diri al-Haqq. Al-Furqan, dengan demikian, berarti tanzih mutlah dan radikal, sikap keras pendirian pada tanzih yang tidak menerima sentuhan tasybih.15
Al-Qur’an ditafsirkan oleh Ibn al_Arabi dengan arti yang menyimpang dari arti yang lazim dipakai. Al-Qur’an dalam arti yang melazim dipakai adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhamad. Al-Qur’an dalam arti ini dikenal sebagai kitab suci kaum muslimin, yang disebut pula dengan al-furqan. Tetapi Ibn al-Arabi memakai Al-Qur’an dengan arti “penyatuan”, “pemaduan”, atau “penggabungan”, yaitu penyatuan antara tanzih dan tasybih.
Ayat Al-Qur’an yang sering dipakai sebagai dalil oleh Ibn al-Arabi untuk menyatakan tanzih dan tasybih Tuhan ialah ayat yang berbunyi: laysa ka-mitsli-hi syay,wa huwa al sami’ al basir (Q. 42: 11). Ibn al Arabi memberikan dua penafsiran kepada ayat ini. Menurut penafsiran pertama, bagian pertama ayat ini, yaitu: laysa ka-mitsli-hi syay, menyatakan tanzih dan bagian keduanya, yaitu: wa huwa al sami’ al basir, menyatakan tasybih. Adapun menururt penafsiran kedua, bagian pertama ayat yang sama menunjukan tasybih dan bagian keduanya menujukan tanzih. Jadi penafsiran kedua bersilang baik dengan penafsiran pertama.
Ibn al-Arabi memperingatkan, apapun yang diungkapkan dalam mendeskripsikan Tuhan mengandung arti “pembatasan” (tahdid). Tuhan sendiri, dalam Al-Qur’an dan Hadits mendeskripsikan diri-Nya dengan “pembatasan” baik untuk menyatakan tanzih maupun untuk menyatakan tasybih. Misalnya, Tuhan mensifati dirinya bahwa Dia berada pada “awan” (‘ama’) yang di atas dan di bawahnya tidak ada udara, berada di langit, berada di bumi, beserta kita di mana pun kita berada dan adalah entitas kita, dana seterusnya, semua itu adalah pembatasan.
Bagi Ibn al-Arabi “pembatasan” mengandung arti “definisi” atau “batasan” (ta’rif) atau (hadd). Pada pembahasan di atas tentang Yang Tampak (al-zahir) dan Yang tidan Tampak (al-batin), telah dijelaskan bahwa Nabi Muhamad SAW mempertalikan pengetahuan al-Haqq dengan pengetahuan manusia. Kedua bisa diketahui hanya secara komprehensif, bukan secara terperinci. Yang Tidak Tampak dari Tuhan adalah zat-Nya Yang Esa (aspek tanzih) dan Yang Tampak dari Tuhan adalah alam dan segala yang ada di dalamnya (aspek tasybih).16

Panteisme
a. Pengertian Panteisme
Kata “Panteis” pertama kali dipakai oleh John Toland, dari Irlandia. Sedangkan kata “panteisme” pertama kali dipakai oleh salah seorang lawan Tolan, Fay, pada tahun 1709 dan sejak itu istilah ini dengan cepat menjadi lazim digunakan. Sedangkan menurut Robert Flint, panteisme adalah teori yang memandang segala sesuatu yang terbatas sebagai aspek, modifikasi, atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya; yang memandang semua benda material dan semua pikiran partikular sebagai yang mesti berasal dari suatu substansi tak terhingga yang tunggal. Substansi absolut yang esa itu-wujud maha meliputi yang esa-disebutnya Tuhan. Jadi, Tuhan, menurut-nya, adalah semua yang ada; dan tidak sesuatupun yang tidak tercakup secara esensial dalam, atau yang tidak mesti berkembang keluar dari Tuhan17.
Lebih lanjut Flint menjelaskan bahwa dalam panteisme substansi dipandang dengan berbagai cara yang berbeda, tapi yang penting adalah satu. Misalnya, substansi yang satu itu bisa berbentuk materi dan panteisme yang menganggap demikian adalah panteisme materialistik, yang dapat disebut monisme materialistik, yang memandang materi pada akhirnya sebgai satu kesatuan.panteisme dapat pula menggambarkan keberasalan (derivation) keanekaan fenomena-fenomena dari kesatuan subtansi. Panteisme melukiskan keberasalan itu sebagai suatu keberasalan yang mesti; bukan sebagai keberasalan dengan kehendak bebas, tetapi sebagai sebagai proses abadi. Agar menjadi penteisme, monisme dan determinisme harus dipadukan.
Seluruh alam memiliki luas atau tingkat yang sama dengan Tuhan; wujud Ilahi secara penuh terungkap dalam penagkapan-penagkapan Ilahi. Tokoh panteisme lain antara lain Henry C. Theissen, C.E. Plumptre, J. allanson Picton, W.S. Urquhart, E.R. Naughton, Peter A. Angels, Norman L. geisler dan William D. Watkins, Louis Leahy, W.C. Stace yang kesemuanya merumuskan tidak jauh berbeda dengan rumusan yang diberikan oleh Flint. Kemudian Munir Ba’albaki mengartikan istilah panteisme dengan istilah wahdat al-wujud. Bagi penulis Kamus Inggris-Arab al-Mawrid ini, definisi penteisme sama dengan definisi wahdat al-wujud. Ia menulis “Panteisme: Wahdat al-wujud : aliran yang berpendapat bahwa Allah dan alam adalah satu entitas, sedangkan alam material dan manusia tidak lain daripada lokus penampakan zat ilahiah. Definisi ini dapat, atau lebih tepat, ditafsirkan dengan pengertian bahwa Tuhan identik dan berbeda dengan alam.

b. Tipe-tipe Panteisme
Menyorot pendapat Flint, bahwa tipe-tipe panteisme atas dasar “ke-esaan absolut”sebagai satu-satunya realitas tunggal, yang disebut Tuhan. Pertama, mencari keesaan absolut dalam suatu prinsipm material, yang disebut dengan panteisme materialistik. Kedua, mencari keesaan absolut dalam kekuatan fisis dan membangun sistem dari penteisme dinamis. Ketiga, mencari keesaan absolutdi bawah kesamaan kehidupan organik, yang kemudian disebut panteisme fisis. Keempat, mencari keesaan absolut dengan memandang alam inderawi dan alam kesadaran sebagai ilusi. Kelima, mencari keesaan absolut dengan mencakup semua keanekaan. Keenam, menempatkan keesaan absolut subyek dan obyek, dari yang ideal dan real dari roh dan alam. Ketujuh, mendeskripsikan prinsip absolut sebagai suatu ego universal yang meliputi setiap ego partikular. Kedelapan, merupakan panteisme Hegel. Hegel mereduksi segala sesuatu kepada pemikiran, dan mendeduksi segala sesuatu dan pemikiran. Dari delapan tipe panteisme ini dapat digolongkan kepada tiga tipe : 1. panteisme fisis, yang meliputi tipe pertama, kedua dan ketiga. 2. panteisme metafisis, yang meliputi tipe-tipe keempat, kelima dan keenam. 3. panteisme psikis, yang meliputi tipe ketujuh, dan kedelapan.
Menurut Paul J.Glenn, ada dua bentuk fundamental panteisme: panteisme idealistik dan panteisme real. Panteisme idealistik memandang bahwa alam jasmani hanyalah suatu untaian gambaran atau ide dalam pikiran Tuhan dan karena itu tidak mempunyai wujud hakiki. Panteisme seperti ini tersembunti dalam ajaran Immanuel Kant. Sedangkan panteisme real menyatakan bahwa alam jasmaniah adalah suatu bagian aktual dari substansi Tuhan dan alam adalah manifestasi hakiki Tuhan.
Dalam pandangan W.L.Reese, ada satu tipe panteisme yang disebut panteisme akosmik, teori bahwa Tuhan yang absolut merupakan relitas keseluruhan. Alam adalah suatu penampakan dan pada hakikatnya tidak real. Teori ini adalah salah sati tipe panteisme Reese disamping ketujuh tipe lainnya. Antara lain tipe hilozoistik, imanentistik, monistik absolutistik, monistik relativistik, panteisme pertentangan-pertentangan, dan emanasionistik.
Maximilian Rast merumuskan panteisme atas dasar keidentikan Tuhan dan segala sesuatu yang empiris. Atas dasar ini, Rast membedakan panteisme (monisme) imanentistik yang sepenuhnya mengidentikkan Tuhan dengan segala sesuatu dan karena itu mirip dengan ateisme materialistik yang kasar (Oswald, Heckel, Taine); kemudian panteisme transendental, yang menemukan yang ilahi hanya dalam kedalaman segala sesuatu, khususnya dalam jiwa, sehingga mahkluk menjadi Tuhan, hanya setelah penyingkapan tabir mahkluk hidup (panteisme India dalam filsafat Wedanta, Plotinus, Scotus Erigena); dan panteisme transenden-imanen, yang memandang Tuhan memenuhi dan menampakkan diri-Nya dalam segala sesuatu (Spinoza, idealisme Jerman, Goethe, Schleirmacher, Euken). Termasuk pula disini panpsikisme, yang memandang bahwa semuanya digerakkan oleh suatu jiwa-dunia atau intelegensi-dunia.

c. Kesamaran Perbedaan Panteisme dengan Monisme dan Panteisme
Dalam memberikan rumusan tentang monisme, John H. Gestner menekankan pada pemahaman bahwa monisme mengajarkan bahwa keanekaan atau keragaman sesuatu pada hakikatnya adalah satu relitas terakhir yang tunggal (Tuhan, materi, pikiran, ide, spirit, energi, atau bentuk). Jika relitas itu adalah materi, maka disebut monisme materialistik atau materialisme. Jika realitas itu adalah spirit, ide, ia disebut monisme idealistik atau idealisme. Jika monisme diartikan sebagai “teori bahwa segala sesuatu berasal dari satu sumber terakhir yang tunggal” maka panteisme , penenteisme, teisme dan deisme sama dengan monisme dalam hal ini karena paham-paham ini sama-sama mengakui bahwa segala sesuatu berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan. Penekanan yang tertuju hanya pada kesatuan suber seperti ini tidak tepat untuk dijadikan doktrin dasar dalam monisme.
Apabila diperhatikan pengertian monisme ini, sulit membedakan antara panteisme dan monisme. Kedua-duanya mengakui kesatuan realitas. Glenn mengatakan bahwa monisme materialistik adalah selalu panteisme. Sebenarnya semua tipe monisme materialistik adalah panteistik secara sempurna. Berbeda dengan pendapat P.J. Zoetmulder bahwa panteisme adalah salah satu bentuk dari monisme yang dalam menetapkan kesatuan segala sesuatu berpangkal pada tuhan dan mengembalikan segala sesuatu kepada Tuhan. Jadi monisme mempunyai pengertian lebih luas daripada panteisme: setiap panteisme adalah monisme, tetapi tidak semua: setiap panteisme adalah monisme, tetapi tidak semua monisme adalah panteisme. Pendapat ini sangat berbeda dengan pernyataan Glenn di atas.
Polemik Pemakaian Istilah Panteisme
Pandangan Barat Tradisional mengatakan bahwa ibn al-‘Arabi mewakili panteisme atau monisme Islam, yang telah menghancurkan ide Islam tentang Tuhan sebagai suatu kekuatan yang hidup dan aktif dan karena itu ia bertanggung jawab sebagian besar atas rusaknya kehidupan relifius Islam yang benar. Dalam hal ini adalah Annemarie Schmimmel, mangatakan bahwa pandangan Barat Tradisional itu, mendukung menggunakan istilah seperti panteisme, atau monisme dalam konsep wahdat al- wujud selama masih mempertahankan transendensi Tuhan. Tokoh-tokoh Barat yang mengatakan konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi merupakan panteisme atau monnisme adalah Reynold A. Nicholson, Edward J.Jurji, Gerhard Endress, A.E. Afifi, S.A.Q. Husaini. Ada juga pendukung dari Hamka dan Yunasril Ali yang berpendapat bahwa wahdat al-wujud adalah panteisme Pendapat yang menganggap bahwa wahdat al-wujud dan panteisme sama-sama menekankan imanensi Tuhan secara total dan mengingkari transendensi-Nya adalah salah. Karena pengetian wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi adalah menekankan kedua aspek imanensi dan transendensi18.
Perbedaan Wahdat al-Wujud dan Panteisme
Dalam pembahasan diatas terlihat ada perbedaan antara wahdat al-wujud Ibn al-Arabi dengan Panteisme. Perbedaan itu dilihat dengan melakukan pemetaan dahulu terhadap konsep Wahdat al-wujud dengan panteisme.
Untuk wahdat al-wujud terdapat unsur tasybih dan tanzih. Unsur tanzihlah yang membedakan antara Tuhan dengan alam. tanzih (berasal dari kata kerja nazzaha, yang secara harfiah berarti “menjauhkan atau membersihkan sesuatu dari sesuatu yang mengotori, sesuatu yang yang tidak murni”), Dalam ilmu kalam (teologi Islam), penekanan pemahaman bahwa Tuhan berbeda secara mutlak dengan alam dan dengan demikian tidak dapat diketahui melahirkan konsep tanzih, sedangkan penekanan pemahaman bahwa Tuhan, meskipun hanya pada tingkat tertentu, mempunyai kemiripan atau keserupaan dengan manusia dan alam melahirkan konsep tasybih, tanzih (berasal dari kata kerja nazzaha, yang secara harfiah berarti “menjauhkan atau membersihkan sesuatu dari sesuatu yang mengotori, sesuatu yang yang tidak murni”)
Segi pertama disebut Tanzih (Tuhan melebihi sifat atau kualitas apapun yang dimiliki oleh mahkluk-Nya) dan segi kedua disebut dengan Tasybih (bahwa keserupaan tertentu bisa ditemukan antara Tuhan dan mahkluk). Dalam uraian tentang Panteisme, ada unsur imanensi dan transendensi. Unsur transendensilah yang membedakan antara panteisme dengan wahdat al-wujud. Karena panteisme hanya meyakini unsur imanensi, yaitu penyatuan antara Tuhan dengan alam, tanpa unsur imanensi yang dalam wahdat al-wujud Ibn al-Arabi adalah sebagai tanzih yang membedakan antara Tuhan dan alam.
Disamping uraian diatas, berikut ini diuraikan perbedaan antara Wahdat al-Wujud dengan Panteisme menurut orientalis dan DR. Kautsar Azhari Noor.

Menurut orientalis
Diantara tokoh yang mengkritik pemakaian panteisme dalam konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi adalah Henry Corbin. Sistem ibn al-‘Arabi tetap mempertahankan perbedaan dan ketidak samaan antara Tuhan dan alam, antara pencipta dan ciptaan, antara al-haqq dan al-khalq. Hal ini diduga karena dalam pandangan Corbin, panteisme dan monisme menolak perbedaan dan ketidaksetaraan ini. Wahdat al-wujud tetap mempertahankan transendensi Tuhan, sedangkan panteisme dan monisme melenyapkannya19.
Senada dengan pendapat Corbin dalam hal ini adalah Titus Burckhardt. Ia berpendapat bahwa wahdatul wujud tidak dilabeli dengan panteisme. Menurut Burckhardt, semua doktrin metafisis Timur dan beberapa doktrin metafisis Barat seringkali disebut panteisme, tetapi sebenarnya panteisme hanya dianut oleh filsuf-filsuf Eropa tertentu dan beberapa oarng Timur yang dipengaruhi oleh pemikiran Barat abad kesembilanbelas20. Burckhardt ingin menunjukkan bahwa kontiunitas substansial atau eksistensial sebagai bentuk hubungan antara Tuhan dan alam menghilangkan perbedaan antara Tuhan dan alam dan mengacaukan pengertian Tuhan. Kotiunitas semacam ini ditolak oleh sufisme. Menurut Burckhardt, ajaran yang diterima oleh Sufisme ialah bahwa Tuhan sendiri adalah kontiuitas, atau keesaan ini, tetapi dalam hal ini ia tidak akan dibayangkan sebagai di luar-Nya, sehingga ia pada hakikatnya tidak ada bandingan-Nya dan karena itu berbeda denga segala sesuatu yang tampak, tetapi tanpa kemungkinan sesuatu pun yang ada “diluar” atau “ di samping” Ia21
Demikian halnya dengan William C.Chittick dengan mengkritik pengkategorian doktrin wahdat al-Wujud Ibn al-Arabi sebagai panteisme, panenteisme, monisem eksistenisalis, monism panteistik, atau yang serupa, karena pengkategorian ini tidak memadai dan malahan menyesatkan pemahaman tentang arti doktrin yang menimbulkan perdebatan yang tak berkesudahan. Chittick menilai bahwa para orientalis awal mempunyai sikap keliru dalam mempelajari Islam, termasuk pemikiran Ibn Arabi. Apa sikap mereka yang keliru itu? Menurut Chittick, mereka merasa bahwa denga memasang suatu label pada suatu ide, mereka telah memahaminya dan tidak perlu lagi melakukan studi yang serius22.
Menurut Chittick, memakai istilah-istilah seperti “panteisme” untuk mendeskripsikan wahdat al-wujud berarti memperlakukan Ibn al-Arabi secara tidak adil khususnya karena istilah-istilah itu dipakai hampir tanpa kecuali dengan satu tujuan dismisif (penolakan) dan kritis (pencelaan)23. Chittick membenarkan bahwa Ibn al-Arabi percaya kepada wahdat al-wujud karena sufi ini menegaskan bahwa wujud adalah suatu realitas tunggal dan karena itu tidak bias ada wujud.

Menurut Dr. Kautsar Azhari Noor
Ada pendapat yang mendefinisikan bahwa panteisme adalah kepercayaan bahwa semua adalah Tuhan dan Tuhan adalah semuanya. Tuhan adalah alam dan alam adalah Tuhan. Dalam definisi ini, Tuhan identik dengan alam. Imanesi Tuhan ditekankan secara total, sedangkan transendensi-Nya tidak diakui. Definisi yang simplistik ini adalah definisi panteisme yang populer dan dipegang banyak sarjana.
Pendapat lain memandang bahwa dalam panteisme segala sesuatu yang terbatas adalah aspek, modus, cara-berada, modifikasi, atau bagian dari Wujud yang tidak terbatas, yaitu Tuhan. Panteisme dalam pengertian ini, sekalipun lebih cenderung menekankan keidentikan Tuhan dengan alam, tidak menyatakan penolakan terhadap perbedaan antara kedua-duanya. Panteisme ini, sekalipun sangat menekankan imanesi Tuhan, tidak menyatakan sikap penolakan atau penerimaan yang tegas terhadap transendensi-Nya. Pengertian panteisme ini juga dipegang banyak sarjana.
Ada pendapat lain yang mendefinisikan bahwa panteisme adalah teori bahwa Tuhan identik dan berbeda dengan alam. Definisi ini dengan tegas menyatakan secara serentak keidentikan pertentangan-pertentangan (identity of opposites) atau “keidentikan dalam perbedaan” (Identity of diferency). Tuhan adalah imanen dalam dan transenden terhadap alam, impersonal dan personal. Definisi ini secara relatif agak baru dan berbeda dengan definisi-definisi lain yang populer dan tersebar dalam banyak tulisan. Definisi ini tampaknya tidak diketahui banyak orang.
apakah wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi adalah panteisme? Maka jawaban yang dapat disampaikan adalah: tergantung kepada definisi panteisme yang dimaksud. Jika yang dimaksud adalah definisi yang menyatakan bahwa panteisme menekankan secara total imanensi Tuhan dan menolak transendensi-Nya, maka wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi bukan panteisme, karena definisi panteisme ini tidak sejalan dengan doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi, yang menekankan tidak hanya imanensi Tuhan, tapi juga transendensi-Nya. Tetapi jika yang dimaksud adalah definisi yang menyatakan bahwa panteisme menekankan imanensi dan transendensi Tuhan sekaligus, maka wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi dapat dikategorikan sebagai panteisme, karena definisi panteisme ini sejalan dengan doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi yang juga menekankan kedua sisi tadi: imanensi dan transendensi Tuhan. Karena terdapat beberapa tipe atau jenis panteisme, maka tipe-tipe yang cocok untuk mendeskripsikan wahdat al-wujud adalah panteisme akosmisme dan panteisme idealistik atau panteisme transenden-imanen. Diantara definisi-definisi panteisme yang ada, mungkin definisi yang paling tepat untuk mendeskripsikan wahdatul wujud adalah definisi yang diajukan oleh W.T. Stace. Sejalan dengan doktrin wahdat al-wujud dan ide yang terkandung dalam rumusan singkat Ibn al-Arabi huwa la huwa (Dia dan bukan Dia), panteisme dalam definisi stace memandang bahwa Tuhan adalah identik dan berbeda dengan alam, Tuhan adalah imanen dan transenden. Prinsip “keidentikan dalam perbedaan” (“identity in difference”) dalam panteisme menurut Stace dapat disamakan dengan prinsip coincidentia oppositorum atau al-jam’ bayna al-addad dalam sistem Ibn al-‘Arabi. Sayang sekali, definisi panteisme Stace ini tidak populer.
Menurut Dr.Kautsar Azhari Noor tuduhan bahwa Ibn al-“Arabi menyamakan Tuhan dengan alam sehingga tidak ada lagi perbedaan antara kedua-duanya dan dengan demikian telah mengajarkan doktrin sesat, yang menyalahi ajaran tawhid yang murni, tidak dapat dibenarkan. Tuduhan seperti ini timbul dari kesalahpahaman orang-orang yang melihat hanya sisi tasybih dan imanensi Tuhan dalam doktrin wahdat al-wujud dan mengabaikan sisi tanzih dan transendensi-Nya. Ibn al-‘Arabi sangat menekankan kedua sisi ini dan memadukan antara kedua-duanya. Inilah pengetahuan yang benar tentang Tuhan.
Selanjutnya Kautsar Azhari Noor mengatakan bahwa doktrin wahdat al-wujud tidak dapat dipandang sebagai yang menyimpang dari ajaran tawhid. Sebaliknya, doktrin wahdat al-wujud adalah ekspresi tawhid yang paling tinggi, jika tidak boleh dikatakan sebagai satu-satunya bentuk tawhid yang benar. Dalam doktrin wahdat al-wujud Tuhan betul-betul esa karena tidak ada wujud, yaitu wujud hakiki, kecuali Tuhan; wujud hanya milik Tuhan. Alam tidak mempunyai wujud kecuali sejauh berasal dari Tuhan. Alam tidak mempunyai wujud kecuali sejauh berasal dari Tuhan. Alam tidak lebih dari penampakan-Nya. Doktrin ini mengakui satu wujud atau realitas yang sama sekali independen berarti memberikan tempat kepada syirik atau politeisme. Doktrin wahdat al-wujud Ibn al-‘Arabi mempunyai posisi yang kuat karena, sebagaimana terlihat dalam karya-karyanya, didukung oleh, atau bersumber dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi saw.
Dari uraian diatas bahwa wahdat al-Wujud memiliki perbedaan dengan panteisme. Hal ini sebagai mana hasil penelitian dari Dr. Kautsar Azhari Noor, beliau mengatakan:
“Sekalipun hasil penelitian saya menunjukkan bahwa definisi panteisme yang cocok untuk mendeskripsikan doktrin wahdat al-wujud, saya lebih cenderung untuk menghindari pemakaian istilah panteisme untuk melabeli doktrin ini (wahdat al-wujud), karena definisi panteisme yang cocok itu tidak populer, sedangkan panteisme dalam pengertian populer tidak tepat untuk mendeskripsikan doktrin wahdat al-Wujud. Dengan alasan ini, pemakaian istilah panteisme untuk malabeli doktrin wahdat al-wujud dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang doktrin ini”24

SUMBANGAN DALAM KEILMUAN
Secara umum dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kautsar Azhari Noer, dapat memberikan sumbangan keilmuan tentang tawhid kepada umat Islam. Secara khusus penelitian Kautsar dapat memberikan warna baru tentang konsep wahdat al-wujud terkhusus lagi pandangan wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi. Dan salah atu makna penting dari buku ini adalah, bahwa ada diantara sarjana muslim di Indonesia yang telah menunjukkan prestasi intelektualnya untuk serta mengangkat dan membahas wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi secara serius dan memenuhi standard metodologi keilmuan. Khusus bagi mereka yang tidak memiliki akses langsung dalam menelaah karya-karya asli ibn al-‘Arabi, maka buku ini dapat menjembatani jarak dimaksud.

KESIMPULAN
Wahdat al-wujud sebagai paham spiritual Ibn al-Arabi adalah satuan wujud atau unity of existence. Konsep ini timbul dari paham bahwa Allah ingin melihat diriNya di luar diri-Nya dan oleh karena itu dijadikanNya alam ini. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah dikala ia ingin melihat diriNya, ia melihat kepada alam, pada benda-benda yang ada pada alam, karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan, tuhan melihat diriNya. Dari sini timbul faham kesatuan yang ada dalam alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu.
Panteisme sebagai pemahaman penyatuan antara Tuhan dengan alam memiliki perbedaan dengan wahdat al-wujud Ibn al-Arabi. Dalam wahdatul wujud ada paham tasybih dan tanzih. Unsur tasybih yang dipahami sebagai unsur pembeda antara wahdat al-wujud dan panteisme. Atau wahdat al-wujud memiliki unsur transendensi dan imanensi sedangkan Panteisme hanya meyakini adanya imanensi, yaitu penyatuan antara Tuhan dengan alam, tanpa membedakannya.
Disamping itu pula menyamakan Wahdat al-wujud dengan panteisme mendapat kritikan dari pemikir lainnya. Baik dikalangan pemikir Barat maupun pemikir Islam. Diantara pemikir Barat seperti Henry Corbin, Burckhardt dan William C.Chittick. mereka berpendapat bahwa Wahdat al-wujud tetap mempertahankan transendensi Tuhan, sedangkan panteisme dan monisme melenyapkannya. Inilah dasar perbedaan antara wahdat al-wujud dan panteisme.
Sedangkan menurut Dr. Kautsar Azhari Noor bahwa menyamakan antara Tuhan dengan alam sebagaimana paham panteisme adalah kesesatan. Sedangkan Ibn al-Arabi sangat menjunjung tinggi tawhid. Baginya wahdat al-wujud adalah bentuk tawhid tertinggi.
Jadi dari uraian diatas, jelaslah bahwa Panteisme berbeda dengan wahdat al-wujud Ibn al-Arabi.


1 DR. Kautsar Azhari Noor adalah ahli perbandingan agama yang dikenal mempunyai pandangan-pandangan yang liberal ini, dilahirkan di Batuampar, Payahkumbuh 4 Maret 1951. Menamatkan pendidikan S2 dan S3 dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dengan menulis disertasi tentang Wahdat al-wujud Ibn al-Arabi dan Panteisme” pada 1993.
2 Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 21
3 Ibn ‘Arabi, terj.Ahmad Sahidah dan Nurjanah Arianti, Fusus al-Hikam; Mutiara Hikmah 27 Nabi, (Yogyakarta: Islamika, 2004)
4 William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge Pengetahuan Spiritual, terj. Achmad Niddjam, M. Sadat Ismail, dan Ruslani, (Yogyakarta: Qalam, 2001)
5 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi wahdat al-wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 17-29
6 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi wahdat al-wujud dalam Perdebatan, hlm. 34-41
7 Tim Lintas Media, Kamus al-Akbar, Indonesia-Arab, Arab-Indonesia, (Jombang: LINTAS MEDIA, 2003), hlm. 356
8 Ibid, hlm. 455
9 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), hlm. 121
10 Ibid ,hlm., 74
11 T. Izutsu, The Concep and Reality of Existence (Tokyo: The Keio Institue of Cultural and Linguistic Studies. 1971). hlm.,48
12 Ibid, hlm., 89
13 Ibid.
14 Ibid., hlm 90
15 Ibid., hlm 58
16 Ibid., hlm 34
17 Ibid, hlm., 159
18 Ibid, hlm.,177- 201
19 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi wahdat al-wujud dalam Perdebatan, hlm. 210
20 Titus Burckhardt, An Introduction to Sufism, diterjemahkan oleh D.M. Matheson (Wellingborough: Crucible, 1990), hlm. 28
21 Ibid. hlm. 33
22 William C. Chittick, “Wahdat al-wujud in Islamic Tought,” The Buletin, 10 i (1991) hlm. 22
23 W.C. Chittick The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Sufi Issue 4 (Winter 1989-1990): hlm. 7-8
24 Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi wahdat al-wujud dalam Perdebatan, hlm. 222-226