Rabu, 20 Juni 2012

Biografi dan Pemikiran Ahmad bin Hanbal

Nama lengkap Ahmad bin Hanbal ialah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syalban. Panggilan sehari-harinya Abu Abdullah. Ahmad bin Hanbal dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriah (780 Masehi). Ayahnya menjabat sebagi walikota Sarkhas dan pendukung pemerintahan Abbasiyah. Menurut satu riwayat, ayahandanya yang bernama Muhammad asy-Syalbani telah meninggalkan beliau sebelum dilahirkan ke dunia fana ini. Sehingga beliau tumbuh remaja hanya dalam asuhan ibundanya, Syafiyah binti Maimunah seorang wanita dari golongan terkemuka kaum Banu Amir.
Imam Ahmad adalah seorang zuhud, bersih hatinya dari segala macam pengaruh kebendaan. Beliau juga dikenal seorang yang pendiam tetapi beliau tertarik untuk selalu berdiskusi dan tidak segan meralat pendapatnya sendiri apabila jelas bahwa pendapat orang lain lebih benar. Beliau adalah orang yang berwawasan luas, ulama yang sangat dalam pemahamannya terhadap ruh syariat. Selama hayatnya, Imam Ahmad cinta sekali kepada sunnah Rasulullah SAW, sehingga mendorongnya untuk banyak meniru Rasulullah dalam segala urusan agama dan dunia. Beliau tidak hafal satu hadispun kecuali mengamalkannya.[1] Sehingga ada suatu kalangan yang lebih melihat beliau sebagai seorang ilmuwan hadist daripada ilmuwan fiqh.
Sebagian fuqoha’ berkata tentang beliau, “Ahmad menguasai seluruh ilmu”. Selain itu Imam Syafi’i selaku gurunya juga mengungkapkan, “ketika saya meninggalkan Baghdad, disana tidak ada orang yang lebih pandai dibidang fiqih dan lebih alim ketimbang Ahmad bin Hanbal”.

Setting Sosial-Budaya Pada Masa Imam Hanbali
Ketika menginjak masa muda, Ahmad melihat kehidupan orang-orang disekitarnya sangat mengagumkan. Namun semaraknya bid’ah telah mengancam sunnah. Orang yang berpendidikan telah mencelakakan orang yang tidak tahu, para penimbun harta kenyang dengan emas dan perak timbunannya, tetapi mereka tidak tahu bagaimana mereka akan membelanjakannya. Tidak jarang pula mereka terjerumus dalam kemunafikan dan kejahatan. Kata-kata rayuan dan penipuan telah mengelabuhi manusia hingga mereka meninggalkan kesejahteraan hidup yang dihalalkan, yang biasa disebut wara’ atau zuhud.[2]
Ahmad yang sejak kecil hafal al-Qur’an, memahami hukum-hukumnya, dan mempelajari ilmu hadist untuk berhadapan dengan kehidupan dunia yang demikian parah. Apapun yang beliau lakukan tidak lain adalah untuk menunjukkan bahwa beliau membenci kehidupan dunia seperti itu. Beliau menamakan semua itu dengan bid’ah dan bernazar untuk meluruskannya dan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW. Namun sebagian masyarakat menuduhnya sebagai orang yang mempersulit pelaksanaan agama.
Imam Ahmad yang hidup dimasa penuh dengan bid’ah dan agama ditawar-tawar sehingga menggoyangkan sendi-sendinya, karena itu beliau memutuskan untuk selalu berpegang pada al-Qur’an dengan sekuat-kuatnya.[3] Ahmad tertuntut untuk mencari jalan bagi pembebasan diri dan bersikap keras dalam menegakkan kebenaran serta membebaskan orang-orang yang menjadi hamba bagi kondisi mereka. Alangkah jeleknya kondisi waktu itu!
Yang mulia Imam Hambali selaku seorang alim besar dari ahli sunnah, senantiasa bersikap keras akan urusan bid’ah dan orang yang ahli bid’ah, sebagai buktinya ditunjukkan pada :
a. Beliau pernah berkata : “pokok pangkal “sunnah” itu bagi saya ialah memegang teguh dan mengikut dengan kokohnya kepada apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat Nabi, dan menjauhi atau meninggalkan perbuatan bid’ah, karena tiap-tiap bid’ah di dalam urusan agama itu sesat”. Jadi, sudah cukup jelas bahwa segala perbuatan bid’ah yang bertalian dengan urusan ibadah itu sesat, dan tiap-tiap kesesatan itu di dalam nerakalah tempat kembalinya.
b. Beliau juga pernah berkata : “janganlah kamu bertukar fikiran dengan orang ahli bid’ah di dalam urusan agamamu, dan janganlah kamu berkawan dengan seorangpun dengan mereka itu di dalam pelayanmu”.[4]
Sehingga sudahlah jelas akan sikap Imam Hambali atas bid’ah itu sendiri dan juga orang-orang yang termasuk dalam ahli bid’ah.

Kehidupan Politik Pada Masa Imam Hanbali
Ahmad bin Hanbal mengetahui bahwa yang paling mengundang kemarahan para penguasa bani Abbas adalah penyebaran fiqh Ali bin Abi Thalib. Keturunannya berkali-kali mengadakan pemberontakan terhadap para khalifah yang berbuat aniaya dari Bani Umayyah, juga terhadap para khalifah Bani Abbas. Hal inilah yang mengakibatkan timbulnya berbagai peperangan besar. Fiqih Imam Ali dan keputusan-keputusannya hanya dihafal oleh sejumlah kecil ulama, terutama dari kalangan syi’ah.
Kemudian setelah Bani Abbas merasa khawatir terhadap fiqih Ali, maka itu dipergunakan oleh para penentang fiqih Imam Ali untuk mengkritiknya. Hingga akhirnya Bani Abbas tidak tahan menghadapi pertentangan tersebut, dan bila ada orang yang datang menyampaikan pengaduan, kritikan, atau rintangan, maka pasti akan merasakan tajamnya pedang para algojo atau lidahnya membisu dibalik tembok penjara.[5]
Namun demikian, Imam Ahmad tidak bisa bersikap masa bodoh terhadap perilaku tersebut. Imam Ahmad mencari fiqih dan keputusan para Khulafaur Rasyidin, kemudian beliau mulai menyiarkan dan mempersaksikannya. Imam Ahmad tidak ingin berpolitik tetapi mulai hanya berpendapat wajib mentaati khalifah meskipun mereka menyimpang. Sebab, menurut beliau, taat kepada penguasa yang menyimpang itu lebih baik ketimbang fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang berbuat aniaya saja. Akan tetapi bukan berarti mendiamkan saja khalifah yang zalim. Dan menasehatinya akan lebih baik daripada memberontaknya.[6]
Ahmad bin Hanbal tidak menerjunkan dirinya langsung dalam kancah konflik politik yang menyala-nyala. Akan tetapi, beliau berpendapat dengan sesuatu yang beliau yakni kebenarannya dalam rangka mengikuti sunnah bagaimanapun caranya mencapai pendapat tersebut, karena beliau adalah orang yang paling ingin meniru Rasulullah SAW. Beliau berkata “Ahli hadist adalah orang yang mengamalkannya”.
Sepanjang riwayat, ketia yang mulai Imam Syafi’i diminta oleh baginda harun al-Rasyid untuk mencari ahli hukum dan yang berilmu pengethuan dalm pusat pemerintahannya, maka Imam Syafi’i menunjuk Imam Hanabli untuk mendudukinya. Namun, berulang kali dan secara tegas Imam Hanbali berkata : “Saya datang kepada engkau ini hendak menuntut ilmu pengetahuan, bukan hendak mencari kedudukan atau pangkat disisi kepala negara”.[7] Meskipun demikian, Imam Ahmad tidak dapat menjauh dari politik, karena politik selalu menyertai kehidupan dan politik juga mengantarkan manusia mendekati kemaslahatan dan menjauhi kerusakan.
Begitu juga ketika aliran Mu’tazilah menguasai pemerintahan Ma’mun bin Harun al-Rasyid yang membaca ajaran tentang kemahlukan al-Qur’an, kebijakan ini mendapat reaksi keras dari para ahli fiqih aliran ahlussunah terutama Imam Ahmad. Tetapi, kebijakan politik oleh penguasa Khalifah Ma’mun dan Mu’tashim tidak mampu menyurutkan dan merubah pendiriannya, meskipun beliau mendapat penyiksaan keras dari mereka. Bahkan semakin keras penyiksaan itu, semakin kuat pula pendiriannya. Hingga akhirnya, muncullah seorang khalifah baru berpaham Ahlussunah yang berhasil membasmi para pengikut aliran Mu’tazilah.[8]


Wacana Keilmuwan Yang Digunakan
Dalam pesantrennya setiap selesai sholat ashar, Imam Ahmad membiasakan memberi fatwa dan bersama dengan peserta pesantrennya menyebutkan diri dengan apa yang dilakukan oleh para ulama salaf dalam pesantren mereka, yaitu pengkajian al-Qur’an dan tafsirnya. Beliau mengajukan bahwa ayat al-Qur’an itu ditafsirkan oleh sebagian yang lain oleh sebagian yang lain atau oleh hadits dan atsar para sahabat. Beliau lebih menekankan pada pesantrennya untuk menetapkan pengetahuan di bidang bahasa arab, sastra dan ilmu bahasanya agar mereka dapat memahami al-Qur’an dan hadits dengan mudah.
Adapun ilmu-ilmu lainnya yang tersebar dimasa Imam Ahad adalah tentang perbincangan masalah akidah. Sebagian para pemikir dan fuqaha juga pernah mambahas tentang Jabr dan ikhtiar. Sementara yang lainnya lagi berpendapat bahwa tindakan-tindakan dan sifat Allah yang dapat ditangkap dengan panca indra haruslah ditakwilkan dari maknanya yang lain. Mereka memperpanjang dan membicarakan semua itu dengan ilmu kalam.[9]


Metode Istinbat Hukum
Telah kita kenal bahwasanya Ahmad bin Hambal dikenal luas sebagai pembela hadits Nabi yang gigih. Hal ini dapat dilihat dari cara-cara yang digunakannya dalam memutuskan hukum. Ia tidak suka menggunakan akal, kecuali dalam keadaan sangat terpaksa atau sangat perlu dan sebatas tidak ditentukan hadits yang menjelaskannya.
Ibn Hanbal sangat berhati-hati tentang riwayat hadits, karena hadits sebagai dasar tidak akan didapatkan faedahnya tanpa memiliki riwayatnya. Dalam hal ini beliau berkata-kata “Barangsiapa yang tidak mengumpulkan hadits dengan riwayatnya serta pembedaan pendapat mengenainya, tidak boleh memberikan penilaian tentang hadits tersebut dan berfatwa berdasarkannya”.[10]
Kemudian, tentang dasar-dasar yang dipakai Ahmad bin Hanbal dalam memutuskan hukum, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gurunya, Imam Syafi’i, yang didasarkan atas lima hal :
a. Nash al-Qur’an dan Hadits Marfu’
Selama ada teks ini, Ahmad pasti akan memutuskannya berdasarkan teks tersbut, meskipun ada dasar lain.
b. Fatwa para sahabat Nabi
Apabila beliau tidak mendapatkan suatu nash terang, baik dari al-Qur’an maupun sunnah, barulah menggunakan fatwa dari sahabat yang dirasa tidak ada fatwa lain yang menandinginya. Katanya “itu bukanlah ijma’”. Fatwa sahabat didahulukan daripada akal atau qiyas.
Apabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat, maka beliau Mengambil pendapat yang lebih dekat dengan bunyi teks al-Qur’an atau hadits dan tidak akan mencari yang lainnya. Akan tetapi bila semuanya tidak jelas, maka beliau tidak akan mengambil kesimpulan apapun.
c. Hadits Mursal dan Hadits Dha’if
Jalan ini diambil bila tidak dijumpai hadits lain yang setingkat. Hadits dha’if menurutnya ialah “yang tidak batil” atau “tidak munkar”, atau yang didalamnya tidak terdapat perawi yang muttaham, karena beliau memadang bahwa hadits dho’if yang bertingkatan tidak sampai ketingkat shahit, tetapi termasuk dalam hadits hasan itu lebih kuat dan lebih baik daripada qiyas.
d. Qiyas
Beliau menggunakan qiyas bila sudah dalam keadaan terpaksa karena tidak didapatkan dalam hadits mursal ataupun dha’if dan juga fatwa para sahabat.[11]
Tentang ijma’, pendirian Imam Hanbali ini sebenarnya tiak berbeda dengan pendirian Imam Syafi’i, karena Imam Syafi’i sendiri pernah berkata “Barang apa yang belum diketahui ada perselisihan di dalamnya itu belum atau bukan ijma’ namanya”. Sedangkan Imam hanbali berpendapat bahwa ijma’ tidak diakui keberadaannya setelah periode sahabat. Beliau berkata, “apa yang dituduh oleh seseorang tentang ijma’ adalah dusta”. Beliau bukannya tidak mengakui ijma’ setelah periode sahabat, tetapi tidak memungkinkan akan terjadinya. Karena itu beliau lebih berpegang pada qiyas setelah teks al-Qur’an, sunnah dan atsar sahabat.
Kemudian pendirian Imam Hanbali terdapat ra’yi dan ahli ra’yi dalam hukum keagamaan, tidak berbeda dengan para imam ahli hadits seperti Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan lainnya, yakni hukum agama tidak selayaknya dan tidak pada tempatnya jika hanya bersandar atas pendapat dari buah fikiran orang yang tidak pada tempatnya jika hanya bersandar atas dalil atau alasan dari al-Qur’an ataupun sunnah.[12]
Imam Hanbali bukan seorang yang fanatik akan pendapt yang sampai padanya. Sehinga beliau sering melarang penulis fiqih yang diajarkannya, karena seringnya berubah pandangan. Beliau khawatir bila fiqih dibukukan, maka hukum-hukum syariat akan beku dan taklid akan merajalela sepanjang masa. Sedang fiqih seyogyanya selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman.

Sekilas Tentang Mazhab Hanbali
Untuk sekedar diketahui, bahwa mazhab Imam Hanbali ini mazhab yang kurang berkembang di dunia Islam. Mula mazhabnya hanya berkermbang di Bagdad, tempat kediaman Imam Hanbali. Hingga abad IV H, mazhab inipun belum merambah di negara Mesir, tetapi baru sampai pada perbatasan Irak. Dan baru pada akhir abad VI Hijriah, mazhab Hanbali terdengar beritanya di Mesir. Kemudian, dengan usaha gigih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayim, mazhab ini menjadi lebih berkembang lagi dan di abad 12 H dengan kesungguhan Muhammad ibn Abdil Wahhab Mazhab Hanbali menjadi mazhab penduduk Najed. Dan sekarang resmi di pemerintahan Saudi Arabia dan memiliki pengikut terbesar di Jazirah Arab, Palestina, Syria, Irak.[13]



Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka kita dapat mengetahui bahwasanya Ahmad Ibnu Hanbal merupakan seorang ilmuwan hukum yang relatif paling tektual dalam memahami al-Qur’an dan sunah. Akan kecintaan beliau kepada sunnah dan hadits Nabi, sehingga tidak heran bila ada suatu golongan yang menyebutnya sebagai ilmuwan hadits daripada ilmuwan fiqih. Sebagai pembela hadits Nabi yang sangat gigih dapat dilihat dari cara-cara yang digunakan dalam memutuskan hukum, yakni tidak menggunakan akal kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.
Fatwa-fatwa Ahmad bin hanbal didasarkan atas 5 hal :
ë Nash Al-Qur’an dan Hadits Marfu’
ë Fatwa para sahabat
ë Bila ada perselisihan diambil yang paling dekat dengan nash al-Qur’an atau hadits
ë Hadits Mursal dan hadits Dha’if
ë Qiyas


DAFTAR PUSTAKA
Khalil, K.H. Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta, 1983.
Asy-Syarqawi Abdurrahman, Kehidupan, Pemikiran dan Perjuangan Lima Imam Mazhab Terkemuka, Al-Bayan, Bandung, 1994.
Mushtofa Al-Maraghi Abdullah, Pakar-Pakar Fiqh Sepajang Sejarah, LKPSM, Yogyakarta, 2001.
Munawir Imam, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Prof. Dr. TM, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.


[1] Abdurrahman Asy-Syarqawi, 5 Imam Mazhab Terkemuka, al-Bayan, Bandung, 1994, hlm 148.
[2] Ibid, hlm. 140.
[3] Ibid, 142.
[4] K.H. Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hlm. 290.
[5] Abdurrahman asy-Syarqawi, Op. Cit, hlm. 153-154.
[6] Ibid.
[7] K.H. Munawar Khalil, Op.Cit, hlm. 265.
[8] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Pakar-Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, LKPSM, Yogyakarta, 2001, hlm. 105-106.
[9] Abdurrahman asy-Syarqawi, Op. Cit, hlm. 168-169.
[10] Imam Munawir, Mengenal pribadi 30 pendekar dan pemikiran Islam Dari masa Ke Masa, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985, hlm. 295-296.
[11] Abdullah Mustofa al-Maraghi, Op.Cit, hlm. 108.
[12] K.H. Munawar, Khalil, Op.Cit, hlm. 291.
[13] Prof. TM. Hasbi Ash-Shidiqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hlm. 148.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar