Al-Ghazali nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali dikenal dengan julukan Hujjatul Islam. Julukan ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya, serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan baik yang datang dari luar maupun dari dalam Islam sendiri.
Di masa remajanya beliau di Thus, beliau belajar fiqih dari Syaikh Ahmad ar-Razkani, kemudian meneruskan pelajarannya di Jurjan. Di sana beliau berguru pada Syaikh Imam Abu Nasir Ismail. Kemudian beliau kembali ke Thus. Selama tiga tahun beliau tinggal di Thus untuk merenung, berpikir dan menghafalkan semua pelajaran yang didapatnya dari Jurjan.
Kemudian beliau pergi ke Naisabur, disana beliau berguru kepada Imamul Haramain hingga beliau menguasai benar-benar baik fiqih asy-Syafi’i, mengetahui perbedaan pendapat, perdebatan, ushuluddin, ushul fiqih, ilmu mantiq, ilmu hikmah dan filsafat.
Dalam bidang tasawuf al-Ghazali membawa faham al-Ma’rifah. Namun faham al-ma’rifahnya ini berbeda dengan al-ma’rifah yang dibawa oleh Zunnun al-Misri, dan karena jasa al-Ghazali lah tasawuf dapat diterima dikalangan ahli syari’at.
Bagi al-Ghazali, ma’rifah ialah mengetahui rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya, mengenal segala yang ada. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan, atau ‘arif, tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah (يَا اللهُ) atau Ya Rabb (يَا رَبُّ), karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata seperti itu.
Ma’rifah bagi al-Ghazali juga mengandung arti memandang kepada wajah Tuhan. Namun bagi al-Ghazali ma’rifah itu lebih dahulu urutannya daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah, dan mahabbah baginya bukan mahabbah sebagai yang diucapkan Rabi’ah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, yaitu cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia, yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan lain-lain.
Menurut al-Ghazali bahwa ma’rifat dan mahabbah adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Dan kebahagiaan yang sejati menurutnya ditemukan melalui ma’rifah. Ma’rifah atau ilmu sejati bukan di dapat semata-mata melalui akal. Ma’rifah itu sebenarnya adalah mengenal Tuhan (Hadrat Rububiyah), dengan kesenangan hati hanya di dapat setelah diperoleh pengetahuan yang belum diketahui.
Al-Ghazali lebih lanjut berbicara tentang teori kebahagiaan menurutnya bahwa kebahagiaan itu ada 2 macam, yaitu lezat (kepuasan) dan sa’adah (kebahagiaan). Dengan bertambah banyak yang diketahui, bertambah pula kepuasan dan kebahagiaan, itulah sebabnya orang yang lebih luas ilmunya lebih merasa berbahagia daripada orang yang kurang ilmu.
Akhirnya ia kembali ke kampung asalnya Thus, maka didirikannya di samping rumahnya sebuah madrasah untuk ulama’ fiqih dan sebuah pondok untuk kaum sufi (ahli tasawuf) dibagikan waktunya antara membaca al-Qur’an, mengadakan pertemuan dengan kum sufi, memberi pelajaran kepada penuntut ilmu, mendirikan shalat dan lain-lain. Ibadah, cara hidup yang demikian diteruskannya sampai akhir hayatnya.
Di masa remajanya beliau di Thus, beliau belajar fiqih dari Syaikh Ahmad ar-Razkani, kemudian meneruskan pelajarannya di Jurjan. Di sana beliau berguru pada Syaikh Imam Abu Nasir Ismail. Kemudian beliau kembali ke Thus. Selama tiga tahun beliau tinggal di Thus untuk merenung, berpikir dan menghafalkan semua pelajaran yang didapatnya dari Jurjan.
Kemudian beliau pergi ke Naisabur, disana beliau berguru kepada Imamul Haramain hingga beliau menguasai benar-benar baik fiqih asy-Syafi’i, mengetahui perbedaan pendapat, perdebatan, ushuluddin, ushul fiqih, ilmu mantiq, ilmu hikmah dan filsafat.
Dalam bidang tasawuf al-Ghazali membawa faham al-Ma’rifah. Namun faham al-ma’rifahnya ini berbeda dengan al-ma’rifah yang dibawa oleh Zunnun al-Misri, dan karena jasa al-Ghazali lah tasawuf dapat diterima dikalangan ahli syari’at.
Bagi al-Ghazali, ma’rifah ialah mengetahui rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya, mengenal segala yang ada. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan, atau ‘arif, tidak akan mengatakan kata-kata Ya Allah (يَا اللهُ) atau Ya Rabb (يَا رَبُّ), karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa itu menunjukkan bahwa Tuhan masih berada dibelakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya dengan kata-kata seperti itu.
Ma’rifah bagi al-Ghazali juga mengandung arti memandang kepada wajah Tuhan. Namun bagi al-Ghazali ma’rifah itu lebih dahulu urutannya daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah, dan mahabbah baginya bukan mahabbah sebagai yang diucapkan Rabi’ah, tetapi mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, yaitu cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia, yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan dan lain-lain.
Menurut al-Ghazali bahwa ma’rifat dan mahabbah adalah setinggi-tingginya tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat menurutnya lebih bermutu dan lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Dan kebahagiaan yang sejati menurutnya ditemukan melalui ma’rifah. Ma’rifah atau ilmu sejati bukan di dapat semata-mata melalui akal. Ma’rifah itu sebenarnya adalah mengenal Tuhan (Hadrat Rububiyah), dengan kesenangan hati hanya di dapat setelah diperoleh pengetahuan yang belum diketahui.
Al-Ghazali lebih lanjut berbicara tentang teori kebahagiaan menurutnya bahwa kebahagiaan itu ada 2 macam, yaitu lezat (kepuasan) dan sa’adah (kebahagiaan). Dengan bertambah banyak yang diketahui, bertambah pula kepuasan dan kebahagiaan, itulah sebabnya orang yang lebih luas ilmunya lebih merasa berbahagia daripada orang yang kurang ilmu.
Akhirnya ia kembali ke kampung asalnya Thus, maka didirikannya di samping rumahnya sebuah madrasah untuk ulama’ fiqih dan sebuah pondok untuk kaum sufi (ahli tasawuf) dibagikan waktunya antara membaca al-Qur’an, mengadakan pertemuan dengan kum sufi, memberi pelajaran kepada penuntut ilmu, mendirikan shalat dan lain-lain. Ibadah, cara hidup yang demikian diteruskannya sampai akhir hayatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Abuddin Nata, MA., Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta : Rajawali Press, 1993.
Dr. Abdul Halim Mahmoud, Hal Ihwal Tasawuf, (Indonesia : Daarul Ihya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar