Jumat, 16 Maret 2012

Etika Emansipatoris / Komunikatif Jurgen Habermas

1. Habermas dan Pembaruan Teori Kritis melalui Paradigma Komunikasi dan Bahasa

Jauh sebelum menggabungkan diri di dalam Institut, Habermas telah membaca karya-karya Hokheimer dan Adorno di tahun 30-an, antara lain Traditionelle und Kritische Theorie, tetapi juga karya mereka yang diterbitkan setelah perang, Dialektik der Aufklarung. Buku-buku tersebut sangat mempengaruhi gaya dan alur pemikiran-pemikiran Habermas selanjutnya. Dialektik merupakan kritikan terhadap pemikiran positivisme yang (menurut Marcus, 1964) dinyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang setelah penemuan metode empiris-eksperimental sebagaimana dituntut oleh positivisme, telah berubah menjadi ideologi dan menimbulkan model berpikir satu dimensi (Suseno, 2005: 148).

Melalui penelusuran dan analisis terhadap pemikiran modern (pencerahan) itu, mereka menyimpulkan bahwa pencerahan telah menghasilkan “rasionalitas bertujuan” (Zweckrasionalitat) yang ujung-ujungnya menimbulkan bentuk positivisme, saintisme serta teknokratisme. Buku Dialektik tidak hanya memikat hatinya, melainkan juga menggugah minatnya untuk memperdalam permasalahan pokok yang dibahas di dalamnya, yaitu masalah rasionalitas dan pencerahan, yang oleh Adorno dan Horkheimer dihadapi secara pesimistis. 

Hal ini dinyatakan sendiri oleh Habermas, yang oleh Bertens dinyatakan: “Buku itu (Dialektik) membuat saya berani untuk membaca Marx secara sistematis dan tidak hanya secara historis. Teori Kritik Madzhab Frankfrut- tak ada tandingannya waktu itu. Membaca Adorno membuat saya berani membahas secara sistematis apa yang secara historis dipaparkan oleh Lukacs dan Korsch: Teori reifikasi sebagai teori rasionalisasi menurut Weber. Sudah sejak saat itu, masalah saya adalah teori tentang modernitas, suatu teori mengenai patologi modernitas dari sudut pandang realisasi-realisasi yang bercatat –dari rasio dalam sejarah”. 

Dialektik der Aufklarung, bertendensi pada keinginan untuk mencerahkan, memberikan cahaya dan pengertian, atau ingin membebaskan manusia dari prasangka, kepercayaan-kepercayaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, takhayul, penipuan dan kebohongan, yang berujung menjadi jembatan keprihatinan antara Habermas dan para pendahulunya dalam menyusun Teori Kritisnya. 

Seperti kita ketahui, para pendahulunya memandang pencerahan telah membuahkan Zweckrationalitat (Rasionalitas Tujuan), sumber dari berbagai bentuk saintisme, positivisme, teknokratisme dan barbarisme gaya baru. Pandangan mereka mengenai rasionalitas modern itu tak lain merupakan radikalisasi teori rasionalisasi Max Weber dan dapat dipandang sebagai teori rasionalisasi versi Teori Kritis setelah banyak mendapat inspirasi dari Lukacs, seperti yang kita ketahui dari kritik-kritik mereka, teori rasionalisasi tidak hanya menyangkut analisis atas berbagai macam bentuk rasionalitas dalam sejarah, melainkan juga perwujudan rasionalitas itu dalam berbagai bentuk kehidupan politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Habermas juga meminati masalah rasionalisasi ini sebagai masalah kemanusiaan pada umumnya. Keprihatinannya terhadap masalah ini mendorongnya untuk memikirkan kembali permasalahan rasionalitas dan proses rasionalisasi itu dengan membuat analisis baik atas rasio manusia maupun perwujudannya di dalam praxis hidup sosial (Santoso, 2003: 221). 

Satu hal yang membedakannya dari para pendahulunya menghadapi rasionalisasi adalah sikapnya terhadap masalah ini. Jika para pendahulunya menghadapi rasionalisasi secara pesimistis sebagai jalan tunggal menuju perbudakan gaya baru, Habermas menemukan aspek-aspek positif dari proses itu sehingga dalam arti tertentu masih ada harapan real yang dapat ditempatkan dalam konteks rasionalisasi. Meskipun demikian, tidak seperti Adorno dan Horkheimer, Habermas menolak teori Marx sebagai teori (Suseno, 1992: 211), seperti juga pesimisme kultural yang ada pada generasi pertama dari Madzhab ini. Habermas yakin bahwa generasi pertama Madzhab ini keliru saat mengacaukan “rasionalitas sistem” dengan “rasionalitas aksi”. Memang Habermas sangat menekankan signifikansi rasionalitas dalam pemikiran filsafatnya. Hal ini menjadi sumbangannya yang paling berharga bagi perkembangan teori sosial kontemporer. Ia disebut-sebut sebagai teoritikus sosial anggota Madzhab Frankfurt paling representative. Habermas merupakan generasi terkini dari para pengikut Madzhab ini (Suseno, 2005”: 148-50).

Sama seperti para pendahulunya, Habermas hendak membangun sebuah “teori dengan maksud praksis”, maka dalam banyak hal Habermas tidak dapat meninggalkan teori warisan dari Madzhab Frankfrut pendahulunya. Di sini Habermas menghadapi masalah positivisme dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan aplikasinya sebagai teknologi sosial. Jika para pendahulunya menolak sama sekali pemikiran modern tersebut, Habermas melihat segi-segi positifnya. Unsur-unsur modernitas, seperti teknologi, ilmu-ilmu empiris dan positivisme sendiri sebagai cara berpikir, merupakan faktor yang penting bagi salah satu dimensi dari praksis hidup manusia, yaitu kerja. Dengan jalan itu manusia berhasil membebaskan diri dari alam eksternalnya. Meskipun Habermas menerima cara berpikir positivistis dan teknologi dalam konteks kerja, ia bersikap tegas terhadapnya apabila diterapkan dalam konteks interaksi sosial dan di sini seperti para pendahulunya, ia mengecam positivisme sebagai “ideologis” dan saintisme karena positivisme mengklaim diri sebagai pengetahuan sejati yang meliputi segala bidang, termasuk kehidupan sosial manusia.

Bidang-bidang yang menjadi pusat pengolahan Teori Kritisnya tidak terbatas hanya pada psikologi sosial ataupun ilmu-ilmu sosial seperti para pendahulunya. Pemahamannya mengenai praksis, memungkinkannya untuk menyentuh wilayah-wilayah pengetahuan yang sebelumnya tidak disinggung oleh para pendahulunya. Tentang luasnya kemungkinannya mempelajari bidang-bidang itu, B. Thompson memujinya, “Sebagai pemikir sosial terkemuka di Jerman dewasa ini, Habermas mengolah orientasi teoritis yang relevan bagi wilayah disiplin-disiplin yang luas, dari politik dan sosiologi ke filsafat, psikologi dan linguistik. Karyanya menyatakan pemahaman yang menakjubkan atas berbagai tradisi intelektual dan kaya akan gagasan-gagasan orisinil. Habermas menonjol sebagai pemikir dengan bidang dan pandangan yang luas sekali”. 

Habermas juga tidak menutup mata terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial dewasa ini meskipun teori-teori itu berkembang dari tradisi pemikiran yang bagi intelektual Marxis kerap dicap sebagai “Ilmu-Ilmu Borjuis”. Misalnya, dengan minat yang cukup besar sebelum melontarkan kritiknya, ia mencoba menelaah teori fungsionalisme struktural dan teori sistem Parsons. Perkembangan metodologi lainnya juga tidak ia lewatkan, misalnya, diikutinya perkembangan dalam lapangan etnometodologi dan berbagai ilmu sosial fenomenologis dan hermeneutis. Dalam beberapa kesempatan ia terlibat dalam diskusi hangat dengan beberapa filsuf lain, antara lain dengan Gadamer.

Akhirnya melalui pengetahuan ensiklopedisnya, Habermas mengerjakan suatu Teori Komunikasi Masyarakat sebagai jalan baru bagi Teori Kritis. Pihak-pihak kiri yang memegang teguh “jalan konfliknya” pernah menuduhnya sebagai seorang Marxis yang “sesat” dan “bekerja” demi ilmu-ilmu borjuis. Tuduhan seperti ini dapat dipahami karena Habermas memberi tempat sentral bagi consensus di dalam kritik ideologinya. Dari sudut generasi pertama, Teori Komunikasi itu justru menjadi alasan yang selayaknya untuk menempatkan Habermas sebagai pembaru. Bersama para sahabatnya (Clauss Offe, Alberch Wellmer, Klaus Eder, dan Rainer Dobert), pada tempatnyalah Habermas dipandang sebagai Generasi Baru Teori Kritis atau Generasi Kedua Teori Kritis.

Menurut Budi Hardiman, tampilnya Fasisme dan Stalinisme adalah fenomena yang diacu oleh Madzhab Frankfurt sebagai kristalisasi ideologi yang menindas. Namun pada perkembangan selanjutnya, Habermas juga melakukan kritik pada kapitalisme lanjut dan negara kesejahteraan, yang ternyata hanya berdiri di atas satu kaki, yaitu paradigma kerja, penguasaan alam dan produksi semata (Hardiman, 1993: xvii). 

Pada dasarnya, Habermas masih tetap mempertahankan cita-cita Teori Kritis Horkheimer dan Adorno: Mengembangkan sebuah teori masyarakat yang kritis. Ia hendak memperbarui program Teori Kritis Klasik. Untuk itu dia melakukan dua hal: Pertama, ia mempertanyakan pengandaian-pengandaian teoretis yang menyebabkan Teori Kitis akhirnya macet total. Kedua, melawan prasangka Horkheimer dan Adorno terhadap ilmu analitis modern (yang mereka anggap “positivistik”), Habermas mempergunakan semua metode ilmiah analitis; teori kritis tentang masyarakat mau dibukanya bagi program penelitian empiris (Suseno, 2005: 162). 

Pemikiran-pemikirannya sangat terlihat mengerucut pada keinginannya untuk menempatkan modernitas sebagai realitas empiris yang harusnya dapat memberdayakan kehidupan masyarakat, dan bukan sebaliknya. Untuk mencapai tujuannya membentuk masyarakat yang merdeka, independent, dan bebas dalam menentukan tujuan hidupnya sendiri, masyarakat harus melakukan komunikasi-komunikasi baik verbal maupun non-verbal (communication action) agar dicapai apa yang sebenarnya disebut kesadaran kolektif, yaitu dalam bentuk kesepakatan atau konsensus. Habermas tidak lagi mengikatkan diri pada sosialisme melainkan pada rasio publik yakni pemahaman publik tentang pentingnya membangun masyarakat yang emansipatoris. Maka di sinilah harus ada ruang publik (public spare) yang bebas bagi semua pihak untuk berkomunikasi dengan baik untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya, sehingga dengan demikian masyarakat tersadar bahwa sebenarnya mereka hidup di atas dunia yang penuh kepalsuan dengan menerima segala bentuk situasi sebagai keadaan yang tidak bisa diubah, padahal jika masyarakat menyadarinya maka dengan sendirinya masyarakat akan menjadi entitas yang bebas untuk memperjuangkan emansipasinya sendiri seperti yang diinginkannya serta tidak terjebak dalam kepura-puraan modernisasi yang hanya berpihak pada satu sisi ansich.

2. Alasan Habermas Memilih Komunikasi 

Konsep ilmu pengetahuan dan kepentingan adalah konsep sentral yang dikemukakan Habermas dalam melakukan kritikan terhadap paradigma positivisme, akibat klaim teori positivisme yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai, seperti halnya yang terjadi pada ilmu-ilmu alam. Para pendukung positivisme menganggap bahwa ilmu-ilmu sosial bersifat kontemplatif dan affirmatif, oleh karena itu metode yang dipakai ilmu-ilmu alam tidak berbeda dan dapat diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Artinya jika ilmu-ilmu sosial ingin diterima sebagai ilmu pengetahuan harus dapat menghasilkan hukum-hukum umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti didalam ilmu-ilmu alam. 

Bagi positivisme sebuah riset sosial harus menghasilkan deskripsi dan penjelasan-penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan tidak memberikan penilaian apapun. Seorang ilmuwan dan peneliti harus mampu meninggalkan rasa perasaannya, harapan-harapannya, keinginan-keinginannya dan penilaian-penilaian moralnya atau singkatnya segala kepentingannya itu untuk mendekati objek penelitian sosialnya sehingga diperoleh “pengetahuan Objektif” tentang kenyataan sosial atau fakta social (Suseno, 2005: 153). 

Hokhiemer dan Adorno telah mengembangkan pendekatan kritis dan materialistik itu menjadi kritik menyeluruh terhadap masyarakat industri Barat, semakin maju masyarakat industri modern menjadi masyarakat konsumsi berlimpah serta berhasil melarutkan pertentangan-pertentangan antar kelas sosial mengakibatkan masyarakat itu semakin bersifat total. Hal ini dalam pandangan teori kritis masyarakat sebagai akibat dari dominasi prinsip dasar kapitalisme yaitu prinsip tukar. Akan tetapi kekuasaan halus prinsip tukar itu juga semakin total sehingga setiap usaha-usaha untuk pembebasannya pun justru semakin memperkuatnya. Akibatnya Horkheimer dan Adorno bersikap semakin pesimistis. Berbeda dengan gaya berfilsafat Habermas yang tidak mengikuti gaya berfilsafat kedua gurunya yang pesimistis itu, Habermas tidak pesimistis, ia tidak mencurigai teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Sebaliknya Habermas menganggap teknologi dan ilmu pengetahuan sebagai “aktor produktif terpenting” dalam bagian kedua abad ke-20, dan untuk mengembangkan serta memantapkan teori kritis masyarakat secara teoritis justru memakai teori-teori ilmu pengetahuan yang paling canggih. 

Refleksinya atas salah satu unsur terpenting teori kritis masyarakat klasik ialah hubungan antara perumusan teori dengan kepentingan ideologis yang berhasil membawa Habermas untuk membedakan antara ilmu-ilmu empiris di satu pihak dengan ilmu-ilmu historis hermeneutis di lain pihak. Menurutnya distorsi ideologis terjadi apabila kepentingan yang memberikan arah dasar kepada ilmu-ilmu empiris analitis yaitu kepentingan akan penguasaan alam, melimpah ke dalam wilayah ilmu-ilmu historis hermeneutis. 

Ilmu-ilmu historis hermeneutis sebenarnya didasari kepentingan akan komunikasi yang berhasil dan bukan penguasaan alam. Penemuan ini membawa keuntungan yang amat penting bagi Habermas, karena dengan temuan itu ia mampu membuktikan dimana letak kekurangan fundamental dalam perspektif dasar Karl Marx. 

Pandangan Karl Marx tentang komunikasi antara manusia harus dipahami menurut model pekerjaan atau hubungan produksi, oleh karenanya Habermas berhasil menyumbangkan salah satu kritik fundamental pada pemikiran Karl Marx sekaligus keluar dari lingkaran pesimisme teori kritis masyarakat klasik. Sebab dalam pandangan Habermas setiap komunikasi menuntut kebebasan, maka di dalam kepentingan akan keberhasilan komunikasi ada kepentingan yang lebih fundamental lagi yaitu kepentingan-kepentingan dasar manusia akan emansipasi menyatakan diri (Suseno, 2005: 196). 

Oleh karena itu pendekatan monokausal sebagaimana diyakini oleh Karl Marx bahwa masyarakat yang sungguh-sungguh manusia adalah dapat dihasilkan dengan mengubah hubungan produksi menjadi gugur dan tidak dapat dipertahankan lagi. Begitu pula kekuasaan ideologis prinsip tukar atas masyarakat industri kapitalis tua yang membuat Hokheimer dan Adorno begitu pesimistis menjadi terkuak totalitasnya, maka dengan demikian pemikiran Habermas menjadi begitu multi dimensional, meskipun pendekatannya kritis dan materialistik, dan sekalipun ia masih berbicara tentang materialisme historis, akan tetapi dalam kenyataannya ia telah meninggalkan kubu pemikiran Marxisme. Orang-orang yang mengikuti perkembangan ilmu-ilmu sosial di Barat tidaklah terkejut jika mendengar bahwa secara intelektual, Marxisme dalam bentuk ortodoksnya sudah lebih dari setengah abad silam ditanggapi dengan sikap kritis. 

3. Pemikiran Etika Komunikatif/Emansipatoris Jurgen Habermas

Jurgen Habermas dengan Teori Kritisnya menawarkan pemahaman baru yang dikembangkan lewat masyarakat kritis emansipatoris, maka paradigma yang dipakai bukan paradigma kerja melainkan paradigma komunikasi. Dalam hal ini dia membedakan antara pekerjaan dan komunikasi. Dua-duanya tidak sama dan tidak dapat dikembalikan yang satu pada yang satunya. Pekerjaan adalah tindakan instrumental, jadi tindakan yang merupakan sarana untuk mencapai hasil tertentu, sedangkan tujuan komunikasi adalah saling pengertian. Teori Kritis yang mengikuti Marx yang menganggap pekerjaan sebagai tindakan utama manusia maka mereka tidak dapat menghindari kemacetannya. Kemajuan dalam dimensi rasionalitas pekerjaan yaitu rasionalitas sasaran, tidak dapat menunjukkan jalan keluar dari irasionalitas kehidupan karena kehidupan ditentukan oleh komunikasi dan bukan oleh pekerjaan. Karena itu, Teori Kritis hanya dapat memahami jalan buntu kemajuan yang semata-mata teknologis, tetapi tidak dapat menunjukkan cara bagaimana manusia membebeaskan diri dari dilema itu (Suseno, 2005: 162-63). 

Etika emansipatoris sangat terkait dengan aksi komunikasi yaitu sebuah bentuk interaksi yang tingkat keberhasilannya tergantung kepada ke dua belah pihak yang berinteraksi dalam mencapai persetujuan/kesepakatan dan saling pengertian, atau hubungan antara subyek dengan subyek (dialogis) dan bukan hubungan rasionalitas sasaran (monologis). Komunikasi dialogis ini masing-masing pihak berperan aktif, dimana semua pihak mengambil alih peran orang lain sehingga terjadi apa yang disebut mead “ideal role-taking”. Pada komunikasi dialogis ini saling pengertian dapat tercapai, sehingga Habermas menamakannya Rasionalitas Komunikatif. Teori aksi komunikasi Habermas terbagi menjadi speech-act philosophy filsafat seni pembicaraan, sosiolinguistik, dan khususnya dari ide keterlibatan percakapan (the idea of conversational implicature). Maka dari itu, yang pertama perlu dibuktikan oleh Habermas adalah bahwa struktur bahasa mengandung rasionalitas (Mundigkeit, harfiah kedewasaan, kemandirian). Dengan kata lain, Habermas mencoba mengembangkan sebuah teori kompetensi komunikatif. Ia meneliti kemampuan apa yang termuat dalam kemampuan (kompetensi) untuk berbicara. Teori ini juga disebutnya pragmatika universal (dari kata Yunani pragma, tindakan) karena bicara merupakan tindakan, dan “universal” karena yang diteliti adalah apa yang tersangkut dalam segenap pembicaraan (Suseno, 2005: 164).

Bertolak dari distingsi dasar antara tindakan instrumental dan komunikatif, Habermas secara lebih terperinci membedakan: (1) antara tindakan rasional-sasaran (kemudian juga disebut tindakan teleologis), di satu pihak, dan tindakan komunikatif, di pihak lain. Yang pertama mengenai dunia obyek; sasarannya adalah hasil obyektif yang diinginkan (orientasi pada hasil). Tindakan instrumental dibagi lagi ke dalam tindakan instrumental atau pekerjaan yang menghasilkan perubahan dalam dunia luar dan tindakan strategik yang bertujuan untuk mencapai hasil-hasil tertentu pada manusia, artinya di mana hasil tindakanku harus memperhitungkan sikap yang diambil orang lain (Suseno, 2005: 164).

Tindakan komunikatif dibagi dua: komunikasi (omong-omong lewat pagar) dan diskursus. Komunikasi dapat dianggap omongan spontan, berdasarkan kepercayaan dan pengandaian-pengandaian nonverbal yang biasa dalam lingkungan sosial itu, sedangkan diskursus bertujuan untuk menjelaskan norma-norma omongan spontan yang dipertanyakan. Ada tiga macam komunikasi murni, yaitu omong-omong atau percakapan (coversation), pernyataan yang mana kita bertindak menurut norma-norma dan dramaturgik (berbicara tentang diri kita sendiri) (Suseno, 2005: 164).

Menurut Habermas, sebagaimana dikutip Magnis-Suseno (2005: 165), tindakan menurut norma itu dibagi lagi menjadi tiga macam pernyataan yang masing-masing dikembangkan dalam sebuah subsistem yang dalam masyarakat modern menjadi sistem sosial yang mandiri, yaitu:

  1. Pernyataan faktual-teoretis, yaitu pernyataan tentang fakta bersifat kognitif-instrumental dan harus benar; dikembangkan dalam subsistem ilmu-ilmu;
  2. Pernyataan moralis-praktis tentang apa yang harus dilakukan; pernyataan itu harus betul dan dikembangkan dalam bidang moralitas dan etika;

Pernyataan estetik-ekspresif tentang keindahan yang harus autentik dan dikembangkan menjadi subsistem seni (pernyataan ketiga ini oleh Habermas baru diberi perhatian agak lebih kemudian). 



Untuk lebih jelasnya lihat skema berikut ini:


Skema Pertama

(A) Tindakan Instrumental: Perbuatan terhadap alam luar (pekerjaan)
(B)Tindakan Sosial : Interaksi antarmanusia (melalui tindakan simbolis, verbal dan nonverbal)
B.1. Tindakan Strategis: Manipulasi orang lain untuk mencapai sasaran tertentu
B.2. Tindakan Komunikatif: Untuk mencapai saling pengertian


Skema Kedua

1. Tindakan Rasional-Sasaran (Teleologis): Berorientasi pada hasil atau sasaran tertentu:
1.1.Tindakan Instrumental : Manipulasi alam luar (pekerjaan)
1.2.Tindakan Strategis : Manipulasi orang lain.
2. Tindakan Komunikatif: Untuk mencapai saling pengertian; semua bentuknya harus memenuhi empat tuntutan: harus jelas, benar, tepat, dan jujur, namun dengan tekanan berbeda.
2.1.Komunikasi Spontan (“omongan lintas pagar kebun”)
2.1.1. Omong-omong: tuntutan atau klaim utama: harus jelas.
2.1.2. Pernyataan (eksplisit):
2.1. Pernyataan teoretis: harus benar; subsistem yang bersangkutan: ilmu-ilmu.
2.2. Pernyataan moral-praktis: harus betul/tepat; subsistem yang bersangkutan: moralitas/etika.
2.3. Pernyataan estetik-ekspresif: harus autentik, subsistem yang bersangkutan: kesenian.
2.1.3. Tindakan dramaturgis: harus jujur.
2.2. Diskursus; pengandaian konterfaktual: situasi wacana ideal.


Perbedaan antara dua skema hanyalah bahwa yang pertama membuat pembagian utama antara tindakan terhadap alam (pekerjaan) dan terhadap manusia (interaksi), sedangkan yang kedua yang lebih terperinci – itulah yang pada umumnya dipakai Habermas- pembagian utama adalah antara tindakan dengan rasionalitas sasaran dan tindakan dengan rasionalitas komunikatif, maka dari skema di atas yang perlu diperhatikan adalah tindakan yang paling fundamental adalah komunikasi, kemudian memperhatikan apa yang terjadi apabila manusia berkomunikasi, dan siapa yang membuat pernyataan atau janji itu.

Menurut Habermas, dalam memahami dan memperhatikan apa yang terjadi apabila manusia berkomunikasi adalah sama artinya dengan memahami interaksi antar manusia yang dapat dimediasikan secara simbolis lewat bahasa dan gesture tubuh yang ekspresif (mengandung makna), sedangkan hakekat bahasa adalah komunikasi, dan komunikasi hanya mungkin dilakukan dalam keadaan saling bebas, karena tujuan komunikasi adalah menjalin saling pengertian, oleh karena itu rasionalitas dalam bahasa harus menjadi pusat perhatian (Suseno, 2005: 167).

Menurut Habermas, seperti dikutip Magnis-Suseno (2005: 167), komunikasi dalam bahasa akan berhasil jika memenuhi empat norma atau klaim yaitu:
1. Jelas, artinya orang dapat mengungkapkan dengan tepat apa yang dimaksud.
2. Ia harus benar, artinya mengungkapkan apa yang mau diungkapkan.
3. Ia harus jujur, jadi tidak boleh bohong.
4. Ia harus betul, sesuai dengan norma-norma yang diandaikan bersama.
Guna mencapai saling pengertian dalam komunikasi syarat yang harus dipenuhi adalah: inevitably, yakni keinginan untuk melakukan pembicaraan bersama, dan adanya saling ketertarikan dalam melakukan komunikasi itu, sehingga persetujuan/pengertian itu dapat mencapai hasil maksimal. 


4. Epistemologi Rasional(isasi) sebagai Penggerak Evolusi Sosial menuju Masyarakat Emansipatoris 


Menurut Habermas, perkembangan masyarakat merupakan akibat proses-proses belajar dalam dua dimensi: Dalam dimensi kognitif-teknis, dan dalam dimensi moral-komunikatif (Suseno, 2005: 170). Rasionalitas individu selalu tertanam dalam rasionalitas masyarakat. Maka pertanayannya adalah: bagaimana sebuah masyarakat mencapai tingkat rasionalitasnya? Sebuah masyarakat disebut bertindak secara rasional apabila mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dengan cara yang bagi semua yang bersangkitan memuaskan. Sebuah pemecahan masalah disebut memuaskan apabila menghasilkan kesejahteraan semaksimal mungkin, mengurangi penderitaan dan pengorbanan dalam masyarakat sedapat-dapatnya, itupun secara damai, dengan tingkat kekerasan seminim mungkin.

Habermas menilai rasionalitas -yakni kemampuan berpikir logis dan analitis- lebih dari sekadar kalkulasi strategis bagaimana mencapai beberapa tujuan yang telah dipilih. Alih-alih, rasionalitas merupakan sebentuk “tindakan komunikatif” yang diorientasikan untuk mencapai kesepakatan atau konsensus dengan orang lain. Jadi, menurut Habermas, adalah suatu hal yang sangat penting bahwa dalam menggunakan bahasa berarti kita berpartisipasi di dalam apa yang menurut Habermas disebut “Situasi Pembicaraan yang Ideal” atau “Komunikasi Dialogis-Emansipatoris Bebas Kekuasaan”. Dalam situasi seperti ini masyarakat akan mampu menghindari penggunaan klaim-klaim politik dan moral dan mendasarkan diri semata pada rasionalitas (Bertens, 2002: 249).

Menurut Bertens, Habermas mengukur rasionalitas itu dengan mengajukan kriteria tentang pandangan dunia terhadap dinamika sebuah masyarakat dan menjelaskan proses-proses belajar mana yang mengembangkannya. Jika Karl Marx menemukan adanya hubungan lurus antara perkembangan alat-alat produksi, terhadap masyarakat, namun bagi Habermas tak ada garis lurus antara perkembangan teknologi dengan pemahaman diri masyarakat, melainkan sebaliknya, yaitu perkembangan alat-alat produksi itu datang belakangan (Bertens, 2002: 250), sedangkan menurut Habermas, yang menentukan kemajuan sebuah masyarakat bukan kemajuan dalam rasionalitas intrumental-teknis (rasionalitas dalam bidang teknologi, organisasi, strategi-strategi perkembangan dan keterampilan teknis masyarakat), melainkan dalam rasionalitas komunikatif, jadi dalam memecahkan konflik, dalam gambaran-gambaran dunia dan dalam “formasi-formasi identitas sosial”, jadi dalam bagaimana integrasi sosial masyarakat terkait dengan individuasi anggot-anggotanya (Suseno, 2005: 171).

Habermas kemudian mengalihkan teori tindakan komunikatifnya pada domain politik dan hukum. Ia membela “demokrasi deliberatif”, dimana suatu hukum dan institusi pemerintah akan lebih menjadi sebuah refleksi dari diskusi publik terbuka dan bebas. Habermas mengasumsikan bahwa banyak kepercayaan Barat, misalnya, legitimasi hak milik pribadi, mau tidak mau harus direvisi jika mereka terus-menerus mempersoalkan diskusi yang tidak dipaksakan dan tidak dibatasi oleh persamaan dan kebebasan manusia. Dalam demokrasi, Habermas mengandaikan bahwa setiap orang, baik laki-laki dan perempuan, akan semakin menyadari perwujudan kepentingan mereka yang harus disertai dengan otonomi (self-governance) dan tanggung jawab, dan mereka hanya akan bersedia menyepakati sesuatu hanya jika argumen-argumennya bisa dinalar secara lebih baik.

5. Pandangan Habermas atas Agama 

Mendieta yang menulis buku Religion and Rationality Essays on Reason, God and Modernity, dalam subab bab Athens or Jerusalem (2002: 25) mengungkapkan bahwa Habermas berargumen ada satu kemiripan tajam antara tipe-tipe tertentu dalam tradisi budaya Yahudi dengan idealisme Jerman, yang akarnya seringkali dipandang berasal dari Pietisme Protestan.

Suatu kemiripan penting, yang krusial khususnya bagi pemahaman Teori Kritis, adalah ide Cabalistic lama bahwa tuturan, ketimbang gambar, adalah satu-satunya cara untuk mendekati Tuhan. Jarak antara agama bahasa Ibrani, bahasa sakral, dan tuturan profane dalam Kitab Pelarian (satu kitab dalam perjanjian lama) berimbas kepada orang Yahudi yang tidak percaya kepada dunia wacana terkini. Hal ini karena sejalan dengan kritik idealis terhadap realitas empiris, yang mencapai puncaknya pada dialektika Hegelian. Meskipun orang tidak dapat membuat batas tegas antara para pendahulu Yahudi di Madzhab Frankfurt dengan teori dialektikanya (Mendieta, 2002: 129).

Lebih dari itu, Habermas juga mengatakan, bahwa globalisasi terjadi karena adanya kepentingan pasar antar industri trans-nasional, tetapi meskipun keadaan ini mampu membuat infrastruktur baru secara sosial kepada masyarakat, kemampuan negara dalam memberikan kesadaran baru masyarakat itu sangat minim, di sinilah agama memegang peranan penting sebagai peacemaker secara mental. 

PENUTUP

Pemikiran Habermas berakar pada idealisme Jerman dan merupakan filsuf generasi kedua Madzhab Frankfurt yang meneruskan tradisi berfikir kritis untuk praktis emansipatoris. Habermas berbeda dengan Marx yang memandang interaksi sosial dengan paradigma kerja, sementara Habermas memandangnya dengan paradigma komunikasi. Dia juga berbeda dengan para pendahulunya di Madzhab Frankfurt seperto Horkheimer dan Adorno yang pesimistis terhadap modernitas dan teknologi. Bagi Habermas, modernitas dan teknologi memang perlu dikritik tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk emanspasi masyarakat.

Etika emansipasi/komunikasi Habermas menjadikan konsensus dua pihak yang berkomunikasi dalam interaksi sosial menjadi kunci bagi terwujudnya masyarakat yang bebas dan merdeka. Dalam kaitan itulah komunikasi harus jelas, jujur, benar dan betul, dan karena itu, rasionalitas masyarakat sangat terkait dengan keberhasilannya dalam memecahkan masalah atau konflik yang dihadapinya dengan memuaskan pihak-pihak yang terlibat. Hal ini menemukan momentumnya dalam konteks lokalitas Jerman yang setelah perang.

Pemikiran Habermas tidak memberikan panduan untuk perubahan yang bisa menjadi ideologi pergerakan. Hal itu karena dia tidak sepakat jika pemikirannya menjadi ideologi atau ajaran karena itu hal itu bertentangan dengan semangat kritik yang dipegangnya.


Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama