Jumat, 16 Maret 2012

Biografi Jurgen Habermas

Jurgen Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf Jerman. Pengalaman pahitnya sewaktu remaja yang ditandai dengan dua peristiwa besar Perang Dunia II dan hidup di bawah tekanan rezim nasional-sosialis Adolf Hitler, mengantarkannya untuk mengintrodusisasi pentingnya demokrasi dalam pemikiran politiknya (Santoso, 2003: 219).
Awal pendidikannya dimulai dengan mempelajari filsafat di Universitas Gottingen dan Bonn dan mulai bergabung ke dalam Institute Fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah Institut itu didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno. Waktu itu ia berusia 27 tahun dan mengawali karier akademisnya sebagai asisten Theodor Adorno (seorang filsuf Jerman terkemuka di Institute for Social Research) antara tahun 1958-1959. Gelar Ph.D, didapatkannya setelah berhasil menyelesaikan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul Das Absolut und die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah) yang kemudian diterbitkan menjadi buku pada tahun 1954 dan berisi tentang pertentangan antara yang Mutlak dan Sejarah dalam pemikiran Schelling (Santoso, 2003: 219). 
Habermas melibatkan diri dalam kesibukan-kesibukan Institut, ia mempersiapkan sebuah Habilitationsschrift yang berjudul Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan dalam Struktur Pendapat Umum, 1962), dan menjadi salah satu karya yang termasyhur diantara karya-karya awalnya sebagai anggota Institut. Habilitation itu dilaksanakan di Mainz pada tahun 1961, sementara pada tahun itu juga memberikan kuliah di Universitas Heidelberg sampai pada tahun 1964, dan setelah mengakhiri tugas mengajarnya, ia kembali ke Universitas Frankfurt dan menggantikan kedudukan Horkheimer dalam mengajar sosiologi dan filsafat (Santoso, 2003: 220).
  Satu hal yang penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir Marxis adalah peranannya di kalangan mahasiswa Frankfrut, seperti halnya Adorno dan Hokheimer, Habermas melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman (new left), meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis. Ia terutama menjadi popular di kalangan kelompok yang menamakan dirinya Sozialistischer Deutsche Studentenbund (Kelompok Mahasiwa Sosialis Jerman). Habermas mendapat reputasi sebagai pemikir baru yang diharapkan dapat melanjutkan tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse, namun sejak tahun 1970-an, hubungan baiknya dengan gerakan ini mengendur sejak gerakan ini mulai melancarkan aksi-aksi dengan cara kekerasan yang tidak dapat ditolerir, seperti para pendahulunya. Hebermas juga melontarkan kritikannya kepada gerakan-gerakan itu, ia mengecamnya sebagai gerakan “Revolusi Palsu”, “bentuk-bentuk pemerasan yang diulangi kembali”, “Picik” dan kontraproduktif (Santoso, 2003: 221). 
Konfontrasi itu agaknya membuka tahapan baru dalam posisi Habermas sebagai pemikir neo-Marxis. Pada tahun 1970 ia mengajukan pengunduran diri dari Frankfrut dan bergabung pada Institut lain, yaitu Max Planck Institute zur Erfoschung der Lebensbedingungen Wissenshaftlich-technischen Welt (Institut Max Planck untuk Penelitian Kondisi-Kondisi Hidup dari Dunia Teknis-Ilmiah) di Starnberg bersama dengan C.F.Von Weizsacker, bahkan Habermas pada tahun 1972 sempat menjabat sebagai direkturnya dan diangkat sebagai profesor filsafat dan pensiun tahun 1994. Ia juga memiliki keleluasaan untuk mengembangkan dasar-dasar teori kritisnya yang berbeda dengan gaya, isi dan jalan dari pendahu-pendahulunya, seperti Adorno, Hokheimer dan Marcuse dan juga sangat berbeda warna dengan pemikir Marxis pada umumnya (Santoso, 2003: 221).

Hal itu nampak dari karya-karya terpenting Habermas, seperti:
  1. The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1962) diterjemahkan oleh Thomas Burger bersama dengan Frederick Lawrence, Cambridge, Polity Press, 1989;
  2. Theorie und Praxis / Theory and Practice (1963), diterjemahkan oleh John Viertel, Boston, Beacon Press, 1973; 
  3. Erkenntnis und Interesse / Knowledge and Human Interest, (1968), diterjemahkan oleh Jeremy J. Shapiro, Boston, Beacon Press, 1971; 
  4. Toward a Rational Society : Student Protest, Science and Politics (1968-9), diterjemahkan oleh Jeremy J. Shapiro, Boston, Beacon Press, 1970;
  5. On the Logic of the Social Sciences (1970), diterjemahkan oleh Shierry W. Nicholsen dan Jerry Stark, Cambridge,Mass, MIT Press, 1988; 
  6. Legitimation Crisis (1973), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Boston, Beacon Press, 1975; 
  7. Communication and thr Evolution of Society (1976), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, London, Heinemann, 1979;
  8. Theorie des Kommunikativen Handelns /The Theory of Communication Action. Volume 1 Reason and Rationalization on Society (1981), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, Boston, Beacon Press, 1984;
  9. Theorie des Kommunikativen Handelns / The Theory of Communication Action. Volume 2 Lifeworld and System: a Ctitique of Functionalist Reason (1981), diterjemahkan oleh Thomas McCarthy, B: aoston, Beacon Press, 1987; 
  10. Der Philosophische Diskurs der Moderne / The Philosophical Discourse of Modernity (1985), diterjemahkan oleh Frederick Lawrence, Cambridge, Polite Press, 1987.


Habermas dan Madzhab Frankfurt 

Agar bisa memahami pemikiran Habermas, maka terlebih dahulu harus dipahami latar belakang yang mempengaruhi teori-teori pemikirannya. Bisa dipastikan bahwa Habermas sangat dipengaruhi oleh warisan intelektual Madzhab Frankfurt yang terkenal dengan Teori Kritisnya, sejak tahun 30-an Habermas sudah tertarik dan mengkaji gaya karya-karya Hokheimer dan Adorno. Ternyata di kemudian hari teori Madzhab Frankfrut ini tidak saja menentukan gaya pikir dan isi teori-teorinya namun lebih jauh Habermas juga melakukan semacam pembaruan atas kelemahan teori kritis itu terutama dengan melihat pesimisnya pendahulunya dalam memandang dunia modern. Pemikiran Habermas disbeut Teori Kritis karena madzhab pemikiran ini dikenal sangat getol mensosialisasikan suatu gaya berpikir analisis (Santoso, 2003: 224). 
Kritik adalah konsep kunci untuk memahami Teori Kritis. Kritik juga merupakan suatu program bagi Madzhab Frankfrut untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. Kritik-kritik mereka diarahkan pada berbagai bidang kehidupan masyarakat modern, seperti seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan pada umumnya yang bagi mereka telah menjadi rancu karena diselubungi ideologi-ideologi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu sekaligus mengasingkan manusia individual di dalam masyarakatnya. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Dengan bertolak dari pemikiran yang dikembanhkan oleh Horkheimer, pendiri teori kritis masyarakat: mengembangkan sebuah teori masyarakat yang kritis, yang, sebagai kritik, menjadi praksis perubahan sosial (Suseno, 205: 161). 
Filsafat kritis berdiri dalam tradisi besar pemikiran yang mengambil inspirasinya dalam karya intelektual Karl Marx. Ciri khas filsafat kritis adalah bahwa ia selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan-hubungan sosial yang nyata. Filsafat ini tidak mengisolasi diri dalam menara gading teori murni, seakan-akan filsafat dapat secara netral menganalisa hakikat manusia dan masyarakat tanpa sekaligus terlibat di dalamnya. Pemikiran kritis yang dikembangkan Habermas merasa diri bertanggung jawab terhadap keadaan sosial yang nyata, dan dari situlah gagasan kritis emansipatoris yang digagas Habermas dipijakkan (Santoso, 203: 222). 
Pemikiran Habermas bukan merupakan panduan atau bimbingan dalam usaha mewujudkan keadilan sosial, semacam teori transformasi masyarakat yang tinggal dilaksanakan. Gaya berfikir filsuf kritis seperti Habermas ini menolak untuk menjadi ajaran yang dapat menjadi pegangan, karena mereka curiga terhadap segala ajaran. Hal itu karena ciri khas filsafat kritis adalah bahwa di satu pihak perdebatan tetap berlangsung di tingkat filosofis-teoretis, sehingga tidak mau menjadi ideologi perjuangan, tetapi di lain pihak filsafat kritis berdasarkan anggapan-anggapan mana masuk sampai ke dalam inti metodologinya – bahwa justru sebagai kegiatan teoretis yang tetap tinggal dalam medium fikiran, filsafat kritis menjadi praktis dimana kata “praktis” kalau dipergunakan oleh Habermas harus selalu difahami dalam arti sebagai komunikasi yang mewujudkan kehidupan nyata masyarakat, maka para filsuf “kritis” menolak menjadi “guru”. Itulah kenapa “murid-murid” yang mau “berguru” kepada mereka selalu mesti kecewa. Madzhab Frankfurt –tempat Habermas dan para pendahulunya seperti Hokheimer, Adorno dan Herbert Marcuse mengembangkan pemikirannya- memang menjadi sangat populer di kalangan mahasiswa yang menyuarakan perubahan (antara tahun 1965-1975 M) yang akhirnya kecewa karena tidak menemukan ideologi yang menjadi basis gerakan dalam mendukung perlawanan mereka terhadap sistem “kapitalisme tua”. Para mahasiswa itu akhirnya kecewa karena “guru-guru” mereka di Madzhab Kritis tidak memberikan wejangan tentang revolusi sebagaimana yang mereka harapkan. Bahkan “guru-guru” Madzhab Kritis itu memperingatkan para mahasiswa akan membuat simplifikasi fatal kalau mau melakukan semacam revolusi. Demikian akhirnya Habermas sebagai seorang profesor di Frankfurt kemudian menghadapi banyak gangguan dan demonstasi dari para mahasiswa (Santoso, 2003: 221). 
Habermas juga mengkritik bahwa masyarakat Barat kontemporer nyata-nyata mempromosikan sebuah konsepsi rasionalitas terdistorsi yang mengandung impuls-impuls destruktif yang hanya berujung pada dominasi, contohnya, dominasi sains dan teknologi atas alam. Teori Marx tidak relevan lagi untuk menganalisis situasi kapitalisme lanjut dimana ada peralihan dari kapitalisme private ke kapitalisme Negara dimana Negara yang ditopang oleh teknologi memainkan peran yang signifikan untuk memperkuat dan mempertahankan industri-industri besar. Hal ini melemahkan otonomi dan kemampuan kritis masyarakat. Impuls ini, menurut Madzhab Frankfurt, telah diungkapkan dalam cita-cita agung sejak zaman pencerahan abad ke-18, namun Habermas juga merintis sebuah upaya untuk mempertahankan apa yang ia lihat sebagai aspek-aspek yang lebih konstruktif dan emansipatoris dari jaman pencerahan itu. Walaupun atas pikiran-pikirannya itu Habermas banyak mendapatkan kritik. Sebagian dari kritik-kritik itu mengklaim bahwa “situasi pembicaraan idealnya” itu tidak dapat divalidasi oleh pengalaman praktis, sehingga tidak akan ada sebuah standar yang pas untuk menilai legitimasi hukum dan institusi. Ada juga yang mencermati bahwa teori demokrasi deliberatifnya muncul lebih menyerupai sebuah aturan bagi rasionalitas daripada aturan bagi manusia. Lebih dari filsuf pasca periode perang Jerman lainnya, bagaimana pun Habermas telah berhasil memposisikan gagasan-gagasan Madzhab Frankfurt ke tengah-tengah kancah arus utama perbincangan pemikiran kontemporer mutakhir. 
Habermas dikenal sebagai pembaru tradisi intelektual yang dirintis oleh Max Horkheimer, dan sepanjang yang dirumuskan Habermas ada enam tema dalam program teori mereka: a) Bentuk-bentuk integrasi sosial, b) Masyarakat postliberal c) Sosialisasi dan perkembangan ego, d) Media massa dan kebudayaan massa, e) Psikologi sosial protes, dan f) Teori seni dan kritik atas positivism. 


Pengaruh Habermas di Barat

Pada abad ke-20 ini barangkali tidak ada seorang filsuf pun yang bisa menandingi popularitas Jurgen habermas. Ketenaran Herbert Marcuse, seniornya di mazhab Frankfurt, boleh dibilang 'tidak seberapa' bila dibandingkan dengan kemasyhuran Habermas. Popularitas dan gagasan Marcuse hanya terbatas di Eropa Barat dan Amerika pada era 1960-an dan 1970-an, lalu berakhir tatkala "sang nabi"menolak ikut dalam suatu proyek rencana aksi. Gagasan Marcuse mengenai "manusia satu dimensi"dan masyarakat industry modern pun kini mulai dilupakan orang.
Habermas tak cuma dikenal di Eropa dan Amerika. Namanya merambah secara global hingga ke Asia dan Australia. Gagasannya sangat memikat minat dikalangan luas dan diperbincangkan dalam wilayah tak terbatas, apakah itu universitas-universitas, pusat-pusat kebudayaan, lembaga-lembaga penelitian, kantor-kantor LSM, atau kedai-kedai (café) kopi tempat para seniman berkumpul. Publikasi tulisannya pun beredar dimana-mana dan dalam berbagai bahasa pula - - termasuk dalam bahasa Indonesia. Maka tak aneh jika cukup banyak muncul komentator atau 'ahli' tentang Habermas- - termasuk dari Indonesia (F.Budi hardiman dan Franz magnis Suseno).
Habermas dikenal sebagai filsuf yang rajin berdialog dan berdebat mengenai berbagai perihal dengan para filsuf dan pemikir sezamannya. Misalnya, sekadar beberapa contoh, perdebatan 'Rasionalisme Kritis' dengan (Karl R. popper dan Hans Albert), diskusi "Harmeneutik" (dengan Hans-Georg Gadamer), dan kritik terhadap "Dekonstruksi dan Post Modernisme" (dengan Jacques Derrida). Meski kini orang sedang gandrung pada gerakan Post modern, kejayaan Habermas belum berakhir. Itu sebabnya, menjelang akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, kita barangkali bias menyodorkan pertanyaan: mungkinkah ia menelorkan pemikiran-pemikiran baru, atau ia akan merevisi ulang ide-ide terdahulu yang pernah dihasilkannya?
Habermas adalah seorang filsuf yang kritis terhadap pemikiran-pemikiran Marxis, bukan hanya Marxisme-ortodoks, melainkan juga Neo-Marxisme pada umumnya, seperti para pendahulunya yang bermaksud menyesuaikan warisan Marxis dengan tuntutan-tuntutan zaman ini, dan lebih melakukan kritik karena bagi Habermas karya Marx ini merupakan kritik, dengan jalan tidak hanya dengan mengupas karya-karya Marx tetapi juga melakukan penafsiran ulang dari penafsiran yang dilakukan oleh para penganut aliran ini. Corak penafsiran Habermas bersifat ilmiah dan filosofis, ia berusaha mengeliminir ciri-ciri romantis dari pemikiran Marx yang secara dominan mempengaruhi Adorno, Hokheimer dan Marcuse. Hal ini ia lakukan dengan tujuan Habermas ingin memurnikan pemikiran-pemikiran Marxis dari romantisme maupun positivisme yang dianut oleh partai-partai komunis dan cendekia Marxis lainnya (Suseno, 1992: 211).
Habermas menilai, apabila Marx hanya sebagai ilmuwan belaka maka para penganut ajaran Marxisme akan jatuh kepada sikap positivistis yang sekaligus bersifat ideologis. Positivistis karena, mereka mengambil begitu saja pernyataan-pernyataan Marx yang sebenarnya tidak lagi memiliki relevansi bagi masyarakat dewasa ini, dan dengan cara seperti ini teori-teori Marx itu dipalsukan dan menjadi dogmatisme, dan ideologis karena pemikiran-pemikiran Marx akan digunakan sebagai legitimasi praksis politis yang kebal dari argumen-argumen lawan. Ideologi adalah ide-ide yang dipercaya sebagai alasan tindakan akan tetapi tidak pernah efektif sebagai motif tindakan, alasan Habermas adalah karena menggerakkan kelompok sosial sebenarnya adalah motif yang sengaja disembunyikan dan lama-kelamaan tidak disadari lagi sebagai motif (Suseno, 2005; 184).
Habermas menulis dengan judul, Between Philosophy and Science : Marxism as Critique, seperti dikutip Suseno (2005: 184-85), memaparkan empat alasan historis mengapa konsep-konsep Marx di dalam Kritik Ekonomi Politisnya tidak lagi relevan bagi keadaan zaman sekarang, yaitu :
  1. Bahwa pemisahan negara dan masyarakat yang menandai periode kapitalisme liberal sudah tidak relevan lagi. Politik tidak lagi merupakan superstruktur seperti dikira Marx dan masyarakat sendiri tidak lagi dapat dipandang secara simplisistis sebagai hubungan antara basis ekonomi dan superstruktur politis.
  2. Sekarang era masyarakat kapitalisme lanjut, dimana standar hidup sudah berkembang sedemikian jauh sehingga revolusi tak dapat dikobarkan secara langsung dengan istilah-istilah ekonomis. Kelas-kelas sosial juga semakin terintegrasi di dalam keseluruhan masyarakat dan berbagai bentuk penindasan semakin tersamar dan terorganisasikan. Deprivasi yang dalam masyarakat kapitalis liberal dirasakan oleh kaum buruh, dewasa ini tidak hanya dirasakan oleh kelas tertentu saja, dan dalam konteks itu, teori kelas tak dapat dijadikan dasar untuk membangun teori revolusioner.
  3. Kaum proletar tidak dapat dijadikan tumpuan harapan-harapan sebagai pengemban revolusi sejati. Perjuangan kelas dalam level negara nasional telah distabilisasikan dan sebagai gantinya terjadilah persaingan keras antara “kubu kapitalis” dan “kubu sosialis”, pada level internasional.
  4. Bangkitnya Negara Komunis Uni Soviet, menyebabkan diskusi sistematis sekitar Marxisme dipadamkan dan sebagai gantinya konsep-konsep Marxisme ortodoks membuktikan dirinya menjadi ideologi. Jalan sosialis yang ditempuh Uni Soviet sendiri jauh dari kenyataan terwujudnya masyarakat bebas yang dicita-citakan oleh Karl Marx sendiri.


Habermas, Idealisme Jerman dan Neo-Kantianisme

Berdasarkan segi isi dan latar belakang pemikiran-pemikirannya, Habermas tetap berakar pada tradisi idealisme Jerman seperti para pendahulunya, khususnya transendentalisme Kant, Idealisme Fichte dan Hegel, dan materialisme Marx. Sebagaimana lazimnya Madzhab Frankfrut, Habermas juga mengintegrasikan psikoanalisis Freud ke dalam teori kritisnya. Bahkan perhatiannya terhadap psikoanalisis nampak mencolok bila dibandingkan dengan para pendahulunya. Lewat Habermas, Teori Kritis mendapat wawasan baru yang diperoleh dari tradisi Anglo Amerika, yaitu Lingustic-analysis dari Wettgenstein, Searle dan Austin. Jadi melampaui para pendahulunya, ia mencoba mengintegrasikan pemikiran analitis ini ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritisnya. Perhatiannya terhadap aspek linguistis manusia dapat dijumpai pula sejak karya-karya awalnya, sekurang-kurangnya dalam bentuk rencana untuk mengarahkan pemikirannya kepada tradisi analitis itu. Beberapa kalangan menilai bahwa telah terjadi “linguistic turn” dalam pemikiran Habermas. Apapun mau disebut, minatnya terhadap analisis bahasa dapat dimengerti dalam konteks pemahaman baru Teori Kritisnya mengenai komunikasi sebagai salah satu dimensi dari praksis. Selain filsafat analitis, Habermas juga dipengaruhi oleh para pemikir pragmatis Amerika, seperti Pierce, Mead, dan Dewey. Dari aneka tradisi filsafat yang melatarbelakangi ini, ia mencoba mengintegrasikannya sebagai suatu teori yang integral dan sistematis. Watak sistematis dari teori-teorinya itulah yang secara tajam membedakannya dari para pendahulunya yang terkenal sebagai antisistem.
Pada tahu 1880 terjadi sebuah peristiwa yang bernama Methodenstreit- sebuah peristiwa pembantahan metode, antara dua ahli ekonomi C, Mengger dan Schmoller. pada abad ini juga terjadi perdebatan anatara dua Filusuf Neo-Kanatian, Windelband, dan Rickert. Pada tahun 1909 dan 1914 anatara sosiaolog Max Weber dan Sombart, perdebatan jug adilakukan oleh Karl Popper dengan beberapa cendekiwan yang pada akhirnya di kenal dengan Mazhab Frankfurt. Habermas sebagai bapak pendiri fenomenologi, mendapat kritikan hebat dari Edmund Husserl dalam tiga langkah, yaitu :
  1. Ilmu pengetahuan jatuh pada objektivisme yakni cara pandang melihat dunia sebagai susunan fakta objektif tentang dunia berasal dari Lebenswelt.
  2. Kesadaran manusia atau subjek ditelan oleh penafsiran objektivisme itu, karena ilmu pengetahuan sama sekali tidak membersihkan diri dari kepentingan dunia kehidupan sehari-hari.
  3. Bahwa teori yang dihasilkan berdasarkan pembersihan pengetahuan dari kepentingan itu adalah teori sejati yang dipahami dalam tradisi pemikiran barat, namun habermas tidak setuju akan tujuan akhir dari denomenologi untuk menghasilkan teori murni yang diyakini hasserl dapat diterapkan dalam ilmu praktik. Teori murni hasil pendekatan fenomenologi itu adalah tujuan ontologi.
Menurut Habermas teori sudah menyimpang jauh dari konsep teori. Asal kata teori dari Theoria yang berarti kontemplasi atas kosmos atau realitas. Bios theoretikos dalam bahasa yunani menunjukkkan bahwa teori adalah salah satu cara hidup. Menurut habermas, dengan melalui kontemplasi, filusuf memisahkan unsur tetap unsur yang berubah-ubah. Usaha untuk menemukan tatanan yang tetap abadi dalam kosmos dan seluruh realitas itulah ontologi, sedang yang ingin dicapai oleh ontologi adalah sebuah penjelasan objektif tentang seluruh realitas dengan kata lain, teori murni. Habermas pun mengkaitkan untuk memperoleh teori ilmu dengan proses emansipatoris.

Habermas membedakan ilmu pengetahuan melalui tiga cakupan :
a. Ilmu emansipatoris analitis (ilmu-ilmu alam),
b. Ilmu historis-hermeneutis (ilmu sosial kemanusiaan) 
c. Ilmu kritis.

Habermas dengan dasar dari penelitian dari mazhab frankfurt, mengatakan refleksi diri adalah kritis, yang diarahkan untuk kepentingan kognitif emansipatoris.
Habermas mengatakan suatau pemahaman baru yang bertentangan dengan paham yang lazim pada ilmu positif. Salah satu tesisnya berbunyi ‘pencapaian subjek transendental memiliki dasar dalam sejarah alam dan manusia‘, dengan pengertian bahwa pengetahuan yang bisa melamapaui data konkret (transdental) itu "tidak berasal dari langit. Pengetahuan adalah hasil perkembangan evolusioner species manusia. Ia menambahkan bahwa kepentingan yang mengarahkan pengetahuan muncul dari alam sekaligus dari keputusan kita dengan alam karena kebudayaan.
Wawasan antropologis marxis mengenai kerja dan kebudayaan, kebudayaan adlah hasil kerja manusia, dan melalui pekerjaan manusia mewujudkan «hasrat-hasrat dan naluriahnya justru dengan cara menunda naluri itu. Istilah yang dipakai Habermas pada tesisnya keduanya «pengetahuan berlaku sebagai pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri » adalah «kuasi-transendental ». pada tesis ketiganya pada sebuah pidatonya Habermas mengatakan bahwa kepentingan kognitif manusia sebagai spesies sejak awal terwujud dalam tiga medium oraganisasi sosial yaitu kerja, bahasa, kekuasaan. Ketiga medium itu secara hakiki memiliki fungsi pertahanan diri atau penjagaan kelangsungan hidup bangsa manusia.
Titik tolak kritik Habermas terhadap ilmu pengetahuan berawal dari pandangannya jika ilmu pengetahuan telah mengalami krisis sebagai ilmu pengetahuan, dan bahwa dalam kesulitan hidup dewasa ini, ternyata ilmu pengetahuan tidak memberikan nasehat apa-apa kepada masyarakat. Ilmu pengetahuan telah mengalami kebuntuan cita-cita dalam membebaskan masyarakat. Ilmu pengetahuan modern dengan rasionalitas-empiriknya dan positivisme-logiknya telah berkembang menjadi ideologi baru dalam masyarakat modern. Alih-alih menjadi alat emansipasi masyarakat, justru membantu terjadinya proses mekanisasi masyarakat dalam bentuk sistem ekonomi dan administrasi birokratis (Santoso, 2002: 226). 
Habermas membagi menjadi tiga aliran –berdasarkan kepentingannya, yakni; positivis, interpretatif, dan kritis. Positivisme untuk kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris analitis, humanisme untuk praktis ilmu-ilmu historis hermeneutis, dan emansipatoris untuk ilmu-ilmu kritis. Tiga aliran ini berangkat dari perkembangan filsafat ilmu. Positivisme berakar pada filsafat rasionalisme (Plato) yang dipadukan empirisme (Aristoteles). Humanisme mengambil epistemologi transedental (Immanuel Kant). Sedangkan kritis, bermula dari upaya mencari jalan keluar dari perdebatan panjang positivisme dan humanisme ilmu sosial (Felix Weil, Freiderick Pollock, Carl Grudenberg, Karl Wittgovel, Henry Grossman, dan Mazhab Frankfurt). Adapun dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai, statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian partisipatorik dan metode kualitatif. 
Menurut Habermas, sebagaimana diungkapkan Franz-magnis Suseno, ilmu-ilmu modern kehilangan kerangka acuan kosmologis. Ilmu-ilmu modern masih tetap terikat pada tradisi kontemplatif dimana mereka mengandaikan bahwa penelitian harus “bebas nilai”, bahwa pengetahuan harus dipisahkan dari kepentingan dan pernyataan-pernyataan logis dari yang normatif (Suseno, 1992: 179). 
Hasil pertimbangan-pertimbangan sekarang adalah: (1) Ilmu pengetahuan yang dikatakan bebas nilai sebenarnya ditentukan secara normatif oleh suatu kepentingan teknis; (2) Ruang keputusan-keputusan normatif yang secara keliru dianggap irasional. Dengan demikian maka kesan ilmu pengetahuan bebas nilai bersifat ideologis (Suseno, 1993: 202). 
Posisi teori dalam ilmu pengetahuan menduduki tempat penting untuk menjelaskan realitas karena pengetahuan dirumuskan ke dalam dan diperoleh lewat teori, sedangkan dalam ilmu pengetahuan modern, kata teori sudah kehilangan makna, karena itu, Habermas mengadakan penelitian genetik tentang konsep teori. Ia kemudian mengembalikan konsep teori itu pada asal katanya “theoria”, bahwa kata ini sudah sangat tua dan berakar pada kosmologi dan tradisi religius Yunani purba dengan melakukan kontemplasi seorang filsuf lalu memandang atau menatap kosmos yang bergerak teratur dan membuat lukisan-lukisan di dalam dirinya. Dia meniru kosmos atau melakukan mimesis (meniru), sehingga teori atau kontemplasinya itu mengarahkan tingkah lakunya sampai pada tahap teori dalam pengertian kuno itu terkait dengan praksis yang dalam filsafat Yunani Bios Theoritikos menunjukkan bahwa teori adalah salah satu cara hidup (way of life). Menurut Habermas, konsep kuno itu menjadi dasar ontologi, dan dengan kontemplasi seorang filosof dapat memisahkan unsur-unsur yang tetap dan unsur-unsur yang selalu berubah. Usaha untuk menemukan yang tetap abadi dalam kosmos dan seluruh realitas itulah ontologi. Apa yang ingin dicapai ontologi adalah penjelasan objektif tentang seluruh realitas atau dengan kata lain teori murni (Suseno, 1992: 178). 
Pemikiran teori murni ini mengingatkan kita dengan rasio murninya Emanuel Kant. Satu hal yang menarik adalah bahwa Habermas mengaitkan usaha untuk memperoleh teori murni itu dengan proses emansipasi (Husserl mengatakan bahwa krisis disebabkan ilmu pengetahuan tidak lagi menganut konsep klasik tentang teori itu, sebaliknya Habermas mengatakan sebaliknya bahwa krisis itu terjadi karena ilmu pengetahuan menganut konsep yang klasik itu).

Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama 

1 komentar: