Rabu, 02 Mei 2012

Konsep dan Sejarah Taqiyah


Taqiyah adalah konsep idiologi agama yang disebutkan di banyak tempat dalam Al-Qur’an. Di dalam ayat-ayat tersebut ada isyarat jelas yang menunjukkan kasus-kasus ketika seorang Mukmin terpaksa menempuh jalan yang disyariatkan ini dalam perjalanan hidupnya di tengah kondisi yang sulit. Guna melindungi diri, kehormatan, dan hartanya. Atau, untuk melindungi diri, kehormatan, dan harta orang yang ada hubungan dengannya. Sebagaimana pernah ditempuh oleh kaum Mukmin dari keluarga Fir’aun untuk melindungi al-Kalim Musa as dari ancaman pembunuhan. Hal itu juga pemah dilakukan ‘Ammar bin Yasir ketika ia ditawan dan diancam akan dibunuh. Dan masih banyak kasus-kasus lain yang disebutkan di dalam Al-Qur'an dan sunah. Yang jelas, kita harus mengenalnya, baik pengertian, tujuan, dalil, dan definisi maupun batasannya. Sehingga kita dapat menghindari sikap lalai dan berlebih-lebihan dalam melakukannya.
Pada perkembangannya, Taqiyah tidak hanya berjalan pada wilayah idiologis agama saja, namun menjalar pada rana sosial, politik dan ekonomi, dan hampir dalam semua aspek kehidupan dewasa ini yang memiliki tujuan mencari keuntungan dengan menyembunyikan kebenaran untuk mendapatkan kemaslahatan. Hal ini bisa dipahami dalam pengertian, bahwa taqiyah adalah pembelaan dan penyelamatan baik yang bersifat individual, golongan atau kelompok, bahkan dalam wilayah yang lebih luas lagi seperti negara dan agama.

Pembahasan tentang konsep taqiyah ini menjadi pembahasan yang hangat yang selalu menimbulkan pro dan kontra. Ada ulama atau sebagian masyarakat yang mendukung konsep ini berdasarkan bukti sejarah dan sumber yang diambil dari al-Qur'an maupun al-Sunnah, namun tidak sedikit ulama yang mengkritik pedas dan bahkan sesat ajaran ini. Bahkan peperangan ideologis tertulis maupun lisan banyak dilakukan dengan dialog perdebatan dengan membawa sumber-sumber argumentatisinya. . Sedikit sekali kita mendapati kajian tentang konsep ini yang bersifat obyektif-modernis yang komprehensif. Kajian idealogis adalah kajian yang sensitif yang penuh dengan subyektifitas pembaca dan pengarang, situasi dan kondisi pengarang termasuk latar belakang pengarang sangat mempengaruhi konten dari pembahasan taqiyah ini. Ulama Syi'ah banyak menulis buku yang mendukung konsep ini dengan argumentif ilmiah, namun tetap ada kepentingan di balik itu, begitu juga ulama Sunni yang membangun karangka berfikirnya (framework) dengan pra-pemahaman konsepsi yang sepihak tanpa pertimbangan lain.
Lalu bagaimana sebenarnya konsep taqiyah ini secara idialogis dan praktis, apakah bertentangan dengan agama, atau justru sesuai dengan konsep maslahah? Pertanyaan ini tidak lepas dari perdebatan, apakah taqiyah hanya dengan lisan, atau boleh dengan perbuatan?, apakah taqiyah hanya dalam urusan keyakinan, atau dalam segala urusan?

Pengertian Taqiyah
Taqiyah adalah isim dari kata ittaqa -yattaqi. Huruf ta' pada kata itu menggantikan huruf waw. Asalnya adalah al-wiqayah yang secara bahasa berarti menjaga atau melindungi, kewaspadaan, dan kehati-hatian.[1] Dari situ, at-taqwa diartikan secara mutlak sebagai ketaatan kepada Allah. Sebab, orang yang taat menjadikannya sebagai perlindungan dari neraka dan siksaan. Maksud taqiyah itu adalah menjaga diri dari bahaya yang ditimpakan orang lain dengan menampakkan persetujuan kepadanya dalam ucapan atau perbuatan, yang bertentangan dengan kebenaran.
Dalam kamus lisan al-Arab, taqiyah taqwa dengan menunjukkan atau menampakkan perdamaian dan kesepakatan dan hatinya bertentangan dengan apa yang dikatakannya.[2]
Al-Mufid mengartikannya Taqiyah adalah menyembunyikan kebenaran (menurut mereka) dan menutupi keyakinan dari padanya. dan menyembunyikan yang menyelisihi. maksudnya yang menyelisihi Ahli Sunnah.[3] Al-Bahran mengartikan (Taqiyah) yaitu menampakkan kesepahaman terhadap ajaran-ajaran orang-orang yang menyelisihi. yang dimaksud orang-orang yang menyelisihi adalah Ahli Sunnah.[4] Imam (Syi'ah) Khumaini mengartikan Taqiyah maknanya seseorang mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya, atau melakukan hal yang tidak sesuai neraca syariah. maksud dari neraca syariah adalah syariah Syi'ah.[5]
Banyak devinisi yang diberikan para ulama tentang taqiyah ini, kalau diperhatikan dari praktek itu sendiri, taqiyah adalah usaha seseorang menyelamatkan diri, keluarga, kelompok dari kejahatan luar. Pada dasarnya taqiyah ini sangat bertentangan dengan nifaq, karena dua term tersebut mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan hatinya. Namun dalam prakteknya, sering kita menemukan ambiugitas. Hal inilah yang menjadikan sebagain ulama mengklaim sesat ajaran ini.

Sejarah dan Perkembangannya
            Dalam perjalanan sejarah hidup manusia, praktek taqiyah ini tidak bisa dipisahkan dengan sejarah manusia mencari kehidupan yang dipenuhi rasa aman dan nyaman. Secara doktrinal tekstual, ajaran taqiyah ini sudah dijelaskan secara ekplisit dalam beberapa ayat al-Qur'an, dan dalam perjalanan sejarah, konsep tersebut menjadi suatu doktrin formal idealogi agama yang perna  terjadi dalam kasus sahabat 'Ammar bin Yasir yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai praktek taqiyah yang diperbolehkan. Bahkan dalam kitab maqalat al-islamiyin dijelaskan, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah yang pertama melakukan praktek taqiyah dengan menyembunyikan agama Islam.[6]
Pada perkembangannya taqiyah ini dijadikan sebagai prinsip agama syiah dengan mengambil sumber dari riwayat Imam Abu Ja’far Ash-Shadiq a.s., beliau berkata: “Taqiyah adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Seseorang tidak dianggap beragama bila tidak bertaqiyah.”[7] Dan pada agama Syi'ah inilah ajaran taqiyah berkembang pesat.

Hujjah kebolehan Taqiyah
  • Dalil Qur'an
 “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.[8]
.
  • Dalil lain dalam Riwayat.
  1. Seperti yang disebutkan di awal contoh dari 'Ammar bin Yasir (ra) Seseorang mengatakan kepada Nabi bahwa 'Ammar telah menjadi kafir. Nabi berkata: "Sesungguhnya daging dan darah 'Ammar dipenuhi dengan iman yang benar. Kemudian Ammar datang kepada Nabi SAW sambil menangis terseduh-seduh karena ia telah mengucapkan kata-kata pengingkaran terhadap Islam sehingga nyawanya selamat dari cengkeraman orang-orang kafir. Nabi bertanya kepadanya, "Bagaimana dengan hatimu ? "Ammar berkata:" Hatiku berada dalam ke-Imanan ". Nabi yang mulia menyuruhnya untuk tidak khawatir dan menyarankan dia untuk mengulang kata-kata itu jika orang-orang kafir memintanya lagi untuk melakukannya.[9]
  2. "Dan Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim telah diriwayatkan melalui Al-`Awfi dari Ibnu Abbas (bahwa ia berkata tentang ayat ini): `Jadi, taqiyah adalah dengan lidah. Siapa pun yang dipaksa untuk mengatakan sesuatu ketidaktaatan kepada Allah dan ia berbicara itu karena takut sementara hatinya tetap teguh dalam iman, maka dibolehkan ia melakukan nya; taqiyah sesungguhnya adalah dengan lidah saja. ".... Dan Abd bin Hamid telah diriwayatkan dari al-Hasan (al-Basri) bahwa ia berkata: Taqiyah adalah sah hingga hari kiamat`. Dan Abdul (bin Hamid) telah diriwayatkan dari Abu Raja 'bahwa ia membaca , `illa an tattaqu minhum taqiyatan ', dan` Abd bin Hamid telah meriwayatkan dari Qatadah bahwa ia mengucapkan (juga) .... taqiyatan dengan ya ".[10]
  3. Imam Bukhari telah menulis satu bab penuh "Kitabul Ikrah", tentang keadaan yang memaksa. Dan Allah berfirman `kecuali jika Anda mampu untuk menjaga dirimu terhadap mereka karena takut dari mereka '... Dan Taqiyah.
.... Dan Hassan (Basri) berkata: `Taqiyah adalah hingga hari kiamat .... Dan Nabi SAW berkata:` amal itu bergantung dari niatnya.[11]

Hujjah larangan Taqiyah
  1. أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ[12]
  2.  أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ[13]
Pandangan Ulama Sunni dan Syi’ah
Ath- Thabari[14] menjelaskan tafsir QS. Ali 'Imran [3]: 28) dengan menggaris bawahi kalimat, ". ..kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. " Abu al-‘A1iyah berkata, "Taqiyah itu dalam lisan, bukan dengan perbuatan." Diriwayatkan dari al-Hasan: Saya mendengar Abu Mu’adz berkata: ‘Ubaid mengabarkan kepada kami. la berkata: Saya mendengar adh-Dhahak berkata tentang firman Allah, “kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka," "Taqiyah dalam lisan adalah orang yang dipaksa untuk mengucapkan sesuatu yang merupakan kemaksiatan kepada Allah. la mengucapkannya karena takut akan ditimpakan bahaya pada dirinya. "... padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan ..., maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya taqiyah itu dalam lisan.[15]
Az-Zamakhsyari ketika menafsirkan firman Allah SWT: ... kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka ...berkata, "Yaitu keringanan bagi mereka di tengah muwaltat apabila takut kepada para penguasa mereka. Yang dimaksud dengan muwalat adalah perbedaan dan pergaulan secara lahiriah. Sedangkan hatinya teguh dalam permusuhan dan kebencian, dan menunggu hilangnya rintangan.[16]
Ar-Razi,[17] ketika menafsirkan firman Allah SWT: ...kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka ..., berkata, "Masalah keempat Ketahuilah, bahwa taqiyah memiliki banyak ketentuan. Kami akan menyebutkan sebagiannya sebagai berikut[18]:
  1. Taqiyah hanya dilakukan apabila seseorang berada di tengah kaum yang kafir, dan ia takut mereka akan menimpakan bahaya terhadap diri dan hartanya. Maka ia bersikap halus kepada mereka dalam ucapan, yaitu tidak menampakkan permusuhan dalam ucapan. Bahkan ia juga boleh menampakkan ucapan yang menunjukkan kecintaan dan kesetiaan. " Akan tetapi, dengan syarat menyembunyikan sikap sebaliknya dan mengingkari setiap kata yang diucapkannya. Taqiyah  itu memiliki pengaruh pada lahir, bukan dalam keadaan- keadaan hati. Dalam kaitannya dengan perbedaan madzhab, Imam Syafi'i mengatakan jika kondisi antara (berbagai mazhab) umat Islam menyerupai kondisi antara Muslim dan orang musyrik, maka taqiyah diantara sesama umat Islam yang berbeda mazhab diperbolehkan. Dan tidak hanya itu, menurut penulis hal ini juga berlaku dalam masalah teologis.
  2. Taqiyah itu dibolehkan untuk memelihara diri. Apakah taqiyah juga boleh dilakukan untuk memelihara harta? Kemungkinan hal itu diperbolehkan berdasarkan sabda Rasulullah saw: "Kemuliaan harta seorang Muslim adalah seperti kemuliaan darahnya. Juga sabdanya: "Barangsiapa yang terbunuh dalam membela hartanya, ia mati syahid."
  3. Orang yang mengatakan bahwa aturan (dari taqiyah) ini hanya berlaku pada masa awal Islam, karena Islam pada saat itu lemah, tetapi sekarang ketika pemerintahan Islam punya kekuasaan dan kekuatan, maka taqiyah tidak dibolehkan lagi, adalah tidak benar !`. Telah diriwayatkan dari al-Hasan (al-Basri) bahwa ia berkata: `Taqiyah diperbolehkan untuk kaum muslim hingga hari kiamat. Dan pendapat ini lebih dapat diterima karena Wajib untuk menahan semua jenis bahaya dari seseorang sebanyak mungkin.
  4. Taqiyah diperbolehkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan manifestasi persahabatan atau permusuhan, dan juga diperbolehkan dalam hal-hal yang berhubungan dengan profesinya (agama mereka) itu. Tapi tentu tidak diperbolehkan dalam hal-hal yang mempengaruhi orang lain, seperti pembunuhan, perzinaan, perampasan hak milik, sumpah palsu, fitnah perempuan menikah atau memberitahukan orang-orang kafir tentang titik lemah dalam pertahanan orang Muslim.

An-Nasafi[19] berkata, "... kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka " Artinya, kecuali kamu takut terhadap kebijakan mereka sebagai sesuatu yang mendatangkan ketakutan. Yakni, agar orang kafir itu tidak memiliki kekuasaan atas dirimu. Sehingga engkau takut ia menimpakan bahaya kepada diri dan hartamu. Maka ketika itu, kamu boleh menampakkan kesetiaan dan menyembunyikan permusuhan.
Al-Alusi berkata, Dalam ayat itu terdapat dalil disyariatkannya taqiyah. Mereka mendefinisikannya sebagai memelihara diri, kehormatan, atau harta dari kejahatan musuh. Musuh itu ada dua bagian sebagai berikut Permusuhan yang didasarkan pada perbedaan agama, seperti orang kafir dan Muslim dan Pernusuhan yang didasarkan pada tujuan-tujuan keduniaan, seperti harta dan kekuasaan."
Jamaluddin al-Qasimi berkata: Terhadap ayat ini: ...kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka ... para imam (mazhab) menyimpulkan bahwa taqiyah disyariatkan ketika ada ketakutan. Ijmak tentang bolehnya melakukan taqiyah ketika takut telah dinukil oleh Imam al-Murtadha al-Yamani dalam kitabnya Itsar al-Haqq 'ala al-Khalq. 
Al-Maraghi menafsirkan  ayat " ...kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka, " yakni, kaum Mukmin meninggalkan kesetiaan kepada orang-orang kafir merupakan suatu keharusan dalam setiap keadaan kecuali ketika takut mereka akan menimpakan suatu bahaya. Maka ketika itu, kamu boleh melakukan taqiyah rnenurut kadar ketakutan terhadap bahaya itu. Sebab, kaidah syariat rnengatakan, 'Meninggalkan kerusakan lebih didahulukan daripada rnendatangkan kebaikan."
Dalam tafsir Fathu al-Qadir dielaskan, bahwa taqiyah dalam masalah ­al-muwalat diperbolehkan karena takut secara dhahir bukan batin, pendapat ini bertentangan dengan ulama salaf yang mengatakan, bahwa tidak ada taqiyah setelah Allah meninggikan agama Islam.[20]
Dalam kitab Mushanif Ibnu Syaibah dari Abu Ja'far bahwa taqiyah tidak boleh dan haram hukumnya kecuali dalam hal dan kondisi yang sangat diperlukan seperti hukum memakan bangkai, dalam kondisi tertentu halal memakannya. Dan taqiyah diperbolehkan bagi seorang mukmin selain dalam masalah pembunuhan, dari Ibnu Abbas dan Ibnu 'Aliyah menerangkan taqiyah hanya disyaratkan dengan lisan dan bukan tangan dan perbuatan. Taqiyah adalah rukhshah dan keutamaan untuk menegakkan perintah Allah SWT.[21]
Najmuddin Tufi Hanbali perna menulis "Know that the long arguments for and against taqiyah are useless …. but there is no doubt in its validity and legality. Of course, common people do not like its name (taqiyah) because it has been identified with the Shi'as. Otherwise, the whole world uses it naturally, though some call it `tolerance', others name it as `diplomacy, and some call it `common sense'. And it is proved by proofs of Shari’ah (Islam).[22] Secara umum dapat kita paham bahwa penyebab orang tidak sepakat dengan ajaran ini adalah karena taqiyah adalah ajaran yang identik melekat pada ajaran Syi'ah.

Implikasi Konsep Taqiyah dalam kehidupan umat Islam
Pro dan kontra antara apakah taqiyah itu memiliki asas maslahah yang dibenarkan agama atau merupakan sebuah kemunafikan seseorang dalam praktek beragama? Menjadi hal yang wajar, mengingat secara idealogis tektual ajaran itu dibenarkan oleh al-Qur'an, dan dalam sejarah atau praktek yang mengarah diperbolehkannya melakukan dengan beberapa syarat dan ketentuan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Walaupun taqiyah digunakan untuk menyembunyikan keimanan seseorang karena adanya bahaya yang akan terjadi, namun pada prakteknya taqiyah tidak hanya dilakukan dalam wilayah keimanan saja. Lebih dari itu, banyak masyarakat yang juga menjadikan dogma taqiyah ini untuk menyelamatkan aspek-aspek lain seperti ekonomi, politik, dan agama. Dalam masalah ekonomi, usaha menyembunyikan kebenaran sudah menjadi hal biasa untuk meraup keuntungan pihak-pihak tertentu, tidak ada dalam hukum ekonomi konvensional khususnya yang mau membuka rahasia kebenaran sistem ekonominya. Dalam ranah politik, sering kita temukan diskusi politik yang banyak memberi argumentasi sepihak untuk menyelamatkan golongannya. Mungkin pembaca makalah ini tidak setuju dengan gagasan baru dan yleneh. Mengingat taqiyah adalah menyembunyikan keimanan dalam hati, dan mengucapkan kekufuran. Namun bagi penulis, sebuah ajaran yang diyakini oleh seseorang akan mempengarugi sifat dan karakter hidupnya, sehingga tidak hanya idealogi agama sja yang terpengaruh, melainkan seluruh aspek hidupnya juga akan dipengaruhi.
Dan dari pada itu, kita amati perkembangan suatu aliran dalam agama, walaupun aliran itu dianggap menyimpang dari agama, namun mengapa perkembangan aliran dan pengikutnya selalu berkembang. Menurut penulis, taqiyah  juga digunakan oleh kaum, agama, aliran minoritas tertentu agar bisa tetap eksis dan berkembang seiring waktu. Alasan ini bukan tidak beralasan, mengingat Syi'ah yang pada awalnya hanya sebuah paham, kemudian membetuk sebuah kelompok aliran agama dan berkembang pesat, termasuk di Indonesia. Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim dan memiliki idiologi agama Sunni, juga sebagai tujuan penyebaran aqidah ini, mulai dari penyebaran idialogi pemikiran sampai pemberian fasilitas yang memiliki tendensi ke-Syi'ah-an.
Masih banyak praktek taqiyah yang semakin lama menjauhkan asas kebolehannya. Hal inilah yang menjadikan taqiyah adalah sebuah dengan dalih untuk mencari kemaslahatan pribadi. Wallahu 'alam.

Kesimpulan
Taqiyah adalah bagian dari ajaran Islam yang diperbolehkan untuk kemaslahatan manusia, tentunya tidak bertentangan dengan maqashid syari’ah. Permasalahan taqiyah tidak hanya deperbolehkan dalam wilayah keimanan seseorang saja, lebih dari itu praktek taqiyah masih relevan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Namun dibalik itu kebebasan taqiyah tidak seharusnya menjadi lampu hijau untuk dipraktekkan dengan tanpa batas dan ketentuan syari’ah, dimana siapa saja berhak mempraktekkan ajaran ini. Maka adanya ayat yang mendukung tentang praktek taqiyah seharusnya disandingkan dengan ayat yang menentang idealogi ini. Sekali lagi penulis katakan, bahwa al-Qur'an bukan tidak konsisten dalam khitabnya, namun ini adalah salah satu fleksibilitas ajaran universal al-Qur'an yang mengandung asas prinsip kemaslahatan manusia, khususnya umat Islam. Adanya tuduhan sesat tentang ajaran ini dikarenakan kecenderungan dalam mempermudah prakteknya. Setiap pmeudahan yang dipermudah, maka akan melahirkan kesulitan. Wallah a'lam


[1] KH. Adib Bisri, KH. Munawwaira A. Fatah,  Kamus Indonesia-Arab: Arab-Indonesia Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1999), hal. 785
[2] Cd Rom, Maktabah Syamilah, dalam kamus lisan al-Arab, bab. Waqa', juz. 15, hal. 401
[3] Lihat kitab Tashhih Al-I'tiqad, hal. 115
[4] Lihat kitab Al-Kasykul, Juz 1, hal. 202
[5] Lihat kitab Kasyf Al-Asrar, hal. 147
[6] Cd Rom, Maktabah Syamilah, dalam Maqalat al-Islamiyin, bab maqalat asy-syi'ah, juz. 1, hal. 16
[7] Al-Kaafi, jus II, hal. 219
[8] QS. An-Nahl (16) : 106
[9] As-Suyuti, ad-Durru'l Manthur Tafsir, vol. 4, p. 4, hal 132; 132; Ar‑Razi, Tafsir Mafatihu al‑Ghaib ; (c) Az‑Zamakhshari, Tafsir al‑Kashshaf , Beirut, vol. 2, p. 2, hal 43. Hampir semua buku-buku menggambarkan peristiwa ini untuk menjelakan peristiwa taqiyah.
[10] As‑Suyuti, ad‑Durru al‑manthur , vol. 2, hal. 10-17; Ar‑Razi, Tafsir Mafatihu al-Ghaib , Beirut, edisi ke-3, vol. 7, hal 13
[11] Cd Rom, Maktabah Syamilah, dalam Shohih Bukhari, bab kaifa bad'I al-wahyu ila al-Rasul. Juz. I hal. 4
[12] Q.S.  AN-Nisa': 77. ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa yang terjadi pada sahabat, mereka beriman dan membenarkan Rasulullah SAW sebelum diwajibkan kepada mereka jihad, dan padahal mereka telah diwajibkan sholat dan zakat, lalu mereka memohon kepada Allah agar difardhukan jihad, maka ketika diwajibkan kepada mereka jihad,merasa merasa kesusahan, sehingga mereka mengatakan Allah tidak memberikah kepbar tentang fardhunya jihad dalam kitabnya. Lihat Cd Rom, Maktabah Syamilah, dalam tafsir Thabari, bab. 77. juz. 8, hal. 547
[13] Q.S. Al-Maidah : 54
[14] Cd Rom, Maktabah Syamilah, bab ikrah, juz 6, hal. 2542. lihat juga dalam al‑Bukhari, Shohih Bukhari. edisi Mesir , Vol. 9, hal. 24-25.
[15] Cd Rom, Maktabah Syamilah, Thabari dalam tafsir Al-Thabari, bab. 28, juz. 6, hal. 313-317.
[16] Cd Rom, Maktabah Syamilah, Az-Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasyaf, bab 28, juz 1, hal. 265
[17] Seorang ulama tafsir dari madhab Sunni yang mengarang kitab tafsir mafatih al-Ghaib
[18] Ar‑Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib , Beirut, edisi ke-3, vol. 7, hal 13
[19] Cd Rom, Maktabah Syamilah. An-Nasafi dalam tafsir an-Nasafi, bab. Ayat 28, juz. 1, hal. 149
[20] Cd Rom, Maktabah Syamilah. Dalam tafsir fath al-Qadir. bab ayat 28, juz. 1, hal. 500, dan pada bab ayat 30, juz 1, hal. 501
[21] Cd Rom, Al-Maktabah al- Syamilah, dalam kitab Mushanif Ibnu Syaibah, juz. 6, hal. 747, 642,643,
[22] Tufi, Sharhu 'l Arba'in an‑Nawawi as quoted in Falkun‑Najat, 2nd ed. Lahore, vol. 2, p. 107

Tidak ada komentar:

Posting Komentar