Taqiyah adalah konsep idiologi agama yang disebutkan di banyak tempat dalam Al-Qur’an. Di dalam ayat-ayat tersebut ada isyarat jelas yang menunjukkan kasus-kasus ketika seorang Mukmin terpaksa menempuh jalan yang disyariatkan ini dalam perjalanan hidupnya di tengah kondisi yang sulit. Guna melindungi diri, kehormatan, dan hartanya. Atau, untuk melindungi diri, kehormatan, dan harta orang yang ada hubungan dengannya. Sebagaimana pernah ditempuh oleh kaum Mukmin dari keluarga Fir’aun untuk melindungi al-Kalim Musa as dari ancaman pembunuhan. Hal itu juga pemah dilakukan ‘Ammar bin Yasir ketika ia ditawan dan diancam akan dibunuh. Dan masih banyak kasus-kasus lain yang disebutkan di dalam Al-Qur'an dan sunah. Yang jelas, kita harus mengenalnya, baik pengertian, tujuan, dalil, dan definisi maupun batasannya. Sehingga kita dapat menghindari sikap lalai dan berlebih-lebihan dalam melakukannya.
Pada
perkembangannya, Taqiyah tidak hanya berjalan pada wilayah idiologis
agama saja, namun menjalar pada rana sosial, politik dan ekonomi, dan hampir
dalam semua aspek kehidupan dewasa ini yang memiliki tujuan mencari keuntungan
dengan menyembunyikan kebenaran untuk mendapatkan kemaslahatan. Hal ini bisa
dipahami dalam pengertian, bahwa taqiyah adalah pembelaan dan
penyelamatan baik yang bersifat individual, golongan atau kelompok, bahkan
dalam wilayah yang lebih luas lagi seperti negara dan agama.
Pembahasan
tentang konsep taqiyah ini menjadi pembahasan yang hangat yang selalu
menimbulkan pro dan kontra. Ada ulama atau sebagian masyarakat yang mendukung
konsep ini berdasarkan bukti sejarah dan sumber yang diambil dari al-Qur'an
maupun al-Sunnah, namun tidak sedikit ulama yang mengkritik pedas dan
bahkan sesat ajaran ini. Bahkan peperangan ideologis tertulis maupun lisan
banyak dilakukan dengan dialog perdebatan dengan membawa sumber-sumber
argumentatisinya. . Sedikit sekali kita mendapati kajian tentang konsep ini
yang bersifat obyektif-modernis yang komprehensif. Kajian idealogis adalah
kajian yang sensitif yang penuh dengan subyektifitas pembaca dan pengarang,
situasi dan kondisi pengarang termasuk latar belakang pengarang sangat
mempengaruhi konten dari pembahasan taqiyah ini. Ulama Syi'ah banyak
menulis buku yang mendukung konsep ini dengan argumentif ilmiah, namun tetap
ada kepentingan di balik itu, begitu juga ulama Sunni yang membangun karangka
berfikirnya (framework) dengan pra-pemahaman konsepsi yang sepihak tanpa
pertimbangan lain.
Lalu
bagaimana sebenarnya konsep taqiyah ini secara idialogis dan praktis,
apakah bertentangan dengan agama, atau justru sesuai dengan konsep maslahah?
Pertanyaan ini tidak lepas dari perdebatan, apakah taqiyah hanya dengan
lisan, atau boleh dengan perbuatan?, apakah taqiyah hanya dalam urusan
keyakinan, atau dalam segala urusan?
Pengertian
Taqiyah
Taqiyah adalah isim
dari kata ittaqa -yattaqi. Huruf ta' pada kata itu menggantikan
huruf waw. Asalnya adalah al-wiqayah yang secara bahasa berarti
menjaga atau melindungi, kewaspadaan, dan kehati-hatian.[1]
Dari situ, at-taqwa diartikan secara mutlak sebagai ketaatan kepada
Allah. Sebab, orang yang taat menjadikannya sebagai perlindungan dari neraka
dan siksaan. Maksud taqiyah itu adalah menjaga diri dari bahaya yang
ditimpakan orang lain dengan menampakkan persetujuan kepadanya dalam ucapan
atau perbuatan, yang bertentangan dengan kebenaran.
Dalam
kamus lisan al-Arab, taqiyah taqwa dengan menunjukkan atau
menampakkan perdamaian dan kesepakatan dan hatinya bertentangan dengan apa yang
dikatakannya.[2]
Al-Mufid
mengartikannya Taqiyah adalah menyembunyikan kebenaran (menurut mereka)
dan menutupi keyakinan dari padanya. dan menyembunyikan yang menyelisihi.
maksudnya yang menyelisihi Ahli Sunnah.[3]
Al-Bahran mengartikan (Taqiyah) yaitu menampakkan kesepahaman terhadap
ajaran-ajaran orang-orang yang menyelisihi. yang dimaksud orang-orang yang menyelisihi
adalah Ahli Sunnah.[4]
Imam (Syi'ah) Khumaini mengartikan Taqiyah maknanya seseorang mengatakan
sesuatu yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya, atau melakukan hal yang tidak
sesuai neraca syariah. maksud dari neraca syariah adalah syariah Syi'ah.[5]
Banyak
devinisi yang diberikan para ulama tentang taqiyah ini, kalau
diperhatikan dari praktek itu sendiri, taqiyah adalah usaha seseorang
menyelamatkan diri, keluarga, kelompok dari kejahatan luar. Pada dasarnya taqiyah
ini sangat bertentangan dengan nifaq, karena dua term tersebut
mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan hatinya. Namun dalam prakteknya,
sering kita menemukan ambiugitas. Hal inilah yang menjadikan sebagain ulama
mengklaim sesat ajaran ini.
Sejarah
dan Perkembangannya
Dalam
perjalanan sejarah hidup manusia, praktek taqiyah ini tidak bisa dipisahkan
dengan sejarah manusia mencari kehidupan yang dipenuhi rasa aman dan nyaman.
Secara doktrinal tekstual, ajaran taqiyah ini sudah dijelaskan secara
ekplisit dalam beberapa ayat al-Qur'an, dan dalam perjalanan sejarah, konsep
tersebut menjadi suatu doktrin formal idealogi agama yang perna terjadi
dalam kasus sahabat 'Ammar bin Yasir yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW
sebagai praktek taqiyah yang diperbolehkan. Bahkan dalam kitab maqalat
al-islamiyin dijelaskan, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah yang pertama
melakukan praktek taqiyah dengan menyembunyikan agama Islam.[6]
Pada
perkembangannya taqiyah ini dijadikan sebagai prinsip agama syiah dengan
mengambil sumber dari riwayat Imam Abu Ja’far Ash-Shadiq a.s., beliau berkata:
“Taqiyah adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Seseorang tidak
dianggap beragama bila tidak bertaqiyah.”[7]
Dan pada agama Syi'ah inilah ajaran taqiyah berkembang pesat.
Hujjah
kebolehan Taqiyah
- Dalil
Qur'an
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah
Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir
Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya
dan baginya azab yang besar.[8]
.
- Dalil lain
dalam Riwayat.
- Seperti
yang disebutkan di awal contoh dari 'Ammar bin Yasir (ra) Seseorang
mengatakan kepada Nabi bahwa 'Ammar telah menjadi kafir. Nabi berkata:
"Sesungguhnya daging dan darah 'Ammar dipenuhi dengan iman yang
benar. Kemudian Ammar datang kepada Nabi SAW sambil menangis
terseduh-seduh karena ia telah mengucapkan kata-kata pengingkaran terhadap
Islam sehingga nyawanya selamat dari cengkeraman orang-orang kafir. Nabi
bertanya kepadanya, "Bagaimana dengan hatimu ? "Ammar
berkata:" Hatiku berada dalam ke-Imanan ". Nabi yang mulia
menyuruhnya untuk tidak khawatir dan menyarankan dia untuk mengulang
kata-kata itu jika orang-orang kafir memintanya lagi untuk melakukannya.[9]
- "Dan
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim telah diriwayatkan melalui Al-`Awfi dari
Ibnu Abbas (bahwa ia berkata tentang ayat ini): `Jadi, taqiyah
adalah dengan lidah. Siapa pun yang dipaksa untuk mengatakan sesuatu
ketidaktaatan kepada Allah dan ia berbicara itu karena takut sementara
hatinya tetap teguh dalam iman, maka dibolehkan ia melakukan nya; taqiyah
sesungguhnya adalah dengan lidah saja. ".... Dan Abd bin Hamid telah
diriwayatkan dari al-Hasan (al-Basri) bahwa ia berkata: Taqiyah adalah
sah hingga hari kiamat`. Dan Abdul (bin Hamid) telah diriwayatkan dari Abu
Raja 'bahwa ia membaca , `illa an tattaqu minhum taqiyatan ', dan` Abd bin
Hamid telah meriwayatkan dari Qatadah bahwa ia mengucapkan (juga) ....
taqiyatan dengan ya ".[10]
- Imam
Bukhari telah menulis satu bab penuh "Kitabul Ikrah",
tentang keadaan yang memaksa. Dan Allah berfirman `kecuali jika Anda mampu
untuk menjaga dirimu terhadap mereka karena takut dari mereka '... Dan Taqiyah.
.... Dan Hassan
(Basri) berkata: `Taqiyah adalah hingga hari kiamat .... Dan Nabi SAW
berkata:` amal itu bergantung dari niatnya.[11]
Hujjah
larangan Taqiyah
- أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّوا أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُوا
الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ إِذَا
فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللَّهِ أَوْ أَشَدَّ
خَشْيَةً وَقَالُوا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ لَوْلا
أَخَّرْتَنَا إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ[12]
- أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ
دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ
اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ[13]
Pandangan
Ulama Sunni dan Syi’ah
Ath-
Thabari[14]
menjelaskan tafsir QS. Ali 'Imran [3]: 28) dengan menggaris bawahi kalimat,
". ..kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. " Abu al-‘A1iyah berkata, "Taqiyah itu dalam
lisan, bukan dengan perbuatan." Diriwayatkan dari al-Hasan: Saya mendengar
Abu Mu’adz berkata: ‘Ubaid mengabarkan kepada kami. la berkata: Saya mendengar
adh-Dhahak berkata tentang firman Allah, “kecuali karena memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka," "Taqiyah dalam
lisan adalah orang yang dipaksa untuk mengucapkan sesuatu yang merupakan
kemaksiatan kepada Allah. la mengucapkannya karena takut akan ditimpakan bahaya
pada dirinya. "... padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan ...,
maka ia tidak berdosa. Sesungguhnya taqiyah itu dalam lisan.[15]
Az-Zamakhsyari
ketika menafsirkan firman Allah SWT: ... kecuali karena memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka ...berkata, "Yaitu keringanan bagi
mereka di tengah muwaltat apabila takut kepada para penguasa mereka.
Yang dimaksud dengan muwalat adalah perbedaan dan pergaulan secara
lahiriah. Sedangkan hatinya teguh dalam permusuhan dan kebencian, dan menunggu
hilangnya rintangan.[16]
Ar-Razi,[17]
ketika menafsirkan firman Allah SWT: ...kecuali karena memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka ..., berkata, "Masalah keempat Ketahuilah,
bahwa taqiyah memiliki banyak ketentuan. Kami akan menyebutkan sebagiannya
sebagai berikut[18]:
- Taqiyah hanya
dilakukan apabila seseorang berada di tengah kaum yang kafir, dan ia takut
mereka akan menimpakan bahaya terhadap diri dan hartanya. Maka ia bersikap
halus kepada mereka dalam ucapan, yaitu tidak menampakkan permusuhan dalam
ucapan. Bahkan ia juga boleh menampakkan ucapan yang menunjukkan kecintaan
dan kesetiaan. " Akan tetapi, dengan syarat menyembunyikan sikap
sebaliknya dan mengingkari setiap kata yang diucapkannya. Taqiyah itu
memiliki pengaruh pada lahir, bukan dalam keadaan- keadaan hati. Dalam
kaitannya dengan perbedaan madzhab, Imam Syafi'i mengatakan jika kondisi
antara (berbagai mazhab) umat Islam menyerupai kondisi antara Muslim dan
orang musyrik, maka taqiyah diantara sesama umat Islam yang berbeda
mazhab diperbolehkan. Dan tidak hanya itu, menurut penulis hal ini juga
berlaku dalam masalah teologis.
- Taqiyah itu
dibolehkan untuk memelihara diri. Apakah taqiyah juga boleh
dilakukan untuk memelihara harta? Kemungkinan hal itu diperbolehkan
berdasarkan sabda Rasulullah saw: "Kemuliaan harta seorang Muslim adalah
seperti kemuliaan darahnya. Juga sabdanya: "Barangsiapa yang terbunuh
dalam membela hartanya, ia mati syahid."
- Orang yang
mengatakan bahwa aturan (dari taqiyah) ini hanya berlaku pada masa
awal Islam, karena Islam pada saat itu lemah, tetapi sekarang ketika
pemerintahan Islam punya kekuasaan dan kekuatan, maka taqiyah tidak
dibolehkan lagi, adalah tidak benar !`. Telah diriwayatkan dari al-Hasan
(al-Basri) bahwa ia berkata: `Taqiyah diperbolehkan untuk kaum
muslim hingga hari kiamat. Dan pendapat ini lebih dapat diterima karena
Wajib untuk menahan semua jenis bahaya dari seseorang sebanyak mungkin.
- Taqiyah
diperbolehkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan manifestasi persahabatan
atau permusuhan, dan juga diperbolehkan dalam hal-hal yang berhubungan
dengan profesinya (agama mereka) itu. Tapi tentu tidak diperbolehkan dalam
hal-hal yang mempengaruhi orang lain, seperti pembunuhan, perzinaan,
perampasan hak milik, sumpah palsu, fitnah perempuan menikah atau
memberitahukan orang-orang kafir tentang titik lemah dalam pertahanan
orang Muslim.
An-Nasafi[19]
berkata, "... kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti
dari mereka " Artinya, kecuali kamu takut terhadap kebijakan mereka
sebagai sesuatu yang mendatangkan ketakutan. Yakni, agar orang kafir itu tidak
memiliki kekuasaan atas dirimu. Sehingga engkau takut ia menimpakan bahaya
kepada diri dan hartamu. Maka ketika itu, kamu boleh menampakkan kesetiaan dan
menyembunyikan permusuhan.
Al-Alusi
berkata, Dalam ayat itu terdapat dalil disyariatkannya taqiyah. Mereka
mendefinisikannya sebagai memelihara diri, kehormatan, atau harta dari
kejahatan musuh. Musuh itu ada dua bagian sebagai berikut Permusuhan yang
didasarkan pada perbedaan agama, seperti orang kafir dan Muslim dan Pernusuhan
yang didasarkan pada tujuan-tujuan keduniaan, seperti harta dan
kekuasaan."
Jamaluddin
al-Qasimi berkata: Terhadap ayat ini: ...kecuali karena memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka ... para imam (mazhab) menyimpulkan bahwa
taqiyah disyariatkan ketika ada ketakutan. Ijmak tentang bolehnya
melakukan taqiyah ketika takut telah dinukil oleh Imam al-Murtadha
al-Yamani dalam kitabnya Itsar al-Haqq 'ala al-Khalq.
Al-Maraghi
menafsirkan ayat " ...kecuali karena memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka, " yakni, kaum Mukmin meninggalkan kesetiaan
kepada orang-orang kafir merupakan suatu keharusan dalam setiap keadaan kecuali
ketika takut mereka akan menimpakan suatu bahaya. Maka ketika itu, kamu boleh
melakukan taqiyah rnenurut kadar ketakutan terhadap bahaya itu. Sebab,
kaidah syariat rnengatakan, 'Meninggalkan kerusakan lebih didahulukan daripada
rnendatangkan kebaikan."
Dalam
tafsir Fathu al-Qadir dielaskan, bahwa taqiyah dalam masalah al-muwalat
diperbolehkan karena takut secara dhahir bukan batin, pendapat ini bertentangan
dengan ulama salaf yang mengatakan, bahwa tidak ada taqiyah setelah Allah
meninggikan agama Islam.[20]
Dalam
kitab Mushanif Ibnu Syaibah dari Abu Ja'far bahwa taqiyah tidak boleh
dan haram hukumnya kecuali dalam hal dan kondisi yang sangat diperlukan seperti
hukum memakan bangkai, dalam kondisi tertentu halal memakannya. Dan taqiyah
diperbolehkan bagi seorang mukmin selain dalam masalah pembunuhan, dari Ibnu
Abbas dan Ibnu 'Aliyah menerangkan taqiyah hanya disyaratkan dengan
lisan dan bukan tangan dan perbuatan. Taqiyah adalah rukhshah dan
keutamaan untuk menegakkan perintah Allah SWT.[21]
Najmuddin
Tufi Hanbali perna menulis "Know that the long arguments for and against
taqiyah are useless …. but there is no doubt in its validity and legality. Of
course, common people do not like its name (taqiyah) because it has been
identified with the Shi'as. Otherwise, the whole world uses it naturally,
though some call it `tolerance', others name it as `diplomacy, and some call it
`common sense'. And it is proved by proofs of Shari’ah (Islam).[22]
Secara umum dapat kita paham bahwa penyebab orang tidak sepakat dengan ajaran
ini adalah karena taqiyah adalah ajaran yang identik melekat pada ajaran
Syi'ah.
Implikasi
Konsep Taqiyah dalam kehidupan umat Islam
Pro
dan kontra antara apakah taqiyah itu memiliki asas maslahah yang
dibenarkan agama atau merupakan sebuah kemunafikan seseorang dalam praktek
beragama? Menjadi hal yang wajar, mengingat secara idealogis tektual ajaran itu
dibenarkan oleh al-Qur'an, dan dalam sejarah atau praktek yang mengarah
diperbolehkannya melakukan dengan beberapa syarat dan ketentuan yang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Walaupun
taqiyah digunakan untuk menyembunyikan keimanan seseorang karena adanya
bahaya yang akan terjadi, namun pada prakteknya taqiyah tidak hanya
dilakukan dalam wilayah keimanan saja. Lebih dari itu, banyak masyarakat yang
juga menjadikan dogma taqiyah ini untuk menyelamatkan aspek-aspek lain
seperti ekonomi, politik, dan agama. Dalam masalah ekonomi, usaha
menyembunyikan kebenaran sudah menjadi hal biasa untuk meraup keuntungan
pihak-pihak tertentu, tidak ada dalam hukum ekonomi konvensional khususnya yang
mau membuka rahasia kebenaran sistem ekonominya. Dalam ranah politik, sering
kita temukan diskusi politik yang banyak memberi argumentasi sepihak untuk
menyelamatkan golongannya. Mungkin pembaca makalah ini tidak setuju dengan
gagasan baru dan yleneh. Mengingat taqiyah adalah menyembunyikan keimanan dalam
hati, dan mengucapkan kekufuran. Namun bagi penulis, sebuah ajaran yang
diyakini oleh seseorang akan mempengarugi sifat dan karakter hidupnya, sehingga
tidak hanya idealogi agama sja yang terpengaruh, melainkan seluruh aspek hidupnya
juga akan dipengaruhi.
Dan
dari pada itu, kita amati perkembangan suatu aliran dalam agama, walaupun
aliran itu dianggap menyimpang dari agama, namun mengapa perkembangan aliran
dan pengikutnya selalu berkembang. Menurut penulis, taqiyah juga
digunakan oleh kaum, agama, aliran minoritas tertentu agar bisa tetap eksis dan
berkembang seiring waktu. Alasan ini bukan tidak beralasan, mengingat Syi'ah
yang pada awalnya hanya sebuah paham, kemudian membetuk sebuah kelompok aliran
agama dan berkembang pesat, termasuk di Indonesia. Indonesia yang mayoritas
penduduknya Muslim dan memiliki idiologi agama Sunni, juga sebagai tujuan
penyebaran aqidah ini, mulai dari penyebaran idialogi pemikiran sampai
pemberian fasilitas yang memiliki tendensi ke-Syi'ah-an.
Masih
banyak praktek taqiyah yang semakin lama menjauhkan asas kebolehannya.
Hal inilah yang menjadikan taqiyah adalah sebuah dengan dalih untuk
mencari kemaslahatan pribadi. Wallahu 'alam.
Kesimpulan
Taqiyah
adalah bagian dari ajaran Islam yang diperbolehkan untuk kemaslahatan manusia,
tentunya tidak bertentangan dengan maqashid syari’ah. Permasalahan taqiyah
tidak hanya deperbolehkan dalam wilayah keimanan seseorang saja, lebih dari
itu praktek taqiyah masih relevan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik. Namun dibalik itu kebebasan taqiyah tidak seharusnya menjadi lampu
hijau untuk dipraktekkan dengan tanpa batas dan ketentuan syari’ah, dimana
siapa saja berhak mempraktekkan ajaran ini. Maka adanya ayat yang mendukung
tentang praktek taqiyah seharusnya disandingkan dengan ayat yang menentang
idealogi ini. Sekali lagi penulis katakan, bahwa al-Qur'an bukan tidak
konsisten dalam khitabnya, namun ini adalah salah satu fleksibilitas ajaran
universal al-Qur'an yang mengandung asas prinsip kemaslahatan manusia,
khususnya umat Islam. Adanya tuduhan sesat tentang ajaran ini dikarenakan
kecenderungan dalam mempermudah prakteknya. Setiap pmeudahan yang dipermudah,
maka akan melahirkan kesulitan. Wallah a'lam
[1] KH. Adib Bisri, KH. Munawwaira A.
Fatah, Kamus Indonesia-Arab: Arab-Indonesia Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1999), hal. 785
[2] Cd Rom, Maktabah Syamilah, dalam
kamus lisan al-Arab, bab. Waqa', juz. 15, hal. 401
[4] Lihat kitab Al-Kasykul,
Juz 1, hal. 202
[6] Cd Rom, Maktabah Syamilah, dalam
Maqalat al-Islamiyin, bab maqalat asy-syi'ah, juz. 1, hal. 16
[7] Al-Kaafi, jus II, hal. 219
[8] QS. An-Nahl (16) : 106
[9] As-Suyuti, ad-Durru'l Manthur
Tafsir, vol. 4, p. 4, hal 132; 132; Ar‑Razi, Tafsir Mafatihu al‑Ghaib
; (c) Az‑Zamakhshari, Tafsir al‑Kashshaf , Beirut, vol. 2, p. 2, hal 43.
Hampir semua buku-buku menggambarkan peristiwa ini untuk menjelakan peristiwa taqiyah.
[10] As‑Suyuti, ad‑Durru al‑manthur
, vol. 2, hal. 10-17; Ar‑Razi, Tafsir Mafatihu al-Ghaib , Beirut, edisi
ke-3, vol. 7, hal 13
[11] Cd Rom, Maktabah Syamilah, dalam
Shohih Bukhari, bab kaifa bad'I al-wahyu ila al-Rasul. Juz. I hal. 4
[12] Q.S. AN-Nisa': 77. ayat ini
turun berkenaan dengan peristiwa yang terjadi pada sahabat, mereka beriman dan
membenarkan Rasulullah SAW sebelum diwajibkan kepada mereka jihad, dan padahal
mereka telah diwajibkan sholat dan zakat, lalu mereka memohon kepada Allah agar
difardhukan jihad, maka ketika diwajibkan kepada mereka jihad,merasa merasa
kesusahan, sehingga mereka mengatakan Allah tidak memberikah kepbar tentang
fardhunya jihad dalam kitabnya. Lihat Cd Rom, Maktabah Syamilah, dalam
tafsir Thabari, bab. 77. juz. 8, hal. 547
[13] Q.S. Al-Maidah : 54
[14] Cd Rom, Maktabah Syamilah, bab
ikrah, juz 6, hal. 2542. lihat juga dalam al‑Bukhari, Shohih Bukhari.
edisi Mesir , Vol. 9, hal. 24-25.
[15] Cd Rom, Maktabah Syamilah,
Thabari dalam tafsir Al-Thabari, bab. 28, juz. 6, hal. 313-317.
[16] Cd Rom, Maktabah Syamilah,
Az-Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasyaf, bab 28, juz 1, hal. 265
[17] Seorang ulama tafsir dari madhab
Sunni yang mengarang kitab tafsir mafatih al-Ghaib
[18] Ar‑Razi, Tafsir Mafatih
al-Ghaib , Beirut, edisi ke-3, vol. 7, hal 13
[19] Cd Rom, Maktabah Syamilah.
An-Nasafi dalam tafsir an-Nasafi, bab. Ayat 28, juz. 1, hal. 149
[20] Cd Rom, Maktabah Syamilah.
Dalam tafsir fath al-Qadir. bab ayat 28, juz. 1, hal. 500, dan
pada bab ayat 30, juz 1, hal. 501
[21] Cd Rom, Al-Maktabah al-
Syamilah, dalam kitab Mushanif Ibnu Syaibah, juz. 6, hal. 747, 642,643,
[22] Tufi, Sharhu 'l Arba'in an‑Nawawi
as quoted in Falkun‑Najat, 2nd ed. Lahore, vol. 2, p. 107
Tidak ada komentar:
Posting Komentar