Ilmu hadits merupakan ilmu yang berpautan dengan hadits dan mempunyai banyak ragam dan macamnya. Dalam pada itu, jika dilihat kepada garis besarnya, ilmu hadits terbagi menjadi dua macam saja, yaitu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah, dan ilmu-ilmu tersebut mempunyai sejarah penghimpunannya masing-masing.
Ilmu hadits riwayah maudhu’nya (objeknya) ialah pribadi Nabi, yakni perkataan, perbuatan, taqrir dan sifatnya. Karena hal inilah yang dibahaskan di dalamnya. Sedangkan maudhu’nya (objeknya) dari hadits dirayah ialah mengetahui segala yang berpautan dengan pribadi Nabi, agar kita dapat mengetahuinya dan memperoleh kemenangan dunia akhirat.
A. Pengertian Ilmu Hadits
Yang dimaksud ilmu hadits, menurut ulama mutaqoddimin adalah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَّةِ اِتِّصَالِ اْلأَحَادِيْثِ بِالرَّسُوْلِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَيْثَ مَعْرِفَةِ اَحْوَالِ رَوَّاتِهَا وَظَبْطٍ وَعَدَالَةٍ وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَةِ السَّنَدِ اِتِّصَالاً وَنِقِطَاعًا.
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul saw dari segi hal ikhwal para perawinya, yang menyangkut kedhabitan dan keadilannya, dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya”.
Pada perkembangan selanjutnya oleh ulama mutaakhirin, ilmu hadits dipecah menjadi dua, yaitu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Hadits
1. Ilmu Hadits Riwayah
Yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah, ialah :
اَلْعِلْمُ الَّذِى يَقُوْمُ عَلَى نَقْلِ مَا أُضِيْفَ إِلَىالنَّبِيِّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ أَوْفِعْلٍ اَوْتَقْرِيْرٍ أَوْصِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ أَوْخُلُقِيَّةٍ نَقَلاً وَقِيْقًا مُحَرَّرًا.
“Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadits-hadits yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at maupun tingkah laku”
Ibn al-Akfani, sebagaimana dikutip oleh as-Suyuti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah ialah:
عِلْمٌ يَشْتَمِلُ عَلَىأَقْوَالِ النَّبِىصَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَرِوَايَتِهَا وَضَبْطِهَا وَتَحْرِيْرَ اَلْفَاظِهَا.
“Ilmu pengetahuan yang mencakup perkataan dan perbuatan Nabi saw, baik periwayatannya, pemeliharaannya, maupun penulisan atau pembukuan lafaz-lafaznya”.
Obyek ilmu hadits riwayah ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, dan memindahkan atau mendewankan. Demikian menurut pendapat as-Suyuthi. Dalam menyampaikan dan membukukan hadits hanya disebutkan apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan tentang syadz (kejanggalan) dan ‘illat (kecacatan) matan hadits. Demikian pula ilmu ini tidak membahas tentang kualitas para perawi, baik keadilan, kedhabitan, atau fasikannya.
Adapun faedah mempelajari ilmu hadits riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama, yaitu Nabi saw.
2. Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah, biasa juga disebut sebagai ilmu musthalah al-hadits. At-Tirmisi mendefinisikan ilmu ini dengan :
قَوَانِيْنُ تُحَدُّ يَدْرِي بِهَااَحْوَالُ مَتْنٍ وَسَنَدٍ وَكَيْفِيَّةِ التَحَمُلِ وَاْلأَدَاءِ وَصِفَاتِ الرِّجَالِ وَغَيْرِ ذَلِكَ.
“Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain”.
Faedah mempelajari hadits dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadits, apakah ia maqbul (diterima) dan mardud (ditolak) baik dilihat dari sudut sanad maupun matanya.
C. Cabang-cabang Ilmu Hadits
1. Cabang-cabang pokok dari ilmu hadits
Di antara cabang-cabang besar yang tumbuh dari ilmu hadits riwayah dan dirayah ialah :
a. Ilmu rijalil hadits
b. Ilmul jahri watt t a’dil
c. Ilmu fannil mubhamat
d. Ilmu ‘ilalil hadits
e. Ilmu gharibil hadits
f. Ilmu nasikh wal mansukh
g. Ilmu talfiqil hadits
h. Ilmut tashif wat tahrif
i. Ilmu asbabi wurudil hadits
j. Ilmu mushthalah ahli hadits
2. Ta’rif dan sejarah ilmu rijalil hadits
Ilmu rijalil hadits, ialah :
عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ رُوَاةِ الْحَدِيْثِ مِنَ الصَّحَابِةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ.
“ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya”
Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi yang menerima hadits dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.
Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, madzhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu menerima hadits.
Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadits itu, terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad, merupakan separoh pengetahuan.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya, ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat umum para perawi. Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pembuat hadits maudlu’.
Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dicela dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata-kata yang dipakai untuk itu serta martabat-martabat perkataan.
Dan ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama Muhammad ibn ‘Aqil dan Muhammad ibn ‘Uqail, ini dinamai musytabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat.
Di samping itu ada pula yang hanya menerangkan nama-nama yang terdapat dalam satu kitab atau beberapa kitab.
Dalam semua itu para ulama telah berjerih payah menyusun kitab-kitab yang dihajati. Kitab-kitab yang meriwayatkan keadaan para perawi dari golongan para sahabat.
Permulaan ulama yang menyusun kitab riwayat ringkas para sahabat ialah : al-Bukhary (256 H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad ibn Sa’ad (230 H). Sesudah itu bangunlah beberapa ahli lagi. Diantaranya, yang penting diterangkan ialah Ibn Abdil Barr (463 H), kitabnya bernama al-Isti’ab.
Pada permulaan abad yang ke-7 hijrah, berusahalah Izzudin Ibnu Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun sebelum massanya dalam sebuah kitab besar yang dinamai Ushul Ghabah. Ibnu Atsir ini adalah saudara dari Majduddin Ibnu Atsir pengarang an-Nihayah fi Gharibil Hadits. Kitab Izzudin diperbaiki oleh adz-Dzahaby (747 H) dalam kitab at-Tajrid.
Sesudah itu di dalam abad yang kesembilan hijrah, bangunlah al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama al-Ishabah. Dalam kitab ini dikumpulkan al-Isti’ab dengan Ushul Ghabah dan ditambah dengan yang tidak terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Kitab ini telah diringkas oleh as-Suyuthi dalam kitab ‘Ainul Ishabah.
Al-Bukhari dan Muslim telah menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama shahaby yang hanya meriwayatkan suatu hadits saja yang dinamai wudhdan.
Kemudian, dalam bab ini menulis juga Yahya ibn Abdil Wahab ibn Mandah al-Asabahay (511 H) sebuah kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun.
3. Ta’rif dan sejarah ilmu jahri wat ta’dil
Ilmu jahri wat-ta’dil, pada hakikatnya suatu bagian dari ilmu rijalil hadits. Akan tetapi, oleh karena bagian ini dipandang bagian yang terpenting dipandanglah dia suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Dimaksudkan dengan ilmu jahri wat ta’dil, ialah :
عِلْمُ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ جَرْحِ الرُّواةِ وَتَعْدِيْلِهِمْ بِأَلْفَاظٍ مَحْصُوْصَةٍ وَعَنْ مَرَاتِبِ تَلْكَ اْلاَلْفَاظٍ.
“Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu”.
Mencela para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya) telah tumbuh sejak dari zaman sahabat.
Menurut keterangan Ibnu ‘Ady (365 H) dalam muqaddimah kitabnya al-Kamil, para ahli telah membahas keadaan-keadaan para perawi sejak dari zaman sahabat.
Di antara para sahabat yang membahas keadaan perawi-perawi hadits ialah Ibnu ‘Abbas (68 H), ‘Ubadah ibn Shamil (34 H) dan Anas ibn Malik (93 H).
Di antara tabi’in ialah asy-Sya’by (103 H), Ibnu Sirin (110 H), Sa’id ibn al-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang di cela.
Mulai abad ke dua barulah banyak orang-orang yang lemah, kelemahan itu ada kalanya karena meng-irsalkan hadits, adakalanya karena merafa’kan hadits yang sebenarnya mauquf, dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, semisal Abu Harun al-‘Abdary (143 H).
Sesudah berakhir masa tabi’in, yaitu pada kira-kira tahun 150 hijrah, bergeraklah para ahli pemerkatakan keadaan-keadaan perawi menta’dil dan mentajrihkan mereka.
Maka di antara ulama besar yang memberikan perhatian kepada urusan ini, ialah Yahya ibn Sa’id al-Qaththan (189 H), dan Abdur Rahman ibn Mahdy (198 H).
Sesudah itu barulah para ahli menyusun kitab-kitab Jarh dan Ta’dil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi yang boleh diterima riwayatnya dan yang ditolak.
Di antara pemuka-pemuka jarh dan ta’dil, ialah Yahya ibn Ma’in (233 H) dan masuk ke dalam angkatannya, Ahmad ibn Hanbal (241 H), Muhammad ibn Sa’ad (230 H), Ali ibn Madiny (234 H), Abu Bakar ibn Abi Syaibah (235 H), Ishaq ibn Rahawaih (237 H).
Sesudah itu, ad-Darimy (255 H), al-Bukhary (256 H), al-Ajaly (261 H), Muslim (261 H), Abu Zur’ah (265 H), Abu Hatim ar-Razy (277 H), Abu Daud (275 H), Baqy ibn Makhlad (276 H), Abu Zar’ah ad-Dimasyqy (281 H).
Dan terus berlanjut pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang memperhatikan keadaan perawi, hingga sampailah kepada Ibnu Hajar al-Asqalany (825 H).
4. Kitab-kitab Jarh dan Ta’dil
Kitab-kitab yang disusun mengenai jarh dan ta’dil, ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, atau orang-orang yang mentadlieskan hadits. Dan adapula yang melengkapi semuanya. Di samping itu ada yang menerangkan perawi-perawi sesuatu kitab saja, atau beberapa kitab, ada yang melengkapi segala kitab.
Kitab-kitab yang melengkapi orang-orang kepercayaan dan orang-orang lemah.
Diantara kitab yang melengkapi semua itu, ialah kitab Thabaqat Muhammad ibn Sa’ad az-Zuhry al-Bashary (230 H). Kitab ini sangat besar. Di dalamnya terdapat nama-nama sahabat, nama-nama tabi’in dan orang-orang yang sesudahnya.
Kemudian berusahalah pula beberapa ulama besar lain. Di antaranya, Ali Ibnu Adiny (234 H), al-Bukhary, Muslim, al-Harawy (301 H), dan Ibnu Abi Hatim (327 H). Dan yang sangat berguna bagi ahli hadits dan fiqih, ialah at-Takmil susunan al-Imam Ibnu Katsir.
Kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat dipercaya saja.
Di antara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat dipercayai saja, ialah kitab ats-Tsiqat, karangan al-Ajaly (261 H) dan kitab ats-Tsiqat karangan Abu Hatim ibn Hibban al-Busty. Masuk ke dalam bagian ini, kitab-kitab yang menerangkan tingkatan penghafal-penghafal hadits. Banyak pula ulama yang menyusun kitab ini, di antaranya : adz-Dzahaby, Ibnu Hajar al-Asqalany dan as-Sayuthy.
Kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-lemah saja.
Diantara kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-lemah saja ialah kitab adl-Dlu’afa karangan al-Bukhary dan kitab adl-Dlu’afa karangan Ibnul Jauzy (597 H).
Kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang mentadliskan hadits.
Diantara kitab-kitab tersebut, ialah kitab at-Tabyin, susunan Ibrahim ibn Muhammad al-Halaby (841 H). Yang mula-mula menyusun kitab dalam bab ini, ialah al-Imam Husain ibn ‘Ali al-Karabisy (248 H).
Kitab-kitab yang disusun mengenai perawi-perawi dalam kitab-kitab yang tertentu.
Diantaranya, kitab yang menerangkan perawi-perawi al-Bukhary, karangan Ahmad ibn Muhammad al-Kalabaday (398 H), dan kitab yang menerangkan perawi-perawi muslim karangan Ibnu Manjaweh (428 H).
Di antara kitab yang mengumpulkan perawi-perawi dalam kitab enam ialah Abu Muhammad Abdul Ghany al-Maqdisy (660 H), kitabnya bernama al-Kamal, kitab tersebut disunting kembali oleh al-Mizzy (742 H). Kemudian kitab-kitab tersebut dibersihkan lagi oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Tahdzibut Tahdzib.
Kitab-kitab yang menerangkan tanggal-tanggal wafat para muhadditsin.
Yang mula-mula menulis kitab menerangkan tanggal-tanggal wafat para muhadditsin, ialah Abu Sulaiman Muhammad ibn Abdillah (234 H). Kemudian kitab itu disambung oleh Kattany (466 H). Dan kitab tersebut disambung lagi oleh beberapa ahli hingga sampai kepada sambungan yang dibuat oleh Zainuddin al-‘Iraqy (806 H).
Kitab-kitab yang menerangkan nama-nama, kuniah-kuniah dan laqab-laqab.
Di antara perawi hadits ada yang terkenal dengan namanya, ada yang terkenal dengan kuniahnya. Di antara kitab yang menernagkan kuniah-kuniah ialah adz-Dzahaby. Dan di antara yang menyusun kitab yang menerangkan laqab-laqab ialah Abu Bakar asy-Syirazy (407 H), Ibnul Jauzy (597 H) dan Ibnu Hajar al-Asqalany.
Diantara nama-nama dan keturunan-keturunan, ada yang serupa tulisannya, berlainan sebutannya, seperti salam dan sallam. Ini dinamai mu’talif dan mukhtalif.
Diantaranya ada pula yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan orang, seperti al-Khalil ibn Ahmad, nama bagi beberapa orang ini dinamai muttafiq dan muftariq.
Dalam tiap-tiap macam ini, telah dibuat kitab. Diantara yang menyusun macam pertama, Abu Ahmad al-Askary (283 H) dan Abdul Ghany ibn Sa’id (409 H). Dan diantara yang menyusunnya pula ialah Ali ibn Utsman al-Maradiny (750 H). Diantara yang menyusun macam yang kedua dan macam ketiga ialah Abu Bakar Ahmad al-Khatib.
Kitab-kitab yang menerangkan penghafal yang rusak pikiran di kala telah tua.
Diantara ulama yang menyusun kitab ini ialah al-Hazimy, dan diantaranya pula, Burhanuddin ibnul ‘Ajamy (841 H). Kitabnya bernama al-Ightibath Billma’rifati man Rawa bil Ikhtilath.
5. Ta’rif dan sejarah ilmu fannil mubhamat
Dimaksud dengan ilmu ini, ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ الْمُبْهَمُ الَّذِي وَقَعَ فِىالْمَتْنِ أَوْ فِىالسَّنَدِ.
“Ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut di dalam matan, atau di dalam sanad”
Di antara yang menyusun kitab ini, al-Khatib al-Baghdady. Kitab al-Khatib itu diringkaskan dan dibersihkan oleh an-Nawawy dalam kitab al-Isyarat ila Bayani Asmail Mubhamat.
Perawi-perawi yang tidak disebut namanya dalam Shahih Bukhari diterangkan dengan selengkapnya oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalany dalam Hidayatus Sari Muqoddamah Fathul Bari.
6. Ta’rif dan sejarah ilmu tashrif wat tahrif
Ilmu tashrif wat tahrif, ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَا صُحِّفَ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ وَمَاخُرِفَ مِنْهَا.
“Ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah dirubah titiknya (yang dinamai mushahhaf) dan bentuknya yang dinamai muharraf”.
Di antara kitab yang menerangkan ilmu ini, ialah kitab ad-Daruquthny (385 H) dan kitab at-Tashhif wat Tahrif, karangan Abu Ahmad al-Askary (283 H).
7. Ta’rif dan sejarah ilmu ‘ilalil hadits
Ilmu ‘ilalil hadits, ialah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ أَسْبَابِ غَامِضَةٍ خَفِيَّةٍ قَادِجَةٍ فِىصِحَّةِ الْحَدِيْثِ.
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits”.
Yakni menyambung yang munqathi’, merafa’kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits yang lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat merusakkan keshahihan hadits.
Ilmu ini, ilmu yang berpautan dengan keshahihan hadits. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadits, melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.
Di antara para ulama yang menulis ilmu ini ialah : Ibnu Madiny (234 H), Ibni Abi Hatim (327 H). Kitab beliau ini dinamai kitab Ilalil Hadits. Dan di antara yang menulis kitab ini pula, al-Imam Muslim (261 H), ad-Daruquthny (375 H), dan Muhammad ibn Abdillah al-Hakm.
8. Ta’rif dan sejarah ilmu gharibil hadits
Ilmu gharibil hadits, ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَعْنَى مَاوَقَعَ فىمتون اْلاَحَادِيْثِ مِنَ اْلأَلْفَاظِ الْعَرَبِيَّةِ عَنْ أَذْهَانِ الَّذِيْنَ بَعْدَ عَهْدِهِمْ بِالْعَرَبِيَّةِ الْخَالِصَةِ.
“Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”.
Sesudah berlalu masa sahabat, yakni abad pertama, dan para tabi’in pada tahun 150 H mulailah bahasa Arab yang tinggi, tidak diketahui lagi oleh umum. Oleh karena it, berusahalah para ahli mengumpulkan kata-kata yang dipandang tak dapat dipahamkan oleh umum dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari dalam suatu kitab dan mensyarahkannya.
Menurut sejarah, yang mula-mula berusaha dalam bab ini ialah Abu Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (210 H), kemudian usaha itu diluaskan lagi oleh Abul Hasan al-Maziny (204 H). Usaha beliau-beliau ini berlaku di penghujung abad kedua hijrah.
Di awal abad ketiga hijrah berusahalah Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Sallam (244 H) menyusun kitabnya yang terkenal dalam ilmu gharibil hadits, yang diusahakan dalam tempo 40 tahun. Kitabnya mendapat sambutan dari masyarakat, sehingga datang massanya Ibnu Qutaibah ad-Dainury (276 H). Beliau menyusun kitabnya yang terkenal pula.
Maka dengan terdapat dua kitab itu, terkumpullah sebagian besar dari kata-kata yang gharib. Sesudah itu, berusaha pula beberapa ahli, sehingga sampai kepada masa al-Khaththaby (378 H). Dan setelah kitabnya selesai, terdapat tiga induk kitab bagi segala kitab gharibil hadits.
Sesudah itu berusaha pula az-Zamakhsyari menyusun kitabnya yang dinamai al-Fa-iq. Kitab ini tinggi nilainya, disusun secara abjad. Sesudah itu bangun pula Abu Bakar al-Asybahany (581 H), menyusun kitabnya dengan mengikuti sistem al-Harawy.
Sesudah itu datanglah Ibnul Atsier (606 H), lalu menyusun kitabnya an-Nihayah. Kitab inilah sebesar-besar kitab gharibil hadits yang terdapat dalam masyarakat Islam. Kitab ini diikhtisarkan oleh as-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya yang dinamai ad-Durrun Natsier.
Kiranya, kitab an-Nihayah ini mencukupi bagi seseorang di dalam mempelajari arti kata-kata yang sukar dan ganjil yang terdapat dalam matan-matan hadits.
9. Ta’rif dan sejarah ilmu nasikh wal mansukh
Ilmun nasikh wal mansukh
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ النَّاسِخِ وَالْمَنْسُوْخِ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ.
“Ilmu yang mempelajari hadits-hadits yang sudah dimansukhkan dan yang menasikhkannya”.
Apabila didapati suatu hadits yang maqbul, tak ada perlawanan, dinamailah hadits tersebut muhkam. Dan jika di lawan dengan hadits yang sederajat, tapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar, maka hadits itu dinamai mukhtaliful hadits. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu dinamai nasikh dan yang terdahulu dinamai mansukh.
Banyak para ahli yang menyusun kitab nasikh dan mansukh ini, diantaranya Ahmad ibn Ishaq a-Dienary (318 H), Muhammad ibn Bahar al-Ashbahany (322 H), Ahmad ibn Muhammad an-Nahnas (388 H), dan sesudah beberapa ulama lagi menyusunnya. Datanglah Muhammad ibn Musa al-Hazimy (584 H) menyusun kitabnya yang dinamai al-I’tibar. Kitab al-I’tibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu ‘Abdil Haq (744 H).
10. Ta’rif dan sejarah ilmu asbabi wurudil hadits
Ilmu ini ialah :
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ السَّبَبُ الَّذِى وَرَدَ ِلأَجْلِهِ الْحَدِيْثُ وَالزَّمَانُ الَّذِي جَأَفِيْهِ.
“Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu”.
Penting diketahui, karena itu ini menolong kita dalam memahamkan hadits, sebagai ilmu Asbabun Nuzul menolong kita dalam memahamkan al-Qur’an.
Ulama yang mula-mula menyusun kitab ini ialah Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn Raja al-Ukbary, dari murid Ahmad (309 H). Dan kemudian ditulis pula oleh Ibrahim ibn Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah al-Husainy (1120 H), dalam kitabnya al-Bayan wat Ta’rif yang telah dicetak tahun 1329 H.
11. Ta’rif dan sejarah ilmu talfiqil hadits
Ilmu talfiqil hadits ialah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنِ التَّوْقِيْفِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الْمُتَنَاقِضَةِ ظَاهِرًا.
“Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antara hadits-hadits yang berlawanan lahirnya”.
Dikumpulkan itu adakala dengan mentakshishkan yang ‘amm, atau mentaqyidkan yang mutlaq, atau dengan memandang banyak sekali terjadi.
Ilmu ini juga dinamai dengan ilmu mukhtaliful hadits. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun ilmu ini ialah: al-Imam asy-Syafi’i (204 H), Ibnu Qutaibah (276 H), Ath-Thahawy (321 H) dan Ibnul Jauzy (597 H). Kitabnya bernama at-Tahqiq. Kitab ini sudah disyarahkan oleh al-ustadz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
12. Ta’rif dan sejarah ilmu musthalah ahli hadits
Ilmu mushthalah ahli hadits ialah :
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَمَّااصْطَلَعَ عَلَيْهِ الْمُحَدِّثُوْنَ وَتَعَارَفُوْهُ فِيْمَا بَيْنَهُمْ.
“Ilmu yang menerangkan pengertian-pengertian (istilah-istilah yang dipakai oleh ahli-ahli hadits”.
Ilmu yang mula-mula mengusahakan ialah Abu Muhammad ar-Rahamurmuzy (360 H). Kitab ini boleh dikatakan hampir lengkap isinya, sesudah itu barulah para ulama meluaskan gelanggang ilmu ini. Yang mula-mula mengusahakannya al-Hakim ibn Abdillah an-Naisabury.
Sesudahnya, Abu Nu’aim al-Ashbahany, kemudian datanglah Ahmad yang terkenal dengan sebutan al-Khatieb (463 H) lalu menyusun berbagai kitab dalam pengetahuan ini. Ulama-ulama yang datang sesudahnya, boleh dikatakan berpegang kepada kitab-kitabnya.
Sesudah itu datang al-Hafidh ibn Shalah (463 H) menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Muqaddamah ibn Shalah. Kitab ini mendapat sambutan hangat dari ulama. Ada ulama yang membantahnya ada ulama yang mempertahankan isinya. Ada yang menadhamkannya. Ada yang mengikhtisharkannya. Ada yang mensyarahkannya. Ada yang menambah sedikit-sedikit isinya.
Di antara yang memukhtasarkannya, an-Nawawy (676 H) dalam kitabnya al-Irsyad. Kemudian diikhtisarkan lagi mukhtasharnya itu dalam kitab at-Taqrieb. At-Taqrieb ini telah disyarahkan oleh as-Sayuthy dalam kitab Tadriebu Rawi.
Zainuddin al-‘Iraqy (805 H) menadhamkan kitab Ibnush Shalah dengan memberi beberapa tambahan dalam seribu baris. Kitab ini diselesaikan pada tahun 768 H dan disyarahkan dengan sebuah kitab yang dinamai Fat-hul Mughits yang selesai dikerjakan pada tahun 771 H. Kitab ini kemudian diberi komentar oleh al-Biqa’y (855 H) dalam kitabnya yang dinamai an-Nukatul Waiyah.
Di antara kitab-kitab ringkas yang mengenai ilmu ini, ialah Nukhbatul Fikar dan syarahnya Nuzhatunnadhar, susunan al-Asqalany yang telah disyarahkan lagi oleh banyak ulama yang datang sesudahnya.
Di antara kitab yang mushthalah yang tinggi nilainya, ialah Taujihun Nadhar fi Ushulil Atsar karangan asy-Syaikh Thahir al-Jaza-iry dan Qawa’idul Tahdiets karangan Allamah Jamaluddien al-Qasimy.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ilmu hadits adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasul saw dari segi hal ikhwal para perawinya yang menyangkut kedhabitan dan keadilannya, dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan sebagainya. Ilmu hadits dipecah menjadi dua, yaitu : ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah, dan keduanya masih dibagi menjadi beberapa cabang, yaitu Ilmu rijalil hadits, Ilmul jahri watt t a’dil, Ilmu fannil mubhamat, Ilmu ‘ilalil hadits, Ilmu gharibil hadits, Ilmu nasikh wal mansukh, Ilmu talfiqil hadits, Ilmut tashif wat tahrif, Ilmu asbabi wurudil hadits, Ilmu mushthalah ahli hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1999, cet.ke-4.
As-Suyuthi, Tadrib al-Rawy fi Syarh Taqrib an-Nawawi, Juz I, Beirut : Dar al-Fikr, 1988.
Muhammad Ajjaj al-Khathib, As-Sunnah Qabla at-Tadwin, Beirut : Dar al-Fikr, 1997, cet. ke-6.
Muhammad Mahfudz ibn Abdillah at-Tirmisi, Manhaj Dzawil an-Nazhar, Jeddah: al-Haramain, 1974.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar