Senin, 21 Mei 2012

Etika Konghuchu

Agama Kong Hu Chu, memperoleh nama menurut nama pendirinya, yaitu Kong Fu Tze[1] (551-479 SM). (Sou’yb, 1997 : 167). Kong hu chu memang bukanlah pencipta agama ini melainkan beliau hanya menyempurnakan agama yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya, meskipun orang kadang mengira bahwa Kong hu chu adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia.
Ajaran utama Confucius menekankan cara menjalani kehidupan yang harmonis dengan mengutamakan moralitas atau kebajikan. Sebenarnya kalau orang mau memahami secara benar dan utuh tentang Ru Jiao atau agama Kong hu chu, maka orang akan tahu bahwa dalam agama Kong hu chu (Ru Jiao) juga terdapat Ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Agama Khong hu chu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut “Ren Dao[2] dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang Khalik atau Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah “Thian” atau “Shang Di”.
Jalan suci yang dibawa oleh ajaran agama itu ialah kebajikan gemilang, karunia Thian yang memancarkan cahaya di dalam diri manusia. Mengasihi sesame makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan sekuat tenaga dan upaya melaksanakannya itu sehingga mencapai dan berhenti di puncak kebaikan yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa. Agar hati senantiasa dalam jalam yang suci, maka senantiasa ambillah sari pati, senantiasa ambillah Yang Esa itu, pegang teguh tepat tengah; sikap hidup tengah sempurna, tepat dan harmonis-selaras, serasi dan seimbang-ke atas satya kepada Thian, mendatar mencintai, tepasarira, dapat dipercaya kepada sesama dan menyayangi lingkungan. (Tjai Ing, 2005, : 179-180)
Manusia harus meneguhkan ketulusan Iman karena itu merupkan dasar kehidupan beragama, pangkal dan ujung segenap wujud, tanpa Iman sesuatu pun tidak ada. Tuhan dalam konsep Konghucu tidak dapat diperkirakan dan ditetapkan, namun tiada satu wujud pun yang tanpa Dia. Dilihat tiada nampak, didengar tidak terdengar, namun dapat dirasakan oleh orang beriman. Dalam Yijing dijelaskan bahwa Tuhan itu Maha Sempurna dan Maha Pencipta (Yuan) ; Maha Menjalin, Maha Menembusi dan Maha Luhur (Heng) ; Maha Pemurah, Maha Pemberi Rahmat dan Maha Adil (Li), dan Maha Abadi Hukumnya (Zhen).
Bila seseorang menjalankan Iman dengan lurus dan tulus, takut padaNya, mengikuti hokum dan FirmanNya, maka kelak dia akan berbahagia dan terpelihara. Namun bilamana seseorang melanggar dan melawan hukumnya, maka dia akan binasa. Thian tidak senantiasa dekat, tetapi Dia dekat kepada yang hormat yaitu orang yang memiliki “kebajikan”. Manusia wajib mengembangkan benih-benih kebajikan mengamalkannya dalam hidup dan memuliakan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa serta menjadikan dirinya insan yang dapat dipercya sebagai makhluk yang satya kepada khaliknya dan sebagai saudara sejati kepada sesama.
Untuk mewujudkan pernyataan bakti maka diadakan Li, kesusilaan dan peribadatan did lam kehidupan agama. Kesusilaan dan peribadatan ialah rukun yang dierima oleh para sing Jien, nabi dan raja suci purba sebagai jalan suci Tuhan (Thian Too) untuk mengatur hidup manusia yang wajib ditempuhnya sebagai Jalan Suci Manusia (Jien Too). Dengan melaksanakan Jalan Suci Manusia yang dibimbing agama, dengan ridho Tuhan Yang Maha Esa akan diperoleh hidup damai dan sentosa dalam hidup pribadi, keluarga, masyarakat, negara, dunia, manupun akhitrat. (Tjay Ing, 2005 : 179-183)
Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengan manusia di bumi dengan baik. Penganutnya diajar supaya tetap mengingat nenek moyang seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan susunan falsafah dan etika yang mengajar bagaimana manusia bertingkah laku. Konfusius tidak menghalangi orang Tionghoa menyembah keramat dan penunggu tapi hanya yang patut disembah, bukan menyembah barang-barang keramat atau penunggu yang tidak patut disembah, yang dipentingkan dalam ajarannya adalah bahwa setiap manusia perlu berusaha memperbaiki moral.
Seperti halnya ajaran pokok agama lain, dalam agama Kong hu chu dikenal hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Khalik dan hubungan horizontal antara sesama manusia.  Dalam kosa kata Agama Kong hu chu disebut sebagai Zhong Shu, Satya kepada (Firman) Tuhan, dan Tepasalira (tenggang rasa).  Prinsip tepasalira ini kemudian ditegaskan dalam beberapa sabdanya yang terkenal, “Bila diri sendiri ingin tegak (maju), berusahalah agar orang lain tegak (maju)” dan “Apa yang diri sendiri tiada inginkan, jangan diberikan kepada orang lain”. Sabda ini dikenal sebagai “Golden Rule[3] (Hukum Emas) yang bersifat Yin dan Yang.[4] (Arifin, 1986 : 29-30)
Dapat diketahui dari uraian di atas bahwa yang menjadi dasar moralitas universal ajaran Kong Hu Chu adalah kebajikan. [5]

1.   Konsep Etika Konghucu
Ajaran yang paling mendalam dari Kǒngzǐ terletak pada tekanannya untuk membangun diri atau pemberadaban diri (self-cultivation), keteladanan moral serta kemampuan untuk membuat keputusan yang terlatih baik, ketimbang pengetahuan akan hukum-hukum alam. Etikanya dengan begitu lebih merupakan etika kebajikan (virtue ethics). Karena Konfusianisme tidak membedakan manusia dari masyarakat selayaknya subjek versus objek seperti dalam filsafat Barat, dalam Konfusianisme etika lantas bertumpang-tindih dengan politik. Jadi sebenarnya mirip dengan pandangan Aristoteles yang mengajarkan bahwa politik itu harus mengandung etika. (Kusumohamidjojo, 2010 : 4)
Metoda Konfusius jarang bersifat argumentatif, sehingga gagasan-gagasannya kerapkali disampaikan melalui kiasan atau sindiran, dan bahkan pengulangan (tautology). Ada sejumlah contoh yang memperlihatkan keutamaan manusia ketimbang materi dalam Lùn-yǚ. Itulah sebabnya mengapa para pengamat dari Barat maupun Timur kerap memandang Konfusius sebagai pelopor dari awal humanisme, dan pandangan Konfusius itu tampil jauh sebelum humanisme masuk ke dalam filsafat Barat.
Oleh para pengamat Barat, Kǒngzǐ juga kerap dibandingkan dengan Sokrates (469-399 SM) yang lahir sepuluh tahun sesudah Konfusius meninggal. Namun Konfusius sangat berbeda dari Sokrates dalam pendekatan terhadap realitas. Jika Sokrates dalam kerangka filsafat Yunani mempelopori filsafat manusia dengan nuansa yang metafisik, Konfusius jauh lebih down to earth, membumi, dan langsung menohok persoalan kualitas manusia dan kualitas perbuatan manusia sebagai sasarannya.
Filsafat Tiongkok pada umumnya memang lebih tertuju pada etika sosial serta kerukunan dengan alam, dan hampir tidak punya interest untuk epistemologi dan logika. Hal itu lekas nampak dari prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh Konfusius. Banyak orang berpendapat bahwa filsafat India atau Tiongkok itu bersifat intuitif atau mistikal, seperti yang dengan mudah kita jumpai dalam Daoisme, namun menurut Ross, orang Barat, Konfusianisme konon adalah seratus kali lebih rasional dari filsafat Barat.
Berikut adalah konsep-konsep rasionalisme Konfusian yang memainkan peranan mendasar :
1)   zhèngmíng[6] (pembenaran atau penegakan nama, rectification of names);
2)   (kebajikan, budi, righteousness);
3)   rén (kebaikan manusiawi, human heartedness), yang diurai menjadi:
-    zhōng (hati nurani untuk orang lain, conscientiousness to others);
-    shù (sikap mementingkan orang lain, altruism); dan
-    xìao (respek, rasa hormat, filial piety);
4)   (ritual, prosedur, rites);
5)   Tiānmìng (perintah langit, nasib,  fate).
Bila seseorang mampu menjalani 5 konsep tersebut dengan baik, maka ia diharapkan mampu menjadi seorang Junzi (Kuncu), atau orang yang beriman (dan tentu saja berbudi pekerti luhur) dan ia diharapkan akan menjadi manusia yang terpercaya atau dapat dipercaya (Xin).  Pokok ajaran inilah yang biasa disebut sebagai “Lima Kebajikan” atau Wu Chang.
Zhèngmíng, pembenaran atau penegakan nama. Prinsip ini pada dasarnya adalah prinsip identitas seperti dalam filsafat Aristoteles : setiap realitas mempunyai nama (identitas). Jika nama itu digunakan secara tidak benar atau campur aduk, kita akan mendapatkan kekacauan dalam segala hal.
Kǒngzǐ hidup pada masa Cina hidup dalam dalam ketidakteraturan, degradasi moral, dan anarki intelektual. Seorang muridnya bertanya apa yang akan Kǒngzǐ lakukan jika Kǒngzǐ memerintah negara. Kǒngzǐ menjawab bahwa hal satu-satunya yang perlu dilakukan adalah pembetulan nama. Seorang penguasa hendaknya bersikap sebagai seorang penguasa, seorang menteri bersikap sebagai seorang menteri, seorang bapak bersikap sebagai seorang bapak, dan seorang anak bersikap sebagai seorang anak. (Takwin, 2003 : 87-89)
Interpretasi antropologisnya adalah: setiap orang harus menjalankan peranan yang sesuai dengan status yang didukungnya. Konsekuensinya yang terbaca oleh Kǒngzǐ adalah jika seorang penguasa memperlakukan negara sebagai seorang bapak, itu akan mengacaukan negara, begitu juga sebaliknya, dan seterusnya. Jadi sasaran dari penegakan nama atau rectification of names yang seperti sepele nampaknya itu sebenarnya merupakan upaya untuk menyesuaikan identitas dengan struktur dari realitas. Realisasi yang sesungguhnya dari penegakan nama (rectification of names) terjadi sebagai penegakan perilaku (rectification of behavior).
Jika perilaku kebanyakan orang bisa ‘diluruskan’, jamaknya adalah perilaku masyarakat pada umumnya juga akan tertib dan damai. Pada akhirnya yang hendak dicapai adalah memang suatu tatanan organisatoris masyarakat yang tertib dan teratur yang berpangkal pada disiplin pribadi.
, kebajikan. Pada tahap Konfusianisme awal dan merupakan konsep-konsep yang bertalian erat. bisa diterjemahkan sebagai kebajikan (righteousness), meski konsep ini juga bisa berarti semata-mata “apa yang sebaiknya dilakukan pada suatu situasi tertentu”. Menurut Konfusius, motivasi dasar dari setiap manusia utama (gentleman, jūnzǐ) adalah untuk menegakkan , bahkan juga jika disadarinya bahwa hal itu merupakan ilusi.
Untuk Konfusius, atau kebajikan itu juga menjadi jelas hanya dalam kontradiksi dengan atau keuntungan (profit). Konfusius mengatakan: “orang besar itu memahami kebajikan, sedangkan orang kecil itu memahami untung.” Maksudnya adalah, bahwa orang-orang besar (manusia utama, superior men) itu pada umumnya mengurusi urusanurusan besar, yaitu urusan masyarakat dan negara, sedangkan orang kecil atau rakyat jelata biasanya sekadar memikirkan dirinya sendiri. Meski mengejar kepentingan sendiri itu belum tentu adalah jelek juga, seseorang akan menjadi orang yang lebih baik dan lebih baik jika dia memotivasi hidupnya berdasarkan pada kebaikan kepentingan yang lebih besar yang merupakan tujuan dari . Inilah yang dimaksudkan dengan berbuat yang benar untuk tujuan yang benar.
Rén, kemanusiaan (humanitas). Konsep rén adalah konsep yang juga teramat penting dalam ajaran Konfusius, karena pada dasarnya Konfusius menghendaki bahwa rén itu pada akhirnya menjadi cita-cita dari setiap orang. Rén merupakan dasar dalam etika maupun teori politik Konfusian. Rén merupakan kebajikan dalam memenuhi kewajiban seseorang terhadap sesamanya dan sering diterjemahkan sebagai ‘kebaikan’ atau ‘kemanusiaan’. Karena itu konsep rén ini sebenarnya merupakan pangkal dari keseluruhan ajaran Konfusius yang menjadikan pendidikan moral individu sebagai awal untuk mendirikan keluarga yang baik, kemudian berlanjut kepada penegakan ketertiban negara dan akhirnya membangun tertib dunia.
Kebajikan dengan demikian bertumpu pada harmoni dalam hubungan dengan orang lain yang dihasilkan oleh praktik etis melalui proses identifikasi dari kepentingan diri dan kepentingan orang lain. Dalam Lùn-yǚ XII : 22[7] umpamanya dikatakan: “kebaikan manusia itu terjadi dalam mengasihi orang lain”. Meski begitu, sikap itu bukan tanpa syarat, karena juga menyangkut soal keadilan. Ketika ditanya, apakah perbuatan batil harus dibalas dengan kebaikan, Konfusius kabarnya balik bertanya: lantas kebaikan itu dibalas dengan apa? Karena itu dia ada mengatakan: “Balaslah yang jahat dengan keadilan, dan balaslah kebaikan dengan kebaikan.” Sikap ini membawa dampak pada usaha untuk membangun sistem politik yang berpangkal pada soal keteladanan. Dia bilang, jika penguasa tidak punya rén, akan sulit untuk mengharapkan bahwa rakyat tidak menjadi beringas.
Zhōng dan shù[8] adalah prinsip untuk menegakkan konsep rén. Zhōng atau hati nurani diterjemahkan sebagai loyalitas dan sebenarnya merupakan penerapan dari xìao (rasa hormat) dalam tataran kenegaraan. Prinsipnya adalah, bahwa orang harus loyal kepada penguasa karena penguasa itu memegang Tiānmìng, atau mandat dari langit. Mandat itu diterimanya karena keutamaan moral yang dimilikinya. Dalam sejarah Tiongkok sering ada interpretasi bahwa pemberontakan bisa terjadi karena seorang raja atau kaisar tidak lagi mentaati Tiānmìng. Meski demikian, dalam sejarah Tiongkok kerap juga terjadi bahwa prinsip ini dijungkir-balikkan menjadi kesewenangan penguasa.
Xìao, respek. Ketertiban dalam hubungan antar-manusia yang hendak dicapai melalui zhèngmíng itu menjadi lebih jelas melalui prinsip xìao yang dalam bahasa Inggris kerap diterjemahkan sebagai filial piety (Latin: pietas filialis, yaitu kebajikan/hormat religius yang harus ditunjukkan oleh anak kepada orang tuanya). Menurut Konfusius, orang yang berkebajikan (memiliki rén) karena menjalankan zhōng (hati nurani) dan shù (altruisme, lawan dari egoisme), niscaya menjalankan xìao juga. (Kusumohamidjojo, 2010 : 7)
Praksis dari xìao dijelaskan lebih jauh secara analogis dalam naskah Zhōngyōng (Ajaran Jalan Tengah) yang ditulis oleh Kǒng Zǐsī, cucu dari Konfusius, atau yang dapat kita fahami sebagai ‘Prinsip Jalan Tengah’. Dalam syair XX : 8 disebut prinsip ‘Lima Kewajiban Universal’, wǔlún, dan isinya adalah pengaturan hubungan antara:
a)   raja dan rakyatnya. Jika tercapai hubungan yang seimbang, maka raja akan bertindak adil dan melindungi raknyatnya, dan rakyat akan setia dan taat kepada rajanya. (Yang Seung-Yoon, 2005 : 10)
b)   bapak dengan putranya (paralel nampaknya adalah prinsip hubungan antara orang-tua dengan anak laki maupun perempuan); Jika tercapai hubungan yang seimbang, maka ayah mencintai anaknya dan anak menghormati ayahnya.
c)   suami dengan isterinya;
d)  saudara tua dan saudara muda. Jika tercapai hubungan yang seimbang, maka yang lebih tua berlaku baik terhadap yang muda dan yang muda menghormati yang lebih tua;
e)   kawan yang lebih tua dan yang lebih muda umurnya. Jika tercapai hubungan yang seimbang, maka timbul perasaan kasing sayang terhadap satu sama lain dan yang satunya menghormati dan menghargainya.
Prinsip xìao ini banyak pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari orang Tionghoa dan bukan hanya mewajibkan subordinasi, melainkan mengharuskan juga menjaga 5 hubungan timbal balik atau hierarki[9] tersebut sebagai suatu lingkaran keseimbangan hidup, yaitu hubungan yang seimbang. (Arifin, 1986 :  32)
Prinsip itu tercermin juga dalam hukum pidana. Misalnya : anak yang melakukan kejahatan terhadap orangtuanya bisa dihukum lebih berat dari biasanya. Dalam setiap hubungan, orang yang superior (bapak, suami, dst.) mempunyai kewajiban mengasihi dan menjaga terhadap orang-orang yang dibawahnya (putra, istri, dst.). Pada ruang lingkup berikutnya pola relasi dalam konteks keluarga itu diterapkan juga dalam konteks sosial. Sang bawahan harus taat kepada atasannya. Kekecualiannya adalah untuk hubungan antar-teman. Itupun jika salah satu lebih tua, hubungannya menjadi seperti kakak-adik.
[10], ritual. Pada satu ketika Kǒngzǐ membenarkan, bahwa konsep lǐ  itu sekunder sifatnya. yang mencerminkan etika Konfusian bertumpu pada tiga aspek kehidupan : ritual persembahan bagi leluhur dan berbagai dewa, tegaknya lembaga-lembaga social dan politik, serta ketaatan kepada tata-krama dalam kehidupan sehari-hari. Di zaman Tiongkok kuno, konsep itu mempunyai makna yang sangat lebar, dia bisa berarti sopan santun, segala adat kebiasaan, sampai kepada institusi-institusi sosial dan politik yang kompleks.
Menurut Konfusius itu terjadi dari perilaku para orang bijak dalam sejarah manusia dan tidak terlalu berhubungan dengan langit, Tiān. Konsep itu lebih berurusan dengan perilaku seseorang dalam rangka ikut membangun masyarakat yang ideal dari pada mentaati ritual upacara. Konsep itu lebih mengedepankan bahwa orang selalu berhadapan dengan pilihan untuk melakukan perbuatan yang benar di saat yang benar, dan karena itu bertumpu pada latihan diri untuk mengikuti seperti yang telah dipraktikkan oleh para orang bijak zaman dahulu dan terutama mencakup penilaian etis mengenai kapan harus dijalankan dalam konteks yang situasional.
Tiānmìng (perintah langit, nasib, fate). Filsafat Tiongkok mengenal apa yang disebut Tiānmìng, yang secara harfiah diartikan sebagai perintah langit. Maksudnya, jika langit atau sorga sudah menghendaki begitu, tidak bisa terjadi lain. Karena itu Tiānmìng kerap difahami sebagai nasib, takdir atau keputusan langit, tetapi kerap juga ditafsirkan sebagai mandat kepada kaisar. Dalam Lùn-yǚ XIV : 38[11] dikatakan: “jika prinsip-prinsip saya bisa tegak di bumi, itulah Tiānmìng. Jika prinsip-prinsip saya runtuh, itu juga Tiānmìng.” Lantas dibilang juga: “barang siapa tidak tahu Tiānmìng, dia tidak bisa menjadi orang besar.” Menurut Konfusius, kita memang tidak bisa merubah nasib itu, tetapi kita dapat menentukan apa yang mau kita hasilkan dalam hidup ini dan sebagai apa kita hendak dikenang orang setelah kita mati.
Perintah langit itu erat kaitannya dengan kepercayaan tradisional orang Tionghoa bukan hanya akan Shàngdì, melainkan juga akan adanya makhluk tak berwujud dan arwah leluhur. Kendati begitu, Konfusius sendiri cenderung untuk menghindar dari soal-soal metafisik. Ketika dia ditanya komentarnya soal arwah leluhur dan dunia akhirat, dia bilang: “ketika kau tak mampu mengabdi pada manusia, bagaimana pula kau mau mengabdi pada arwah-arwah?”, dan juga “manakala kau tak faham tentang hidup, mana pula kau mau faham tentang akhirat?” Nyata sekali sikapnya yang pragmatis.
Belajar atau lebih tepat  pendidikan dan proses belajar, menempati kedudukan penting dalam ajaran Konfusius. Bagi Konfusius, pendidikan itu jalan wajib untuk menjadi manusia utama (gentleman,  jūnzǐ). Kewajiban itu makin besar, sejalan dengan kedudukan dan tanggung jawab seseorang dalam masyarakat. Persis seperti kata orang Prancis: noblesse oblige. Dalam kerangka inilah jūnzǐ itu adalah orang yang mengutamakan orang lain dan kebajikan. Kebalikan dari jūnzǐ adalah xiáorén dan artinya adalah betul-betul orang kecil (xiáo, kecil; rén, orang), karena orang-orang jenis ini hanya mementingkan diri sendiri dan keuntungan pribadi.
Menurut Konfusian anak petani bisa saja menjadi jūnzǐ, sedangkan anak kaisar yang tak tahu malu juga bisa menjadi xiáorén. Konfusius sendiri dikenal sebagai pembelajar yang tekun. Maka tidak heran jika dia berpengaruh besar pada pendidikan di Tiongkok kuno. Pada tahun 124 SM, jadi dalam zaman Dinasti Hàn awal, sebuah sekolah tinggi didirikan untuk pendidikan dalam Konfusianisme. Para mahasiswanya berjumlah sekitar 30.000 orang. Mereka itu mempersiapkan diri untuk menempuh ujian guna menempati jabatan-jabatan publik, suatu praktik yang sudah mulai diselenggarakan sejak zaman Dinasti Zhōu, kira-kira 500 tahun sebelumnya.
Dŏng Zhòngshū (ca. 179-104 SM) yang Neo-Konfusianis berperanan besar dalam memantapkan sistem ini. Konsep pendidikan Konfusius menjadi dasar bagi system meritokrasi dalam pemerintahan kekaisaran Tiongkok. Artinya, siapapun bisa masuk pemerintahan asal lulus ujian. Setelah runtuhnya Dinasti Qín, Kaisar Hàn Wǔdì dari Dinasti Hàn menerapkan Konfusianisme, sehingga mulai tahun 165 SM diberlakukan sistem ujian negara untuk mengangkat pegawai atau pejabat pemerintah. Praksis itu berlaku sampai tahun 1912 ketika Dr. Sun Yat Sen (PY: Sūn Yì-xiān) mendirikan Republik Tiongkok.
Peranan pendidikan sedemikian besarnya dalam Konfusianisme, sehingga setara juga penghargaan Konfusius kepada guru. Dia mengatakan: “Jika ada orang menjadi gurumu untuk satu hari, kau harus memperlakukannya seolah dia adalah bapakmu untuk sepanjang sisa hidupnya.”
Implementasi etika Konghuchu dalam kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan dengan perbuatan sebagai berikut, yaitu : beriman kepada Thian, menjunjung tinggi kebajikan, menjunjung tinggi kemanusiaan dan persaudaraan, teposaliro (toleran atau menghormati atau bahkan merayakan perbedaan sebagai sebuah kenyataan), bersikap inklusif (tidak bersikap partisan dan mementingkan kelompok atau golongan sendiri), tekun belajar (membina diri dan berusaha keras untuk memperbarui diri menuju kebaikan dengan menempatkan diri pada posisi yang sentral), jujur dan berhati lurus, menjunjung tinggi cinta kasih dan kebenaran sehingga dapat dipercaya dalam kehidupan, tahu malu (berani megakui kesalahan dan berani melakukan introspeksi secara sadar), mandiri nemun mempunyai empati yang proaktif untuk selalu berupaya membuat lingkungan yang lebih maju, pantang menyerah dan selalu bersungguh-sungguh untuk meraih kemajuan di atas dasar moralitas keimanan. (Tanuwibowo, 2005 : 223)

2.   Humanisme Perspektif Konghuchu
Humanisme adalah karakteristika Konfusianisme. Ini adalah perhatian dan penghormatan kepada laki-laki dan perempuan lain sebagai pribadi. Secara tradisional, model klasiknya dikenal dengan “filial piety[12] (hsiao)—kesetiaan seorang anak laki-laki kepada ayah atau orang tuanya. Humanisme mengacu pada ide manusia secara spesifik. Humanisme menolak baik antroposentrisme dan naturalisme karena keduanya berat sebelah dan tidak bijaksana dalam mengenali eksentrisitas manusia : antroposentrisme terlalu menghargainya, sementara naturalisme terlalu merendahkannya. Ungkapan in seperti dalam “man in nature” atau “man in the landscape” merupakan istilah ecstatic bahwa, sebagai makhluk mempunyai keterarahan diri, manusia bukan seonggok obyek semata atau materi.
Manusia dapat disebut fana dari semua yang fana karena dia satu-satunya makhluk yang menyadari sepenuhnya akan kematiannya sebagai kejadian yang akan datang. Dengan cara yang sama, dapat dikatakan bahwa alam mempunyai sejarah tetapi tidak mengetahuinya, sedangkan manusia mengetahui bahwa dia mempunyai sejarah dan membuat sejarah pula.
Konfusianisme seringkali dikarakteristikan sebagai “humanisme praktis”. Sebagaimana dikatakan oleh Tu Wei Ming (2005 : 266) bahwa kata kunci etika Konfusian adalah humanitas, karena kepeduliannya dengan seni praktis tentang kehidupan manusia dengan sesama dalam kehidupan dunia sehari-hari. Sebagai humanisme praktis, Konfusianisme memfokuskan perhatiannya pada manusia dan apa yang dilakukannya. Premis ini radikal bahwa akar dari manusia adalah dirinya sendiri.
Konfusianisme mulai dan berakhir pada manusia, bagi Konfusius tidak ada yang “di seberang humanisme”. Humanitas bertumpu pada manusia –humanitas dalam dua-serangkai arti manusia sebagai kolektivitas, dan kausalitas asli manusia –jen adalah pilar humanisme praktis Konfusius. Tanpa jen, tanpa mempraktikkannya, manusia tidak akan menjadi manusia seutuhnya. Menjadi seorang manusia (jen) adalah menjadi insani (jen) : sesungguhnya, jen adalah jen.
Menurut Confusius (1998 : 203) dalam Analects,  jen adalah mencintai semua manusia dan chih (pengetahuan) adalah mengenal semua manusia. Inovasi Konfusius terletak dalam menjadikan jen “keutamaan universal” yang menjadi batas standar bagi “keutamaan” lain dalam relasi antar manusia. Jen juga disebut “keutamaan yang sempurna” atau apotheosis dari segala keutamaan seperti kebenaran (i), kesopanan (li), kebijaksanaan (chih) dan kepercayaan (hsin). Manusia yang mempraktikkan jen juga mempraktikkan chung –kaidah emas positif : perlakukan orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan, dan shu –kaidah emas negative : jangan perlakukan orang lain sebagaimana engkau tidak ingin diperlakukan.
Konfusianisme, bagaimana pun peduli terutama pada homopietas tetapi tidak secara eksklusif. Dalam Li Chi (Kitab Upacara) Confusius berkata tanpa pandangan hidup yang sama : “Menebang sebuah pohon, membunuh seekor binatang yang belum kawin, tidak pada musim yang tepat, adalah bertentangan dengan filial piety.” (Li Chi, 1967: 228). Menurut cara tersebut, tujuan moral dari bakti kepada orang tua tidak dibatasi pada dampak dari apa yang dilakukan manusia pada orang lain tetapi diperluas pada dampak perilaku seseorang bagi makhlun non-human dan benda-benda.
Demikian Creel menuliskan bahwa dalam Sinisme “manusia menghuni sebuah tempat yang menarik di alam semesta”. Dia adalah ... menjadi bagian dan tidak terpisahkan dari alam, tindakannya berdampak pada alam seluruh alam semesta, dan seluruh alam semesta mempengaruhinya, dengan suatu cara yang lebih intim dari pada kebiasaan yang dilakukan oleh dunia Barat.”
Chan Tsai, penganut Neo-Konfusius abad ke-11, tokoh teladan ecopiety, yang menulis 5 halaman esensial ecopiety sebagai kesatuan humanisme dan environmentalisme : “Langit adalah ayahku, dan Bumi adalah ibuku, dan sunnguh pun aku makhluk kecil kutemukan tempat yang intim di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu apa yang mengisi alam semesta kuanggap sebagai tubuhku dan yang mengatur alam semesta kuanggap sebagai alamku. Semua orang adalah saudara dan saudariku, dan semua benda adalah sahabatku.”
Teringat perkataan Konfusius mengenai musik, yang dimainkan sebuah bagian integral dari arti China kuno tentang benda-benda dan peristiwa sebagai kesatuan yang teratur, sekali lagi kita temukan dalam halaman kitab Li Chi sebagai berikut : Langit ada di atas dan bumi di bawah, dan di antara keduanya tersebar semua jenis kehidupan dengan perbedaan (sifat dasar dan kualitasnya); --berkenaan dengan proses pembentukan perayaan. (Pengaruh) langit dan bumi mengalir maju dan tak pernah berhenti, dan dengan kesatuan tindakannya (fenomena) produksi dan perubahan terjadi: -- berkenaan dengan itu musik mengalun. Proses pertumbuhan di musim semi, dan dewasa di musim panas (menyarankan ide tentang) kebajikan; mereka berkumpul di musim gugur dan ... di musim salju, menyarankan kebenaran. Kebajikan serupa dengan musik, dan kebenaran serupa dengan perayaan. 
Melalui jalan Sinitic tentang ecopiety humanisme diseimbangkan kembali dan dilengkapi dengan environmentalisme. Ketika environmentalisme berubah menjadi tabir penutup ecopiety, antroposentrisme rusak dan salah arah karena tidak ada daya pembesar manusia dalam tatanan benda-benda di alam semesta. Apakah “dominasi” dan “kegunaan” merupakan antroposentrisme, sementara “harmoni” dan “penghormatan” merupakan etika ecopiety. Bagaimana pun ketika humanisme dibedakan tetapi tidak dipisahkan dari environmentalisme, etika ecopiety adalah bijaksana yang meneguhkan bahwa manusia mempunyai tempat yang berbeda di antara makhluk lain dan benda-benda lain dan tidak sekedar satu bagian dari alam. Manusia adalah benar-benar pengatur dan penjaga dari semua hal. Akhirnya pembedaan manusia dari bukan manusia hanya mengalami perbedaan pada kesatuan pengikat –kesatuan pluralistik, organik dari keberbedaan.



[1] Kong Fu Tze artinya Kung Sang Guru. Orang Cina dengan penuh hormat menyebut beliau sebagai Guru Pertama, bukannya tidak ada guru sebelum beliau, melainkan karena martabat beliau lebih tinggi dari semua guru yang lain. (Smith, 2001 : 188)
[2] Dao berarti cara hidup atau tatacara kehidupan insani (yang berhubungan dengan manusia). Ia juga menekankan tatacara manusia harus sesuai dengan tatacara alam. Hubungan seorang manusia dengan manusia lainnya juga harus mengikuti tatacara kehidupan yang telah dibangun oleh orang bijak kuno berdasarkan tatacara alam. (Takwin, 2003 : l 83)
[3] Secara negatif, Golden Rule kerapkali diungkapkan sebagai Silver Rule: “jangan pernah terapkan pada orang lain, apa yang kau tidak mau dilakukan terhadap dirimu.” (Confusius, 1998 : 207)
[4] “Yin” dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang dingin. Yang itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.
[5] Kebajikan merupakan pusat ajaran Konghuchu. Sesuai pengertian kongzi, kebajikan adalah mencintai atau mengasihi dan berbaik hati kepada orang lain. Dan hal ini dapat dilakukan denan pembinaan diri. Kongzi bersabda “ mengendalikan diri sendiri dan kembali kepada kesusilaan adalah kebijakan sempurna” (Lun Yu XII : 1.1). pengendalian diri merupakan kemampuan membatasi diri sendiri dan kebajikan yang sempurna adalah norma-norma moral masyarakat. Artinya seorang yang mampu mengendalikan dirinya sendiri dengan membatasi kata-kata dan perbuatannya disesuaikan kepada moral masyarakat, dia adalah sebagai manusia yang berkebajikan.
[6] Zhèngmíng bertujuan untuk menyelaraskan antara nama dengan tindakan. Individu seharusnya menyesuaikan diri dengan kewajiban-kewajiban berkaitan dengan posisinya dalam masyarakat. Manusia harus mengetahui dengan cermat posisinya dalam hidup dan masyarakat sekitarnya. Kewajiban dan tanggung jawab yang diberikan kepada seseorang harus ditepati sesuai dengan nama yang disandangnya. Bila terjadi penyimpangan nama-nama maka akan terjadi kekacauan. Ketidaksesuaian nama dengan aktualita akan melahirkan anarki pikiran dan degradasi moral dalam diri para cendekiawan. (Fung Yu Lan, 1990 : 55)
Contoh, hakekat idaman penguasa seharusnya dimiliki orang-orang yang diberi nama penguasa atau dalam catatan Cina disebut sebagai ‟jalan bagi penguasa. Ia memiliki kewajiban dan tanggung jawab sebagai penguasa. Seorang penguasa adalah seorang yang mengatur rakyat. Mengatur adalah meluruskan. Jika seorang penguasa membuat rakyatnya jadi menyimpang maka ia tidak layak disebut penguasa. Namanya harus diubah sesuai dengan aktualitanya, atau aktualitanya yang diubah agar sesuai dengan nama sebagai penguasa.
[7] http://www.rjbaker.com/THE ANALECTS
[8] Dijelaskan dalam Lùn-yǚ XII : 2 apa yang dimaksudkan dengan zhōng, yaitu: “Bila diri sendiri ingin tegak (maju), berusahalah agar orang lain tegak (maju)” dan yang dimaksudkan dengan prinsip shù dalam Lùn-yǚ V : 11 yaitu “Apa yang diri sendiri tiada inginkan, jangan diberikan kepada orang lain” (Confucius, 1998 : 207)
[9] Hierarki ini merupakan masalah penting dalam tradisi konfusian. Namun “hierarki” selalu didasarkan pada hierarki alamiah. Seorang laki-laki lambat laun akan menjadi ayah, seorang murid lambat laun akan menjadi guru. Hierarki menjdi penting karena orang harus tahu bahwa ketika menjadi seorang murid, maka dia tetaplah seorang murid, dia belum menjdi guru, karena belum mencapai tingkat kebijaksanaan, pengalaman, atau otoritas sebagai seorang guru. (Tu Wei Ming, 2005 : 75)
[10] Li adalah pedoman yang harus ditaati oleh manusia dalam berhubungan satu dengan yang lainnya. Konfusius mengartikan li sebagai ritus atau upacara-upacara atau ketentuan kepantasan. Li berfungsi sebagai pedoman dalam hidup manusia dan sebagai tolok ukur bagi manusia untuk berbuat dan bertingkah laku. Dengan menjalankan li manusia akan tertib terutama bagi dirinya sendiri dan juga dilandasi cinta kasih terhadap sesama manusia.
Konsepsi li merupakan hal yang luar biasa pentingnya dalam pendidikan Konfusius. Para ahli psikiatri mengatakan bahwa pendidikan kita meskipun sangat meningkatkan kecerdasan kita sering tampak gagal menghasilkan pribadi yang seimbang, yang mampu menduduki tempatnya sebagai anggota masyarakat yang berbahagia dan berguna. Konfusius memandang bahwa peningkatan kecerdasan kurang berharga bila tidak dibarengi dengan keseimbangan emosi. Usaha untuk menghasilkan keseimbangan tersebut tergantung pada pendidikan dalam li. (Creel, 1990 : 32-34)
[11] http://www.rjbaker.com/THE ANALECTS
[12] Masalah tentang Filial Piety (ketaatan sang anak) sangat ditekankan dalam ajaran Konghuchu. Hal itu mengingat masyarakat besar dalam suatu negara berpangkal pada hakikatnya atas kelompok-kelompok keluarga. Kumpulan keluarga yang baik akan melahirkan masyarakat yang baik pula. Dan ajaran ini memainkan peranan penting dalam kehidupan bangsa Tionghoa. (Sou’yb, 1997 : 176)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar