Selasa, 08 Mei 2012

Biografi Dr. Muhammad Iqbal

Dr. Muhammad Iqbal adalah salah seorang tokoh abad ke-20 yang menjadi kebanggaan dunia islam, dulu, kini dan akan datang. Beliau telah memberikan sumbangan besar pada dunia islam bahkan dunia internasional, Tokoh yang berasal dari Pakistan ini selain terkenal sebagai penyair besar dalam peradaban dunia sastra islam juga terkenal sebagai pemikir, filosof, ahli perundang-undangan, reformis, politikus, ahli kebudayaan dan pendidikan. Kalau kita perhatikan karya-karyanya yang dituangkan dalam syair-syair dan puisinya dapat kita tangkap beliau tidak hanya menyerukan rasa hatinya dalam pembentukan atau kemerdekaan negara Pakistan dari tangan penjajah, tetapi juga tentang kegemilangan zaman islam di Spanyol, mengenai nasib Umat islam seperti faktor-faktor yang menjadi penyebab kemunduran umat islam dan faktor-faktor yang mendorong kebangkitan umat islam, beliau juga menyinggung tentang keburukan dan kebaikan budaya barat dan sebagainya.[1]

            Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Wilayah Punjab (pakistan barat) pada tahun 1877. Iqbal berasal dari keluarga Brahma Kashmir, tetapi nenek moyang Muhammad Iqbal telah memeluk islam 200 tahun sebelum Ia dilahirkan. Ayah muhammad Iqbal, Nur Muhammad adalah penganut islam yang taat dan cenderung ke pada ilmu tasawuf. Dengan lingkungan dan asuhan yang ada dalam rumah muhammad Iqbal, sedikit banyak telah menanamkan roh islam dalam jiwa Muhammad Iqbal, Ia masuk sekolah dasar dan menengah di Sialkot. pada masa yang sama Ia mendapatkan pendidikan agama secara langsung dari seorang guru yang bernama Mir Hassan, dari guru beliau ini ia memahami islam secara mendalam, mengajarinya sikap kritis dan mengasah bakatnya dalam dunia kesusastraan.[2]
            Pada tahun 1895 Muhammad iqbal melanjutkan sekolahnya di Government College Lahore. di sini ia dapat menguasai bahasa arab dan inggris dengan baik disamping penguasaanya terhadap bahasa urdu dan bahasa persi. Ia lulus sarjana muda Bachelor of Arts tahun 1897 untuk jurusan Filsafat, Bahasa Arab, dan Sastera Inggeris, dan gelaran Master of Arts pada 1899, setelah itu Ia mendalami bahasa arab di Oriental College, Lahore. saat beliau mendapatkan gelar Master of Arts Ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold, seorang cendekiawan pakar filsafat modern, yang kemudian menjadi jambatan Iqbal ke peradaban Barat dan mendukungnya untuk melanjutkan pendidikan di Eropa. Selama berada di Lahore Iqbal banyak penulis puisi dan banyak berkenalan dengan sastrwan-sastrawan terkenal serta aktif pada persatuan-persatuan sastrawan di sana.
Muhammad Iqbal yang kuat keislamannya sangat tertarik kepada Profesor Thomas Arnold Sahabat rapat kenalannya sekaligus gurunya, karena Thomas Arnold seorang orientalis yang berpegang teguh kepada fakta-fakta ilmiah, cenderung kepada kebenaran, tidak merendahkan Islam dan tidak mencaci penganut-penganut Islam, sebagaimana setengah orientalis yang anti Islam.
Dengan gagasan ilmu dan kebudayaan Islam murni yang dipelajarinya dari Mir Hassan dan cara Thomas Arnold menyampaikan pengetahuan Islam, menimbulkan dua pengaruh dalam diri Muhammad Iqbal yaitu menghayati nilai suci Islam dan menghargai serta mengambil nilai-nilai yang baik dari peradaban Barat. Selama Belajar di Eropa pemikiran Muhammad Iqbal tidak jumud sebaliknya ia memperhatikan dengan hikmah perkembangan peradaban barat. Ia mendapatkan bahwa orang orang Barat lebih mementingkan kebendaan dari pada kehormatan, mereka mengagungkan paham materialisme, imperialisme, dan nasionalisme.
            Mengawali pembicaraan Rekonstruksi keagamaan dalam Islam, Iqbal memulai dengan pertanyaan filosofis menani alam semesta; Apakah ciri dan struktur umum dari alam semesta tempat kita hidup ini? Adakah unsur permanen dalam susunan alam semesta ini? Bagaimanakah tempat yang kita tempati di dalamnya dan perilaku macam apa yang menguntungkan bagi tempat yang kita tempati?[3] Pertanyaan ini sebenarnya adalah ungkapan kesanggupan atau ketidaksanggupan penerapan metode falsafi dalam memahami agama, Islam khususnya. Hal ini merupakan salah satu motivasi tersendiri yang kemudian pengembangannya adalah bahwa esensi agama, yaitu iman, semestinya terkandung upaya pencarian rekonsiliasi atas pertentangan-pertentangan pengalaman dan mencari dasar pembenaran terhadap lingkungan dimana umat manusia menemukan dirinya. Sebab, manusia yang notabene sebagai objek terutama agama, diharuskan untuk senantiasa ditransformasikan dan dibimbing dalam kehidupannya secara lahiriah dan batiniah melalui agama tersebut.[4]
            Iqbal melihat selama lima ratus tahun yang lalu pemikiran agama dalam Islam secara praktis tidak menaglami perkembangan. Ada suatu masa ketika eropa menerima inspirasi dari dunia Islam. Akan tetapi fenomena yang jelas dari sejarah modern adalah bahwa secara spiritual dunia Islam sedang bergerak ke arah Barat denga kecepatan yang sangat tinggi. Namun kekhawatiran yang timbul adalah bahwa kulit luar yang mempesonakan dari kebudayaan Eropa bisa menawan gerakan kita dan kita mungkin gagal meraih intisari kebudayaan tersebut. Selama abad dari kelumpuhan intelektual kita, Eropa telah berfikir serius tentang problem-problem besar yang sangat menarik perhatian para filosof dan ilmuan Islam.[5]

            Problem Islam sebenarnya, menurut Iqbal, dipengaruhi oleh konflik internal antar Muslim. Pada waktu yang sama, daya tarik timbal balik ditunjukkan oleh dua kekuatan agama dan pearadaban, Islam dan Kristen. Permasalahan ini dipandang telah menyimpang jauh dari motivasi hidup yang diajarkan Rasul. Tujuan al-Qur’an adalah untuk membangunkan dalam diri manusia suatu kesadaran yang lebih tinggi perihal berbagai macam hubungan dengan Tuhan dan alam semesta. Berkaitan dengan alam semesta, tujuan utama al-Qur’an dalam pengamatan reflektif atas alam ini adalah untuk membangkitkan kesadaran manusia tentang alam yang dipandang sebuah simbol. Tetapi hal harus dicatat adalah sikap empiris umum al-Qur’an yang menjadikan para pengikutnya suatu sikap hormat terhadap kenyataan dan akhirnya menjadikan mereka sebagai pendiri-pendiri ilmu pengetahuan modern. Menurut al-Qur’an, alam semesta memiliki tujuan yang penting sekali. Keadaannya yang selalu berubah-ubah memaksa kita untuk memperbaharui sikap. Usaha intelektual untuk mengatasi rintangan yang diberikan oleh alam, disamping memperkaya dan memperkuat kehidupan kita, mempertajam wawasan kita. Dengan demikian menyiapkan kita untuk penempatan yang lebih baik lagi dalam aspek pengalaman manusia yang lebih halus.[6]
            Berbicara mengenai konsepsi Tuhan, Iqbal menyatakan bahwa untuk menekankan Individualitas Ego Mutlak, al-Qur’an memberikan Dia nama yang sangat tepat, yaitu Allah, dan selanjutnya mendefinisikannya sebagai berikut:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ   ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ   öNs9 ô$Î#tƒ öNs9ur ôs9qムÇÌÈ   öNs9ur `ä3tƒ ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ  
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlas [112]: 1-4).


            Iqbal lebih sepakat dengan pemahaman di atas daripada jenis pemikiran lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh soiolog dan antropolog dalam sejarah keagamaan, mengenai kecenderungan ke arah panteisme (semua hal adalah agama). Adapun ayat al-Qur’an:
* ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 ã@sWtB ¾ÍnÍqçR ;o4qs3ô±ÏJx. $pkŽÏù îy$t6óÁÏB ( ßy$t6óÁÏJø9$# Îû >py_%y`ã ( èpy_%y`9$# $pk¨Xr(x. Ò=x.öqx. AÍhߊ ßs%qム`ÏB ;otyfx© 7pŸ2t»t6B 7ptRqçG÷ƒy žw 7p§Ï%÷ŽŸ° Ÿwur 7p¨ŠÎ/óxî ߊ%s3tƒ $pkçJ÷ƒy âäûÓÅÓムöqs9ur óOs9 çmó¡|¡ôJs? Ö$tR 4 îqœR 4n?tã 9qçR 3 Ïöku ª!$# ¾ÍnÍqãZÏ9 `tB âä!$t±o 4 ÛUÎŽôØour ª!$# Ÿ@»sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇÌÎÈ  
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Nur [24]: 35)

            Tidak diragukan lagi, menurut Iqbal, kalimat pembuka dari ayat tersebut memberikan kesan melarikan diri dari konsepsi individualistik tentang Tuhan. Tetapi ketika kita mengikuti metafora cahaya dalam ayat tersebut, memberikan kesan yang berlawanan. Pengembangan metafora cukup diartikan menghasilkan saran tentang elemen kosmik yang selanjutnya tidak diindividualisasi dalam sebuah kaca yang digambarkan sebagai bintang yang didefinisikan dengan baik. Iqbal berfikir tentang gambaran Tuhan seperti cahaya. Ajaran fisika modern tentang kecepatan cahaya tidak bisa dilampaui serta bersifat sama untuk semua pengamat, apapun dan bagaimanapun sistem gerakannya. Jadi, dalam dunia perubahan, ahaya merupakan pendekatan yang terdekat pada Yang Mutlak.Metafora cahaya yang diterapkan pada Tuhan, harus berada dalam pandangan pengetahuan modern dan diambil untuk mendukung keabsolutan atau kemutlakan Tuhan dan bukan kehadiran-Nya yang dengan mudah mengarahkan pada interpretasi panteistik.[7]
            Selain hal tersebut, pemikiran keagamaan Islam Iqbal setidaknya terangkum dalam pemahamannya mengenai sumber hukum ajaran Islam; al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Mengenai al-Qur’an, Iqbal percaya bahwa al-Qur’an itu memang benar diturunkan oleh Allah kepada - Nabi Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya, kedudukannya adalah sebagai sumber hukum yang utama dengan pernyataannya “The Qur’an is a book which emphazhise ‘deed’ rather than ‘idea’ “ (al-Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita).[8] Namun demikian dia menyatakan bahwa al–Qur’an bukanlah kitab undang-undang yang paten. Dia dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan sebenarnya al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Mengenai hal ini Al-Qur’an tidak memuatnya secara detail dan eksplisit, maka manusialah yang dituntut untuk memahami dan mengembangkannya. Disamping itu al–Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al–Qur’an tidak melarang untuk mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. “Akibat pemahaman yang kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya”.[9]
            Nilai-nilai dasar ajaran al–Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al–Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku. Namun demikian pada akhirnya, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami al – Qur’an, namun ia melihat ada dimensi-dimensi didalam al – Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus di konservasikan ( pertahankan), sebab ketentuan itu berlaku konstan.[10]
            Selanjutnya mengenai hadis, Iqbal menyimpulkan bahwa dia tidak percaya pada seluruh hadist koleksi para ahli hadis.[11] Iqbal setuju dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadis, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan Da’wah Islamiyah adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadist yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadist-hadist pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abdul Malik dan Al-Zuhri telah membuat koleksi hadist tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadist daripada koleksi belaka.
            Oleh karenanya, Iqbal memandang perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyu-Nya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al–Qur’an.
            Pandangan Iqbal tentang pembedaan hadist hukum dan hadist bukan hukum agaknya sejalan dengan pemikiran ahli ushul yang mengatakan bahwa hadist adalah penuturan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw.yang berkaitan dengan hukum; seperti mengenai kebiasaan-kebiasaan Nabi yang bersifat khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan diamalkan.
            Mengenai Ijtihad Iqbal memiliki pandangan bahwa menurutnya Ijtihad berarti “exert with a view to form an independent judgement on legal question”, (barsungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadist maupun al-Qur’an mamang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut, disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh para ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul, sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazdhab), Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, Iqbal membagi kualifikasi ijtihad kedalam tiga tingkatan, yaitu:
1.       Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab saja.
2.       Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab.
3.       Otoritas Khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzdab.
            Namun Iqbal lebih memberi perhatian pada poin yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl al- sunnah, tetapi dalam kenyataannya telah dipungkiri sendiri sejak berdirinya madzhab-madzhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam satu sistem hukum al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis.
Akibat ketatnya ketentuan ijtihad ini, akhirnya hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang. Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan para ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konskuensinya, hukum Islam pun statis tak berkembang selama beberapa abad. Iqbal mendeteksi penyebab kemunduran Islam itu ada tiga faktor :
1.       Gerakan rasionalisme yang liar, dituduh sebagai penyebab disintegarasi umat Islam dengan melempar isu keabadian al–Qur’an. Oleh karena itu, kaum konservatif hanya memilih tempat yang aman dengan bertaklid kepada imam-imam mazhab. Dan sebagai alat yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam. Disamping itu, perkembangan ini melahirkan fenomena baru, yaitu lahirnya kecendrungan menghindari duniawi dan mementingkan akhirat dan menjadi apatis. Akhirnya Islam menjadi lemah tak berdaya.
2.       Setelah Islam menjadi lemah penderitaan terus berlanjut pada tahun 1258 H kota pusat peradaban Islam diserang dan diporak-porandakan tentara mongol pimpinan Hulagu Khan.
3.       Sejak itulah lalu timbul disintegrasi. Karena takut disintegrasi itu akan menguak lebih jauh, lalu kaum konsrvatif Islam memusatkan usaha untuk menyeragamkan pola kehidupan sosial dengan mengeluarkan bid’ah-bid’ah dam menutup pintu ijtihad. Ironisnya ini semakin memperparah keadaan dalam dunia Islam.[12]
            Bagi Iqbal untuk membuang kekakuan ini hanya dengan jalan menggalakkan kembali ijtihad-ijma’ dan merumuskannya sesuai dengan kebutuhan zaman modern saat sekarang. Namun demikian, rumusan ijtihad juga harus tetap mengacu kepada kepentingan masyarakat dan kemjuan umum. Bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran spekulatif subjektif yang bertentangan dengan semangat dan nilai dasar hukum Islam.
            Oleh karenanya Iqbal memandang perlu mengalihkan kekuasaan ijtihad secara pribadi menjadi ijtihad kolektif atau ijma’. Pada zaman modern, menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu yang mewakili madzhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk paling tepat bagi ijma’. Hanya cara inilah yang dapat menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang selama ini telah hilang dari dalam tubuh umat Islam.[13]
            Di akhir pembahasan pemikiran Iqbal mengenai Rekonstruksi pemikiran dalam Islam, beliau mengungkapkan sebuah pertanyaan menarik namun mendasar; “Apakah Agama Mungkin?”. Pertanyaan ini pada dasarnya menggugah umat Muslim untuk menilik kembali tentang sebenarnya bagaimana membawa agama dan berkeagamaan sebagaimana dituntunkan Nabi.
            Berbicara kehidupan beragama secara umum dapat dibagi menjadi tiga periode. Ini dapat digambarakan dalam periode “Kesetiaan”, “Pemikiran” dan “Penemuan”. Pada periode pertama, kehidupan keberagamaan tampak seperti bentuk disiplin yang harus diterima individu atau semua masyarakat sebagai perintah tak bersyarat tanpa daya kritis untuk memahami arti mendasar dan tujuan perintah itu. Pada periode pertama ini kehidupan beragama mencari dasarnya dalam jenis metafisika. Berbeda dengan periode kedua dan ketiga, metafisika dipindahkan oleh kehidupan keagamaan dan psikologi yang mengembangkan ambisi untuk mencapai kontak langsung dengan Realitas yang mendasar.[14]
            Tujuan mendasar dari kehidupan keagamaan ialah membuat evolusi kehidupan ini bergerak bergerak dalam arah yang jauh lebih penting untuk tujuan ego daripada kesehatan moral tentang struktur sosial yang membentuk lingkungannya saat ini. Persepsi dasar dari kehidupan yang bergerak maju merupakan kesatuan ego, kemampuan melebur, persetujuan untuk pembentukan kembali dan kapasitasnya untuk kebebasan untuk menciptakan situasi baru dalam lingkungan yang diketahui dan yang tidak diketahui.[15]


[1] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 1
[2] Ali. H. M., Alam Pemikiran Islam di India dan Paskistan (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 173.
[3] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam terjemah Didik Komaidi (Yogyakarta: Lazuardi, 2002), hlm. 1.
[4] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam ..., hlm. 3.
[5] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam ..., hlm. 11.
[6] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam ..., hlm. 22-23.
[7] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam ..., hlm. 91-94.
[8] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam ..., hlm. 67.
[9] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam ..., hlm. 68-69.
[10] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam ..., hlm. 69-73.
[11] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam ..., hlm. 74.
[12] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam ..., hlm. 76-84. Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 1987), hlm. 191.
[13] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Islam ..., hlm. 84-92.
[14] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam ..., hlm. 256-257.
[15] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam ..., hlm. 272.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar