Dr.
Muhammad Iqbal adalah salah seorang tokoh abad ke-20 yang menjadi kebanggaan
dunia islam, dulu, kini dan akan datang. Beliau telah memberikan sumbangan
besar pada dunia islam bahkan dunia internasional, Tokoh yang berasal dari
Pakistan ini selain terkenal sebagai penyair besar dalam peradaban dunia sastra
islam juga terkenal sebagai pemikir, filosof, ahli perundang-undangan,
reformis, politikus, ahli kebudayaan dan pendidikan. Kalau
kita perhatikan karya-karyanya yang dituangkan dalam syair-syair dan puisinya
dapat kita tangkap beliau tidak hanya menyerukan rasa hatinya dalam pembentukan
atau kemerdekaan negara Pakistan dari tangan penjajah, tetapi juga tentang
kegemilangan zaman islam di Spanyol, mengenai nasib Umat islam seperti
faktor-faktor yang menjadi penyebab kemunduran umat islam dan faktor-faktor
yang mendorong kebangkitan umat islam, beliau juga menyinggung tentang
keburukan dan kebaikan budaya barat dan sebagainya.[1]
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot,
Wilayah Punjab (pakistan barat) pada tahun 1877. Iqbal berasal dari keluarga
Brahma Kashmir, tetapi nenek moyang Muhammad Iqbal telah memeluk islam 200
tahun sebelum Ia dilahirkan. Ayah muhammad Iqbal, Nur Muhammad adalah penganut
islam yang taat dan cenderung ke pada ilmu tasawuf. Dengan lingkungan dan
asuhan yang ada dalam rumah muhammad Iqbal, sedikit banyak telah menanamkan roh
islam dalam jiwa Muhammad Iqbal, Ia masuk sekolah dasar dan menengah di
Sialkot. pada masa yang sama Ia mendapatkan pendidikan agama secara langsung
dari seorang guru yang bernama Mir Hassan, dari guru beliau ini ia memahami
islam secara mendalam, mengajarinya sikap kritis dan mengasah bakatnya dalam
dunia kesusastraan.[2]
Pada
tahun 1895 Muhammad iqbal melanjutkan sekolahnya di Government College Lahore.
di sini ia dapat menguasai bahasa arab dan inggris dengan baik disamping
penguasaanya terhadap bahasa urdu dan bahasa persi. Ia lulus sarjana muda
Bachelor of Arts tahun 1897 untuk jurusan Filsafat, Bahasa Arab, dan Sastera
Inggeris, dan gelaran Master of Arts pada 1899, setelah itu Ia mendalami bahasa
arab di Oriental College, Lahore. saat beliau mendapatkan gelar Master of Arts
Ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold, seorang cendekiawan pakar filsafat modern,
yang kemudian menjadi jambatan Iqbal ke peradaban Barat dan mendukungnya untuk
melanjutkan pendidikan di Eropa. Selama berada di Lahore Iqbal banyak penulis
puisi dan banyak berkenalan dengan sastrwan-sastrawan terkenal serta aktif pada
persatuan-persatuan sastrawan di sana.Muhammad Iqbal yang kuat keislamannya sangat tertarik kepada Profesor Thomas Arnold Sahabat rapat kenalannya sekaligus gurunya, karena Thomas Arnold seorang orientalis yang berpegang teguh kepada fakta-fakta ilmiah, cenderung kepada kebenaran, tidak merendahkan Islam dan tidak mencaci penganut-penganut Islam, sebagaimana setengah orientalis yang anti Islam.
Dengan gagasan ilmu dan kebudayaan Islam murni yang dipelajarinya dari Mir Hassan dan cara Thomas Arnold menyampaikan pengetahuan Islam, menimbulkan dua pengaruh dalam diri Muhammad Iqbal yaitu menghayati nilai suci Islam dan menghargai serta mengambil nilai-nilai yang baik dari peradaban Barat. Selama Belajar di Eropa pemikiran Muhammad Iqbal tidak jumud sebaliknya ia memperhatikan dengan hikmah perkembangan peradaban barat. Ia mendapatkan bahwa orang orang Barat lebih mementingkan kebendaan dari pada kehormatan, mereka mengagungkan paham materialisme, imperialisme, dan nasionalisme.
Mengawali
pembicaraan Rekonstruksi keagamaan dalam Islam, Iqbal memulai dengan pertanyaan
filosofis menani alam semesta; Apakah ciri dan struktur umum dari alam semesta
tempat kita hidup ini? Adakah unsur permanen dalam susunan alam semesta ini?
Bagaimanakah tempat yang kita tempati di dalamnya dan perilaku macam apa yang
menguntungkan bagi tempat yang kita tempati?[3] Pertanyaan ini sebenarnya adalah
ungkapan kesanggupan atau ketidaksanggupan penerapan metode falsafi dalam
memahami agama, Islam khususnya. Hal ini merupakan salah satu motivasi
tersendiri yang kemudian pengembangannya adalah bahwa esensi agama, yaitu iman,
semestinya terkandung upaya pencarian rekonsiliasi atas
pertentangan-pertentangan pengalaman dan mencari dasar pembenaran terhadap
lingkungan dimana umat manusia menemukan dirinya. Sebab, manusia yang notabene
sebagai objek terutama agama, diharuskan untuk senantiasa ditransformasikan dan
dibimbing dalam kehidupannya secara lahiriah dan batiniah melalui agama
tersebut.[4]
Iqbal
melihat selama lima ratus tahun yang lalu pemikiran agama dalam Islam secara
praktis tidak menaglami perkembangan. Ada suatu masa ketika eropa menerima
inspirasi dari dunia Islam. Akan tetapi fenomena yang jelas dari sejarah modern
adalah bahwa secara spiritual dunia Islam sedang bergerak ke arah Barat denga
kecepatan yang sangat tinggi. Namun kekhawatiran yang timbul adalah bahwa kulit
luar yang mempesonakan dari kebudayaan Eropa bisa menawan gerakan kita dan kita
mungkin gagal meraih intisari kebudayaan tersebut. Selama abad dari kelumpuhan
intelektual kita, Eropa telah berfikir serius tentang problem-problem besar
yang sangat menarik perhatian para filosof dan ilmuan Islam.[5]
Problem
Islam sebenarnya, menurut Iqbal, dipengaruhi oleh konflik internal antar
Muslim. Pada waktu yang sama, daya tarik timbal balik ditunjukkan oleh dua
kekuatan agama dan pearadaban, Islam dan Kristen. Permasalahan ini dipandang
telah menyimpang jauh dari motivasi hidup yang diajarkan Rasul. Tujuan
al-Qur’an adalah untuk membangunkan dalam diri manusia suatu kesadaran yang
lebih tinggi perihal berbagai macam hubungan dengan Tuhan dan alam semesta. Berkaitan
dengan alam semesta, tujuan utama al-Qur’an dalam pengamatan reflektif atas
alam ini adalah untuk membangkitkan kesadaran manusia tentang alam yang
dipandang sebuah simbol. Tetapi hal harus dicatat adalah sikap empiris umum
al-Qur’an yang menjadikan para pengikutnya suatu sikap hormat terhadap
kenyataan dan akhirnya menjadikan mereka sebagai pendiri-pendiri ilmu
pengetahuan modern. Menurut al-Qur’an, alam semesta memiliki tujuan yang
penting sekali. Keadaannya yang selalu berubah-ubah memaksa kita untuk
memperbaharui sikap. Usaha intelektual untuk mengatasi rintangan yang diberikan
oleh alam, disamping memperkaya dan memperkuat kehidupan kita, mempertajam
wawasan kita. Dengan demikian menyiapkan kita untuk penempatan yang lebih baik
lagi dalam aspek pengalaman manusia yang lebih halus.[6]
Berbicara
mengenai konsepsi Tuhan, Iqbal menyatakan bahwa untuk menekankan Individualitas
Ego Mutlak, al-Qur’an memberikan Dia nama yang sangat tepat, yaitu Allah, dan
selanjutnya mendefinisikannya sebagai berikut:
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#t öNs9ur ôs9qã ÇÌÈ öNs9ur `ä3t ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
“Katakanlah:
"Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlas [112]: 1-4).
Iqbal
lebih sepakat dengan pemahaman di atas daripada jenis pemikiran lainnya,
sebagaimana diungkapkan oleh soiolog dan antropolog dalam sejarah keagamaan,
mengenai kecenderungan ke arah panteisme (semua hal adalah agama). Adapun ayat
al-Qur’an:
* ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 ã@sWtB ¾ÍnÍqçR ;o4qs3ô±ÏJx. $pkÏù îy$t6óÁÏB ( ßy$t6óÁÏJø9$# Îû >py_%y`ã ( èpy_%y`9$# $pk¨Xr(x. Ò=x.öqx. AÍhß ßs%qã `ÏB ;otyfx© 7p2t»t6B 7ptRqçG÷y w 7p§Ï%÷° wur 7p¨Î/óxî ß%s3t $pkçJ÷y âäûÓÅÓã öqs9ur óOs9 çmó¡|¡ôJs? Ö$tR 4 îqR 4n?tã 9qçR 3 Ïöku ª!$# ¾ÍnÍqãZÏ9 `tB âä!$t±o 4 ÛUÎôØour ª!$# @»sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tæ ÇÌÎÈ
“Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak
pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.” (QS.
Al-Nur [24]: 35)
Tidak
diragukan lagi, menurut Iqbal, kalimat pembuka dari ayat tersebut memberikan
kesan melarikan diri dari konsepsi individualistik tentang Tuhan. Tetapi ketika
kita mengikuti metafora cahaya dalam ayat tersebut, memberikan kesan yang
berlawanan. Pengembangan metafora cukup diartikan menghasilkan saran tentang
elemen kosmik yang selanjutnya tidak diindividualisasi dalam sebuah kaca yang
digambarkan sebagai bintang yang didefinisikan dengan baik. Iqbal berfikir
tentang gambaran Tuhan seperti cahaya. Ajaran fisika modern tentang kecepatan
cahaya tidak bisa dilampaui serta bersifat sama untuk semua pengamat, apapun
dan bagaimanapun sistem gerakannya. Jadi, dalam dunia perubahan, ahaya
merupakan pendekatan yang terdekat pada Yang Mutlak.Metafora cahaya yang
diterapkan pada Tuhan, harus berada dalam pandangan pengetahuan modern dan
diambil untuk mendukung keabsolutan atau kemutlakan Tuhan dan bukan
kehadiran-Nya yang dengan mudah mengarahkan pada interpretasi panteistik.[7]
Selain
hal tersebut, pemikiran keagamaan Islam Iqbal setidaknya terangkum dalam
pemahamannya mengenai sumber hukum ajaran Islam; al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad.
Mengenai al-Qur’an, Iqbal percaya bahwa al-Qur’an itu
memang benar diturunkan oleh Allah kepada - Nabi Muhammad dengan perantara
Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya, kedudukannya adalah sebagai
sumber hukum yang utama dengan pernyataannya “The Qur’an is a book which
emphazhise ‘deed’ rather than ‘idea’ “ (al-Qur’an adalah kitab yang
lebih mengutamakan amal daripada cita-cita).[8]
Namun demikian dia menyatakan bahwa al–Qur’an bukanlah kitab undang-undang yang
paten. Dia dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak
pernah tertutup. Tujuan sebenarnya al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran
manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta.
Mengenai hal ini Al-Qur’an tidak memuatnya secara detail dan eksplisit, maka
manusialah yang dituntut untuk memahami dan mengembangkannya. Disamping itu al–Qur’an
memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif.
Oleh karenanya, walaupun al–Qur’an tidak melarang untuk mempertimbangkan karya
besar ulama terdahulu, namun masyarakat juga harus berani mencari rumusan baru
secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka
hadapi. “Akibat pemahaman yang kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka
ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya”.[9]
Nilai-nilai
dasar ajaran al–Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk
dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan
pendekatan rasional al–Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung
didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan
peraturan-peraturan yang mati dan kaku. Namun
demikian pada akhirnya, kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan
penalaran ilmiah dalam memahami al – Qur’an, namun ia melihat ada
dimensi-dimensi didalam al – Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku
dan tidak dapat dirubah serta harus di konservasikan ( pertahankan), sebab
ketentuan itu berlaku konstan.[10]
Selanjutnya mengenai hadis, Iqbal
menyimpulkan bahwa dia tidak percaya pada seluruh hadist koleksi para ahli
hadis.[11]
Iqbal setuju dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadis, yaitu cara Nabi
dalam menyampaikan Da’wah Islamiyah adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara
dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat
memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi
lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat
manusia, tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut
khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya,
pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal
menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak mempergunakan konsep istihsan
dari pada hadist yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti
hadist-hadist pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abdul Malik dan Al-Zuhri
telah membuat koleksi hadist tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap
ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadist
daripada koleksi belaka.
Oleh karenanya, Iqbal memandang
perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap literatur hadist dengan
berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas
untuk menafsirkan wahyu-Nya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami
nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al–Qur’an.
Pandangan Iqbal tentang pembedaan
hadist hukum dan hadist bukan hukum agaknya sejalan dengan pemikiran ahli ushul
yang mengatakan bahwa hadist adalah penuturan, perbuatan dan ketetapan Nabi
saw.yang berkaitan dengan hukum; seperti mengenai kebiasaan-kebiasaan Nabi yang
bersifat khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan diamalkan.
Mengenai Ijtihad Iqbal memiliki
pandangan bahwa menurutnya Ijtihad berarti “exert with a view
to form an independent judgement on legal question”, (barsungguh-sungguh
dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum).
Kalau dipandang baik hadist maupun al-Qur’an mamang ada rekomendasi tentang
ijtihad tersebut, disamping ijtihad pribadi, hukum Islam juga memberi
rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama
berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh para ahli hukum Islam dalam mengantisipasi
setiap permasalahan masyarakat yang muncul, sehingga melahirkan aneka ragam
pendapat (mazdhab), Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, Iqbal membagi
kualifikasi ijtihad kedalam tiga tingkatan, yaitu:
1. Otoritas
penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas
pada pendiri madzhab-madzhab saja.
2. Otoritas
relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab.
3. Otoritas
Khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu,
dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzdab.
Namun Iqbal lebih memberi perhatian
pada poin yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini
memang disepakati diterima oleh ulama ahl al- sunnah, tetapi dalam
kenyataannya telah dipungkiri sendiri sejak berdirinya madzhab-madzhab. Ide
ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkin
dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam satu sistem hukum
al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis.
Akibat
ketatnya ketentuan ijtihad ini, akhirnya hukum Islam selama lima ratus tahun
mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang. Ijtihad yang menjadi konsep
dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi
dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma’ hanya menjadi
mimpi untuk mengumpulkan para ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama
yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma’ tersebut, hal ini dikarenakan
kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal
teori saja, konskuensinya, hukum Islam pun statis tak berkembang selama
beberapa abad. Iqbal mendeteksi penyebab kemunduran Islam itu ada tiga faktor :
1. Gerakan
rasionalisme yang liar, dituduh sebagai penyebab disintegarasi umat Islam dengan
melempar isu keabadian al–Qur’an. Oleh karena itu, kaum konservatif hanya
memilih tempat yang aman dengan bertaklid kepada imam-imam mazhab. Dan sebagai
alat yang ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam. Disamping itu, perkembangan
ini melahirkan fenomena baru, yaitu lahirnya kecendrungan menghindari duniawi
dan mementingkan akhirat dan menjadi apatis. Akhirnya Islam menjadi lemah tak
berdaya.
2. Setelah
Islam menjadi lemah penderitaan terus berlanjut pada tahun 1258 H kota pusat
peradaban Islam diserang dan diporak-porandakan tentara mongol pimpinan Hulagu
Khan.
3. Sejak
itulah lalu timbul disintegrasi. Karena takut disintegrasi itu akan menguak
lebih jauh, lalu kaum konsrvatif Islam memusatkan usaha untuk menyeragamkan
pola kehidupan sosial dengan mengeluarkan bid’ah-bid’ah dam menutup pintu
ijtihad. Ironisnya ini semakin memperparah keadaan dalam dunia Islam.[12]
Bagi Iqbal untuk membuang kekakuan
ini hanya dengan jalan menggalakkan kembali ijtihad-ijma’ dan merumuskannya
sesuai dengan kebutuhan zaman modern saat sekarang. Namun demikian, rumusan
ijtihad juga harus tetap mengacu kepada kepentingan masyarakat dan kemjuan
umum. Bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran spekulatif subjektif yang
bertentangan dengan semangat dan nilai dasar hukum Islam.
Oleh karenanya Iqbal memandang perlu
mengalihkan kekuasaan ijtihad secara pribadi menjadi ijtihad kolektif atau
ijma’. Pada zaman modern, menurut Iqbal, peralihan kekuasaan ijtihad individu
yang mewakili madzhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah
satu-satunya bentuk paling tepat bagi ijma’. Hanya cara inilah yang dapat
menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang selama ini telah hilang dari
dalam tubuh umat Islam.[13]
Di akhir pembahasan pemikiran Iqbal
mengenai Rekonstruksi pemikiran dalam Islam, beliau mengungkapkan sebuah
pertanyaan menarik namun mendasar; “Apakah Agama Mungkin?”. Pertanyaan ini pada
dasarnya menggugah umat Muslim untuk menilik kembali tentang sebenarnya
bagaimana membawa agama dan berkeagamaan sebagaimana dituntunkan Nabi.
Berbicara kehidupan beragama secara
umum dapat dibagi menjadi tiga periode. Ini dapat digambarakan dalam periode
“Kesetiaan”, “Pemikiran” dan “Penemuan”. Pada periode pertama, kehidupan
keberagamaan tampak seperti bentuk disiplin yang harus diterima individu atau
semua masyarakat sebagai perintah tak bersyarat tanpa daya kritis untuk
memahami arti mendasar dan tujuan perintah itu. Pada periode pertama ini
kehidupan beragama mencari dasarnya dalam jenis metafisika. Berbeda dengan
periode kedua dan ketiga, metafisika dipindahkan oleh kehidupan keagamaan dan
psikologi yang mengembangkan ambisi untuk mencapai kontak langsung dengan
Realitas yang mendasar.[14]
Tujuan
mendasar dari kehidupan keagamaan ialah membuat evolusi kehidupan ini bergerak bergerak
dalam arah yang jauh lebih penting untuk tujuan ego daripada kesehatan moral
tentang struktur sosial yang membentuk lingkungannya saat ini. Persepsi dasar
dari kehidupan yang bergerak maju merupakan kesatuan ego, kemampuan melebur,
persetujuan untuk pembentukan kembali dan kapasitasnya untuk kebebasan untuk
menciptakan situasi baru dalam lingkungan yang diketahui dan yang tidak
diketahui.[15]
[1] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 1
[2] Ali. H. M., Alam
Pemikiran Islam di India dan Paskistan (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 173.
[3] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Agama dalam Islam terjemah Didik Komaidi (Yogyakarta: Lazuardi,
2002), hlm. 1.
[4] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Agama dalam Islam ..., hlm. 3.
[5] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Agama dalam Islam ..., hlm. 11.
[6] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Agama dalam Islam ..., hlm. 22-23.
[7] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Agama dalam Islam ..., hlm. 91-94.
[8] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Islam ..., hlm. 67.
[9] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Islam ..., hlm. 68-69.
[10] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Islam ..., hlm. 69-73.
[11] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Islam ..., hlm. 74.
[12] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Islam ..., hlm. 76-84. Lihat juga Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, (Jakarta: Bulan
bintang, 1987), hlm. 191.
[13] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Islam ..., hlm. 84-92.
[14] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Agama dalam Islam ..., hlm. 256-257.
[15] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi
Pemikiran Agama dalam Islam ..., hlm. 272.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar