Pendahuluan
Krisis yang melanda kita dewasa ini merupakan krisis yang multi dimensional yang berada dalam seluruh persoalan, baik dalam persoalan politik, ekonomi, rasial, agama, strategi dan sebagainya, sehingga terasa sulit dari mana dimulai mengatasinya. Meskipun demikian, sebagai umat beragama tidak semestinya jika tidak bangkit berupaya untuk memulai mengatasinya, sebab berbagai persoalan-persoalan atau permasalahan-permasalahan tersebut itu tidak lain adalah karena hasil ciptaan manusia atas dasar kehendak dan rasa yang dimilikinya.
Krisis Sosial dan Kekerasan
Jika diperhatikan, krisis sosial itu tampaknya merupakan akumulasi dari terjadinya berbagai kekerasan yang pada saat ini merupakan tatanan dan pandangan keseharian. Sedangkan potensi teknologi lebih menawarkan ketakutan daripada harapan1 untuk ketenangan bersama. Dan kekerasan itu merupakan salah satu tantangan agama yang harus dipikirkan secara serius, dan hal itu dalam masyarakat saat ini tidak hanya terjadi eskalasi, namun juga sofistikasi, bahkan agamanisasi kekerasan. Hal itu tidak serta merta muncul begitu saja, namun kemunculannya merupakan hasil dari mata rantai yang mendahuluinya.
Camara dalam bukunya The Spiral of Violence menyatakan bahwa, spiral kekerasan terdiri dari tiga hal. Pertama, adanya ketidakadilan sebagai akibat terjadinya egoisme para penguasa dan kelompok-kelompok tertentu yang rakus. Kedua, perjuangan keadilan dengan jalan kekerasan (termasuk dengan angkat senjata), karena mereka merasakan tidak melihat jalan lain untuk memperjuangkannya. Ketiga, adanya tindakan represi pemerintah untuk menumpas bentuk kekerasan kedua, sebab legitimasi penguasa adalah stabilitas nasional telah menjadi ideologinya.2
Untuk mengetahui munculnya lingkaran kekerasan yang mengakibatkan adanya krisis itu secara pasti, tampaknya sulit untuk menemukannya. Namun, yang jelas kini orang mulai mengevaluasi suasana krisis, dan terutama masa reformasi ini dari segi kekerasan yang menjadi kategori baru untuk mengevaluasi transformasi sosio-budaya. Orang dapat mengevaluasi transformasi sosial dari segi integrasi sosial, keadilan, hak-hak asasi manusia, politik, kemajuan ekonomi, dan sebagainya, yang semuanya itu saling berkaitan. Dari analisis sederhana itu tampak dapat dilihat bahwa ketidakadilan biasanya merupakan pemicu utama bagi munculnya kekerasan yang akan berakibat pada adanya krisis sosial. Ketidakadilan berarti membiarkan orang lain menderita atau kekurangan, yang seharusnya demikian itu tidak boleh terjadi, dan hal ini (bidang materi) berarti terjadinya monopoli kekayaan pada orang tertentu. Ketidakadilan itu bersifat violent, sehingga ketidakadilan itu memiliki dimensi kekerasan dan memiliki bentuk yang bermacam-macam, seperti ekonomi, sosial, politik, media, hukum, dan sebagainya.3
Johan Galtung menggambarkan adanya kekerasan struktural dengan ekspresi yang bermacam-macam, seperti struktur ekonomi, struktur pemerintahan, struktur politik, struktur sosial, dan struktur kebudayaan. Secara struktural, baik secara individual maupun kolektif, kepentingan mereka tidak di dengar dan diperhatikannya lagi. Ya memang mereka diberi kesempatan untuk menggunakan jalur-jalur struktural, namun struktur yang tersedia telah violent. Mereka atau orang disediakan dan bahkan diberikan kebebasan untuk meminjam modal, namun struktur ekonomi tidak memungkinkan bagi mereka yang tidak memiliki apa-apa untuk meminjam modal tersebut. Sebab modal hanya mengalir di sekitar mereka yang telah memiliki segala sesuatunya. Dengan demikian akan berakibat menimbulkan frustasi baik secara individual maupun secara kolektif yang pada gilirannya akan mengundang ketegangan dan kekerasan di kalangan mereka dengan maksud untuk memperbaiki nasibnya,4 dan yang demikian itu sangat jelas menimbulkan keresahan dan kerawanan dalam kehidupan masyarakat.
Kini, hal-hal yang demikian itu telah menjadi pemandangan harian di hadapan kita, atau dengan kata lain telah menjadi budaya, dan telah menjadi wacana penting di kalangan para pengamat sosial budaya dan politik. Jika secara harfiah, kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa, maka kekerasan yang berakibat menimbulkan krisis sosial telah menjadi ciptaan manusia atas dasar kehendak dan rasa yang mereka milikinya.
Jika diperhatikan secara seksama, terjadinya krisis sosial tidak lain berpangkal pada tidak adanya pegangan moral yang kokoh. Jika orang tidak lagi memiliki pegangan moral, maka segala perilakunya tanpa kendali. Hal ini akan terlihat jika kita perhatikan orang telah memiliki harta, misalnya, tetap saja dia serakah, menginginkan yang lebih dari yang sebenarnya yang dia miliki dengan menghalalkan segala cara. Demikian pula dalam bidang-bidang lainnya.
Agama dan Krisis Sosial
Semua agama menolak krisis dengan berbagai macam bentuknya, dan semua krisis itu akan melahirkan pemaksaan kehendak dari satu pihak terhadap pihak lain, dan demikian ini adalah amoral. Hal ini pula berarti melanggar asas kemerdekaan (kebebasan) dalam berinteraksi sosial, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bebas secara moral dan dapat menentukan pilihannya secara sadar. Dengan pertimbangan demikian, maka semua agama menolak krisis sebagai prinsip yang harus direalisasikan.
Persoalan krisis akan menjadi lebih rumit manakala dipraktekkan dengan legitimasi etika-religius atau diberi label agama demi memenuhi ambisi-ambisi non-religius. Dengan cara memberi label agama ini pula krisis telah menjadi bagian dalam historisitas keagamaan. Dalam teologi Islam kita kenal dengan peristiwa tahkim yang berkepanjangan, demikian pula mihnah yang dilakukan oleh sekelompok Mu’tazilah, dan sebagainya. Jika frekuensi krisis sudah demikian tinggi atau bahkan sudah mempola dengan intensitas yang mendalam yang dilakukan oleh para pemeluk atau pengikutnya, maka nama agama itu akan tercemar karena perilaku para pemeluk atau pengikutnya itu.
Jika pengamatan tentang krisis tersebut dapat dibenarkan, maka agama berada dalam lingkungan masyarakat yang sedang mengalami krisis. Mengapa demikian? Secara faktual bahwa agama kecuali membina masyarakat umat manusia, juga dibina oleh manusia. Sehingga dapat dimengerti jika agama dipergunakan untuk melegitimasi perbuatan kekerasan yang dapat menimbulkan ketegangan, konflik, sekalipun berakibat terciptanya krisis di tengah masyarakat. Hal ini berarti, agama mulai kehilangan daya normatifnya dalam membina perilaku individual maupun kolektif. Dan ini wajar dapat terjadi, karena sebagai akibat dipinggirkannya agama dari fungsi yang sebenarnya, seperti fungsi kritis dan profetis. Demikian ini tampak dalam formalisasi agama, sehingga agama menjadi tidak siap ketika berhadapan dengan kondisi di mana dia harus kritis terhadap lingkungannya dan juga terhadap dirinya.
Adanya suasana krisis masuk dalam agama yang seharusnya memberikan rahmat bagi umat manusia seluruhnya, karena : Agama sebagai salah satu sub sistem dalam kehidupan masyarakat menganggap bahwa kekerasan merupakan cara yang paling efektif untuk menghadapi pihak lain, baik yang dilakukan secara intern maupun dengan bantuan pihak ekstern. Dan “budaya tandingan” yang sering muncul dalam organisasi politik telah merasuki dalam khazanah konflik dalam agama. Kekerasan fisik dan teror sudah bukan barang haram, negosiasi diganti dengan konfrontasi, prosedur hukum diganti dengan gaya premanisme, dan sebagainya. Di samping itu, agama dijadikan alat untuk memberikan atau melegitimasi terhadap kepentingan tertentu, sehingga agama kehilangan daya kritis dan profesinya.
Secara sederhana, krisis yang muncul dengan berlabel agama: 1). Adanya konflik intern agama, yakni yang biasanya terjadi dalam lingkungan satu agama tertentu. Adanya kritik dari dalam, baik yang menghendaki pembaruan maupun purifikasi berhadapan dengan kelompok yang menghendaki status quo, sehingga muncul radikalisme progresif maupun radikalisme ortodoks. Hal ini terjadi karena akibat kebuntuan komunikasi. 2). Ketika agama memandang dirinya berada di tengah-tengah masyarakat yang zalim, sehingga ia berusaha untuk melawannya dan menganggap dirinya (agamanya) sebagai alternatif. 3). Ketika agama merasa terancam oleh agama-agama lain. Seperti, adanya Kristenisasi, Islamisasi, Jawanisasi (de-Islamisasi), syirikisasi, desakralisasi dan sebagainya.5
Dengan adanya tiga pola konflik berlabel agama itu, sebenarnya diperlukan adanya demokratisasi, baik dalam diri agama itu sendiri, antara agama dengan penguasa, dan antar agama. Tersumbatnya demokrasi akan mudah terjadi krisis yang berlabel agama. Tiga pola tersebut sebenarnya merupakan simplifikasi, namun sebenarnya lebih komplek dan saling terkait, sehingga masyarakat umat beragama harus bersikap kritis terhadap hal-hal yang berada di luar moral agama pada khususnya.
Moral Agama
Konflik antara boleh dan tidaknya menggunakan kekerasan sebenarnya merupakan masalah moral yang komplek, tidak cukup hanya mendasarkan pada proof-text dari tradisi atau Kitab Suci saja untuk memberikan legitimasi etika-religius dalam menggunakan kekerasan, namun juga harus mempertimbangkan berbagai aspek yang lebih luas. Memang, kekerasan dapat dibenarkan jika dimaksudkan: 1). Untuk menghindarkan kekacauan, konflik, ketegangan dan kekerasan yang lebih luas. 2). Bersifat sementara. 3). Untuk pembebasan.
Akan tetapi, bagi para pendukung non-kekerasan yang berakibat timbulnya krisis, berusaha untuk mematahkan mata rantai kekerasan yang dapat menimbulkan krisis itu melalui tekanan moral, seperti dalam peringatan seratus tahun Parlemen Agama-Agama Dunia di Chicago (28 Agustus – 4 September 1993) merumuskan Deklarasi Etika Global (Erklarung zum Weltethos)6 yang salah satu prinsipnya untuk merintis etika global adalah kultur anti-kekerasan dan sikap hormat terhadap semua kehidupan. Sedang untuk merintis suatu weltethos diperlukan waktu dan proses yang panjang, karena berkaitan dengan : 1). Cara untuk menggali nilai-nilai kemanusiaan sedemikian rupa, sehingga dapat dipahami dan diterima oleh pihak lain secara menyeluruh. 2). Pencarian konsensus-konsensus secara dinamis, mencari basis bersama untuk menghadapi situasi yang cenderung memusuhi kemanusiaan manusia. 3). Memotong mata rantai kekerasan atau membangun budaya anti-kekerasan. Jangan sebaliknya, atas nama agama pola-pola itu disingkirkan untuk kepentingan politik atau ideologi orang hanya mengungkap sejarah konflik atau kepentingan sempit dan sesaat.
Sedang untuk menciptakan weltethos yang anti-kekerasan yang menimbulkan krisis sosial itu diperlukan norma moralitas yang berakar pada agama. Tanpa norma-norma itu menjadi relatif artinya dan layu. Agama sebagai salah satu sumber motivasi sosial, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat kolektif, mengambil tempat yang sangat penting. Di samping sumber-sumber motivasi sosial yang lain, seperti kemauan yang kuat untuk dapat hidup bersama dalam masyarakat yang keluar dari lubuk hati berdasarkan iman.7 Dan dalam semua agama kasih dan cinta terhadap sesamanya, merupakan unsur penting dalam menghayati berbagai usaha sosial yang memperkuat, mempertebal kerukunan dan rasa solidaritas dalam masyarakat, baik dalam lingkup masyarakatnya sendiri maupun dalam lingkup yang lebih luas. Kohesi suatu masyarakat banyak tergantung dari kemampuan ini yang berakar dari agama.
Penutup
Sebagai penutup dari uraian ini, perlu disampaikan bahwa manusia sebagai makhluk sosial harus memiliki kemauan atau tekad yang kuat untuk membangun suatu pandangan tertentu tentang hari depan, hari depan umat manusia. Memang sebagai makhluk yang future-oriented, perilaku hari ini harus benar-benar diperhitungkannya tentang hari depan (yang lebih baik).
Dalam memperhitungkan hari depan, manusia diliputi oleh harapan, ketakutan dan ketidakpastian yang beraneka ragam yang ikut menentukan perilakunya. Maka tidak mengherankan jika pandangan tentang makna hari depan menempati posisi yang amat penting dalam semua agama. Dan pada hari depan itu amat terbuka karunia Tuhan melalui ikhtiar dan keterlibatan manusia pada hari ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bondurant, Joan V., Conquest of Violence, The Gandhian Philosophy of Conflict, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1969.
Camara, D.H., The Spiritual of Violence, London: 1971. Lihat, St. Sunardi, Keselamatan, Kapitalisme, Kekerasan, Kesaksian Atas Paradoks-Paradoks, Yogyakarta: LKiS, 1996.
Kung H & Kuschel, K.J., (ed.), Erklarüng zum Weltethos, Die Declaration des Parlementes des Weltreligiones, Seri Piper, Munchen-Zurich, 1993.
Lubis, Muchtar, Menggapai Dunia Damai, Jakarta: Obor, 1988.
Soedjatmoko, Etika Pembebasan, cet. II, Jakarta: LP3ES, 1985.
1 Joan V. Bondurant, Conquest of Violence, The Gandhian Philosophy of Conflict, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1969, hlm. xiii.
2 Camara, D.H., The Spiritual of Violence, London: 1971. Lihat, St. Sunardi, Keselamatan, Kapitalisme, Kekerasan, Kesaksian Atas Paradoks-Paradoks, Yogyakarta: LKiS, 1996, hlm. 163.
3 St. Sunardi, ibid., hlm. 165.
4 Johan Galtung, “Kekerasan, Perdamaian dan Penelitian Perdamaian”, Muchtar Lubis, Menggapai Dunia Damai, Jakarta: Obor, 1988, hlm. 164.
5 St. Sunardi, op.cit., hlm. 170-173.
6 Teks resmi ditulis dalam bahasa Inggris. Teks dalam bahasa Jerman dan penjelasannya termuat dalam Kung H & Kuschel, K.J., (ed.), Erklarüng zum Weltethos, Die Declaration des Parlementes des Weltreligiones, Seri Piper, Munchen-Zurich, 1993.
7 Soedjatmoko, Etika Pembebasan, cet. II, Jakarta: LP3ES, 1985, hlm. 203 dan 208.