Rabu, 15 Februari 2012

Telaah Pemikiran Ibn Athaillah tentang Jiwa Manusia

Dalam teorinya Ibnu Athaillah merekomendasikan kepasrahan penuh kepada Tuhan, sehingga bila dipandang dari kacamat ilmu kalam beliau adalah termasuk penganut Jabariyah, suatu paham yang yang diidentifikasi sebagai kepercayaan bahwa seluruhnya (termasuk perbuatan manusia) adalah rekayasa tuhan semata. Kepasrahan total, dalam pandangan Ibn Athaillah, menjadi resep kunci agar perjalanan manusia mencapai sang khaliq menuai kesuksesan. Keberserahan diri sepenuhnya kepada-Nya menjadi jalan utama bagi dirasakannya Karunia-Nya yang sangat berlimpah dan keadilan-Nya yang tak terbantah. [1]
Sejak pertama Ibn ‘Ataillah Al-Sukandari membangun tasawufnya dengan pemikiran bahwa manusia tidak memiliki kebebasan penuh untuk memilih nasib sendiri sesuai dengan keinginanannya. Alasannya karena Allah telah menentukan nasib manusia secara detail dan berkuasa penuh memperlakukan takdir ciptaanNya, termasuk manusia. Dasar  pemikiran ini  sebenarnya telah membudaya dihampir semua aliran tasawuf yang ada, namun tidak berlebihan apabila dikatakan hanya Ibn ‘Ataillah saja yang konsisten dengan prinsip ini, baik secara teoritis maupun praktisnya. Sebab dalam setiap perjalanan pemikiran tasawufnya Ibn ‘Ataillah selalu menegasikan kebebasan mutlak yang dituntut manusia. Hal ini tampak ketika seorang salik (pelaku suluk atau pengembara spiritual) yang hendak melakukan mujahadah al-nafs (apabila ditulis mujahadah saja artinya sama dengan mujahadah al-nafs) harus mampu menghilangkan egonya lebih dahulu. Keberhasilan  salik  dalam mempurifikasikaan jiwa dan sekaligus mampu meningkatkan ketaatannya selama mujahadah (mendidik jiwa atau nafsu) pada hakikatnya bukan murni hasil rekayasanya sendiri, tetapi karena ada campur tangan Allah. Sebab mujahadah sendiri tidak menjamin keberhasilan salik dapat  wusul (menjumpai) Allah. Dari sini semakin menjelaskan kenapa Ibn Ataillah tidak terlalu menganggap penting laku suluk sebagaimana yang dilakukan oleh para pengikut tasawuf lain. Sikapnya ini terdeteksi ketika Ibn Ataillah memberi ruang tersendiri kepada salik untuk mencapai tataran makrifat tanpa harus melalui prosedur standar yang berjenjang sejak dari fase mujahadah, naik ke maqamat, ahwal hingga ke tataran makrifat sebagai tujuan akhir. Pencapaian makrifat dengan metode non standar dapat saja terjadi kalau ada gravitasi (jadhab) dari Allah. Sehingga salik tidak perlu bersusah payah menjalani mujahadah yang melelahkan untuk mencapai tataran berikutnya.[2]
Berbagai aturan etika yang ada dalam prosedure standar, pada hakikatnya hanya untuk menciptakan seorang menjadi salik yang bersih pikiran dan jiwanya dari sifat-sifat keakuan (egoistis, ananiah) sehingga
dapat menerima takdir Allah sepenuhnya atau nrimo ing pandum. Dengan kata lain, seseorang pengembara ruhani (salik) yang ingin sukses mencapai tataran makrifat harus membekali dirinya dengan kepasrahan yang sempurna. Menurutnya totalitas kepasrahan ini tidak bisa ditawar lagi karena ada keyakinan bahwa konsep tersebut sudah menjadi blue print (iradah) Tuhan yang ditetapkan sejak zaman Azali (eternal). Apalagi dalam blue print tersebut diyakini memuat berbagai detail aktifitas makhluk Allah tanpa terkecuali, terutama manusia. Dari berbagai penjelasan yang ada dapat digaris bawahi bahwa Ibn ‘Ataillah adalah pemikir tasawuf yang konsisten dengan pemikiran jabariah yang mendasarkan kepasrahan total terhadap kudrat dan iradat Allah. Dalam arti lain manusia tidak memiliki kebebasan mutlak untuk menentukan keinginan dan masa depannya sendiri. Manusia hanya bisa nrimo ing pandum apabila berhadapan dengan takdir Allah.
Menurut Ibn ‘Ataillah manusia hanya bisa nrimo ing pandum jika berhadapan dengan iradat dan kudrat Tuhan, sehingga semua aktifitas manusia sebenarnya adalah tindakan Tuhan (af’alullah). Artinya, semua aktifitas manusia–termasuk yang masih dalam rencana sekalipun–tidak akan terwujud apabila tidak mendapatkan ijinNya.
Hal ini memberikan pengertian bahwa semua tindakan manusia pada hakikatnya merupakan cerminan aktifitas Tuhan, baik yang berkaitan dengan kebaikan maupun kejahatan. Sikap Ibn ‘Ataillah tentang perbuatan manusia tampaknya sama persis dengan pandangan Ahli Sunnah yang meyakini bahwa semua tindakan manusia – baik dan buruk- adalah hasil ciptaan Allah dan bukan hasil karyanya sendiri. Alasannya karena “potensi kemampuan” yang dimiliki manusia diberikan oleh Allah persis berbarengan dengan terjadinya “tindakan” yang dilakukan manusia. Jadi “potensi kemampuan” itu sendiri tidak diberikan kepada manusia sebelum atau sesudahnya, tetapi bersamaan ketika ada wujud tindakan.[3]  Pemikiran ini sesuai dengan firman Allah: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".[4]
Apabila pandangan Ibn ‘Ataillah tentang aktivitas manusia seirama dengan Ahli Sunnah, maka sikap ini jelas bertolak belakang dengan pendapat Mu’tazilah yang menyatakan manusia memiliki kebebasan mutlak untuk memilih dan melaksanakan semua tindakannya, baik yang berkaitan dengan kebaikan maupun kejelekan. Artinya campur tangan Tuhan sudah tidak diperlukan lagi dalam berbagai tindakan manusia. Mereka sangat tidak setuju apabila perbuatan jahat, maksiat, zalim dan kufur dihubungkan dengan perbuataan  Tuhan. Masak manusia yang berbuat jahat, tetapi Allah yang dituduh menjadi dalangnya. Pandangan yang tidak masuk akal.[5]
Sikap ini muncul karena Mu'tazilah beranggapan bahwa “potensi kemampuan” yang dimiliki manusia sudah ada lebih dahulu ketimbang aktifitas itu sendiri. Sehingga semua tingkah laku manusia adalah hasil rekayasanya sendiri, sama sekali bukan kehendak Allah.  Kebebasan memilih dan berbuat yang ditonjolkan Muktazilah jelas bertolak belakang dengan pemikiran Ibn ‘Ataillah dalam hal yang sama. Manusia tidak bebas dalam menentukan nasibnya sendiri, karena Allah sudah merencanakan semua perbuatan manusia, termasuk perbuatan baik, jelek, taat dan maksiat.
Maksiat adalah perbuatan jelek dan jahat, menurut Mu'tazilah, sehingga perbuatan ini tidak layak dilakukan oleh Allah yang terkenal dengan sifat rahman dan rahimNya. Allah sudah sepantasnya steril dari perilaku jahat dan memalukan. 
Keberatan Muktazilah ini ditanggapi oleh Ibn ‘Ataillah dengan pertanyataannya bahwa maksiat memang  perbuatan jahat yang dilarang. Tetapi maksiat itu sendiri dianggap jelek dan jahat karena melanggar larangan Allah, dan bukan disebabkan oleh sifat jelek yang dimiliki maksiat. Demikian juga masalah perintah melakukan kebaikan tidak bisa dikaitkan dengan sifat sesuatu yang dianggap baik, tetapi karena ada “perintah” untuk melakukannya.[6]
  Bila dicermati perbedaan ini muncul karena adanya ketidak samaan dalam membidik sasaran. Mu'tazilah lebih menitik beratkan pada substansi tindakan yang berupa kebaikan dan kejelekan, sedangkan Ibn ‘Ataillah cenderung melihat pada substansi larangan dan perintahnya, bukan pada perbuatannya. Dengan perbedaan ini sikap Muktazilah melahirkan paradigma kebebasan mutlak bagi manusia, sebaliknya Ibn ‘Ataillah sangat mengingkari paradigma tersebut. Sikapnya tercermin dalam kata hikmah yang ditujukan kepada para pengikutnya: “Al-Ghafil (pelupa, bodoh) adalah orang yang melihat dan mengagumi perbuatannya sendiri, sedangkan Al-‘Aqil (cerdas, pandai) ialah orang yang mampu melihat apa yang sedang dikerjakan Allah.[7] Lebih lanjut dikatakan bahwa laku “ketaatan” yang bisa dilakukan manusia sebenarnya bersifat subyektif, sebab hakikatnya Tuhan sendiri yang melakukan dan menciptakan laku ketaatan tersebut. Sedangkan perbuatan “maksiat” yang dilakukan manusia, bukan sebagai sifat kezaliman Allah, tetapi merupakan ajang pembuktian berlakunya keadilan Tuhan. Pemikiran ini tercermin dalam munajatnya: “Tuhanku, hanya karena anugerahMu aku bisa melakukan kebaikan dan ketaatan. Sebaliknya apabila aku melakukaan kejahatan dan maksiat, tentu ini bukan dari sifat zalimMu, tetapi semata karena keadilanMu yang berlaku, sehingga Engkau masih mempunyai alasan untuk mengadiliku”. [8]
  Pemikiran Ibn ‘Ataillah tentang tidak adanya kebebasan memilih bagi manusia adalah sebagai pencerminan keyakinannya yang fatalis dan jabariah tulen ketika berhadapan dengan takdir Tuhan. Alasannya karena Allah adalah perancang dan pencipta tunggal yang memiliki kekuasaan mutlak, sehingga semua yang telah, sedang dan akan terjadi tidak bakal keluar dari perencanaan dan kekuasaanNya. Lebih-lebih takdir Allah tidak akan bisa dirubah, dibendung dan digagalkan oleh kekuatan apapun yang dimilik dan diciptakan manusia.[9]  Berangkat dari penjelasan ini seyogyanya setiap insan menyadari sepenuhnya bahwa semua detail kehidupan yang ada adalah realisasi perjalanan takdirnya yang dijalankan dan dikontrol  oleh hukum-hukum Allah, sehingga tidak mungkin ada peluang bagi manusia untuk keluar dari takdirNya. Apabila manusia tidak mungkin keluar dari takdir jalan hidupnya, maka penyelesaian yang terbaik dalam menghadapi berbagai kehidupan adalah memiliki sikap  ridho  dan  sumeleh  terhadap semua kejadian. 
Ibn ‘Ataillah tampaknya memberikan tekanan yang sangat kuat dan mendalam ketika memahami hubungan antara kekuasaan Tuhan yang bersifat hakiki dengan kekuasaan manusia yang bersifat nisbi. Sebab apabila manusia menyadari kondisi kemampuannya sangat terbatas dibanding  dengan kekuasaan Allah, seharusnya melahirkan perasaan bahwa dirinya sangat rapuh dan tidak berarti apa-apa. Kesadaran tentang kelemahannya dihadapan Tuhan inilah sebenarnya pengertian dasar tentang makrifat yang dimaksud Ibn ‘Ataillah. Artinya, pengertian makrifatullah yang paling mendasar adalah jika manusia telah menyadari sepenuhnya  tentang ketidak berdayaannya menghadapi takdir Tuhan, baik takdir baik maupun jelek.[10]  Dalam arti lain dapat difahami bahwa manusia pada hakikatnya tidak memiliki kemampuan apa-apa, sehingga layak apabila tidak memerlukan planing (tadbir) untuk menentukan masa depannya sendiri. Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki kemampuan dituntut mempunyai perencanaan yang aplikatif? Apalagi semua rencana nasib manusia telah direncanakan oleh Allah sejak zaman azali.
Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama 
__________________________________

[1] Mustafa Bisri, Al-hikam Rampai hikmah Ibn Athaillah, (Jakarta:cet II, 2007), hlm. 9-11.
[2] Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi, Al-Taftazani,  Ibn ‘Ataillah Al-Sakandari wa
Tasawwufuh.  (Kairo: Maktabah Angelou Al-Mishriyyah, 1969), hlm 121
[3] Abu Al-Mu’In Al-Nasafi, Bahr Al-Kalam bi majmu’ah Al-Rasail, (Kurdistan: Al-‘Ilmiah,
1359 H), hlm. 4
[4] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Al-Shaffat, hlm 96.
[5] Al-Shahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, hlm 55-56.
[6] Al-Tanwir, 21, hlm. 37-38.
[7]Ibn ‘Ibad Al-Nafazi Al-Randi, Sharh ‘ala al-hikam, I, hlm. 108.
[8]  Ibid, II, hlm. 109
[9] Ibid... I hlm. 7
[10] Tanwir, hlm. 34

1 komentar: