Penulis buku: Dr. Aibdi Rahmat, M.Ag.; Judul buku: Kesesatan dalam Perspektif Al-Qur’an, Kajian Tematik terhadap Istilah “Dlalâl” dalam Al-Qur’an; Editor: Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd.; Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta; Cetakan Pertama: Maret 2007; Jumlah halaman: viii + 228; Ukuran buku: 15x21 cm.
Buku ini berisi tentang penafsiran terhadap istilah dlalâl (ضلال) yang sering terdengar lewat pernyataan-pernyataan sebagian orang atau kelompok yang sangat mudah diucapkan tetapi mempunyai efek psikologis yang sangat sulit ditolerir. Di Indonesia sendiri, kata dlalâl (sesat) sering terdengar, yang dikemukakan oleh individu atau organisasi tertentu terhadap orang atau kelompok tertentu yang pengalaman ibadahnya, menurut mereka, tidak sesuai dengan atau menyimpang dari al-Qur’an dan Sunnah. Tentu saja, istilah sesat yang dilontarkan oleh suatu kelompok kepada kelompok lain tersebut menimbulkan permasalahan tersendiri dalam konteks hubungan sosial. Istilah sesat sangat tidak menyenangkan bagi orang yang dituduh dengan ungkapan tersebut. Bahkan tidak jarang istilah tersebut bisa menyulut konflik dan mengobarkan permusuhan antara sesama pemeluk suatu agama.
Dalam buku ini penulis membagi kajian menjadi lima bab. Bab pertama: Pendahuluan; Bab kedua: Bentuk-bentuk pengungkapan dlalâl dalam al-Qur’an (terma yang secara langsung menunjuk pada dlalâl maupun yang secara tidak langsung menunjuk padanya) dan sebab-sebab dlalâl; Bab ketiga: Jenis-jenis dlalâl dan karakteristiknya, yakni jenis dlalâl yang berhubungan dengan akidah, ibadah, interaksi sosial, akhlak/perilaku, logika/pemikiran, hukum, dan ekonomi; Bab keempat: Dampak, sikap dan solusi terhadap dlalâl; dan Bab Kelima: Penutup. Dalam buku ini juga terdapat Indeks yang memudahkan pembaca dalam pencarian kata.
Adapun bab pertama, penulis mencoba mengelaborasi latar belakang pengambilan istilah dlalâl dalam perspektif al-Quran dengan menggunakan metode tafsir tematik (maudhu’i). Tafsir maudhu’i pada masa kini dinilai cukup akurat dalam menggali maksud al-Quran, sehingga diharapkan dapat membantu mencapai tujuan yaitu mengetahui secara menyeluruh petunjuk al-Qur’an bagi kehidupan manusia.
Penulis menemukan istilah dlalâl disebut sebanyak 191 kali dalam al-Qur’an dan memiliki pengertian yang beragama. Term dlalâl dari segi bahasa mempunyai pengertian hilang, mati, tersembunyi, sia-sia, binasa, keliru, lupa, sesat, bingung, dan lawan dari hidayah. Sedangkan menurut istilah, dalam buku ini penulis mengambil pengertian lafal dlalâl dari Mufradât Alfâdz al-Qur’ân (karya Al-Râgib al-Asfahânî) yang berarti berpaling dari jalan yang benar dan lurus, atau lawan dari hidayah. Selain itu, penulis menyebutkan derivasi term dlalâl dalam berbagai bentuk, di antaranya, (a) dlalla (ضلّ) yang muncul 26 kali dalam al-Qur’an, 10 di antaranya tidak menunjukkan pengertian secara istilah tetapi bermakna hilang dan sia-sia; (b) tadlilla (تضلّ) yang terdapat dalam surat al-Baqarah/2: 282, penulis mencoba memberi pengertian secara kontekstual mempunyai pengertian lupa; (c) dlalalnâ (ضَلَلْنَا) dalam surat al-Sajadah/31: 10, penulis juga mencoba memberi pengertian lenyap dan hancur; (d) dlallû (ضَلُّوا) yang bermakna lenyap terdapat pada surat al-A’râf/7: 37, al-Mu’min/40: 74, dan al-Ahqâf/46: 28; (e) adlalla (أّضَلَّ) yang bermakna terhapus terdapat pada surat Muhammad/47: 1 dan 8; (f) dlâllan (ضَالاًّ) dalam surat al-Duhâ/93: 7, penulis juga mencoba memberi pengertian secara kontekstual berarti bingung; al-dlâllîn (الضالِّين) dalam dlalâl (ضلال) yang terdapat dalam surat Yusuf/12: 95 secara kontekstual berarti keliru, sedangkan yang terdapat dalam surat al-Ra’d/13: 14 secara kontekstual bermakna sia-sia; dan tadlîl (تَضْلِيْل) dalam surat al-Fîl/105: 2, penulis mencoba memberi pengertian secara kontekstual bermakna sia-sia.
Dari berbagai makna yang ada, penulis mencoba memaparkan bahwa dlalâl dalam pandangan al-Qur’an merupakan suatu bentuk penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukan manusia dalam menempuh jalan yang telah digariskan oleh Allah melalui para rasul-Nya. Penyimpangan yang dilakukan manusia dalam kehidupan keberagamanya telah terjadi sejak masa dahulu.
Dalam buku ini, penulis menambahkan bahwa menurut al-Qur’an, manusia memiliki fitrah untuk hanya menyembah Allah. Peredaran waktu ternyata dapat membuat manusia lupa akan fitrahnya. Akibatnya, manusia terbawa oleh ajakan hawa nafsu dan godaan setan untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan mereka tergelincir dari jalan yang benar. Tambahnya, seseorang yang berada dalam kesesatan merupakan orang yang telah menyimpang dari jalan yang benar dan hidayah Allah. Ia merupakan orang yang menentang atau kufur terhadap segala sarana yang dapat membawanya kepada hidayah Allah, baik itu menentang ayat-ayat Allah maupun para rasul-Nya. Dan penentangan yang dilakukannya menunjukkan kebodohannya, karena ia tidak dapat memilih mana yang benar dan salah untuk kehidupannya. Ia melupakan tujuan utama dari kehidupannya di dunia ini yaitu mengabdi kepada Allah dan menempuh jalan-Nya agar tidak celaka baik di dunia maupun di akhirat.
Dari penelitian yang dilakukan terhadap term dlalâl, penulis mengemukakan bahwa dalam al-Qur’an, dlalâl mempunyai beberapa tingkatan yang berbeda. Term أَضَلّ menunjukkan pada tingkatan tertinggi dari sebuah kesesatan. Orang yang berbeda dalam posisi ini adalah orang yang tidak dapat menggunakan seluruh potensi yang ada dalam dirinya yang telah diberikan Allah berupa potensi kecerdasan (akal), emosi dan hati. Penulis menambahkan bahwa mereka ini yang dinyatakan oleh al-Quran sebagai orang yang lebih sesat dari hewan. (hlm. 58)
Kemudian term ضَلاَل بعيد sebagai tingkatan setelah أضَلّ, penulis mencoba menyatakan bahwa orang yang berada pada posisi ضَلاَل بعيد ini merupakan orang yang masuk terlalu jauh dalam kesesatan, ia tidak mungkin mendengarkan suara-suara kebenaran. Selain itu, penulis juga menambahkan, orang-orang pada posisi ini tidak mungkin mendapatkan petunjuk yang dapat membawanya kembali kepada jalan kebenaran. Penulis mengibaratkan sebagai orang yang buta atau orang yang berada dalam kegelapan, bagaimana ia dapat mengenal petunjuk sedangkan ia tidak dapat melihat petunjuk itu. Penulis menambahkan bahwa orang yang berada pada posisi ضَلاَل بعيد ini berada dalam kesesatan yang gelap gulita. (hlm. 44)
Tingkatan selanjutnya adalah ضلال. Penulis menyatakan bahwa orang yang berada di posisi ini merupakan orang yang mengalami kesesatan. Namun, ia tidak begitu jauh masuk dalam ranah kesesatan, sehingga ia masih dapat mendengar sayup-sayup suara kebenaran, dan masih dapat melihat secara samar petunjuk yang dapat mengantarkannya kepada jalan kebenaran.
Dalam memaparkan term dlalâl dan derivasinya yang sampai lima puluh dua halaman, penulis juga menunjukkan dan mengelaborasi term yang lain walaupun hanya dua hingga tiga halaman saja, seperti term gay, tughyân, dan zaig.
Adapun term ghay (الغي), penulis mencoba menerangkan arti kata gay, dari aspek bahasa الغي lawan darı kata rusyd (الرشد). Gay bermakna sesat, gagal, putus asa, kecewa, kerusakan. (hlm. 66)
Sedangkan term tughyân (طغيان), penulis mencoba menerangkan pengertian tughyân ditinjau dari aspek bahasa adalah melampaui batas atau ukuran, naik dan meluap. Sedangkan ditinjau dari segi istilah, tughyân diartikan melampaui batas dengan berbuat kedurhakaan. (hlm. 69)
Adapun term zaigjh (زيغ), penulis mencoba menerangkan pengertian zaig menurut bahasa adalah menyimpang, bengkok, condong. Sedangkan menurut istilah adalaha berpaling atau menyimpang dari jalan yang lurus. (hlm. 75)
Penulis juga mencoba mengkategorikan penafian hidayah (pernyataan tidak mendapat petunjuk) sebagai bagian dari term-term dlalâl. Penulis mencontohkan ungkapan penafian hidayah yang ditujukan kepada orang zalim terdapat pada surat al-Baqarah/2: 258, yang artinya: “Tidakkah kamu memerhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” diberkata, “Akupun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.” Maka bingunglah orang kafir itu. Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang zalim.”(hlm. 77-78)
Selain term-term yang langsung menunjuk pada dlalâl, penulis juga menyebutkan term-term yang tidak langsung menunjuk kepada dlalâl yaitu: gaflah, qaswah qalb, qalb marad, isrâf, ‘umy, ‘isyân, dan fisq. (hlm. 83)
Dalam buku ini, penulis mencoba untuk membuat kategorisasi dlalâl yang didasarkan dari analisis terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang sudah dibahas sebelumnya. Selain analisis terhadap pembahasan ayat-ayat, pembagian dlalâl yang telah diberikan para ulama juga dipertimbangkan dalam menentukan pembagian dlalâl.
Penulis mencoba untuk memberikan karakteristik tersendiri dari setiappembahasan jenis-jenis dlalâl. Bisa jadi ada beberapa karakteristik yang sama untuk jenis yang berbeda. Namun, hal itu bukan berarti menunjukkan jenis dlalâl tersebut sama. Dari pengamatan terhadap ayat-ayatnya, penulis sering menemukan bahwa al-Qur’an memberikan ungkapan pada suatu tema dengan beragam aspek penyebutan. Adanya penyebutan aspek yang beragam ternyata berkaitan dengan tema-tema lain. Hal ini dapat dipahami karena al-Qur’an mempunyai kemampuan menjelaskan sesuatu dengan beragam aspek. Penulis menambahkan bahwa suatu tema dalam al’Qur’an pada umumnya, boleh dikatakan, tidak ada yang berdiri sendiri. Tema-tema yang diungkap al-Qur’an umumnya saling terkait dan berhubungan satu sama lain. (hlm. 118)
Selain itu penulis mencoba memaparkan jenis-jenis dlalâl dan karakteristiknya dengan menghubungkannya dengan akidah, ibadah, interaksi sosial, akhlak/perilaku, logika/pemikiran, hukum, dan ekonomi. Misalnya, dalam buku ini, penulis menyatakan bahwa kemunafikan merupakan salah satu karakteristik dlalâl yang berkenaan dengan akidah. Selain itu, dalam hubungan dengan ibadah, penulis menyebutkan kesesatan bisa terjadi di sekitar pelaksanaan ibadah mahdhah, misalnya orang melaksanakan salat dengan malas. [Admin]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar