Penulis buku: Achmad Syarqawi Ismail; judul buku: Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrûr; Editor: M. Sakdillah; Desain Cover: Kukila Art; Penerbit: eLSAQ Press, Yogyakarta; Cetakan Pertama: Februari 2003; Jumlah halaman: xxiv + 120; Ukuran buku: 14x20 cm.
Melalui
buku ini dapat diketahui bagaimana Syahrûr merumuskan konsep wahyu dan
bagaimana ia mengemas kerangka metodologis sebagai satu pijakan. Terlebih,
lewat analisis kebahasaan yang disebut metode ilmiah-historis (al-manhaj
al-‘ilmî al-târîkhî)—yang tidak lain merupakan sintesis dari dua pendekatan
bahasa yang dilakukan Ibn Jinnî dan Abd Qâhir al-Jurjâni yang tegas menolak tarâduf
dalam bahasa Arab—Syahrûr memilih beberapa kata kunci guna diungkap
makna yang tersembunyi di dalamnya, kata-kata kunci itu adalah: al-ja’l,
al-inzâl-al-tanzîl, al-wahy, al-dzikr dan al-rûh.
Dalam
buku ini, penulis mencoba memaparkan penjelasan Syahrûr dalam membedakan
cara pewahyuan antara ayat-ayat al-Qurân dan ayat-ayat umm al-kitâb,
serta menjelaskan bahwa hanya umm al-kitâb lah yang memiliki sabab
al-nuzûl dan merupakan wilayah kemungkinan terjadinya nâsikh-mansukh. Bahkan
dalam cara memahami kandungan wahyu Allah, Syahrûr melakukan pembedaan
teknis antara ayat-ayat al-Qurân dengan ayat-ayat yang tergolong umm
al-kitâb, antara mutasyâbihât dan muhkamât. Yang
pertama didekati dengan al-tartîl dengan konotasi makna ta’wîl yang
mendalam, sedang yang kedua terpahami melalui metode al-muqâranah dan taqâtu’
al-ma’lûmât. Perbedaan-perbedaan ini merupakan konsekwensi logis dari
tawaran konsep wahyu Syahrûr.
Penulis
membagi buku ini menjadi tiga bagian utama yaitu, pendahuluan, isi, dan
penutup, yang selanjutnya membagi kedalam beberapa bab dan sub bab. Pada bab
pertama—sebagai pendahuluan—penulis menyuguhkan latar belakang pentingnya
penelitian tulisan. Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan pembahasan ini
sangat penting. Pertama, kajian tentang konsep wahyu merupakan pijakan
dasar bagi tema-tema ‘Ulûm al-Qurân yang lain. Kedua, beberapa
tahapan dan tata cara pewahyuan masih membuka pintu pemikiran spekulatif
khususnya mengenai cara komunikasi Allah dan malaikat Jibril, dan selanjutnya
komunikasi yang terjadi antara Nabi Muhammad dan malaikat Jibril. (hlm. 7)
Pada
bab kedua buku ini, penulis mencoba mendeskripsikan wahyu dalam berbagai
perspektif. Dalam kaitan ini, penulis menfidentifikasi berbagai perspektif
seputar konsep wahyu kedalam tiga kelompok besar. Pertama, perspektif
ulama klasik; kedua, perspektif ulama modern-kontemporer; dan ketiga,
perspektif kaum orientalis.
Sebagai
pengantar bagi pembicaraan mengenai konsep wahyu Syahrûr, penulis buku ini membincangkan beberapa konsep lama
tentang wahyu. Dua tokoh diambil sebagai wakil, yakni al-Zarkasyi dengan
karyanya, al-Burhân fî 'Ulum al-Qur'ân, dan al-Suyuthi dengan karyanya, al-Itqân
fi 'Ulûm al-Qur'ân. Walaupun pengambilan wakil atau sampel ini dapat
dikatakan tidak men-cakup, tetapi cukup untuk melihat gambaran pemikiran lama
yang berkisar pada apa yang ditulis oleh kedua tokoh yang karya-karyanya
menjadi buku pegangan dalam kajian tentang al-Qur'an di perguruan-perguruan
Islam.
Kemudian penulis buku ini membincangkan konsep-konsep ulama modern
mengenai hal yang sama. Di sini pun diambil beberapa penulis sebagai wakil, yakni
al-Zarqâni, Fazlur Rahman dan Nashr Hamid Abu-Zaid. Sama seperti di atas,
sebenarnya pengambilan wakil seperti ini tidak mencakup keseluruhan variasi
pemikir modern. Konsep Arkoun tentang tanzîl tidak disinggung, demikian
juga konsep Iqbal tentang wahyu. Akan tetapi, gambaran umum mengenai terjadinya
usaha menjelaskan konsep wahyu dan hal-hal yang berkaitan dengannya dapat
ditangkap dengan mudah. Keharusan metnadatkan pembicaraan karena keterbatasan
halaman memang tidak memungkinkan penulis untuk menjamah seluruh pemikiran
mengenai hal yang dibicarakan.
Setelah
itu penulis juga melontarkan pandangan kaum orientalis mengenai wahyu Islam,
walaupun secara singkat. Sayang bahwa hanya satu tokoh yang dibicarakan
pendapatnya, yakni W. Montgomery Watt. Tokoh-tokoh orientalis lain yang juga
berbicara tentang konsep wahyu masih harus dicari lagi oleh pembaca yang ingin
tahu lebih jauh. Akan tetapi, karena pembicaraan hanya dimaksudkan sebagai
pengantar bagi pembicaraan mengenai konsep Syahrûr,
kekurangan ini tidak terlalu mengganggu.
Kemudian datang pembicaraan mengenai konsep pembaharuan Syahrûr
yang didahului biografinya, diskusi mengenai bukunya yang menjadi acuan utama, al-Kitab
wa-al-Qur'an, dan perbincangan mengenai asumsi-asumsi metodenya. Pembicaraan
pendahuluan ini penting untuk masuk ke dalam cakrawala pemikiran Syahrûr
. Barulah kemudian dibicarakan konsep tokoh ini mengenai wahyu yang diambil
dari bukunya itu. Pembicaraan tokoh ini memang banyak yang mengagetkan, tetapi
penting untuk diikuti dan diperlukan untuk membuka cakrawala tentang
perkembangan pemikiran keagamaan Islam, tidak hanya mengenai konsep wahyu,
melainkan juga konsep-konsep lain mengenai al-kitab, al-qur'ân dan
sebagainya.
Penulis
mencoba menyebutkan pandangan Syahrûr bahwa salah satu kunci penting dalam
memahami kandungan al-Kitab secara tepat adalah dengan mengetahui nuansa
perbedaan makna antara inzâl dan tanzîl.
Tanpa pemahaman yang jelas mengenai perbedaan keduanya, sepertinya sulit
untuk bisa menangkap maksud kandungan ayat-ayat al-Kitab yang di
dalamnya terdapat kedua kata tersebut. Seperti QS. Yusuf (12): 2; QS. Al-Insan
(76): 23; QS. Al-Furqan (25): 48; dan QS. Al-Hadid (58): 25. Pembedaan ini
sangat penting bagi Syahrûr mengingat dalam setiap bahasa tidak terdapat
dua kata atau lebih yang benar-benar memiliki arti sama, tidak ada taraduf dalam
bahasa Arab. Lebih-lebih bahasa al-Kitab, di dalamnya tidak akan pernah
ditemukan satu ungkapan apa pun yang menjadi sia-sia, seolah-olah tidak
bermakna. (hlm. 80)
Namun
penulis juga menyatakan bahwa Syahrûr bukanlah orang pertama yang
berupaya melakukan pembedaan makna antara inzâl dan tanzîl. Sebelumnya telah muncul
beberapa ulama seperti al-Raghib al-Isfahani dan al-Zamakhsyari yang kurang
lebih juga melakukan hal yang sama seperti Syahrûr. (hlm. 81)
Penulis mencoba mengelaborasi penafsiran istilah inzâl, dengan
mengambil pendapat al-Jurjani, sekalipun kata inzâl bisa bermakna
netral (mutlaq), namun ketika dihadapkan pada kata tanzîl yang
dalam konteks pewahyuan al-Kitab berkonotasi adanya tahapan-tahapan
tertentu, maka inzâl dalam hal
ini dengan jelas berkonotasi sekaligus. Namun demikian, yang perlu
dicermati di sini adalah proses pewahyuan al-Kitab lewat ungkapan inzâl
dan tanzîl tersebut,
mengingat kedua kata ini sama-sama bermakna gerakan (penurunan) dari atas ke
bawah. Karena itulah, inzâl dalam
konteks ini harus dipahami sebagai proses penampakan al-Kitab ke al-Lauh
al-Mahfûdz di mana sebelumnya ia tersimpan dalam ilmu Allah. Proses
penampakan ini disebut dengan gerakan spritual (harakah ma'nawiyyah).
Apa yang dilakukan oleh Syahrûr sebenarnya tidak jauh
berbeda—bahkan sama dalam hal prinsipnya—dengan upaya ulama-ulama di atas.
Hanya saja, sebagaimana pengkuan Syahrûr sendiri, rumusan yang dihasilkan
jauh berbeda dikarenakan faktor situasi dan kondisi yang mereka alami juga
berbeda.
Berbicara tentang ruh, penulis mengutip pendapat Syahrûr
bahwa ruh adalah suatu anugerah yang diberikan Allah secara langsung
hanya kepada manusia (min z}atihi). Artinya, ruh tidak muncul
dari materi-materi yang membentuk manusia. Dengan ruh manusia beranjak
dari status basyariyyah menuju ke insaniyyah; memperoleh
pengetahuan dan bisa menjalankan syari'at. Pengetahuan menjadikan manusia
sebagai makhluk yang bebas menentukan pilihan, dan syari'at terkait erat dengan
kebebasan ini. Sementara itu, syari'at merupakan norma bagi perilaku manusia
sehingga bagaimana pun tidak bisa terlepas dengan kesadaran manusia tersebut.
Jadi, ruh memiliki dua sisi yaitu, pengetahuan (al-ma'rifah) dan
syari'at (awamir). (hlm. 93)
Penjelasan dan uraian Syahrûr seputar konsep wahyu
menawarkan arah dan pola baru dalam wacana ‘ulûm al-qurân. Setidaknya,
apa yang telah dilakukan Syahrûr mencoba menjawab berbagai teka-teki
yang selama ini terus diperdebatkan oleh para ulama. Persoalan apa yang dibawa
turun Jibril kepada Nabi Muhammad—sebagaimana dilontarkan oleh al-Zarkasyi dan
al-Suyuti—serta bagaimana proses komunikasi antar berbagai pihak yang saling
berbeda secara ontologis dapat berlangsung—seperti yang dinyatakan Nasr Hamid—secara
tidak langsung telah dijawab oleh Syahrûr melalui konsep wahyu yang
rekonsruktif. (hlm. 95)
Penulis menambahkan pembahasan tentang proses pewahyuan al-Kitab
merupakan tema kajian yang sangat penting. Menurut Syahrûr, pemahaman
yang memadai mengenai proses pewahyuan melalui analisis inzâl -tanzîl ini
akan menyelamatkan umat Islam dari dogma-dogma akidah yang selama ini terus
membelenggu, mempersempit ruang gerak kebebasan. Uraian tentang kebebasan
manusia, qada' dan qadar serta pertanggungjawaban manusia atas segala
perbuatannya bisa diperoleh dan dipahami dengan benar jika berangkat dan
pembedaan ini, pembedaan antara wilayah kitab al-nubuwwah dengan kitab
al-risalah serta antara al-quran dengan al-Kitab.
Bagi Syahrûr yang dimaksud dengan al-rasikhuna fi al-‘ilmi adalah para filosof, fisikawan maupun para
sejarawan, sehingga dikatakan bahwa Darwin adalah orang yang paling tepat
menta'wil (memahami) proses penciptaan manusia. Antara wahyu, realitas dan akal
tidak terdapat pertentangan. Hanya saja, lanjut Syahrûr , orang-orang
semacam Darwin termasuk orang-orang yang akalnya kurang sempurna karena tidak
menerima kebenaran umm al-kitab. Yang cukup mengejutkan dari Syahrûr
mengenai ta'wil ini adalah pendapatnya tentang Nabi Muhammad. Menurut Syahrûr,
Nabi Muhammad tidak melakukan ta'wil terhadap al-quran, karena al-quran
merupakan suatu amanat yang diterimanya dan harus disampaikan kepada umat
manuisa. Ta'wil hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya bekal
memahami kebenaran mudak, realitas objektif. Nabi Muhammad dalam konteks ini
hanya memberikan panduan umum bagi pemahaman al-quran tersebut.
Penulis buku mencoba menjelaskan bahwa analisis yang dipakai Syahrûr
terhadap berbagai istilah seputar konsep wahyu ini didasarkan kepada metode
bahasa ilmiah-historis (al-manhâj al-târikhî al-'ilmî) yang dalam poin
pentingnya menolak adanya tarâduf dalam bahasa, lebih-lebih bahasa al-kitâb.
Metode ini "memaksa" Syahrûr menganalisis kata-kata kunci
seputar wahyu (tentunya juga dalam seluruh bahasa al-kitab) guna
menemukan nuansa perbedaan makna serta menentukan signifikansinya, seperti inzâl
dan tanzîl. (hlm. 105)
Sehingga, penulis dapat menyebutkan konsep wahyu Syahrûr yang
berdampak pada ‘ulûm al-Qir’ân, yang pertama, konsep sabab
al-nuzul. Bagi Syahrûr sabab al-nuzul hanya dimiliki oleh umm
al-kitab dan tafsil al-kitab sehingga tentunya tidak semua ayat al-kitab
memiliki sabab al-nuzul, apalagi pada ayat al-quran yang
bahan mentahnya telah ada sebelumnya. Sabab al-nuzul sangat cocok dengan
umm al-kitab yang merupakan petunjuk dan norma bagi perilaku manusia,
baik yang vertikal maupun horisontal. Umm al-kitab merespon latar
belakang sosial-budaya Nabi Muhammad dan orang-orang di sekitarnya. Kedua, Konsep
nâsikh-mansukh. Tidak ada nâsikh-mansukh dalam ayat-ayat al-qur’ân.
"Nâsikh-mansukh hanya dalam umm al-kitab guna menyesuaikan
dengan realitas sosial yang dialami Nabi Muhammad. Ketiga, metode
penafsiran al-kitâb. Ayat-ayat yang tercakup dalam klasifikasi mutasyabihat
seperti al-qur’ân maknanya digali melalui metode al-tartil dengan
dengan konotasi makna ta'wil, yaitu suatu metode yang tidak pernah
menemui garis finis dalam upaya memahami ayat-ayat mutasyabihat. Jargon
yang tepat dalam konteks ini adalah sabat al-nass wa harakat al-muhtawa. Suatu
jargon yang merupakan makna hakiki dari istilah mutasyabih menurut Syahrûr.
Sementara untuk ayat-ayat umm al-kitab digunakan metode al-muqâranah dan
taqatu' al-ma'lûmât antar ayat-ayatnya dengan membuka ruang gerak bebas
bagi ijtihad selama tetap dalam garis hududullah (kecuali bukan ibadah
murni), yaitu suatu upaya penyingkapan makna dalam area yang telah ditentukan
batas-batasnya. Artinya, ijtihâd terhadap umm al-kitab berarti
menguak maksud-maksud ayat yang terdapat dalam batas-batas hukum Allah (al-hudud)
serta pasti selalu berada di dalamnya. Tidak boleh melampauinya, karena
sikap yang demikian akan mendatangkan murka dan siksa Tuhan. [Admin]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar