Tokoh yang bernama lengkap Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Galib bin Shalih bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd Syams al-Umawi, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Hazm al-Zahiri ini lahir di Cordova pada Rabu, 30 Ramadhan 384 H./7 November 994 M. sebelum terbitnya matahari[1] pada masa Hisyam al-Muayyad yang memerintah pada usia 10 tahun setelah al-Hakam al-Muntashir.[2] Kakeknya, Yazid, adalah orang yang pertama kali masuk Islam dari garis para kakeknya dan berasal dari Persia. Sedangkan Khalaf bin Ma’dan adalah kakeknya yang pertama kali masuk ke negeri Andalusia bersama Musa bin Nusair dalam bala tentara penaklukan pada 93 H.[3] Sehingga dari garis nasabnya dapat diketahui bahwa ia mempunyai garis keturunan yang berasal dari keluarga Persia.
Ibn Hazm tumbuh berkembang dan dewasa sebagai putra dari seorang menteri di bawah pemerintahan al-Manshur bin Abu ‘Amir, dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan kenikmatan, kesenangan dan kemewahan. Sebuah kondisi yang wajar dialami oleh putra-putra para menteri dan pejabat. Ibn Hazm bersama keluarganya bermukim di Montlisam (kini disebut Montijar, di kawasan Huelva, Andalusia bagian barat daya) yang terletak dalam wilayah Niebla. Ibn Hazm melukiskan kehidupannya yang penuh dengan kemewahan itu dalam karyanya Thauq al-Hamamah yang menggambarkan tentang keluasan rumah yang dipenuhi para pelayan dan wanita-wanita yang mempelajari dan menghafal al-Quran di dalamnya.[4] Sang ayahandalah, seperti kebiasaan pada masa itu, yang menjadi guru pertamanya.
Namun, kenikmatan dan kemewahan yang dirasakan oleh Ibn Hazm bersama keluarganya tidaklah berlangsung lama. Segala cobaan, fitnah dan kekerasan hidup telah menimpanya, terutama ketika terjadi pergantian pemerintahan dari satu penguasa ke penguasa lainnya. Ibn Hazm bersama keluarga merasakan pahit getir kehidupan, terutama pada awal masa mudanya. Hal ini digambarkan dalam perkataannya:
“setelah kepemimpinan Hisyam al-Muayyad, kami mendapatkan banyak kesukaran dan perlakuan otoriter dari para pemimpin negara. Kami juga ditahan, diasingkan, dan dililit utang serta diterpa banyak fitnah sampai wafatnya ayah kami (Ahmad bin Sa’id) yang menjadi menteri, peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu setelah waktu Ashar, dua malam terakhir bulan Dzulqa‘dah 402 H/Juni 1013 M”.[5]
Selain itu beragam cobaan dan fitnah terus menimpanya, seperti yang terjadi pada bulan Dzulqa’dah 401 H yaitu saudara satu-satunya yang bernama Abu Bakar meninggal dunia karena sakit, kemudian disusul oleh ayahnya yang meninggal pada tahun 402 H, lalu disusul lagi oleh pelayan perempuannya yang bernama Na’ma yang meninggal pada tahun 403 H.[6] Sehingga pada akhirnya, ia pun meninggalkan Cordova pada awal Muharram 404 H. yang kala itu sedang diguncang prahara perang saudara dan menetap di Almeria dan Jativa.[7]
Walaupun Ibn Hazm dalam masa mudanya banyak mengalami manis getirnya kehidupan. Namun dalam hal keuangan, ia masih bisa dikatakan sebagai orang yang beruntung. Karena kekayaan yang dimiliki oleh ayahnya, ketika masih menjabat sebagai menteri, masih cukup untuk memenuhi kebutuhannya dalam sehari-hari. Sehingga ia tidak perlu sibuk untuk bekerja dan mencari uang guna memenuhi kebutuhannya.[8] Abu Zahra menggambarkan bahwa kekayaan Ibn Hazm sama persisnya dengan kekayaan yang dimiliki oleh Imam Abu Hanifah, tetapi berbeda dalam cara mendapatkannya. Abu Hanifah menjadi orang kaya karena hasil dari perdagangannya, tetapi Ibn Hazm menjadi orang kaya karena harta yang ditinggalkan oleh keluarganya.[9]
Ibn Hazm memiliki karakter dan perilaku luhur sebagai ahli agama yang mulia dan berilmu dimana banyak dikaji dan didiskusikan karya-karyanya. Adapun karakter pribadi yang dimiliki Ibn Hazm seperti halnya:[10]
- Ibn Hazm menguasai berbagai karya tokoh (sahabat, tabi’in dan lainnya) beserta dalil dan argumentasinya serta mampu mendialogkannya dengan diskursus pemikiran para Ulama’ dan Fuqaha’ sezamannya.
- Ibn Hazm juga hebat dalam menghapal hadis-hadis nabawi beserta runtutan sumbernya. Sehingga ia termasuk dalam golongan al-Huffadz al-Kibar dalam keilmuan Hadis.
- Ibn Hazm memiliki keluhuran budi dan ketulusan dalam mengamalkan ilmunya serta kesucian jiwa.
- Ibn Hazm terkenal tegas dalam mengatakan kebenaran (al-haqq), tidak memperdulikan pandangan orang, apakah mereka suka atau benci.
- Ibn Hazm dikenal tegas dalam berargumentasi serta keras dan tajam dalam mengkritik lawannya. Para Ulama’ mengatakan: “bahwa lisan Ibn Hazm sangatlah tajam seperti tajamnya pedang Hajjaj bin Yusuf”.[11]
- Ibn Hazm memiliki keahlian dan keindahan dalam membuat bait-bait syi’ir ataupun kalam natsar. Hal ini dibiktikan dengan karyanya Thauq al-Hamamah yang bercerita tentang cinta.
Ibn Hazm wafat pada hari Ahad, dua hari terakhir pada bulan Sya’ban 456 H./15 Agustus 1064 M. dengan umur 71 tahun 10 bulan 29 hari di padang Lablah, sebuah desa di bagian barat Andalusia di Selat Laut Besar.[12] Namun ada yang mengatakan bahwa beliau meninggal di desa kelahirannya, Montlisam.[13]
Karir Politik Ibn Hazm
Ibn Hazm, dalam karir politiknya, pernah bekerja sama dengan Abdurrahman al-Murtadha yang menurutnya adalah khalifah yang sah dalam dinasti Bani Umayyah. Al-Murtadha mengangkatnya menjadi salah satu menterinya. Namun posisi itu dipegang tidak lama ketika al-Murtadha tewas dibunuh dan Ibn Hazm diasingkan selama 6 tahun.[14] Setelah kembali dari pengasingannya, Ibn Hazm memfokuskan dirinya kembali pada dunia intelektual, seperti menulis, diskusi dan mengajar. Akan tetapi tidak berselang lama Ibn Hazm diminta kembali untuk menjadi menteri dalam pemerintahan Abdurrahman bin Hisyam bin Abd al-Jabbar yang terkenal dengan sebutan al-Mustadzhir. Al-Mustadzhir menjadi khalifah saat berumur 22 tahun, ahli pidato dan seorang penyair handal. Namun pemerintahan yang dipimpin oleh al-Mustadzhir hanya bertahan 47 hari, karena adanya pemberontakan dari anak pamannya, yang bernama al-Mustakfi lalu membunuh al-Mustadzhir pada bulan Dzulqa’dah 414 H. serta Ibn Hazm dipenjara.[15]
Selang beberapa tahun kemudian, Ibn Hazm memegang jabatan menteri lagi pada masa pemerintahan Hisyam al-Mu’tad Billah bin Muhammad bin Abdul Malik bin Abdurrahman al-Nashir yang memerintah selama 2 tahun. Pada akhirnya, inilah jabatan terakhir Ibn Hazm dalam dunia politik serta secara total ia keluar dari dunia perpolitikan pada masa itu.[16] Setelah itu, Ibn Hazm kemudian melanjutkan karir intelektualnya kembali melalui diskusi, menulis dan pengembaraan untuk mencari ilmu.
Perjalanan Intelektual Ibn Hazm
Setelah total keluar dari dunia politik. Ibn Hazm memulai karir keilmuannya kembali dengan mengembara untuk belajar fiqh, hadis, logika, dan keilmuan lainnya. Perjalanan intelektualnya dimulai dari beberapa kota di Andalusia, seperti Cordova, Almeria, Hishn al-Qashr, Valencia, Syatibi, Qairuwan dan Sevilla. Disamping itu juga, ia pernah berkunjung ke Maroko untuk belajar Hadis dan Fiqh dengan sejumlah ulama’ disana, karena Maroko pada masa itu terkenal dengan keilmuan Hadis dan Fiqh. Ketika di Maroko, Ibn Hazm juga bertemu dengan tokoh Malikiyyah terkenal yaitu Abu al-Walid al-Baji dan sempat terjadi perdebatan yang panjang diantara mereka.[17]
Ibn Hazm, dalam khazanah fiqh. pertama kali mempelajari fiqh Mazhab Maliky, seperti al-Muwattha’ yang menjadi mazhab resmi pada masa itu, yaitu Daulat Bani Umayyah. Kekagumannya akan Imam Malik tidak akan merubah pendiriannya akan mencari kebenaran dalam beragama.[18] Sehingga menuntunnya untuk berpindah ke Mazhab Syafi’i, yang dalam pandangannya Imam Syafi’i memiliki kekhasan dan ketegasan dalam berpegang teguh pada an-nushush as-syar’iyyah. Namun belakangan, Ibn Hazm kembali berpindah mazhab dari Mazhab Syafi’i ke Mazhab Dawud al-Asbihany (202-270 H.), pencetus Mazhab Zahiri dan murid Imam Syafi’i yang mengajak pada ketegasan dalam berpegang teguh pada an-nushush semata serta menolak Qiyas, Istihsan, Maslahah Mursalah. Sehingga pada akhirnya, ia sendiri melepas semua jubah ke-mazhaban-nya dan berijtihad dengan metode ijtihadnya sendiri.[19]
Perpindahan Ibn Hazm dari satu mazhab fiqh ke mazhab fiqh lainnya merupakan gambaran jelas atas apa yang selama ini dicarinya yaitu sebuah kebenaran dalam beragama serta berdasarkan pada jiwa bebas berpikir dan kritis terhadap ilmu pengetahuan, bukan hanya dalam bentuk perpindahan yang semata-mata karena talfiq ataupun taklid buta.[20] Ibn Hazm berkata: “tidak boleh taklid buta kepada para Imam Mazhab, Tabi’in maupun Sahabat, sedangkan yang wajib diikuti dan ditaati hanyalah Allah swt dan Rasulullah saw.[21] Ibn Hazm juga berkata: “Saya mengikuti kebenaran dan berijtihad, saya tidak terikat oleh suatu mazhab apapun”.[22]
Perjalanan intelektual Ibn Hazm tidaklah selalu berjalan mulus dan lancar tanpa halangan. Tetapi banyak rintangan dan cobaan yang diterimanya, seperti tragedi pembakaran atas tulisan atau kitab karyanya oleh pihak-pihak yang kurang setuju dengan cara bermazhab dan ijtihadnya, sebagaimana yang dilukiskan olehnya sendiri dalam bait syi’ir: “kalian mampu membakar kertas (kitab), tetapi kalian tidak akan bisa membakar orang yang memiliki kertas (kitab) itu, karena ia ada dalam diriku”.[23]
Selain itu, Ibn Hazm juga sering mendapatkan hujatan ataupun cercaan dari para Ulama’ dan Fuqaha’, baik di masanya maupun masa setelahnya. Hal tersebut terjadi karena Ibn Hazm memiliki ciri khas dan konsep sendiri dalam berijtihad yang berbeda dengan para Ulama’ lain. Sehingga ada rasa keengganan bagi seseorang untuk mengambil riwayat darinya dan hal ini jelas berwatak politis daripada akademis atau ilmiah.
Ibn Hazm belajar banyak dari para Ulama’ yang memiliki keluasan pengetahuan dalam agama semisal Hadist, Fiqh, Logika dan lainnya. Adapun diantara guru-gurunya adalah:[24]
- Dalam Hadis: Ahmad bin Muhammad al-Jaswar (w.401 H), guru pertama Ibn Hazm, al-Hamdani dan Abu Bakar Muhammad bin Ishaq
- Dalam Fiqh: Ali Abdullah al-Azdy, al-Faqih Abu Muhammad Ibn Dahun al-Maliky dan Abu al-Khayyar Mas’ud bin Sulaiman bin Maflat al-Zahiry.
- Dalam Logika dan Akhlaq: Muhammad bin al-Hasan al-Madzhaji (w.400 H), Abu al-Qasim Abdurrahman bin Abu Yazid al-Mishri, Abu al-Husain al-Farisi, sahabat sekaligus guru panutan Ibn Hazm, Abu Muhammad ar-Rahuni dan Abdullah bin Yusuf bin Nami.
Adapun murid-murid Ibn Hazm yang terkenal diantaranya adalah: putranya sendiri Abu Rafi’, kemudian Muhammad bin Abu Nasr al-Humaidi (420-488 H)[25] yang menyebarkan mazhab Zahiri ke masyriq setelah Ibn Hazm wafat serta al-Qadhi Abu al-Qasim Sa’id bin Ahmad al-Andalusi (w.463 H) dan masih banyak yang lainnya. Ibn ‘Araby sang sufi juga termasuk dari penerus generasi Z}ahiry setelah wafatnya Ibn Hazm.[26]
Karya-Karya Ibn Hazm
Al-Fadhl Abu Rafi’ mengatakan bahwa karya ayahnya (Ibn Hazm) di bidang Fiqh, Hadist, Ushul dan lainnya sebanyak 400 jilid atau secara keseluruhan berjumlah 80.000 lembar.[27] Namun hanya sebagian yang dapat terlacak, karena kitab-kitabnya pernah dibakar oleh penguasa yang zalim kepadanya. Diantara kitab-kitab yang terlacak dan terkenal sebagai magnum opus-nya adalah:[28]
- Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, kitab ini berbicara tentang Ushul Fiqh terutama Ushul Fiqh Zahiry, terdiri dari 2 jilid yang didalamnya ada 8 juz.
- Al-Muhalla bi al-Atsar, terdiri atas 11 jilid tebal, tentang Fiqh beserta argumentasinya. Kitab ini merupakan karya terakhir Ibn Hazm[29].
- Al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal, kitab yang berbicara mengenai sekte-sekte, mazhab dan agama-agama.
- Thauq al-Hamamah fi Ulfah wa al-Ullaf, kitab yang berbicara tentang cinta dan para pencinta, ditulis di kota Syathibi sekitar tahun 418 H. menjadi karya Ibn Hazm yang banyak dikaji di eropa. Dan masih banyak karya yang lainnya.
- al-Akhlaq was-siyar fi mudawati-n-nufus. kitab yang berisi prinsip-prinsip akhlak utama dan solusi-solusi bagi pengobatan jiwa menuju kebahagiaan dan kesempurnaan.[30]
_______________________________________
[1]. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm: Biografi, Karya dan Kajiannya tentang Agama, terj: Halid al-Kaf (Jakarta: Lentera, 2001), h. 55
Muhammad Abu Zahra mengatakan: sangat jarang sekali terjadi dalam biografi seorang alim besar yang dapat diketahui tempat dan tanggal lahirnya secara jelas, baik dalam bentuk tahun, bulan, tanggal maupun harinya dengan jelas. Karena biasanya seorang alim itu lahir dalam kondisi yang biasa dan wafat dalam keadaan terkenal, sehingga lebih banyak diketahui masa wafatnya daripada masa lahirnya. Dan hal ini berbeda dengan Ibn Hazm yang waktu lahir maupun wafatnya dapat diketahui dengan jelas, karena Ibn Hazm mencatat waktu dan tanggal lahirnya sendiri dengan detail dan dilaporkan kepada Qadhi Sho’id bin Ahmad al-Andalusy. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Hazm lahir dalam keluarga yang terhormat, terpandang dan mulia. Lihat: Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm Hayatuhu wa ‘Ashruhu- Ara’uhu wa Fiqhhuhu, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1997), h. 19.
[2]. Hisyam adalah sosok yang kurang cerdas, kurang cekatan dan lemah. Sehingga dalam pemerintahan dikendalikan oleh al-Manshur bin Abi Amir yang mana salah satu menterinya adalah Ahmad bin Sa’id, ayahanda Ibn Hazm. Lihat: Mahmud Ali Himayah, Ibid, h. 26
[3]. Ada juga yang mengatakan bahwa ia datang bersama Abdurrahman al-Dakhil pada 138 H. lihat: Mahmud Ali Himayah, Op.cit, h. 55
[4]. Ibn Hazm, Thauq al-Hamamah fi Ulfah wa al-Allaf, tahqiq: Dr. al-Thahir Ahmad Makki (Dar al-Ma’arif, tt), h. 145. Muhammad Abu Zahra, Op.cit, h. 23.
[5]. Muhammad Abu Zahra, Ibid, h. 25 dan 33
[6]. Ibn Hazm, Thauq al-Hamamah, h. 154
[7]. Mahmud Ali Himayah, Op.cit, h. 58-59
[8]. Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1989) h. 558
[9]. Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 48
[10]. Lihat: Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 55-67. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 73-75. Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, h. 563-568
[11]. Ibn Hajar al-‘Asqalani, Lisan al-Mizan, jilid: 4 (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996) h. 242
[12]. Muhammad al-Muntashir al-Kittani, Mu’jam Fiqh al-Muhalla dalam al-Muhalla jilid:12 (Bairut: Dar al-Jiil,1996) h. 9
[13]. Ibn Khalikan, Wafayat al-A’yan, III/13. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 75
[14]. Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 36
[15]. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 65
[16]. Ibid, h. 65
[17]. Ibid, h. 66-69. Al-‘Asqalani, Lisan al-Mizan, h. 241
[18]. Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 31
[19]. Al-‘Asqalani, Lisan al-Mizan, h. 242
[20]. Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 31
[21]. Ibn Hazm, Al-Muhalla bi al-Atsar, juz: 1 (Bairut: Dar al-Jiil, 1996) h. 66. Ibn Hazm, al-Nubadz fi Ushul al-Fiqh al-Zahiri, (Bairut: Dar Ibn Hazm, 1993) h. 114-116. Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978), juz: 1, h. 97-98
[22]. Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 32
[23]. Al-‘Asqalani, Lisan al-Mizan, h. 241
[24]. Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 68-74, Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 59-60
[25]. Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 445
[26]. Ibid, h. 446
[27]. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 82
[28]. Muqaddimah al-Nubadz, h. 10-11. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 83-96
[29]. ‘Izzudin ibn Abdussalam berkata: saya belum pernah melihat karya sebanding al-Muhalla milik Ibn Hazm ini, dan juga al-Mughni karya Ibn Qudamah. Lihat: Al-‘Asqalani, Lisan al-Mizan, h. 242. Muhammad al-Muntashir al-Kittani, Mu’jam Fiqh al-Muhalla, h. 21
[30]. Semisal: An-Nubaz, Maratib al-Ijma’, Jamharat Ansab al-Arab, Asma` as-Sahabat ar-Ruwat, al-Ushul wa al-Furu’, dll. Adapun karyanya yang tidak terlacak adalah seperti Al-Ishal ila Fahmi Kitab al-Khisal, sebuah kitab yang berbicara tentang fiqh al-nushush, terdiri atas 24 jilid besar dengan tulisan tangan Ibn Hazm sendiri. Lihat: Muhammad Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 97. Muhammad al-Muntashir al-Kittani, Mu’jam Fiqh al-Muhalla, h. 18