Kamis, 16 Februari 2012

Salikin dan Majdhubin menurut Ibn 'Ataillah

Ibn ‘Ataillah membagi para sufi yang mencapai tataran makrifat menjadi dua bagian: salikin dan majdhubin. Kelompok salikin adalah para sufi yang pencarian makrifatnya menggunakan teori dari bawah ke atas. Artinya fenomena alam digunakan sebagai bukti adanya nama-nama Allah. Selanjutnya nama-nama Allah digunakan sebagai petunjuk adanya sifat-sitat Allah dan dengan sifat-sifat Allah dianggap sebagai bukti keberadaan Zat Allah.  Sedangkan kelompok majdhubin menggunakan teori sebaliknya atau dari atas ke bawah. Artinya, sejak awal seorang sufi harus mengenal dan yakin tentang wujud Allah lebih dahulu, kemudian baru menurun untuk mengenal sifat, nama dan ciptaan Allah atau alam.  Jadi tujuan akhir kelompok  salikin  adalah fase pertama bagi  majdhubin. Sebaliknya fase pertama salikin merupakan fase terakhir majdhubin, namun tidak dalam satu pengertian karena mungkin dapat bertemu di pertengahan antara yang menggunakan teori dari bawah ke atas atau sebaliknya.[1]
Keterangan ini semakin menjelaskan teknik penelitian salik yang menggunakan metode ilmiah (kelompok peneliti salikin) adalah dengan teknik pembuktian setapak demi setapak dari bawah ke atas terhadap obyek yang dikaji  hingga mencapai tataran makrifat. Hasil kajiannya dinamakan dengan sebutan makrifat istidlaliah. Sedangkan makrifat yang menggunakan metode imaniah atau yang termasuk dalam kelompok peneliti  majdhubin  adalah pembuktian dari atas ke bawah melalui indera batin (intuition mystic) yang dianugerahkan Allah kepada sufi. Teknik pelaksanaan metode ini diawali dengan mengenal langsung Allah (makrifatullah) lebih dahulu dan baru dilanjutkan dengan mengumpulkan data-data yang ada dibawahnya. Penyaksian batin terhadap Zat Allah yang dicapai melalui metode  imaniah  tidak dapat dimasukkan sebagai hasil kerja intuisi inderawi yang dirangsang oleh keadaan lahiriyah, juga bukan intuisi rasio seperti yang dimiliki oleh orang-orang jenius dan bukan pula hasil kerja intuisi metapisik seperti yang pernah dialami oleh Dekaret dan para filosof modern.
Penyaksian batin terhadap Allah metode imaniah adalah pengetahuan yang tidak dihasilkan oleh panca indera  dan kemampuan akal manusia. Tetapi merupakan pengalaman batin langsung yang sangat khusus, karena untuk mencapainya salik harus dalam kondisi fana secara total. Menjelaskan masalah ini secara ilmiah memang sangat sulit karena berkaitan dengan masalah Zat Allah yang bukan sekedar gaib biasa. Penelitian hanya akan berhasil jika peneliti juga seorang sufi atau salik yang pernah merasakan sendiri makrifat. Tanpa dipenuhi pensyaratan ini kajian dijamin tidak akan memuaskan.[2]
Ibn ‘Ata’ di sini tampaknya lebih memberikan prioritas utama kepada makrifatullah yang ditempuh dengan metode imaniah dibanding makrifat ilmiah yang menggunakan penalaran akal dan fenomena alam. Bahkan yang terakhir dianggapnya sebagai orang awam dibanding yang pertama. Dengan kata lain, Ibn ‘Ata’ lebih mengutamakan majdhubin ketimbang salikin. Sikap Ibn ‘Ata’ ini bila dilacak tidak bisa terlepas dari pemikiran awalnya yang mengikuti aliran fatalisme secara total yang bergantung sepenuhnya kepada kehendak dan bantuan Allah semata. Kenapa harus demikian? Ibn ‘Ata’ tampaknya hanya ingin menegaskan bahwa siapapun yang sanggup mencapai tataran makrifat dengan metode apapun sebenarnya bukan hasil jerih payahnya sendiri, meskipun didukung  dengan segala dukungan data dan ketaatan yang prima sekalipun. Tetapi keberhasilannya semata-mata karena murni kehendak dan bantuan Allah. Sebab apabila tidak karena kehendak dan pertolongan Allah, maka akan menghasilkan pemahaman sebaliknya, yakni usaha dan keinginan manusia dapat menentukan berhasil atau ketidak keberhasilan rencana seseorang. Artinya seseorang memiliki kebebasan penuh untuk menetukan nasibnya sendiri, sebagaimana yang dituntut Muktazilah. Sedangkan pada hakikatnya semua kehendak, rencana dan cita-cita manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa jika dibandingkan dengan kehendak dan takdir Allah.  Jadi keberhasilan sufi atau salik mencapai tataran makrifat semata-mata ditentukan oleh kehendak dan pertolongaan Allah saja. Dalam arti lain, sejak awal Allah berhak menentukan siapapun orangnya untuk langsung dapat menyaksikan Zat-nya (metode imaniah yang digunakan  majdhubin) tanpa harus melalui metode yang berbelit-belit seperti yang dilakukan salikin. Tidak harus melalui tingkatan-tingkatan njlimet, seperti maqamat dan ahwal. Alasannya karena Allah memiliki hak mutlak untuk bertindak dan lebih lagi Allah tidak perlu mempertanggung jawabkan tindakanNya.
Dari sisi lain dapat difahami bahwa Ibn ‘Ata’ adalah tokoh sufi yang lebih menomor satukan takdir Tuhan atau jabariah dan fatalis murni dalam mengekspresikan keyakinan yang dianutnya. Sehingga ia lebih memilih tataran makrifat aliran majdhubin karena mencerminkan kemutlakan kekuasaan Tuhan sejak awal. Tuhan pula yang menyediakan sarana (tariqah) untuk dilalui siapapun orangnya tanpa harus bersusah payah, seperti lazimnya pemula yang baru memasuki dunia tarikat.[3]
Pengutamaan metode imaniah yang menghasilkan kelompok  majdhubin sebenarnya bukan hanya monopoli pemikiran Ibn ‘Ata’, tetapi juga dimiliki tarikat Shadhiliah karena menempatkan penyaksian Allah (shuhud Al-Haq) pada fase pertama ketika menjalani suluk dan bukan pada tataran terakhir, seperti yang diikuti Ghazali atau lainnya. Lebih tepatnya metode majdhubin yang digunakan Ibn ‘Ataillah adalah sebagai pengembangan metode tarikat Shadhiliah, sebab Ibn ‘Ata’ sendiri merupakan salah satu pengikut setia dan sekaligus mursyid tarikat Shadhiliah.
Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama 
______________________________________

[1] Al-Randi, Sharh, II, hlm. 90
[2] Al-Taftazani, Ibn 'Ataillah, hlm. 279.
[3] Al-Sukandari, Lataif, hlm. 111.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar