Senin, 06 Februari 2012

Posisi Etika sebagai Aksiologi dalam Filsafat

Etika merupakan pemikiran manusia yang tercakup dalam sebuah perangkat penilaian manusia dalam menghadapi lingkungannya. Kedudukan etika dalam kebudayaan menjadi modal penting dalam pengembangan wawasan  pembangunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu etika di dalam kajian filsafat merupakan cabang dari aksiologi yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari hakikat nilai. Salah satu bagian yang  merupakan penjelasan-penjelasan dalam filsafat yang membicarakan masalah predikat baik (good) dan buruk (bad) dalam arti susila (moral) dan asusila (immoral). Predikat-predikat tersebut tidak akan mempunyai makna apapun (meaningless) bila tidak terwujud dalam tindakan manusia di alam empiris.[1] 
Predikat-predikat di atas pada bentuk kualitasnya akan mengacu pada satu sisi dari dua sisi yang saling beroposisi, yakni pada sisi baik atau susila. Apabila seseorang menganntarkan simbol pada bentuk atribut yang sesuai dengan pendapat dan aturan umum maka dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut bersusila, baik dan juga etis. Sehingga pada sisi baik dan bersusila disebut etika. Sebaliknya orang yang tidak sesuai dengan kebiasaan umum komunitasnya maka disebut sebagai tidak baik, tidak bersusila, tidak etis dan dianggap melanggar etika.[2]  
           
Cakupan etika
Untuk membuat pernyataan moral dan berdebat mengenai pembahasan etika, maka perlu untuk menggunakan istilah/bahasa dalam ruang lingkup etika. Kajian etika pada abad kedua puluh banyak memfokuskan diri  pada bahasan tentang makna moral dan kemungkinan untuk menunjukkan bahwa sesuatu itu benar atau salah. Jadi, sekali manusia memutuskan bahwa manusia itu bebas untuk membuat pilihan moral dan berbicara tentang pilihan moral tersebut, maka manusia butuh untuk menggunakan istilah/bahasa yang semestinya digunakan dalam mengacu suatu macam etika.
Ada tiga macam etika yang digunakan yang terdapat dalam kajian ini. Pengetahuan tentang tiga macam etika ini diperlukan untuk membedakan dengan hati-hati, dan mengetahui mana yang digunakan pada satu waktu untuk menghindari kerancuan. Ketiga macam etika tersebut adalah:
(1) Etika Deskriptif (Descriptive Ethics),
(2) Etika Normatif (Normative Ethics) dan
(3) Meta Etika (Meta ethics)[3]

1.      Etika Deskriptif (Descriptive Ethics)
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas misalnya adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari tentang moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur yang tertentu dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya. Karena etika deskriptif hanya melukiskan ia tidak memberi penilaian. Misalnya etika deskriptif dapat mempelajari pandangan-pandangan  moral dalam Uni Soviet yang komunis dan ateis, mengapa mereka begitu permisif terhadap pengguguran kandungan sementara  mengapa sangat ketat dalam masalah pornografi. Orang yang menyelidiki masalah ini hanya ingin mengerti perilaku moral di Uni Soviet dulu tapi tidak memberi penilaian tentang pengguguran kandungan maupun pornografi sebagai masalah moral.[4]     
Lebih jelasnya apa yang ditulis oleh Mel Thompson akan membantu memahami pengertian etika ini:
“This is the most straightforward form of ethics. It consists of the description of the way in which people live and the moral choices they make. It simply presents facts. The danger with descriptive ethics is that it may imply moral judgments by the way in which information is presented without actually explaining the basis on which those judgments are made.”[5]
“Ini adalah bentuk paling sederhana dari etika. Etika deskriptif ini memuat tentang  cara di mana orang hidup dan pilihan-pilihan moral yang mereka buat. Ini hanya menyajikan tentang fakta-fakta. Bahaya dengan etika deskriptif adalah bahwa hal itu mungkin menyiratkan penilaian moral dengan cara di mana informasi disajikan tanpa benar-benar menjelaskan dasar penilaian yang mereka dibuat.”

2.      Etika Normatif (Normative Ethics)
Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang dimana berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral. Para ahli (etika) bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral seperti halnya dalam etika deskriptif, tapi dia melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Misalnya pada suatu negara yang melegalkan prostitusi, ia tidak lagi hanya sekedar membatasi diri dengan memandang fungsi prostitusi dalam negara tersebut, tapi bahkan menolak prostitusi tersebut sebagai suatu lembaga yang bertentangan dengan martabat wanita, biarpun dalam praktek belum tentu dapat diberantas sampai tuntas.
Penilaian kasus di atas tersebut dibentuk berlandaskan norma-norma. “Martabat manusia harus dihormati” dapat dianggap sebagai contoh tentang norma semacam itu. Tentu saja etika deskriptif ini sekaligus berbicara tentang norma-norma, seperti halnya bila ia membahas tabu-tabu yang terdapat dalam suatu masyarakat primitif. Etika normatif pada hakikatnya meninggalkan sikap netral itu dengan mendasarkan pendiriannya atas norma. Demikian juga tentang norma-norma yang diterima dalam suatu masyarakat atau diterima oleh seorang  lain ia berani mempertanyakan apakah norma-norma itu benar atau tidak.
“This ethics is concerned with ideas about whether what human thinks, say or do is right or wrong, about justice and about how people should live. It examines the choices people make and the values and reasoning that lie behind them. This is sometimes called substantive ethics. Almost all moral argument, when it is concerned with the rights or wrongs of particular issues, is of this kind”.[6]
“Etika ini berkaitan dengan ide-ide tentang apakah apa yang manusia pikirkan, katakan atau lakukan itu benar atau salah, tentang keadilan dan tentang bagaimana orang harus hidup. Etika ini memberikan penilaian tentang  pilihan dan nilai-nilai (perbuatan) yang orang telah orang perbuat dan penalaran yang mendasari (perbuatan) mereka. Etika ini terkadang juga disebut sebagai etika substantif. Hampir semua argumen moral, ketika itu berkaitan dengan mana yang benar dan yang salah tentang isu-isu tertentu, adalah bagian dari etika ini.”
           
Etika normatif pada perkembangannya dibagi lagi menjadi dua, yakni  etika umum dan etika khusus:

  1. Etika umum memandang tema-tema umum seperti: apa itu norma etis? Jika ada banyak norma etis, bagaimana hubungannya satu sama lain? Mengapa norma moral mengikat kita? Apa itu nilai dan    kekhususan nilai moral? Bagaimana hubungan antara tanggung jawab manusia dan kebebasannya?
  2. Etika terapan (applied ethics) adalah etika yang berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus. Istilah-istilah yang digunakan adalah istilah yang lazim dalam k0nteks logika, dapat dikatakan juga bahwa dalam etika khusus itu premis normatif dikaitkan dengan premis faktual untuk sampai pada suatu kesimpulan etis yang bersifat normatif juga.[7]

Ada beberapa teori yang terdapat dalam etika normatif ini, mereka adalah sebagaimana berikut:

  1. Virtue theory  merupakan teori etika yang menyatakan bahwa  moralitas berisi tentang hal-hal yang secara pasti sudah menjadi aturan-aturan main sebuah perilaku seperti halnya jangan membunuh dan jangan mencuri.
  2. Nonconsequantialist/Deontological Theory: teori etika yang menyatakan bahwa sebagai manusia merasakan akan adanya kewajiban-kewajiban yang jelas seperti kewajiban akan perhatian terhadap anak dan tidak melakukan pembunuhan. Teori Deontologis secara spesifik mendasarkan moral pada prinsip-prinsip kewajiban (principles of obligation). Teori ini disebut deontologis karena berasal dari bahasa Yunani “deon”, atau dalam bahasa inggris duty (kewajiban). Teori ini terkadang juga disebut sebagai teori nonconsequentialist karena yang menjadi pertimbangan adalah murni tentang adanya kewajiban, terlepas dari pertimbangan tentang konsekuensi yang akan ditimbulkan dari perilaku yang dikerjakan.
  3. Consequentialist/Teleological Theories: teori etika yang menyatakan bahwa pada umumnya yang menentukan tentang pertanggung jawaban moral adalah pertimbangan mengenai konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan. Teori consequentialist juga disebut teleological theories, yang berasal dari bahasa Yunani  telos, atau berarti end dalam bahasa Inggris, karena hasil akhir dari perbuatan yang menjadi faktor pertimbangan utama dari moralitas.[8]

3)      Metaetika (Metethics)
Cara lain untuk mempraktekkan etika sebagai ilmu adalah metaetika: awalan meta (dari bahasa Yunani) memiliki arti “melebihi”/“melampaui”. Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas disini bukanlah moralitas secara langsung. Metaetika seolah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis” atau bahasa-bahasa yang digunakan di bidang moral. Bisa juga dikatakan bahwa metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Dipandang dari segi tata bahasa, rupanya kalimat etis tidak berbeda dari kalimat-kalimat jenis lain (khususnya kalimat yang mengungkapkan fakta). Tapi studi lebih mendalam menunjukkan bahwa kalimat-kalimat etika – dan pada umumnya bahasa etika – mempunyai ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh kalimat-kalimat lain. Metaetika mengarahkan perhatiannya kepada arti khusus dari bahasa etika itu.[9]

“It is possible in ethics to stand back from moral statements and ask:
What does it mean to say that something is right or wrong?
Are there any objective criteria by which I can assess moral statements?
What is moral language? Is it a statement about fact of any kind?
Does a moral statement simply express a person’s wishes or hopes about what should happen?
In what sense can a moral statement be said to be either true or false?
Question like those are not concerned with the content of off moral discourse, but with its meaning. Now this fits in very closely with much twentieth century philosophy, which has explored the nature of language and the way in which statements can be shown to be true or false. Looking at moral statements in this way is called meta ethics.”  

“Hal ini dimungkinkan dalam etika untuk mempertanyakan atas pernyataan-pernyataan moral dan bertanya:
Apa artinya mengatakan sesuatu yang benar atau salah?
Apakah ada kriteria obyektif yang bisa saya pergunakan dalam menilai pernyataan moral?
Apa sebenarnya bahasa moral? Apakah pernyataan tentang fakta ataukah yang lain?
Apakah pernyataan moral yang secara sederhana mengungkapkan keinginan seseorang atau harapan tentang apa yang sebaiknya terjadi/dilakukan?
Dalam hal/pengertian apa pernyataan moral dapat dikatakan benar atau salah?
Pertanyaan seperti di atas tidak peduli dengan isi dari wacana moral melainkan dengan artinya. Bentuk etika semacam ini sangat erat kaitannya dengan diskursus filsafat abad kedua puluh, yang telah menyelidiki sifat bahasa dan cara di mana pernyataan dapat ditampilkan untuk menjadi benar atau salah. Melihat pernyataan moral dalam cara ini disebut meta etika.”

Namun lebih dari pada hal di atas sebenarnya ada tiga bahasan penting dalam meta ethics:
(1) Metaphysical: yang membicarakan apakah moralitas exist secara independen dari manusia;
(2) Psychological: membahas tentang apa yang mendorong/memotivasi manusia untuk bermoral;
(3) Linguistic: yang fokus terhadap bahasa makna istilah-istilah kunci tentang etika.[10]

Fungsi Etika
Studi etika – dalam istilah praktis – menawarkan dua hal. Pertama, membantu seseorang untuk menghargai pilihan yang diperbuat oleh orang lain, dan mengevaluasi justifikasi yang diberikan terhadap pilihan-pilihan yang diperbuat orang lain tersebut. Kedua, melibatkan kepekaan akan  kesadaran moral seseorang – pengamatan secara sadar mengenai nilai-nilai dan pilihan perilaku yang diperbuat manusia—bagaimana pilihan perilaku tersebut akan membentuk diri manusia, lebih jauh lagi, pilihan tersebut akan mengantarkannya kepada kehidupan yang akan datang.
Etika dalam prakteknya, cenderung untuk memulai dengan mengamati pilihan-pilihan moral yang orang orang perbuat dan alasan yang mendasari pilihan mereka. Inilah yang menghasilkan teori tentang apa yang dilakukan, atau bagaimana seharusnya, sebagai dasar bagi pilihan moral. Demikian juga mendalami beberapa implikasi-implikasi yang ada dari teori ini, dan mengembalikannya ke situasi aktual, melihat mereka lebih hati-hati dalam pandangan dari berbagai teori-teori umum.[11]
Filsafat moral adalah salah satu pendekatan yang unik dalam lingkupnya dan kedalamannya mempertanyakan tentang permasalahan yang muncul dan kaiffiyyah menjawabnya. Memang, hampir pasti bahwa seseorang tidak dapat memahami moralitas sepenuhnya tanpa melahirkan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang moral.
Para filosof Yunani kuno membedakan pengetahuan (knowledge) dari hikmah (wisdom), di mana pengetahuan itu dipahami untuk kemudian menjadi sesuatu yang dapat diajarkan. Pengetahuan itu penting dan dibutuhkan untuk memperoleh hikmah. Tetapi tidak dengan sendirinya pengetahuan akan menjamin hadirnya kebijaksanaan, unsur-unsur lain yang dibutuhkan selain pengetahuan adalah  pemahaman, wawasan, penilaian yang baik dan mengasah kemampuan untuk hidup dengan baik dan perilaku baik. Banyak orang berpendidikan, pada kenyataannya, tidak layak dalam membuat keputusan praktis dalam kehidupan mereka dan mereka tidak terasa lebih baik secara moral dalam menjalani kehidupan. Mereka memiliki pengetahuan, tetapi kurang kebijaksanaan. Melalui filsafat moral, orang diharapkan akan senantiasa cinta dan mengejar kebijaksanaan dalam hal moral.[12]

___________________________________

[1] De Vos, Pengantar Etika, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2002), hal. 23. Baca juga dalam John Llewelyn, Emmanuel Levinas: The Genealogy of Ethics, (New York: Routledge, 1995), hal 25
[2] Ibid., hal 24
[3]Klasifikasi tentang tiga macam etika tersebut merujuk pada pembagian yang dilakukan oleh Mel Thompson dan Kees Bertens. Literatur lain menyebutkan bahwa tiga macam etika tersebut  adalah: Etika Terapan (applied ethics),  Etika Normatif (normative ethics) dan Metaetika (Metaethics). Bertens memasukkan etika terapan sebagai bagian dari etika normatif.    
[4]Kees Bertens, Op.Cit.,  hal 17
[5]Mel Thompson, Ethics, (Illinois:McGraw-Hill Companies, 2003), hal 28                                         
[6]Ibid., hal 29
[7]Premis dalam terminologi logika dimaksudkan sebagai proposisi atau kalimat dalam suatu argumentasi yang mendahului dan dari mana kesimpulan ditarik. Salah satu contoh tentang argumentasi dalam etika khusus ialah:
-          Dilarang keras membunuh manusia yang tidak bersalah
-          Abortus provocatus adalah pembunuhan terhadap manusia yang tidak bersalah
-          Jadi abortus provocatus dilarang keras.
 Perdebatan dalam etika khusus sering kali dipusatkan pada premis faktual. Juga dalam argumentasi di atas terdapat masalah yang terletak dalam premis faktual: apakah janin dalam kandungan dapat disamakan begitu saja dengan seorang manusia, sehingga mempunyai hak-hak seperti manusia? Kapan janin pantas disebut manusia: sejak saat pembuahan atau kemudian? Kalau kemudian, berapa lama sesudah pembuahan? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mendominasi diskusi etis tentang masalah abortus. Lihat dalam Kees Bertens, Op.Cit.,  hal 18.
[8]Petikan dari Ethics (Internet Encyclopedia of Philosophy) http://www.utm.edu/research/iep/e/ethics.htm (5 of 10) [30/09/2011 8:41:53 AM]
[9] Kees Bertens, Op.Cit., 19-21
[10]Petikan dari Ethics (Internet Encyclopedia of Philosophy) http://www.utm.edu/research/iep/e/ethics.htm (5 of 10) [30/09/2011 8:41:53 AM]
                                             
[11]Theodore C. Denise (ed.), Op.Cit., hal. 6 
[12]Robert L. Holmes, Op.Cit., hal 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar