Sabtu, 25 Februari 2012

Filsafat Etika Islam Ibn Hazm al-Andalusy

Al-Akhlaq was-siyar fi mudawati-n-nufus adalah sebuah risalah etika dari Ibnu Hazm yang berbicara mengenai perilaku utama, moralitas, dan etika. Risalah ini ditulis pada sekitar tahun terakhir dari kehidupannya. Hal ini bisa dilihat dari kematangan analisanya serta keluasaannya dalam memaparkan beberapa informasi yang menunjukkan bahwa risalah ini tidak mungkin ditulis pada masa awal hidupnya atau pada masa mudanya.[1] Aspek-aspek etika yang dikaji oleh Ibn Hazm dalam risalahnya meliputi konsep akhlak, metode dalam mempertingkatkan akhlak terpuji dan pandangannya dalam menyatakan tentang penyakit akhlak beserta pengobatannya.

Banyak pengamat yang mengkaji dan menerjemahkan risalah ini dalam berbagai bahasa. Risalah ini pertama kali dipublikasikan di Mesir oleh Mahmud al-Hathab pada 1908 M. dan diedit oleh Ahmad Omar al-Mahmasani, serta diterjemahkan pula dalam bahasa Spanyol oleh Miguel Asin Palacios dengan judul Los Caracteresy la Conducta dan tersimpan di Madrid pada 1916 M. Di samping kedua tokoh tersebut, Dr Ihsan Abbas juga memuat karya ini dalam Rasa`il Ibn Hazm pada 1954 M serta yang terakhir terdapat Sayyidah Nadya Tumsin dari Libanon yang berhasil menerjemahkan ke dalam bahasa Parsia pada 1967 M.[2] Nykl menyatakan bahwa risalah ini merupakan risalah yang penting tentang etika Ibn Hazm. Selain itu, ia juga memuji metode Ibn Hazm dalam penggunaan analisis-diri dalam risalahnya sebagaimana yang dilakukan oleh al-Ghazali, St. Agustinus, Secretumnya Petrarch, dan esai-esainya Montaigne.[3]

Menurut Abu Zahra bahwa Ibn Hazm dalam menulis risalah ini setidaknya menggunakan dua sumber, yaitu: unsur-unsur filasafat yunani yang berdasarkan pada akal serta eksperimen khusus yang berangkat dari penelitian.[4] Unsur pertama adalah filsafat Yunani yang dapat dilihat dari pembahasaannya mengenai keutamaan (fadhilah) yang bersifat moderasi (jalan tengah) seperti halnya filsafat etikanya Aristoteles. Ibn Hazm berkata:
“keutamaan itu ada di tengah-tengah (wast}) antara yang berlebihan dan yang kekurangan (al-ifrath} wat-tafrith}) yang kedua sisi tersebut adalah yang tercela, dan keutamaan di antara keduanya adalah yang terpuji, kecuali akal yang tidak melampaui batas di dalamnya”[5]
Sedangkan, unsur kedua adalah eksperimen (at-tajribah) diri yang dialami oleh Ibn Hazm beserta lingkungannya yang kemudian disandarkan pada penalaran dan nilai-nilai keagamaan. Hal ini bisa dilihat dari perkataannya dalam muqaddimah risalahnya:
“saya banyak mengumpulkan dalam karyaku ini makna-makna penting yang memberikan manfaat bagiku dalam perjalanan waktu dan bergantinya keadaan, dengan sesuatu yang Allah berikan kepadaku dari sebuah pencarian akan perubahan zaman dan keadaannya, hingga saya menghabiskan sebagian banyak umurku untuk hal itu dan mempelajari segala sesuatu yang bekaitan dengan kenikmatan yang dirasakan oleh jiwa-jiwa…… dan saya berharap semoga Allah memberikan pahala yang besar atas niatku dalam memberikan kemanfaatan bagi hamba-hambanya, memperbaiki kerusakan moral mereka, serta mengobati penyakit jiwa mereka”[6]
Majid Fakhry menambahkan bahwa filsafat moral yang ditulis oleh Ibn Hazm merupakan gambaran atas situasi dan kondisi sosial-politik pada masa itu yang sangat kacau. Ia menulis refleksi moralnya untuk mengatasi masa kekacauan tersebut. Refleksi moral yang ditawarkan olehnya dimaksudkan agar dipelajari dan dijadikan petunjuk dalam rangka memperbaiki moral dan mengobati jiwa mereka.[7] Setidaknya ada tiga kunci utama yang disajikan dari filsafat moralnya Ibn Hazm dalam risalah al-Akhlaq was-siyar fi mudawati-n-nufus, di samping penjelasan pada bagian akhir mengenai etika mencari ilmu, berikut ini penjelasaannya:

Membuang Kecemasan (Thard al-Hamm)

Secara umum, pandangan etika yang ditawarkan oleh Ibn Hazm pada bagian-bagian awal berbicara mengenai apa sebab utama dari segala penyakit moral yang menimpa manusia? Setelah melalukan beberapa penelitian dan memaparkan pengalaman yang dialaminya, Ibn Hazm menyatakan bahwa sumber utama dari segala penyakit moral adalah rasa “tamak”. Rasa yang selalu menggerakkan manusia untuk mendapatkan kenikmatan dari sesuatu yang dicapainya, baik secara materi maupun spiritual. Namun. Segala apa yang ia cari dan ia pegangi terkadang muncul dan hilang, sehingga akhirnya yang tersisa dalam dirinya hanyalah “kecemasan”. Oleh karena itu, bagi Ibn Hazm usaha untuk menghilangkan kecemasan/penderitaan/kegelisahan (thard al-hamm) merupakan hal yang utama dalam perbaikan moral (tahzib al-akhlaq).[8] Mengenai hal itu Ibn Hazm berkata:
“saya telah berusaha dengan tekun mencari tujuan yang dikejar oleh semua manusia, dan saya tidak menemukannya kecuali hanya satu, yaitu membuang kecemasan, namun ketika saya berfikir lebih jauh lagi ternyata mereka berbeda dalam mencari tujuan itu, bahkan mereka berbeda pula dalam motif utama dalam usaha menghilangkan kecemasan itu, mereka akan melalukan gerakan apapun jika dengannya mereka berharap dapat menolak perasaan cemas dan tidak akan mengucapkan sepatah kata apapun melainkan sejauh mereka berusaha menolak perasaan tersebut dari diri mereka sendiri..........”[9]
Dengan demikian, semua usaha yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah untuk menghilangkan kecemasan. Jadi, mereka mencari pengetahuan agar mereka terhindar dari kecemasan akan kebodohan; mereka mencari kekayaan agar mereka terhindar dari kecemasan akan kemiskinan; mereka mencari kemasyhuran agar mereka terhindar dari kecemasan akan ketertindasan. Singkatnya, apa saja yang dilakukan oleh manusia pada dasarnya merupakan sebuah bentuk usaha menghilangkan perbuatan sebaliknya dan terhindar dari segala kecemasan.[10]

Setelah memaparkan apa tujuan utama dari perbuatan manusia, yakni terhindar dari kecemasan. Kemudian, Ibn Hazm memberikan solusi terbaik untuk usaha tersebut, yakni dengan hanya kembali menghadap Allah melalui berbuat kebajikan demi akhirat (at-tawajjuh ila Allah bi al-amal lil-akhirat). Ia berkata:
“jika kamu mengikuti segala keinginanmu maka kamu akan rusak olehnya, dan kamu akan berhenti pada kehancuran amal duniawi, padahal amal ukhrawi adalah satu-satunya yang hakiki, karena segala apa yang kamu inginkan (duniawi) kamu akan mendapatkannya, namun akibatnya akan menjadikanmu sedih, karena duniawi itu akan meninggalkanmu atau kamu akan meninggalkannya, dan itu pasti terjadi. Kecuali beramal karena Allah, karena akibat yang akan datang dalam setiap keadaan adalah kebahagiaan, baik untuk saat ini maupun besok; kebahagiaan saat ini berupa sedikitnya rasa cemas dengan apa yang dicemasi oleh manusia lainnya, dan kamu lebih mulia dari teman bahkan musuh; sedangkan kebahagiaan yang akan datang adalah kebahagiaan surgawi”[11]
Selanjutnya, Majid Fakhry menyatakan bahwa ide penegasian akan rasa cemas yang diutarakan Ibn Hazm mengingatkan kita pada ide Epicurus tentang ataraxia[12], namum Ibn Hazm tidak puas dengan ide negatif ini dan memodifikasinya dengan agak menekankan pada ide positif, yakni dalam tenangnya jiwa (uns).[13] Ibn Hazm berkata:
“akar dari semua keutamaan dan keburukan, ketaatan dan kemaksiatan adalah terkejutnya jiwa atau tenangnya jiwa, orang yang berbahagia adalah orang yang jiwanya tenang dalam keutamaan dan ketaatan serta lari dari keburukan dan kemaksiatan, sedangkan orang yang sengsara adalah orang yang tenang jiwanya dalam keburukan dan kemaksiatan serta lari dari keutamaan dan ketaatan”[14]
Jadi, menurut Ibn Hazm bahwa tujuan utama yang kendak dicapai oleh manusia adalah menghindarkan diri dari kecemasan atau penderitaan serta jalan satu-satunya adalah beramal akhirat hanya karena Allah. Karena taat kepada merupakan bentuk dari segala keutamaan dan menjauhi keburukan merupakan jalan yang mulia yang telah Allah pilihkan untuk manusia. Tiada keutamaan kecuali taat kepada perintah Allah, dan tiada keburukan kecuali melakukan apa saja yang dilarang Allah.[15]

Kesia-siaan Ambisi Duniawi dan Kesombongan Diri

Masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, bahwa kecemasan diri yang dialami oleh manusia dapat diperparah lagi dengan ambisi-ambisi duniawi. Penderitaan ini semakin menjadi apabila manusia masih menginginkan kenikmatan duniawi yang sifatnya menipu. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka inginkan akan menjerumuskan mereka kepada rasa kurang puas sekaligus membawa mereka pada kecemasan dan penderitaan duniawi.[16] Ibn Hazm mengatakan bahwa “dalam hal harta, kehormatan, dan kesehatan maka lihatlah orang yang ada dibawahmu, tapi jika dalam hal agama, pengetahuan, dan kebajikan maka lihatlah orang yang ada di atasmu”.[17]

Maka dari itu, adalah sebuah kebodohan apabila manusia hanya mencari kenikmatan duniawi baik berupa kehormatan, harta, dan lain sebagainya. Karena orang yang hanya menginginkan kenikmatan duniawi tidaklah lebih mulia dari makhluk yang lain. Orang yang mencari keutamaan tidaklah berjalan bersama kecuali orang-orang yang baik, jujur, amanah, murah hati. Sedangkan orang yang mencari kenikmatan duniawi tidaklah berjalan bersamanya kecuali orang-orang yang seperti anjing kelaparan dan rubah yang buas, yang memiliki niat buruk.[18] Adalah sebuah kesesatan yang nyata, memperdagangkan kehidupan yang abadi (akhirat) untuk kehidupan kekinian yang lebih singkat daripada sekilas pandangan mata.[19]

Adapun kesombongan diri (‘ujub) merupakan cobaan yang terbesar yang dilahirkan oleh kebodohan. Bagi orang yang terkena sifat ini hendaklah berfikir atas akibat-akibatnya. Awal dari kesombongan diri adalah lemahnya akal mereka. Sebab orang yang berakal mampu menyadari kekeliruannya serta berusaha untuk menekannya. Sedangkan orang bodoh adalah orang yang tidak menyadari kesalahannya.[20] Sehingga, jika mereka membanggakan diri atas akalnya, hartanya, ilmunya, atau kebaikannya, maka ingatkanlah agar ia berfikir bahwa tidak ada yang perlu dibanggakan dalam dirinya. Karena semua itu adalah karunia Tuhan yang tak layak bagi mereka untuk membanggakan diri karenanya. Selain itu, mereka perlu mengetahui bahwa kehidupan manusia senantiasa dihantui dengan penyakit, kemiskinan, ketakutan, bencana, dan ketuaan.[21]          

Kebajikan-Kebajikan Utama

Ibn Hazm menyatakan bahwa ada empat kebajikan utama, di mana seluruh kebajikan lainnya didasarkan atas keempatnya, yaitu: keadilan (al-’adl), intelegensi (al-fahm), keberanian (an-najadat), dan kedermawanan (al-jud). Sebaliknya, ada empat keburukan utama, di mana seluruh keburukan lainnya didasarkan atas keempatnya, yaitu: ketidak adilan (al-ja`ur), kebodohan (al-jahl), ketakutan (al-jubn), dan kekikiran (asy-syuh). Ia memasukkan al-amanah (kejujuran/amanat) dan al-‘iffah (keterjagaan diri) sebagai dua jenis dari keadilan (al-’adl) dan kedermawanan (al-jud).[22] Adapun penepatan janji (al-wafa`) merupakan susunan keutamaan dari keadilan (al-’adl), keberanian (an-najdat), dan kedermawanan (al-jud).[23]

Kesucian jiwa (nazahat an-nafs) merupakan kebajikan utama yang tersusun dari keberanian (an-najdat), kedermawanan (al-jud), keadilan (al-’adl), dan intelegensi (al-fahm). Adapun lawan dari kabajikan ini adalah ketamakan (ath-thama’) yang dihiasi dengan sifat-sifat pengecut, kikir, tidak adil, dan bodoh.[24] Kerelaan (al-qana’ah) merupakan kebajikan yang tersusun dari kedermawanan (al-jud) dan keadilan (al-’adl). Adapun ketamakan lahir dari kedengkian (al-hasad), dan al-hasad lahir dari ar-raghbah (keinginan), dan ar-ragbah lahir dari ketidakadilan (al-ja`ur), kebodohan (al-jahl), dan kekikiran (asy-syuh). Serta yang lahir dari ketamakan adalah sifat-sifat buruk yang besar, seperti: kehinaan, pencurian, gasab, zina, pembunuhan, dan takut miskin.[25] 

Keadilan (al-’adl) didefinisikan sebagai memberikan dan mengambil hak sesuai dengan apa yang seharusnya. Sebaliknya ketidak adilan (al-ja`ur) adalah mengambil hak tanpa memberikan apa yang seharusnya menjadi hak orang lain. Kemuliaan (al-karam) adalah memberikan apa yang menjadi haknya kepada orang lain secara bebas, sementara ia sendiri siap untuk mengorbankan haknya sekalipun sebenarnya ia mampu mengambilnya. selain itu, keutamaan (al-fadhl) ini juga merupakan kebajikan yang sama dengan kedermawanan (al-jud). Setiap kedermawanan (al-jud) adalah kemuliaan (al-karam) dan keutamaan (al-fadhl), dan setiap kemuliaan (al-karam) dan keutamaan (al-fadhl) bukanlah kedermawanan (al-jud). Jadi, keutamaan (al-fadhl) lebih umum dan kedermawanan (al-jud) lebih khusus.[26]

Sedangkan kedermawanan (al-jud) adalah menafkahkan kelebihan harta demi kebajikan, terutama untuk menolong tetangga yang membutuhkan, orang miskin, orang terlantar, dan orang yang benar-benar memerlukannya. Mencegah keutamaan semua itu merupakan kekikiran, serta memberikan dalam berbagai keadaan merupakan pemborosan. Sedangkan kemurahan hati dalam memberikan apa yang kita miliki kepada orang yang benar-benar membutuhkan daripada kita adalah lebih baik dari kedermawanan (al-jud) itu sendiri.[27]

Selanjutnya, keberanian (asy-syaja’ah/an-najadat) adalah usaha seseorang untuk merelakan kematiannya demi agama, kaum wanita, tetangga yang teraniaya, orang tertindas yang membutuhkan pertolongan, ketidak adilan dalam pembagian harta, kekayaan serta kehormatan, dan dalam segala hal yang baik-baik tanpa memandang apakah lawannya itu sedikit atau banyak. Sedangkan kebalikan dari keberanian (asy-syaja’ah/an-najadat) adalah ketakutan/pengecut (al-jubn) dan gegabah/sembrono (al-tahawwur). Selain itu, efinisi keterjagaan diri (al-‘iffah) adalah menahan diri dari pandangan mata dan segala anggota tubuh atas sesuatu yang tidak halal baginya. Sedangkan lawan dari keterjagaan diri (al-‘iffah) adalah kefasikan/percabulan (‘ihr) dan kelemahan (d}u’f dan’ajz).[28]

Adapun intelegensi (al-fahm) tidak didefinisikan oleh Ibn Hazm secara formal, karena menurutnya intelegensi (al-fahm) berkaitan erat dengan pengetahuan dan tugas yang dibebankan kepada manusia yang berakal untuk mencari kebenaran dan kebahagiaan. Karena akal diperuntukkan untuk mengamalkan ketaatan dan kebajikan serta menjauhkan diri dari kemaksiatan dan keburukan. Allah berfirman “sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala (Q.S. al-Mulk: 10)”. Sedangkan lawan dari intelegensi adalah ketololan dan kebodohan, dan diantara keduanya adalah kelemahan berpikir (al-sukhf).[29]

Kebajikan utama lainnya adalah rasa cinta (al-mahabbah), yang didefinisikan sebagai kerinduan akan kekasih dan kebencian terhadap berpisah dengannya serta menginginkan cinta manusia bagi dirinya. Manusia berbeda dalam kadar cinta, berbeda pula dalam tujuannya, seperti mencintai Allah, suami, istri, anak, sahabat, keluarga, dan lain-lain. Lebih lanjut, cinta memiliki lima tingkatan, yaitu: (i) al-istihsan, selalu bersikap baik terhadap pasangannya; (ii) al-i’jab, selalu mengagumi pasangannya; (iii) al-u`lfah, sedih ketika berpisah; (iv) al-kalaf, rindu yang menyala-nyala; dan (v) asy-syaghaf, cinta yang meluap-luap, bahkan terkadang lupa tidur, makan, dan minum, hingga berdampak pada sakit, stres, atau mati.[30] Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “barangsiapa yang merindu, dan bisa menjaga diri hingga ia mati, maka ia adalah syahid”.[31]

Selain itu, persahabatan merupakan kebajikan yang didefinisikan sebagai bentuk rasa saling senang atau susah sesuai dengan apakah sahabat kita itu senang ataukah susah. Tidak semua sahabat itu pemberi nasehat, namun semua pemberi nasehat adalah sahabat dalam menasihati. Nasehat adalah sikap seseorang yang merasa susah terhadap sesuatu yang membahayakan orang lain, baik orang lain itu susah maupun tidak, begitu pula ia merasa senang terhadap sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, meski orang lain itu senang atau tidak. Nasehat merupakan sarat tambahan dari sebuah persahabatan Selain itu, nasehat hanya untuk dua kali: pertama, bersifat wajib; dan kedua, bersifat peringatan. Adapun yang selanjutnya adalah celaan/teguran yang berakibat pada pertengkaran.[32]

Setidaknya ada lima golongan dari perilaku manusia dalam berinteraksi dengan sesama, yaitu:
  1. Orang yang suka memuji ketika sedang berhadapan dan suka mencela ketika telah pergi. Ini sifatnya orang munafik
  2. Orang yang suka mencela baik di hadapan khalayak maupun tidak. Ini sifatnya orang yang kurang ajar
  3. Orang yang suka memuji ketika sedang berhadapan dan ketika telah pergi. Ini sifatnya para penjilat
  4. Orang yang suka mencela di hadapan khalayak dan memuji ketika pergi. Ini sifatnya orang tolol
  5. Ahli kebaikan, mereka yang menjaga diri dari memuji dan mencela ketika di khalayak dan memuji dengan kebaikan ketika pergi atau menjaga dari mencela.
  6. Ahli pencela yang bebas dari kemunafikan, mereka menjaga diri ketika di khalayak dan mencela ketika pergi.
  7. Ahli keselamatan, mereka yang menjaga diri dari memuji dan mencela baik  ketika di khalayak maupun tidak.[33]
Akhirnya, bagi siapa saja yang tidak mengetahui kebajikan-kebajikan utama ini, maka berpeganglah pada apa yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena syari’at-Nya mengandung semua kebajikan-kebajikan utama ini.[34] Selain itu, bagi siapa saja yang menginginkan kebaikan ukhrawi, hikmah duniawi, keadilan tingkah laku, serta memiliki kemuliaan akhlaq, maka jadikanlah Muhammad SAW sebagai suri tauladan.[35]

Etika Mencari Ilmu/Menghadiri Majlis Ilmu

Ibn Hazm menyatakan bahwa salah satu di antara empat kebajikan utama, adalah intelegensi (al-fahm). Intelegensi tidak didefinisikan secara formal oleh Ibn Hazm, namun sangat berkaitan dengan tugas utama yang dibebankan kepada manusia berakal untuk mencari pengetahuan dan hakikat kebenaran. Menurutnya, kenikmatan orang yang berakal lebih utama dari segala kenikmatan yang pernah dialami oleh manusia secara umum.[36] Untuk itu, Ibn Hazm memberikan penjelasan bagaimana usaha mencari ilmu yang baik dan benar. Ibn Hazm menyatakan bahwa ketika mencari ilmu dalam suatu majlis hendaknya diniati untuk sungguh-sungguh mencari ilmu dan mencaru ridla Allah swt. Sehingga dengan niat itu maka akan bertambahlah segala kebaikan dalam segala hal. Namun, jika kedatangannya tanpa adanya niat sebagaimana di atas, maka berdiam diri di rumah itu lebih baik dan lebih mulia.[37]

Selain itu, Ibn Hazm menyatakan bahwa ada tiga sikap yang baik dalam menghadiri suatu majlis ilmu, yaitu:
  1. Bersikap diam sebagaimana diamnya orang yang bodoh. Sikap ini menghasilkan pahala karena niat mencari ilmu serta kemuliaan atas majlis ilmu.
  2. Bertanya sebagaimana pertanyaannya orang yang belajar. Yaitu bertanya mengenai sesuatu yang belum diketahui bukan sesuatu yang telah diketahui. Karena bertanya tentang sesuatu yang telah diketahui merupakan sikap yang bodoh, menyia-nyiakan waktu, dan meruguikan bagi diri sendiri dan orang lain, serta bahkan dapat mendatangkan permusuhan. Jika pertanyaan yang dilontarkan telah terjawab maka cukuplah baginya. Namun, jika jawabannya masih belum memuaskan maka perjelaslah pertanyaannya. Sikap ini menghasilkan pencerahan dan tambahan ilmu selain pula pahala niat belajar dan kemulian atas majlis ilmu.
  3. Berkomentar sebagaimana komentarnya orang alim, yaitu mengomentari jawaban dengan kritikan yang jelas. Jadi jika seseoang tidak memiliki sikap ini maka menjaga diri untuk tidak menjawab dengan jawaban yang kurang jelas adalah lebih baik. Karena apabila hal itu dipaksakan maka yang ada hanyalah permusuhan dan kemadlaratan serta menunjukkan bahwa orang itu kurang agamis, suka hal-hal yang berlebihan, dan lemah nalarnya.[38]

Selain itu, wajib atas manusia untuk belajar dan mencari kebaikan serta mengamalkannya. Jika keduanya dapat terpenuhi makan ia telah mendapatkan dua keutamaan secara bersamaan. Namun, jika ia hanya berilmu tanpa beramal maka ia hanya mendapat kebaikan dalam belajar saja.[39]

Kesimpulan

Beberapa pandangan filsafat moral yang disampaikan Ibn Hazm dalam risalahnya pada dasarnya berangkat dari kajian-kajian filosofis serta hasil dari eksperimen dalam kehidupannya dalam memahami tingkah laku dan moralitas masyarakatnya. Sebagaimana para moralis lainnya, Ibn Hazm menyatakan bahwa tujuan utama hidup manusia adalah usaha untuk menghilangkan kecemasan (thard al-hamm) dan bersikap moderat (jalan tengah) dengan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan ukhrawi melalui ketaatan terhadap norma-norma agama.

Ibn Hazm mengajarkan bahwa kebajikan-kebajikan (al-fadhai`l) dapat bersumber dari filsafat, eksperimen (at-tajribah), maupun agama. Kesucian jiwa (nazahat an-nafs) merupakan kebajikan utama yang tersusun dari keberanian (an-najdat), kedermawanan (al-jud), keadilan (al-’adl), dan intelegensi (al-fahm).

Ibn Hazm berkata:
“Lebih percayalah kepada orang yang taat beragama (karena kesucian jiwanya) meski ia bukan seagama denganmu, dan janganlah percaya kepada orang yang meremehkan agama meski ia jelas-jelas seagama denganmu”[40]

_______________________________________

[1]. Muhammad Abu Zahra, Ibn Hazm, h. 139

[2]. Mahmud Ali Himayah, Ibn Hazm, h. 93

[3]. A.R. Nykl, “Ibn Hazm’s Treatise on Ethics”, The American Journal of Semitic Languages and Literatures, Vol. 40 No. 1 (Oct., 1923), The University of Chicago Press, h. 30-31

[4] Ibid, h. 139-142

[5] Ibn Hazm, al-Akhlaq was-siyar fi mudawati-n-nufus, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah) h. 80

[6] Ibid, h. 11-12

[7]  Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam, Second edition, (Leiden: E.J. Brill, 1994), h. 169

[8] Muhammad Abid al-Jabiri, al-‘Aql al-Akhlaqi al-‘Arabi: Dirasat Tahliliyat Naqdiyah li Nazm al-Qayyim fi ats-Tsaqafah al-‘Arabiyah, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wah}dat al-Arabiyah, 2001), h. 339-340

[9] Ibn Hazm, Op.cit, h. 14

[10] Ibid, h. 15

[11] Ibid, h. 13

[12] Epicurus mengajarkan bahwa tujuan hidup kita adalah berusaha untuk meminimalisir rasa cemas dan penderitaan dan memaksimalkan kenikmatan (our life's goal should be to minimize pain and maximize pleasure). James Fieser (.ed), The Internet Encyclopedia of Philosophy, 1998

[13] Majid Fakhry, Op.cit, h. 170

[14] Ibn Hazm, Op.cit, h. 18

[15] Ibn Hazm, al-Ihkam, vol. I, h. 10

[16] Majid Fakhry, Op.cit, h. 171

[17] Ibn Hazm, al-Akhlaq was-siyar, h. 23

[18] Ibid, h. 23-24

[19] Ibid, h. 20

[20] Ibid, h. 265

[21] Ibid, h. 70

[22] Ibid, h. 59

[23] Ibid, h. 58

[24] Ibid, h. 52-53

[25] Ibid, h. 59

[26] Ibid, h. 32

[27] Ibid, h. 31

[28] Ibid, h. 32

[29] Ibid, h. 57-58

[30] Ibid, h. 54

[31] Ibn Hazm, T}auq al-H}amamah, h. 113

[32] Ibn Hazm, al-Akhlaq was-siyar, h. 41 dan 44

[33] Ibid, h. 47-48

[34] Ibid, h. 79

[35] Ibid, h. 24

[36] Ibid, h. 12

[37] Ibid, h. 90

[38]  Ibid, h. 90-91

[39]  Ibid, h. 92

[40]  Ibid, h. 29

Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar