Rabu, 15 Februari 2012

Biografi Ibn ‘Ata’illah Pengarang Kitab al-Hikam

Nama lengkap Ibn ‘Ata’illah adalah Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd Al-Karim bin ‘Ata’illah yang memiliki beberapa sebutan sebagai Taj Al-Din, Abi Al-Fadal dan Abi Al-‘Abbas. Sedangkan, Ibn ‘Ajibah memberikan panggilan tersendiri pada Ibn ‘Ata’ sebagai Al-Shaikh Al- Imam Taj Al-Din wa Turjuman Al-‘Arifin Abu Al-Fadal Ahmad bin Muhammad ibn ‘Abd Al-Karim bin ‘Abd Al-Rahman bin ‘Abdillah bin Ahmad bin ‘Isa bin Al-Husain bin ‘Ataillah Al-Sukandari Ibn ‘Ata’ dilahirkan di Iskandariah pada tahun yang tidak diketahui secara pasti tentang kelahiran maupun kematiannya, lahir sekitar tahun 658 atau 679 H dan meninggal pada tahun 707 atau 709 H. Ia sering dinisbatkan sebagai Al-Iskandarani, Al-Sukandari, Al-Sakandari atau Al-Iskandari.[1] Berasal dari kabilah Arab “Judham” yang mengikuti mazhab Maliki dan tarikat mazhab Shadiliah.[2]  
Ibn ‘Ataillah terkenal sebagai pakar ilmu fiqh karena mengikuti disiplin ilmu yang ditekuni orang tua dan kakeknya yang terkenal juga dalam bidang yang sama. Orang tua Ibn ‘Ataillah bernama Muhammad bin ‘Abd Al-Karim bin ‘Ata’illah yang hidup seangkatan dengan pendiri tarikat Shadhiliyyah “Abi Al-Hasan Al-Shadhili, wafat tahun 656 H”. Sedangkan, nama kakeknya tidak diketahui secara pasti, namun sangat dikenal profesinya sebagai pakar dalam bidang figh, usul dan bahasa Arab. Beberapa karya tulis yang sempat mengangkat nama kakeknya, antara lain “Al-Bayan wa Al-Taqrib fi Sharh Al-Tahdhib”, dan ringkasan kitab Al-Tahdhib maupun Al-Mufassal karangan Al-Zamakhshari. Menurut Al-Suyuti, eyangnya wafat pada tahun 612 H.[3]
Secara historis Ibn ‘Ata’ sangat tidak respek dan bahkan bisa dikatakan antipati terhadap ilmu tasawwuf, karena dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini disebabkan pengaruh bapak dan kakeknya yang sejak awal juga tidak tertarik dengan tasawuf, meskipun keduanya dikenal sebagai tokoh ulama yang sangat disegani pada zamannya. Keengganan Ibn  Ata’ terhadap tasawuf bukan karena sentimen pribadi atau tidaak senang dengan beberapa ajarannya, tetapi lebih didasarkan pada ilmu dan kajian yang ditekuni selama ini, yaitu ilmu fikih dan syariat yang lebih mengandalkan kemampuan rasionya. Apalagi sebagian para pengikut tasawuf cenderung menampakkan sikap meremehkan dan tidak menghargai syariat. Hal ini diketahui ketika dilakukan diskusi kecil dengan beberapa pengikut  tasawuf yang berkembang di sekitarnya. Sebagai intelektual, akhirnya disadari kesalahan yang dilakukakan karena tanpa alasan yang jelas dan logis kenapa harus membenci tasawuf dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Apalagi secara pribadi Ibn ‘Ata’ belum pernah mendengarkan pokok-pokok pikiran tasawuf Abu Al-‘Abbas Al-Mursi sebagai mursyid dan melakukan diskusi untuk mengkaji pikiran-pikirannya secara kritis. Kesadaran ini menimbulkan penyesalan yang sangat dalam karena bertindak ceroboh dan gegabah tanpa dukungan alasan dan sebab yang jelas. Penyesalan tersebut memaksa dirinya untuk menghadiri majlis tasawuf Abu Al-‘Abbas Al-Mursi agar mendapatkan informasi dari tangan pertama dan sekaligus mengetahui sejauh apa kecanggihan ilmu sang mursyid. Hal ini dilakukan agar mendapat alasan yang ma’qul dan logis dalam mencintai atau menghindari sesuatu pengetahuan. Ketika hadir ke majlis ta’lim kebetulan ia mendengarkan Al-Mursi sedang membahas hakikat dan tingkatan jiwa atau nafsu berdasar pandangannya. Menurut Al-Mursi, ke tiga macam nafsu itu bisa saja disamakan dengan tiga tingkatan syariat, yaitu: Iman, Islam dan Ihsan. Bisa juga dinamakan Ibadah, Ubudiah dan Ubudah (ketaatan). Dapat pula disamakan dengan Syariat, Hakikat dan Tahaqquq (aktualisasi) serta dapat juga diberi nama-nama lain yang tidak terhingga--sang guru terus menyebut padanan namanya tanpa berhenti--sehingga membuat Ibn ‘Ata’ bingung, tidak bisa berpikir dan bahkan hampir hilang semua ilmu pengetahuan yang dimiliki selama ini. Kecuali suatu kesadaran yang mengakui bahwa tingkat keilmuan sang mursyid sangatlah dalam dan luas karena -kabarnya - bersumber dari limpahan emanasi Ilahiah.  Peristiwa ini menyebabkan sikap dan pikiran Ibn Ataillah berubah total dalam memandang ilmu tasawuf. Bahkan disadari sepenuhnya bahwa ilmu yang dibanggakan selama ini hampir tidak berarti apa-apa dibanding keilmuan yang dimiliki Al-Mursi. Saat itu Ibn ‘Ataillah langsung mengakui dan mengagumi ilmu hakikat yang dimiliki Al-Mursi yang konon bersumber dari ilmu-ilmu laduni yang belum pernah dikenal. Apalagi ilmu tersebut mampu memuaskan dahaga jiwanya, dibandingkan dengan ilmu fiqh yang lebih menonjolkan ratio, tetapi tidak mampu melahirkan kepuasan batinnya. Pengakuan ini melahirkan munculnya pengalaman ruhaniah yang sangat mencengangkan dalam hidupnya. Apalagi pengalaman tersebut tidak mungkin dinalar dengan akalnya yang selama ini hanya mengandalkan sisi rasionalitas dan fakta ilmiah saja. Berdasarkan pengalaman batin yang baru dialami memberikan daya tarik tersendiri kepada Ibn ‘Ata’ untuk mempelajari ilmu tasawuf dan sekaligus menjadi murid setia Al-Mursi selama 12 tahun dalam tarikat Shadiliah. Bahkan setelah kematiannya, Ibn ‘Ata’, diangkat sebagai mursyid yang meneruskan ajaran sang guru. Ibn ‘Ata’ bersama Al-Mursi dan pendiri utama tarikat Shadiliah, Abu Al-Hasan Al-Shadili, dapat dikatakan sebagai soko guru tarikat Shadiliah. Tarikat ini meskipun berbeda dengan tarikat Ibn ‘Arabi dalam bidang  wahdah al-wujud, namun ada sisi–sisi yang menghubungkan keduanya. Sebab para pendiri kedua aliran ni berguru pada seorang pakar tasawuf aliran fana yang bernama Abu  Madyan Al-Ghauth Al-Tilmasani (wafat tahun 594 H).[4]
Silakan dimanfaatkan sebaik-baiknya... Jangan sungkan menjelajah ke blog utama 
_____________________________

[1] Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani,  Ibn ‘Ataillah Al-Sakandari  wa Tasawwufuh.  (Kairo: Maktabah Angelou Al-Misriyyah, 1969), hlm. 12.
[2] Judham adalah Al-Hayyi Al-Thamin dari kabilah Kahlan yang memiliki hubungan keluarga hingga ke Bani Ya’rab bin Qahtn. bani Judham adalah orang- orang Arab yang pertama kali menempati Mesir di abad pertama perluasan Islam yang datang bersama “Amar bin Al-‘Ash, kemudian menyebar keseluruh penjuru  Mesir. Sedangkan bani Judhâm yang bertempat tinggal di Iskandaria cukup banyak dan dikenal sangat patriotis, intelek dan berwawasan luas sehingga memiliki hari-hari dan tempat bersejarah yang dihormati penduduk setempat (Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Ibn ‘Ataillah Al-Sukandari wa Tasawwufuh. (Kairo: Maktabah Angelou Al-Misriyyah, 1969),hlm. 13.
[3] Ibn ‘Atailah Al-Skandari, Lataif Al-Minan fi Manaqib Al-Shaikh Abi Al-‘Abbas Al-Marsi wa Shaikhihi Al-Shadhili Abi Al-Hasan,  (Kairo:Tp. 1322H), 43. Ibn Farhun,  Al-
Dibaj, 167. Al-SuyutI, Husn, I, hlm. 215
[4]  Ibn ‘Iyad Al-Shadili, Al-Mafakhir Al-‘Aliyyah fi Al-Maathir Al-Shadili, (Mesir: Tp. 1273 H), hlm. 47-48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar