Murtadha Muthahhari lahir pada tanggal 2 Februari 1920 di Fariman, sebuah dusun yang terletak 60 km dari Masyhad, pusat belajar dan ziarah kaum Syi’ah yang besar di Iran timur. Ayahnya adalah Muhammad Husain Muthahhari, seorang ulama terkemuka dan dihormati.[1] Aktivitas belajar atau pendidikan Muthahhari dimulai di madrasah Fariman-sebuah madrasah yang termasuk kuno, yang mengajarkan kefasihan membaca dan menulis surah-surah pendek dari al-Quran dan pendahuluan-pendahuluan mengenai sastra Arab. Barulah pada usia 12 tahun Muthahhari mulai belajar agama secara formal di lembaga pengajaran di Masyhad. Muthahhari mulai menemukan kecintaan besarnya pada filsafat, teologi, dan tasawuf (‘irfān) di lembaga pengajaran Masyhad ini. Kecintaan tersebut berada pada dirinya sepanjang hidupnya dan membentuk pandangan menyeluruhnya tentang agama.
Bulan Ramadhan 1356 H., Muthahhari hijrah ke Qum dan belajar di bawah bimbingan Ayatullah Boroujerdi dan Khomeini.[2] Muthahhari mengikuti kuliah-kuliah Ayatullah Boroujerdi (sebagai direktur lembaga pengajaran di Qum) mengenai filsafat dan ‘irfān. Muthahhari mengenal lebih jauh pribadi Imam Khomeini di lembaga ini, sebagaimana yang dipaparkannya :
“Ketika di Qum, aku menemukan pribadi yang kudambakan. Kusadari bahwa dahaga jiwaku akan terpuasi oleh mata air murni pribadi itu. Meskipun aku belum menyelesaikan tahap-tahap awal belajarku, dan belum memadai untuk mempelajari ilmu-ilmu rasional (ma‘qūlāt), kuliah-kuliah etika yang diberikan oleh pribadi tercinta itu pada setiap Kamis dan Jumat yang tidak terbatas pada etika dalam arti akademis yang kering, namun juga menyangkut ‘irfān dan perjalanan spiritual. Kuliah-kuliah itu menimbulkan ekstase pada diriku, yang pengaruh-pengaruhnya kurasakan sampai Senin atau Selasa berikutnya. Sebagian kepribadian intelektual dan spriritualku terbentuk oleh pengaruh kuliah-kuliah itu dan kuliahkuliah lain yang kuikuti selama 12 tahun dari guru spiritual (ustad-i ilahi) itu.[3]
Guru lainnya yang berpengaruh pada Muthahhari di Qum adalah mufassir besar al-Quran dan filosof, Ayatullah Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i. Sebagian dari materi kuliah Thabathaba’i yang diikuti oleh Muthahhari adalah filsafat materialisme dan al-Syifā`-nya Ibn Sina. Berkat kecerdasannya yang luar biasa, tradisi keilmuan Barat dan Timur dikuasai oleh Muthahhari. [4]
Muthahhari meninggalkan Qum tahun 1952 menuju Teheran, menikah dengan putri Ayatullah Ruhani, dan mulai mengajar filsafat di Madrasa-yi Marvi, salah satu lembaga utama pengetahuan keagamaan di ibu kota. Reputasinya di bidang pendidikan adalah sebagai pengajar yang masyhur dan efektif di Universitas Teheran, Muthahhari juga banyak berperan dalam organisasi keislaman. Muthahhari menjadi pemimpin sekelompok ulama Teheran pada tahun 1960 yang dikenal dengan Masyarakat Keagamaan Bulanan (Anjuman-i Mahana-yi Dini).[5]
Muthahhari banyak bergulat dengan kegiatan keagamaan, pendidikan dan puncaknya pada aktivitas politik yang lebih luas dan memuaskan pada dirinya. Mengajar bidang studi filsafat di Fakultas Teologi dan Ilmu-ilmu Keislaman, Universitas Teheran tahun 1954 selama 22 tahun sampai akhirnya dipercaya menjadi Ketua Jurusan di Universitas Teheran.
Muthahhari ditahan bersama Ayatullah Khomeini pada tahun 1963. Muthahhari mengambil alih imāmah dan menggerakkan para ulama mujāhidīn, sekaligus menjadi imam masjid al-Jawād, mengganti peran Imam Khumaeni yang dibuang di Turki. Fungsi masjid diubah dan memperluas menjadi pusat pergerakan politik Islam.
Akibat dari aktivitas pergerakan politik Islam yang dilakukan Muthahhari, pada tahun 1972, masjid al-Jawād dan Husainiya-yi Irsyad dilarang untuk mengadakan kegiatan oleh rezim Syah, dan Muthahhari pun ditangkap dan dimasukkan ke penjara, tetapi pada akhirnya dibebaskan. Pengalaman-pengalaman pahit itu tidaklah mengubah sikap dan langkah-langkahnya, bahkan membuat terus bersemangat untuk melanjutkan aktivitas politiknya.
Tepat pada tanggal 12 Januari 1979, Muthahhari ditunjuk sebagai Ketua Dewan Revolusi Islam, sampai mencapai puncak kemenangannya pada tanggal 11 Februari 1979. Sesudah beberapa bulan kemenangan Revolusi Islam, tepatnya pada tanggal 1 Mei 1979, Muthahhari dibunuh dengan cara ditembak oleh sekelompok teroris Furqān-sebuah kelompok kecil radikal, yang jumlah anggotanya tak lebih dari lima puluh orang, yang menolak otoritas religius ulama-saat baru saja meninggalkan rapat.
Salah satu alasan yang membuatnya terus bersemangat adalah obsesinya untuk mewujudkan kebebasan bagi negerinya sendiri (Iran) dari belenggu penjajahan peradaban asing. Bagi Muthahhari, penjajahan peradaban, tidak diragukan lagi adalah penjajahan paling berbahaya dibanding penjajahan dalam bentuk lainnya. Soalnya, bagaimana mungkin negara Barat bisa menjajah suatu negeri dalam bentuk penjajahan ekonomi dan politik sebelum menjajahnya dalam bentuk penjajahan peradaban ? Semangat Muthahhari merupakan cerminan dari semangat semboyan-semboyan revolusi: Kemerdekaan, Kebebasan, Republik Islam.[6]
Corak Pemikiran Murtadha Muthahhari
Pemikiran Muthahhari sangat bercorak filosofis. Muthahhari merupakan seorang pemikir Syi’i yang amat percaya kepada rasionalisme dan pendekatan filosofis yang menandai mazhab yang satu ini. Muthahhari membantah pernyataan sebagian pengamat yang menyatakan bahwa rasionalisme dan kecenderungan kepada filsafat lebih merupakan ingredient ke-Persia-an ketimbang ke-Islam-an. Muthahhari menunjukkan bahwa semuanya itu berada di jantung ajaran Islam, sebagaimana ditunjukan oleh al-Quran, hadis Nabi dan ajaran para Imam.
Madzhab filsafat yang diikuti oleh Muthahhari adalah madzhab filsafat Mulla Shadra, yakni filsafat al-hikmat al-muta‘ālīyah (transcendent theosophy) yang berupaya memadukan metode-metode wawasan spiritualitas dengan metode-metode deduksi filosofis.[7]
Pengetahuannya yang mendalam dalam bidang filsafat hampir tidak diragukan lagi, sebagaimana penuturan Jalaluddin Rakhmat:
Selagi menjadi mahasiswa, Muthahhari menunjukkan minat yang besar pada filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Gurunya yang utama dalam filsafat adalah ‘Allāmah Thabathaba’i. Ia mengenal secara mendalam segala aliran filsafat sejak Aristoteles sampai Sartre. Ia membaca sebelas jilid tebal Kisah Peradaban, Kelezatan Filsafat, dan buku-buku lainnya yang ditulis oleh Will Durant. Ia menelaah tulisan Sigmund Freud, Bertrand Russell, Albert Einstein, Erich Fromm, Alexis Carrell, dan pemikir-pemikir lainnya dari Barat.[8]
Kedua, corak pemikirannya yang filosofis ini sebenarnya tidak bisa lepas dari perkembangan pemikiran filsafat yang terjadi di kawasan budaya Persia. Tentang perkembangan pemikiran filsafat di Iran, yang juga termasuk kawasan budaya Persia ini, Seyyed Hossein Nasr menulis:
Filsafat Islam terus berkembang di Iran sebagai tradisi yang hidup setelah apa yang dikenal dengan Abad Pertengahan, dan terus bertahan sampai dewasa ini. Malahan, telah terjadi kebangkitan kembali filsafat Islam selama masa dinasti Safawi, dengan munculnya tokoh-tokoh seperti Mir Damad dan Mulla Shadra. Kebangkitan yang kedua terjadi selama abad ke-13 H./19 M yang diprakarsai oleh Mulla Ali Nuri, Haji Mulla Hadi Sabziwari, dan lain-lain. Tradisi ini berlanjut secara kuat di universitas-universitas (madrasah-madrasah) hingga masa pemerintahan Pahlevi.[9]
Muthahhari dikenal sebagai pemikir filosofis juga dikenal sebagai salah seorang tokoh pembela kebebasan berpikir. Muthahhari berkeyakinan bahwa eksistensi Islam tidak bisa dipertahankan kecuali dengan kekuatan ilmu dan pemberian kebebasan terhadap ide-ide yang muncul. Oleh karena itu, ajaran Islam yang dipercayai dan diyakini kebenarannya harus melindungi kebebasan berpikir.
Filsafat bagi Muthahhari merupakan alat dan metode untuk memahami ajaran-ajaran Islam, di samping untuk mempertahankan diri dari pengaruh ideologi-ideologi yang menyimpang. Tetapi, menurut Muthahhari, filsafat bukan merupakan kebenaran yang berdiri sendiri, di sampingnya, ada kebenaran agama.
Kebenaran filsafat dan kebenaran agama, bagi Muthahhari tidak saling bertentangan. Berdasarkan keyakinan ini, Muthahhari selalu mendasarkan pemikirannya pada kebenaran-kebenaran agama, kemudian dipahami, diinterpretasikan, dan dipertahankan dengan kebenaran-kebenaran filosofis.
Muthahhari memandang serbuan pemikiran Barat sebagai musuh terbesar dari pemikiran Islami. Menghadapi pertempuran intelektual ini menurut Muthahhari harus dengan menggunakan senjata intektual pula. Muthahhari tidak menolak Barat dengan mengumumkan shalat istikharah, tidak pula dengan menyesuaikan ajaran Islam pada kerangka pemikiran Barat (seperti kaum modernis yang membungkus paham Barat dengan kemasan Islam). Muthahhari mengadakan penelitian tentang dasar-dasar pemikiran yang sudah terbaratkan; Ia mengkaji dan menyangkal secara rasional aliran-aliran filsafat intelektual dan sosial Barat; dan memberikan interprestasi baru tentang pemikiran dan praktik-praktik keislaman secara logis dan rasional.
Muthahhari tahu benar bahwa melawan pemikiran Barat tidak mudah. Diperlukan perencanaan jangka panjang yang tepat, dan membongkar akar-akar peradaban Barat dan memberikan alternatif sistem ilahiyah yang luhur. Semangat Muthahhari melakukan usaha ini diungkapkan pada tulisannya berjudul al-`Adlul Ilahi (Keadilan Ilahi) :
Saya menulis sejumlah buku dan artikel kira-kira dua puluh tahun yang lalu. Satu-satunya tujuan dari tulisan saya ialah untuk memecahkan masalah-masalah atau memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi Islam pada zaman ini. Tulisan-tulisan saya meliputi masalah-masalah filsafat, etika, sosial, agama, dan sejarah. Walaupun pokok tulisan-tulisan tersebut mungkin tampak sama seklai berlainan, namun semuanya mempunyai satu tujuan. Islam merupakan agama yang tidak dikenal. Sebenarnya agama ini, sedikit demi sedikit, telah dijungkir-balikkan. Penyebab larinya sebagian orang dari Islam pada situasi sekarang (sebelum revolusi Islam) ialah metode pengajarannya yang salah. Agama suci ini paling diciderai oleh orang-orang yang mengaku pendukungnya. Di satu pihak serbuat penjajahan Barat dengan kekuatan-kekuatannya yang tampak dan tidak tampak dan di lain pihak kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan kebanyakan orang yang mengaku mendukung Islam pada abad ini, yang menyebabkan pemikir-pemikir Islam diserang dari segala pihak, dari prinsip-prinsip sampai pada praktik-praktiknya. Alasan itu membuat saya merasa berkewajiban untuk menjelaskan isu-isu sejelas mungkin.[10]
Wilayat Faqih sebagai Kerangka Filosofis Kritik Muthahhari terhadap Filsafat Etika Barat
Ulama Syiah di Iran, tidak terkecuali Murtadha Muthahhari memiliki karakteristik tipikal khusus yakni kedalaman pengertiannya tentang Islam, keluasan pengetahuan tentang filsafat dan sains modern, dan keterlibatan yang nonkompromis terhadap keyakinan dan idiologi ulama Syiah. Ketiga karakteristik tersebut jalin-berjalin secara sistematis. Faqahanya dalam Islam dan pengetahuannya tentang sumber pengetahauan atau peradaban Barat membuat Muthahhari dan ulama-ulama Syiah di Iran lainnya menjadi idiolog yang tangguh. Ketiganya terpancar dari kerangka filosofis yang disebut Wilayat Faqih.[11]
Wilayat Faqih ini dapat dipahami dengan baik dengan struktur kepribadian yang menghayati konsep itu. Inilah yang mewarnai jihad, pemikiran, semangat, pemikiran, perilaku, dan kritik-kritik Murtadha Muthahhari dan ulama-ulama Iran lainnya terhadap bangunan idiologi etika Barat. Hubungan dengan ini menarik mengutip tulisan Fichte, filosof Jerman yang menyatakan bahwa jenis filsafat yang dipilih oleh seseorang akan menentukan jenis manusianya. Hal ini disebabkan karena sistem falsafi bukanlah perabot rumah tangga yang dapat ditinggalkan atau dipakai, sejauh meyenangkan seseorang, tetapi dijiwai oleh jiwa orang yang memeluknya.[12]
Ulama Iran, termasuk Murtadha Muthahhari hidup, berjuang, dan berkarya sesuai dengan sistem falsafi yang disebut Wilayat Faqih. Konsep ini yang mewarnai karakter, tulisan-tulisan, pidato, dan perilaku ulama-ulama Iran.
Wilayat Faqih ditegakkan atas prinsip bahwa Allah adalah pencipta, Hakim Mutlak yang mengatur semesta dan segala isinya. Allah memilih manusia sebagai khalifah di bumi. Tujuan keselamatan manusia di bumi ini, Allah memilih diantara manusia orang-orang yang memiliki kepribadian luhur, yang berhak memimpin umat : para nabi, para imam, dan para fuqaha.[13]
Tugas dan kewajiban ulama seperti juga Murtadha Muthahhari dalam kerangka Wilayat Faqih sangat berat. Tugas-tugas tersebut menurut `Ain Najaf dalam kitab Qiyadatul `Ulama wal Ummah, yaitu :
a. Tugas intelektual
b. Tugas bimbingan keagamaan
c. Tugas komunikasi dengan umat
d. Tugas menegakkan syiar Islam
e. Tugas mempertahankan hak-hak umat
f. Tugas berjuang melawan musuh-musuh Islam dan kaum muslimin.[14]
Melihat kedudukan, sifat, dan kewajiban ulama seperti pada sistem falsafi Wilayat Faqih, patut dipahami bahwa tugas para ulama Syiah sangat berat, begitu juga tantangan yang harus dihadapi. Banyak tuntutan yang harus dimiliki seperti harus menjadi faqih, intelektual, pemimpin politik, pelindung umat, dan bahkan pemimpin militer.
Murtadha Muthahhari sendiri selaku ulama yang masuk dalam Wilayah Faqih, menyadari betul tugas berat yang harus diemban untuk umat dan bangsanya, Iran. Semangat Muthahhari berjuang dengan dijiwai falsafah Wilayah Faqih ini menyebabkan Muthahhari merasa perlu menyelamatkan umatnya dari idiologi Barat yang menurutnya sangat berbahaya. Usaha tersebut salah satunya dengan mengkritik idiologi etika Barat seperti Marxisme, eksistensialisme, dan kapitalisme yang dipandang menyimpang dari nilai-nilai etika Islam.
Dasar Filosofis Kritik Muthahhari terhadap Etika Barat
Muthahhari sebagaimana diungkapkan di awal makalah ini merupakan pengagum filsafat Barat, namun begitu Muthahhari tidak menelan mentah-mentah ajaran tersebut, bahkan Muthahhari mengkritik kelemahan-kelemahan mendasar filsafat Barat. Landasan filosofis kritik Muthahhari dimulai dengan kritik epistemologi terhadap isu Marxisme. Hal ini bukan tanpa alasan, saat itu memang marxisme sebagai ideologi sedang menjadi buah bibir. Di satu sisi kelompok oposisi banyak yang mengusung marxisme sebagai alternatif ideologi rezim syah yang pro Amerika seperti Ali Syari`ati, ditambah lagi pihak rezim syah sendiri secara tidak langsung memberi ruang propaganda marxisme lewat kebijakan politik sekularnya.[15]
Bertentangan dengan dua kekuatan di atas, Muthahhari justru sampai pada satu kesimpulan bahwa ideologi marxisme tidak sesuai dengan ideologi Islam, sehingga tidak pantas bagi ummat untuk mengusung ideologi tersebut. Memudahkan memahami argumentasi yang dipakainya, Muthahhari mengajukan diagram di bawah ini.
Epistemologi --> Paradigma --> Ideologi --> Praktik
Diagram di atas menjelaskan relasi antara ideologi dengan paradigma (worldview) seseorang ibarat fondasi dasar sebuah bangunan dengan bagian atas bangunan tersebut. Singkatnya, ideologi sebagai hikmat amali (ilmu praktis) mesti berlandaskan pada hikmat nazhari (ilmu teoritis) tertentu.[16]
Berdasarkan konsep di atas dapat dipahami argumentasi Muthahhari tentang irrelevansi marxisme dengan ajaran Islam. Marxisme sebagai ideologi lahir dari paradigma yang amat berbeda dengan Islam. Sebagai contoh, dalam Islam uang dipandang sebagai sarana dan bukan tujuan hidup manusia itu sendiri, namun Marx secara implisit menekankan peran sentral uang dalam kehidupan manusia. Perbedaan paradigma tersebut bila ditilik secara lebih mendalam sebenarnya diakibatkan oleh perbedaan epistemologi. Marxisme, sebagaimana pula kapitalisme yang dikritiknya, sama-sama lahir dari tradisi filsafat materialisme Barat. Filsafat materialisme menganggap yang nyata ataua riil adalah yang terukur dan sensible, sedang Islam meyakini keutamaan (realitas) jiwa atas fisik.
Selanjutnya Muthahhari secara bertahap mencoba mengkritisi epistemologi filsafat Barat, terutama sejak era renaisans dengan tokoh utamanya Francis Bacon, dengan epistemologi filsafat Islam. Kata-kata kunci yang digunakannya terangkum dalam buku Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia meliputi skeptisisme, psiko-analisa, hingga tazkiyatun nafs sebagai instrumen ilmu pengetahuan yang sah dalam filsafat Islam (irfan).[17]
Setelah mengkritik ideologi arxisme yang banyak diusung sesama kelompok oposisi, sasaran kritik Muthahhari selanjutnya adalah kebijakan sekuler rezim Syah itu sendiri. Tapi alih-alih memaki-maki pemerintah dengan berbagai tuduhan (sebagaimana jamaknya ulama konservatif), Muthahhari secara cerdas mengkritik epistemologi materialisme yang melandasi sekularisme. Singkat kata, materialisme adalah jantung peradaban Barat sejak era renaisans yang muncul di negara Inggris dan Perancis. Epistemologi tersebut di atasnya berdiri kokoh propaganda-propaganda peradaban Barat seperti politik demokrasi dan imperialisme, ekonomi Laissez-faire, juga rasionalisme dan humanisme Barat. Dengan mengkritik materialisme, Muthahhari sebenarnya telah meruntuhkan fondasi dasar sekulerisme itu sendiri.
Berikut ini adalah beberapa unsur yang membentuk filsafat materialisme-sekuler yang dikemukakan Bertand Russell :
Pertama, penafian eksistensi Tuhan. Sejak era renaisans peradaban Barat telah menafikan eksistensi Tuhan. Tuhan dianggap tidak nyata, telah mati, atau kalau pun Tuhan ada tetapi Ia pasif dan tak ada sangkut-pautnya dengan proses epistemologi dan kontrol etika. Humanisme Barat menganggap “kemanusiaan” sebagai bagian dari alam fisik, dan karenanya manusia didefinisikan sebagai produsen-konsumen, penjual-pembeli, penjajah-terjajah dan seterusnya.Kedua, bersamaan dengan hegemoni filsafat materialisme, peradaban Barat juga mulai mengabaikan nilai-nilai etika yang immaterial dan tak terukur. Etika menjadi sinonim dengan keuntungan (benefit) dan kesenangan (enjoyment), dan tujuan hidup manusia semata memenuhi dua kebutuhan tersebut dengan cara meningkatkan produksi dan laba (profit). Materialisme telah mereduksi absolusitas etika sedemikian rupa sehingga manusia menjadi tak lebih dari sekadar “cog in a machine.”Ketiga, di atas idiologi yang dianut materialisme Barat berdiri politik sekuler yang menafikan hakikat kemanusiaan sebagai mahluk dengan tujuan-tujuan ilahiah. Kualitas kemanusiaan dalam politik sekuler ditentukan berdasarkan nilai ekonomisnya. Sekularisme bukan sekadar kebijakan politik memisahkan urusan agama dengan negara, lebih dari itu ia adalah penafian nilai-nilai absolut-epistemologis dan etis dari eksistensi manusia itu sendiri sehingga dirinya menjadi tak lebih dari sekadar objek alat (utilitarian object) untuk diperalat (utilized) dan diperas (subjugated).[18]
Melihat ancaman-ancaman materialisme di atas tidak salah bila kemudian Muthahhari mengkritik secara keras ideologi sekularisme yang diusung oleh pemerintah rezim Syah. Kritik-kritik Muthahhari terhadap filsafat materialisme pada hakikatnya telah meruntuhkan bangunan dasar politik rezim Syah Iran yang berkuasa saat itu. Di sisi lain Muthahhari juga mengindikasikan superioritas epistemologi Islam yang selain mengakui validitas indera sebagai instrumen dan sumber pengetahuan, juga mengakui validitas rasio dan intuisi.
Berdasarkan pemaparan di atas, muncul pertanyaan, bagaimana dengan kemajuan peradaban Barat ? Bukankah itu bukti superioritas filsafat Barat atas Islam ? Muthahhari menolak anggapan ini, baginya kemajuan peradaban Barat bukan lah bukti valid kebenaran ajaran filsafat Barat. Dengan meminjam logika Bertrand Russell, Muthahhari menjelaskan bahwa pengetahuan yang benar akan berujung pada eksperimen yang benar pula, namun bukan berarti bila eksperimennya benar maka pengetahuannya juga pasti benar. Inilah yang dinamakan dengan logika lazim’am (keterkaitan yang lebih universal).[19] Memperjelas pernyataan di atas perhatikan keempat pernyataan di bawah :
- Jika bola maka bulat. Ini adalah pernyataan yang benar. Semua bola mesti bentuknya bulat.
- Jika bulat maka bola. Ini adalah pernyataan yang salah. Tidak semua yang berbentuk bulat itu adalah bola.
- Jika bukan bola maka tidak bulat. Pernyataan ini juga salah.
- Jika tidak bulat maka bukan bola. Pernyataan ini benar.[20]
Argumentasi Muthahhari selanjutnya menegaskan bahwa filsafat yang benar (hakikat) akan menghasilkan peradaban yang unggul, adalah pernyataan yang benar sama seperti pernyataan satu. Pernyataan yang mengatakan bahwa, peradaban yang unggul sebagai bukti kebenaran filsafat yang melandasinya, ini adalah pernyataan yang salah sama seperti pernyataan nomor dua di atas.
Muthahhari juga mengutip pernyataan Muhammad Abduh yang mengatakan bahwa buah yang baik mesti dihasilkan oleh pohon yang baik pula.[11] Namun dalam peradaban Barat yang terjadi justru sebaliknya, kemajuan peradaban Barat diawali oleh pemberontakan mereka terhadap alam pikir abad pertengahan. Sebaliknya dalam kasus Islam, ajaran Islam ibarat pohon yang baik tapi buahnya tidak terlalu baik dikarenakan ummat sendiri yang tidak setia dengan ajaran Islam yang hakikat.
Perbuatan Alami dan Perbuatan Akhlaki
Muthahhari menggolongkan perbuatan manusia menjadi dua yaitu perbuatan alami yang pelakunya tidak pantas dipuji, dan perbuatan akhlaki yang patut dipuji. Contoh yang pertama seperti berusaha membela diri ketika dihina. Perbuatan ini lahir secara alami karena adanya kecenderungan mempertahankan diri pada diri manusia, sehingga tidak layak mendapat pujian. Berbeda dengan perbuatan akhlaki, yang patut dipuji dan disanjung. Manusia akan kagum melihatnya. Nilai-nilai akhlaki tidak dapat dibandingkan dengan nilai material. Contoh sederhana adalah memaafkan kesalahan orang lain.[21]
Sebagian orang berpendapat bahwa kriteria perbuatan akhlaki adalah segala perbuatan yang dilakukan untuk orang lain. Perbuatan yang dilakukan untuk diri sendiri bukan merupakan perbuatan akhlaki. Pendapat lainnya mengatakan bahwa perbuatan akhlaki adalah perbuatan yang bermukim dari perasaan mencintai sesama. Dua definisi ini memiliki kesamaan, definisi pertama ditarik dari tujuan, sementara definisi kedua dari sebab akhir. Simpulan perbuatan akhlaki dari dua definisi ini ialah perbuatan yang dilakukan untuk orang lain tidak akan terealisasikan apabila manusia tidak memiliki perasaan cinta kepada sesama.
Keberatan muncul berkaitan dengan definisi di atas. Perbuatan keibuan yang juga dimiliki binatang merupakan perbuatan akhlaki atau diasumsikan pada perbuatan alami. Pengorbanan seorang ibu demi anaknya dipandang agung dan mulia dan bertujuan demi anaknya bukan untuk dirinya sendiri. Perbuatan tersebut meskipun mengandung nilai-nilai agung, namun tidak dapat diasumsikan sebagai perbuatan akhlaki disebabkan aturan penciptaan dan naluri alamiah seorang ibu yang mendorong melakukan perbuatan tersebut.
Muthahhari memasukkan akhlak dalam kategori ibadah (penyembahan). Manusia yang menyembah Allah di alam bawah sadarnya, dan mematuhi perintah Allah di alam sadarnya. Pada saat perasaan alam bawah sadar manusia berubah menjadi perasaan alam sadar dalam menyembah Allah, perbuatan tersebut merupakan perbuatan akhlaki.[22]
_________________________________
[1] Haidar Bagir, Murtadha Muthahhari Sang Mujahid Sang Mujtahid, cet. 2 (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1993), hlm. 25
[2] Jalaluddin Rakhmat, “Kata Pengantar” dalam Murtadha Muthahhari, Perspektif al- Quran tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 8
[3] Haidar Bagir, Murtadha Muthahhari Sang Mujahid Sang Mujtahid, Op. Cit., hlm. 29-30.
[4] Ibid, hlm. 32.
[5] Ibid, hlm. 35-37.
[6] Syafi`i, Memahami Teologi Syi`ah Murtadha Muthahhari, (Semarang : RaSail, 2004), hlm. 61.
[7] Haidar Bagir, Murtadha Muthahhari Sang Mujahid Sang Mujtahid, Op. Cit., hlm. 34
[8] Jalaluddin Rakhmat, “Kata Pengantar” dalam Murtadha Muthahhari, Perspektif al- Quran tentang Manusia dan Agama, Op. Cit., hlm. 8
[9] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, penerjemah: Luqman Hakim, cet. 1 (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), hlm. 195.
[10] Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, (Bandung : Mizan, 2009), hlm. 27.
[11] Ayatullah Khomeini, Al-Hukumat al-Islamiyat, Terj. Jalaluddin Rakhmat, Hukum Islam, (Bandung : Mizan, 1992), hlm. 17.
[12] Jalaluddin Rakhmat, “Kata Pengantar” dalam Murtadha Muthahhari, Perspektif al- Quran tentang Manusia dan Agama, Op. Cit., hlm. 8
[13] Ibid, hlm. 12.
[14] `Ain Najaf, Qiyadatul `Ulama wal Ummah, (Teheran : Hikmah, t.th.), hlm. 17.
[15] Haidar Bagir, Resensi Buku Murtadha Muthahhari : Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia, (Jakarta : Sadhra Press, 2010), hlm. ii.
[16] 'Abd Al-Karim Surush, Jawidanagi wa Akhlaq, Yadnameh-ye Ustad-e Shahid Murtadha Muthahhari, (Teheran : Sazman-e Intisharat wa Amuzish-e Enghelab-e Islami, 1360 H. Syamsiyyah (tahun Iran)), jilid 1, hlm.389.
[17] Irfan merupakan karakter pemikiran filsafat yang umum dipakai para pemikir Iran sebagai metode pemikiran bercorak exoteris (tasawuf). Lihat Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, Teologi, Filsafat, dan Gnosis, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 76. Lihat juga Murtadha Muthahhari, Pengantar Epistemologi Islam: Sebuah Pemetaan dan Kritik Epistemologi Islam atas Paradigma Pengetahuan Ilmiah dan Relevansi Pandangan Dunia, (Jakarta : Sadhra Press, 2010), hlm. 27.
[18] Bertrand Russell, A History of Western Philosophy, (London : George Allen Unwin, 1984), hlm.133
[19]Abd Al-Karim Surush, Jawidanagi wa Akhlaq, Yadnameh-ye Ustad-e Shahid Murtadha Muthahhari, Op. Cit., hlm. 133.
[20] Ibid.
[21] Murtadha Muthahhari, Falsafah Akhlak, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1995), hlm. 15.