Jumat, 27 April 2012

Falsifikasi Karl Raimund Popper

Bagi Popper, problem utama yang ada adalah apa yang disebutnya problem demarkasi (the problem of demarcation). Bagi ilmuwan Lingkaran Wina, hal itu merupakan sesuatu yang disebutkan untuk menunjuk pada garis batas antara ungkapan yang disebut bermakna (meaningfull) dan tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris (verifikasi-konfirmasi). Pembedaan itu digantinya dengan demarkasi atau garis batas antara ungkapan ilmiah (science) atau tidak ilmiah (pseudo-ilmiah). Karena menurut Popper, ungkapan yang tidak bersifat ilmiah mungkin sekali sangat bermakna (meaningful) dan begitu sebaliknya. 
Popper melihat beberapa kelemahan prinsip verifikasi Lingkaran Wina, antara lain: pertama prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Kedua berdasarkan prinsip verifikasi metafisika dianggap sebagai ungkapan yang tidak bermakna (meaninngless). Menurut mereka, metafisika termasuk dalam ‘pseudo-statements’, yaitu pernyataan yang tidak ilmiah. Dan perdebatan mengenai metafisika sebenarnya tidak perlu, karena tidak menghasilkan apa-apa (unfruitful). Biarpun dikatakan bahwa ia tidak bermakna oleh aliran neo-positivisme, akan tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisika atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi bisa juga benar, biarpun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites. Akibat pencampakan metafisika inilah, ilmu pengetahuan dan teknologi barat bersifat ambivalen. Ketiga, untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapan atau teori, lebih dulu harus dimengerti. Sehingga yang jadi persoalan, bagaimana bisa dimengerti jika tidak bermakna, lantas apa yang disebut teori. 
Untuk menghindari kesalahan kaum positivis seperti yang sudah disebutkan di atas, Popper selanjutnya mengajukan prinsip falsifikasi sebagai ciri utama teori ilmiah. Menurutnya suatu teori atau ucapan dikatakan bersifat ilmiah bila terdapat kemungkinan secara prinsipil untuk menyatakan salahnya. Sejarah menunjukkan, selama suatu teori bisa bertahan dalam upaya falsifikasi selama itu pula teori tersebut tetap kokoh, meski ciri kesementaraannya tidak hilang. Itulah yang dimaksud dengan “prinsip falsifibilitas” (the principle of falsifiability). Dan sebaliknya suatu teori yang secara prinsipil mengeksklusifkan setiap kemungkinan untuk mengemukakan suatu fakta yang menyatakan salahnya teori itu, menurut Popper pasti tidak bersifat ilmiah. Prinsip ini kemudian lebih dikenal dengan teori falsifikasionisme yang digunakan untuk mengkritik ilmuwan Lingkungan Wina, yang sangat dekat dengan pemikirannya.
Selanjutnya, falsifikasi digunakan untuk merumuskan hipotesis baru, menyempurnakan pengetahuan, dan pengujian hipotesis baru, dan demikian seterusnya. Menurut Popper, tujuan pengulangan riset adalah untuk menambah bukti kesalahan hipotesis, bukannya untuk memperkuat bukti kebenaran hipotesis. Maka pengembangan ilmu dilakukan dengan cara merontokkan teori karena terbukti salah, untuk mendapatkan teori yang baru. Untuk itu, falsifikasi menjadi alat untuk membedakan genuine science (ilmu murni) dari pseudo science (ilmu tiruan). 
Dengan demikian, ketika suatu hipotesa dapat ditunjukan kesalahannya dengan teori falsifikasi, maka dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan tengah menuai perkembangannya. Dan sebaliknya, jika hipotesa tidak dapat ditunjukan kesalahannya, maka ilmu pengetahuan belum dapat dikatakan berkembang. Di sini, falsifikasi nampak berbeda dengan prinsip verifikasi yang hanya menumpuk dan mengumpulkan bukti-bukti hipotesa sebelumnya untuk menguatkan hipotesa tersebut. Dimana hipotesa-hipotesa tadi belum bisa diyakini seratus persen kebenarannya.

       I.            Popper dan Persoalan Sosial Politik
Epistemologi Popper yang menekankan prinsip falsifibilitas tercermin dalam filsafat sosial dan politiknya. Berbicara tentang metode-metode ilmu sosial, Popper secara tegas menolak pandangan historisisme, yaitu “suatu pendekatan terhadap ilmu-ilmu sosial yang mengasumsikan bahwa tujuan ilmu-ilmu sosial dapat dicapai dengan menemukan 'ritme' atau 'pola', 'hukum' atau 'tren' yang mendasari evolusi sejarah”.[1] Bagi Popper, pandangan ini tidak hanya berbahaya karena cenderung totaliter, tetapi juga tidak memadai untuk memahami realitas sosial yang kompleks. Selain itu, pandangan kaum historisis juga problematis karena mengombinasikan tesis-tesis pro-naturalistis pada satu sisi tetapi anti-naturalistis pada sisi yang lain. Maksudnya, pada satu sisi mereka percaya pada hukum-hukum sosial yang bekerja sebagaimana hukum-hukum alam, sehingga menghasilkan prediksi sejarah, tetapi pada satu sisi mereka juga mempunyai kepercayaan yang besar pada keagenan manusia, sehingga jatuh pada pandangan deterministik, seperti konsepsi kelas pada kelompok Marxis sebagai contoh.
Dalam sebuah tulisannya, Popper menegaskan kembali posisinya terhadap kaum historisis.[2] Di sana Popper sekali lagi menyerang Marxisme. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sejak remaja Popper mengungkapkan kekecewaannya terhadap Marxisme. Menurut Popper, Marxisme tak lebih dari sebuah doktrin yang mendasarkan diri pada prediksi dan kenubuatan (prophecy). Bertolak dari dua hal tersebut, Marxisme menyusun proyek politiknya, padahal menurut Popper dua hal tersebut sejatinya adalah pengandaian normatif, tetapi oleh para pengikutnya dipaksakan untuk dibuktikan benar dalam sejarah. Selain itu, Popper juga mengkritik teori psikoanalisa-nya Freud dan teori psikologi individual-nya Alfred Adler. Teori-teori tersebut, menurut Popper, terlalu mengandalkan subjektivitas sehingga tidak menghasilkan objektifitas yang bisa difalsifikasi.[3] Akan tetapi, William A. Gorton berpendapat bahwa Popper sebenarnya mengagumi Marx sebagai seorang ilmuwan sosial yang hebat dan dia mengambil beberapa inspirasi darinya.[4]  Apa yang disebut Popper sebagai ‘Oedipus effect’ diambil dari Marx yang berbicara tentang ‘unintended consequensces of human actions’. ‘Oedipus effect’ berarti prediksi bisa mempengaruhi peristiwa yang diprediksi.[5]
Menurut Popper, teori ilmu-ilmu sosial seharusnya “trace the unintended social repercussions of intentional human actions”. Dengan itu, ilmu-ilmu sosial akan terhindar dari ideologisasi dan mencapai objektifikasi. Menurut Popper, seperti juga ilmu-ilmu alam, “most of the objects of social science, if not all of them, are abstract objects; they are theoritical constructions. (Even ‘the war’ or ‘the army’ are abstract concepts, strange as this may sound to some. What is concrete is the many who are killed; or the men and women in uniform, etc.,)”.[6] Oleh sebab itu, dunia objektif-nya Popper berbeda dengan relativisme epistemologis yang dianut oleh banyak antropolog atau sejarawan.[7] Pada Popper, terdapat konstruksi teoritis tertentu yang objektif, yang menjadi benang merang antara realitas yang satu dan realitas yang lain. Di sini terlihat pemikiran Popper masih diwarnai oleh positivisme. Pada titik ini Popper menjadi sasaran kritik Adorno dan para eksponen Madzhab Frankfurt lainnya.[8]
Lepas dari itu, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ sangat menarik dan terus menerus menjadi topik perdebatan sampai sekarang. Akan tetapi persis dalam gagasan ini pula Popper sering disalahpahami. Hari ini gagasan tersebut sering diasosiasikan dengan George Soros, seorang pengagum abadi Popper yang mendirikan The Open Society Foundation tetapi lebih dikenal publik sebagai seorang spekulan saham yang menjatuhkan ekonomi Asia pada krisis finansial 1998. Pengasosiasian itu tidak sepenuhnya salah, tetapi kita perlu memeriksa terlebih dahulu apa yang sesungguhnya diusulkan Popper dengan konsep masyarakat terbuka. Apa kaitan antara konsep yang awalnya dikemukakan oleh Henri Bergson itu dengan kapitalisme dan demokrasi liberal seperti yang sering kita baca dan lihat di media-media? 
Popper mengaku sebagai seorang liberal dalam pengertian klasik, tetapi bukan seorang simpatisan partai politik. Dia menyebut dirinya “simply a man who values individual freedom and who is alive to the dangers inherent in all forms of power and authority”.[9] Dalam perbincangan kita sehari-hari, khususnya di Indonesia, liberalisme dan kapitalisme memang seringkali problematis, lebih sering ditanggapi secara emosional daripada mendudukkan perkaranya secara rasional. Dalam lingkup global, istilah-istilah itu sering dialamatkan kepada kebijakan ‘neoliberal’ Thatcher di Inggris dan Reagen di Amerika Serikat pada 1980-an. Menurut mereka, peran negara dalam ekonomi harus diminimalisasi, bahkan sebaiknya angkat kaki. Pada masa itu Popper dan von Hayek diusung oleh kaum libertarian sebagai pemikir utama Kanan Baru. Dalam berbagai kesempatan Popper bahkan sering dijadikan senjata untuk menyerang model ‘negara kesejahteraan’ seperti yang dipraktikkan di negara-negara Skandinavia. 
Akan tetapi, beberapa pengamat seperti Brian Magee dan Ralf Dahrendorf mengklasifikasi Popper sebagai seorang ‘sosial demokrat’. Pengamat lain, Malachi Haim Hacohen, justeru menekankan latar belakang sosialis Popper ketika masih tergabung dalam kelompok pemuda sosialis di Wina. Hacohen berpendapat bahwa ketika menulis The Open Society sewaktu Perang, Popper tidak tahun apapun tentang Uni Soviet. Oleh karena itu, buku itu harus dibaca sebagai perlawanan terhadap fasisme, bukan sebuah “charter of cold war liberalism”. Popper, kata Hacohen, memang menekukan pandangan fasis pada Platon dan Hegel, tetapi Marx sebenarnya seorang demokrat progresif yang terperangkap jeratan historisisme.[10]
Popper membedakan masyarakat terbuka dengan masyarakat tertutup yang ‘magis atau tribal atau kolektivis’. Dalam masyarakat terbuka, individual dihadapkan pada kepeutusan pribadi. Dengan demikian mereka mempunyai tanggung jawab dalam menerima kebijakan publik. Menurut Niiniluoto, dalam konteks publik Popper sangat menekankan prinsip hukum dan etis, sehingga dia menolak kapitalisme tal terkendali (the unrestrained capitalism). Yang didukung oleh Popper bukan kapitalisme, melainkan ekonomi pasar. Dua hal itu mempunyai pengertian kontras. Pengertian kapitalisme lebih dekat dengan pengertian kaum Darwinisme sosial yang menyatakan bahwa evolusi sejarah manusia hanya akan menyisakan kemenangan bagi mereka yang terkuat. Dalam pengertian ini pula terdapat keyakinan bahwa campur tangan negara terhadap ekonomi akan mengganggu alih-alih membantu. Ekonomi akan selalu mencapai titik keseimbangannya melalui kehadiran ‘tangan yang tak terlihat’. Di sisi lain, ekonomi pasar berbasis pada kompetisi bebas, tetapi para pemain dalam kompetisi bebas tersebut tetap dibatasi oleh prinsip hukum dan etika yang berlaku. Juga kompetisi ini harus bebas dari manipulasi. Yang ditekankan oleh Popper adalah kebaikan bersama dan keadilan sosial. Untuk menjamin itu, campur tangan negara adalah keniscayaan.[11]
Oleh karena itu tidak tepat kalau dikatakan bahwa ‘masyarakat terbuka’nya Popper sebagai anti-negara kesejahteraan. Untuk mencapai ‘masyarakat terbuka’, ekonomi pasar harus diisi dan diperkaya dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam tafsiran Niiniluoto, bertentangan dengan pandangan libertarian yang menekankan persaingan antar individu yang bebas, gagasan masyarakat terbuka lebih dekat dengan pandangan etik komunitarian yang menekankan kerjasama dan dan saling hormat antara warga negara dan bangsa. Mengacu pada konsepsi keadilan Rawls, aktifitas ekonomi dalam masyarakat terbuka harus memberi keuntungan pada semua.[12]
Dalam politik, gagasan masyarakat terbuka jelas menolak segala bentuk totalitarianisme. Popper sendiri sudah mengulas banyak tentang itu dalam The Open Society dan The Poverty of Historicism. Lalu bagaimana kita menanggapi pendapat kalangan yang menyatakan bahwa demokrasi liberal adalah akhir perjalanan sejarah umat manusia seperti dikatakan Francis Fukuyama? Kalau mengikuti Popper, pendapat tersebut jelas bertentangan dengan prinsip falsifikasi, sehingga harus ditolak. Dengan kata lain itu tak lebih dari ekspresi dari historisisme kontemporer yang justeru semakin berkembang terutama pasca tragedi 9/11. Kita tentu saja tidak bisa menolelir aksi terorisme yang telah membuat banyak orang kehilangan hak hidupnya. Mereka adalah individu atau orang yang terperosok dalam lubang historisisme, menganggap nilai (agama) yang mereka yakini merupakan jalan hidup terbaik yang harus ditempuh umat manusia meski itu harus dibayar dengan aksi bom bunuh diri. Namun di sisi lain, perang terhadap terorisme (war on terror) yang pernah digelorakan oleh George W. Bush sewaktu menjabat Presiden Amerika Serikat juga sama-sama merupakan bentuk historisisme. Menurut Niiniluoto, terorisme tidak bisa diserang dengan membawa kembali jenis historisisme yang lain ke dalam gelanggang politik, yaitu kenubuatan bahwa demokrasi liberal ala Barat adalah sebuah keniscayaan sejarah. Jika pemahaman ala Bush diteruskan, yang terjadi adalah benturan antara historisisme yang telah mapan dan historisisme yang sedang diproyeksikan. Alternatif untuk mempromosikan dan membumikan gagasan ‘masyarakat terbuka’ sangat diperlukan, yaitu dengan jalan pendidikan, argumentasi rasional, kebebasan berpikir, pengakuan dan penghormatan diri, dan, yang tidak boleh dilupakan, kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial.[13]


[1] Roberta Corvi, An Introduction, 47-48.
[2] Karl R. Popper, “Prediction and Prophecy in the Social Sciences” dalam Patrick Gardiner (ed.), Theories of History (New York: The Free Press, 1959), 276-285.
[3] Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (London dan New York: Routledge, 1989 [edisi kelima]), 34-35.
[4] William A. Gorton, Karl Popper, 1.
[5] Karl R. Popper, Conjectures, 39.
[6] Roberta Corvi, An Introduction, 49.
[7] Relativsme epistemologis adalah “suatu paham yang mengingkari adanya dan dapat diketahuinya kebenaran yang objektif dan universal oleh manusia”. Lihat, Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 55; lihat juga, Anton van Harskamp (ed.), Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 14.
[8] Perdebatan mereka direkam dalam Theodor W. Adorno et. all., The Positivist Dispute in German Sociology, translated by Glyn Adey dan David Frisby (London: Heinemann, 1977).
[9] Dikutip dalam Ilkka Niiniluoto, “The Open Society and Its New Enemies: Critical Reflections on Democracy and Market Economy”, http://www.tampereclub.org/e-publications/vol2_niiniluoto.pdf, diakses 8 Januari 2012. Uraian selanjutnya tentang gagasan masyarakat terbuka Popper dalam tulisan ini didasarkan pada penafsiran Niiniluoto. Ilkka Niiniluoto adalah seorang profesor filsafat dan matematika di Universitas Helsinki, Finlandia dan penulis buku Critical Scientific Realism (New York: Oxford University Press, 1999).
[10] Karlina Supelli, “Masyarakat Terbuka..”, 2.
[11] Karlina Supelli, “Masyarakat Terbuka..”, 11.
[12] Ibid, 12.
[13] Karlina Supelli, “Masyarakat terbuka..”, 15.

Pemikiran Karl Raimund Popper

Karl Raimund Popper lahir di Himmelhof, sebuah distrik di Wina, Austria, pada tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya adalah seorang pengacara yang menaruh minat besar pada filsafat dan ilmu-ilmu sosial, sementara ibunya adalah seorang yang sangat mencintai musik. Di perpustakaan pribadi ayahnya tersimpan koleksi buku-buku yang cukup banyak di bidang itu. Dia tumbuh di lingkungan yang ‘decidedly bookish’. Sejak kecil ketertarikan popper terhadap dunia intelektual sudah terbentuk. Pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolah ‘realgymnasium’-nya karena menurutnya pelajaran-pelajaran di sana terlalu membosankan. Dia kemudian menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada usia 20 tahun diterima resmi menjadi mahasiswa di universitas itu.[1]
Ketika Popper studi di universitas, Eropa sedang goncang. Kemaharajaan Austria-Hungaria runtuh akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Kondisi perekonomian memburuk secara drastis, sehingga kelaparan dan kerusuhan terjadi di seluruh penjuru negeri. Pada saat itu Popper sempat masuk perkumpulan pelajar sosialis dan seorang pengagum Marxisme. Akan tetapi kekaguman Popper terhadap Marxisme pudar setelah menyaksikan kebrutalan yang dilakukan oleh kelompok komunis terhadap lawan ideologisnya. Rangkaian peristiwa tersebut cukup membekas pada Popper, sehingga sejak itu topik tentang kebebasan menjadi sentral dalam filsafat sosial politiknya. Dalam pandangan Popper, “sosialisme negara hanyalah opresi dan tidak bisa direkonsiliasi dengan kebebasan; bahwa kebebasan lebih penting daripada persamaan” karena “jika kebebasan hilang, tidak akan ada persamaan bahkan di antara orang yang tak bebas”.[2] 
Pada tahun 1937 Popper dan istrinya pergi meninggalkan Austria untuk menghindari fasisme Nazi. Perlu diketahui, meskipun dibaptis di gereja Protestan, Popper adalah keturunan Yahudi. Popper pergi ke Selandia Baru melintasi Inggris. Di tempat barunya dia mengajar filsafat di Canterbury University College, Christchurch. Di sana ia menyelesaikan buku Open Society and Its Enemies dan the Poverty of Historicism. Di buku pertamanya ia mengkritisi pemikiran Plato, Hegel, dan Marx. Di buku kedua ia menujukkan bahwa ketiga pemikiran tersebut pada dasarnya adalah ramalan sejarah, dia menyebutnya sebagai historisisme, yang berubah menjadi ideologi. Dalam praktiknya, ideologi cenderung bersifat totaliter karena ia tidak bisa/mau dikritisi dan, apalagi, disalahkan.
Setelah Perang Dumia II berakhir, Popper pindah ke Inggris untuk mengajar di London School of Economics (LSE). Di sana ia terus mengembangkan pemikirannya, termasuk menerjemahkan tulisan-tulisannya dalam bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris. Sejak itu pengaruh Popper meluas cepat. Setelah resmi pensiun pada 1969, Popper tetap aktif menulis dan memberikan kuliah, termasuk beberapa kali kunjungan ke berbagai negara, sampai meninggal pada 1994. Oleh para pengagumnya, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ terus menerus dikembangkan dan dijadikan jargon cita-cita politik dan ekonomi liberal. George Soros, bekas muridnya di LSE, mendirikan The Open Society Foundation yang bertujuan untuk “opening up closed societies, making open societies more viable, and promoting a critical mode of thinking”.[3] Dengan dana yang dimilikinya, yayasan ini aktif mempromasikan nilai-nilai yang sedikit banyak mengacu pada pemikiran Popper ke seluruh dunia. Di Indonesia, baru-baru ini majalah Prisma yang diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial) bekerjasama dengan Yayasan Tifa mengangkat tema ‘Masyarakat Terbuka Indonesia: Pesona atau Persoalan?’. Di sana Terdapat tulisan menarik dari Karlina Supelli yang membahas problematik gagasan masyarakat terbuka Popper jika diimplementasikan di Indonesia.[4] Di bagian akhir kita akan kembali ke topik ini, namun sebelumnya kita akan mendiskusikan terlebih dahulu pemikiran Popper pada ranah epistemologi dan ontologi.

       I.            Dasar-dasar Pemikiran Popper
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan ruang lingkup dan cara memperoleh pengetahuan. Sejak masa Yunani Kuno diskusi tentang epistemologi telah dimunculkan, terutama oleh kaum Sophis yang mengajukan skeptisisme. Akan tetapi, terutama pada Plato-lah epistemologi menemukan rumusannya yang lebih spesifik. Plato mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa pengetahuan itu? Di mana pengetahuan biasanya diperoleh? Di antara apa yang biasa kita anggap kita ketahui berapa yang benar-benar pengetahuan? Dapatkah indera menghasilan pengetahuan? Bisakah akal memberikan pengetahuan? Apa hubungan antara pengetahuan dan kepercayaan yang benar?[5]
Pada periode modern, Descartes mengembangkan apa yang disebut rasionalisme. Pandangan ini -dikenal sebagai pandangan Cartesian- mendasarkan diri pada prosedur tertentu dari akal atau rasio. Descartes percaya bahwa pengetahuan rasional bersifat mutlak dan berlaku universal. Sebagai reaksi terhadap pandangan Cartesian ini muncul empirisme. Tokoh utamanya adalah John Locke. Dia menyatakan bahwa pengetahuan yang benar didapatkan dari pengamatan inderawi. Akan tetapi, David Hume, seorang yang sebenarnya beraliran empiris, meragukan kemampuan inderawi untuk benar-benar menjangkau semesta pengetahuan. Hume lebih lanjut menyangsikan apakah pengetahuan yang partikular, yang disusun secara induktif, bisa menjadi pengetahuan yang universal. 
Adalah Immanuel Kant, seorang filsuf yang berusaha mengatasi rasionalisme dan empirisme. Dalam banyak hal, Popper menyetujui pandangan Kant, termasuk pandangannya tentang pengetahuan apriori, yaitu pengetahuan yang ada sebelum pengalaman. Akan tetapi, Popper tidak setuju dengan Kant mengenai keabsahan pengetahuan apriori. Bagi Popper, teori pengetahuan adalah penemuan kita yang bersifat konjektur, sehingga ia bisa salah kalau dikemudian hari ditemukan pengetahuan yang lebih meyakinkan. Mengikuti Darwin, Popper melihat teori pengetahuan atau epistemologi secara evolutif dan saling berkompetisi. Tidak ada epistemologi yang tunggal. Oleh karena itu, teori pengetahuan tidak bisa menjadi sebuah dogma yang berlaku sepanjang sejarah, melainkan sebentuk hipotesis yang bisa dikritisi dan bahkan disalahkan.[6]
Popper, dengan demikian, ingin menyelamatkan rasionalisme tetapi dengan catatan. Rasionalisme Popper dikenal dengan rasionalisme kritis. Proyek Popper ini terutama ditujukkan untuk membantah kaum positivisme logis yang berbasis di Wina, -Austria- dikenal sebagai Lingkaran Wina. Salah satu proyek mereka adalah hendak memisahkan mana ungkapan yang bermakna dan ungkapan yang tidak bermakna. Ungkapan ini bisa ditemukan dalam bahasa sebagai objektifikasi pikiran manusia. Menurut kaum postivisme logis, pemisahan itu ditentukan oleh sejauh mana ungkapan-ungkapan itu bisa ditangkap oleh inderawi atau tidak. Ungkapan yang tidak bisa ditangkap inderawi berarti tidak bermakna. Sebaliknya, ungkapan yang bisa ditangkap oleh inderawi adalah yang bermakna. Ungkapan yang bermakna inilah, yang hanya bisa diverifikasi secara empiris, yang dianggap oleh kaum positivisme logis sebagai pengetahuan. 
Popper menyangkal pandangan kaum positivisme logis tersebut. Dalam pemahamannya manusia tidak mungkin mengetahui semesta hanya dengan mengandalkan verifikasi empiris. Popper memberi contoh kasus angsa putih dan angsa hitam. Orang Eropa selama ratusan atau mungkin ribuan tahun percaya bahwa semua angsa adalah putih karena memang sejauh itu tidak ditemukan angsa selain angsa putih. Keyakinan ini goyah dan kemudian runtuh ketika para pelancong Eropa menemukan angsa hitam di Sungai Victoria di Australia pada pertengahan abad ke-17. Dengan penemuan itu keyakinan orang Eropa terbukti salah. Contoh serupa bisa ditemukan dalam semua hal yang ada di ‘dunia objektif’. Oleh karena itu, bagi Popper, teori pengetahuan selalu bersifat hipotesis dan konjektural. 
Melihat argumennya, Popper jelas tetap berusaha menyelamatkan empirisme tetapi dengan catatan. Bagaimanapun prinisp falsifikasi Popper dilakukan melalui pengujian yang sifatnya empiris. Akan tetapi, empirisme Popper tidak berasal dari sebab-musabab yang berujung pada akibat, dari yang partikular menuju yang universal. Empirisme Popper lahir dari pengetahuan apriori yang ditimba dari pengetahuan apriori-nya Kant, tetapi Popper meneruskan itu dengan menambahkan prinsip falsifikasi. Ketika ada bukti empiris yang lebih kuat, teori pengetahuan lama otomatis terbukti salah. Namun jika bukti empiris baru ternyata lebih lemah, teori pengetahuan lama justru dikuatkan (corroborated) oleh bukti empiris baru tersebut. Dengan prinsip inilah ilmu penegetahuan berkembang dan terhindar dari pembakuan yang bisa memerosotkan ilmu menjadi mitos dan ideologi. 
Berangkat dari prinsip falsifikasi, Popper ingin menghindari objektivisme dan subjektivisme dalam pengertiannnya yang ekstrem. Untuk itu dia mengajukan gagasan ontologis tentang tiga Dunia. Dunia 1 adalah dunia fisik, Dunia 2 adalah dunia mental, Dunia 3 adalah dunia objektif. Dunia 1 dan Dunia 2 saling berinteraksi. Dunia 2 dan Dunia 3 saling berinteraksi. Akan tetapi, Dunia 1 tidak bisa langsung berinteraksi dengan Dunia 3 kecuali melalui Dunia 2. Dengan kata lain, benda-benda fisiologis berinteraksi dengan benda-benda psikologis, benda-benda psikologis berinteraksi dengan benda-benda logis, tetapi benda-benda fisiologis tidak bisa langsung berinteraksi dengan benda-benda logis kecuali terlebih dulu melalui dunia psikologis.[7] 
Apa yang dimaksud Dunia 3 tak lain adalah pendekatan objektif. Pada Popper, itu berarti pendekatan yang memandang pengetahuan manusia sebagai suatu sistem pernyataan atau teori yang dihadapkan pada diskusi kritis, ujian intersubjektif, atau kritik timbal-balik. Pendekatan objektif adalah kata lain untuk epistemologi pemecahan-masalah (problem-solving). Analisis yang lahir dari epistemologi Popper ini bersifat situasional, sehingga ia hanya sebuah solusi tentatif. Ia mesti menyesuaikan diri secara terus menerus dengan problem-problem baru.[8] 
Pendapat Popper tentang Dunia 3 adalah gagasan ontologis yang berpijak pada bahasa sebagai objektifikasi dunia mental manusia yang subjektif. Secara jelas Popper menyatakan bahwa “... Diri kita, fungsi bahasa yang tinggi (deskriptif dan argumentatif) dan Dunia 3 telah berevolusi dan muncul bersama dalam interaksi yang terus menerus ... untuk lebih spesifik, saya menyangkal bahwa binatang mempunyai kesadaran penuh atau bahwa mereka mempunyai diri yang sadar. Diri kita berkembang bersama dengan fungsi-fungsi bahasa yang lebih tinggi yaitu fungsi yang deskriptif dan argumentatif”. Kutipan ini merupakan kritik Popper terhadap kaum positivisme logis yang juga sama-sama berangkat dari permasalahan bahasa.[9]

       I.            Kritik terhadap karl R. Popper
Kritik pertama disampaikan oleh Thomas Khun, menurutnya antara pandangan neo-positivisme dan Popper tampak seperti berbeda, terutama kriteria dari sesuatu yang disebut ilmiah, sebenarnya kedua pandangan tersebut memiliki persamaan, bahkan cukup fundamental. Keduanya jelas memiliki nuansa positivistis, yang cenderung memisahkan antara ilmu dan unsur-unsur subjektifitas dari ilmuwan, keduanya juga sama-sama memandang, proses perkembangan ilmu adalah dengan jalan linier-akumulasi dan eliminasi.
Menurut Kuhn, ilmuwan (termasuk ilmuwan kalangan Lingkaran Wina dan Popper) bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip seperti para pemecah teka-teki yang bekerja dalam pandangan dunia yang sudah mapan. Kuhn menamai sistem keyakinan yang sudah mapan dengan istilah “paradigma”. Dalam pandangan Kuhn, seorang ilmuwan selalu bekerja dengan paradigma tertentu. Jadi menurut Kuhn, Popper sama saja dengan ilmuwan Lingkaran Wina, yang masih berkutat dalam paradigma positivistik.




[1] Roberta Corvi, An Introduction to the Thought of Karl Popper, translated by Patrick Camiller (London dan New York, 1997), 3.
[2] Roberta Corvi, An Introduction, 3.          
[3] William A. Gorton, Karl Popper and the Social Sciences (Albany: State University of New York Press, 2006), 1.
[4] Karlina Supelli, “Masyarakat Terbuka: Catatan Kritis untuk Pesona Sebuah Konsep”, Prisma, Vol. 30, No. 1, 2011,  3-14.
[5] Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991), 18.
[6] Roberta Corvi, An Introduction, 16.
[7] Taryadi Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991), 94-95.
[8] Taryadi Alfons, Epistemologi Pemecahan, 30-33.
[9] Ibid, 102.

Rabu, 25 April 2012

Ijtihad Rasulullah SAW : Ali Ashghar Ridwani

Terjemah dari Dr. Ali Ashghar Ridwani (Peneliti bidang kajian Ushul Fiqh Perbandingan, Pengajar di Hauzah Ilmiah, Iran).

Berbicara tentang apakah Rasul saw berijtihad atau tidak sangat berkaitan dengan pembahasan tentang hukum perkataan, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) Rasul saw;  sebab jika kita katakan bahwa semua urusan Rasul saw didasarkan oleh wahyu, dan beliau adalah maksum dalam menjalankannya maka sunnah Rasul saw adalah hujjah dan menjadi sumber hukum syariat. Dan sudah jelas bahwa sumber hukum syariat harus terpelihara dari kesalahan dan kesamaran, sehingga memungkinkan untuk dijadikan dasar hukum.
Bahwa apa yang bersumber dari Rasul saw baik perkataan, perbuatan, ataupun ketetapan adalah hujjah sudah sangat jelas, tidak perlu diperdebatkan lagi. Sebab jika tidak demikian, tentu ajaran-ajaran Islam menjadi tidak jelas, syariat tidak efektif, dan hukum tidak dapat digali secara maksimal, karena hukum-hukum Al-Qur’an umumnya  tidak disebutkan secara terperinci, hanya menjelaskan pokok-pokok syariat, Bahkan boleh jadi tak satupun kita dapati suatu hukum dalam Al-Qur’an yang dijelaskan dengan sangat mendetail.
Jika demikian, mesti dikatakan bahwa sunnah Rasul saw adalah hujjah dan syariat harus terpelihara dari kesalahan dan kekeliruan, agar dapat menjadi rujukan hukum syariat, dan disandarkan kepada Allah swt.
Akan tetapi jika kita mengatakan ada ijtihad Rasul saw dan meyakini sifatnya yang dzonny (tidak pasti kebenarannya), maka sunnah itu belum tentu dapat dijadikan dalil hukum, sekalipun Al-Qur’an menjelaskan bahwa beliau adalah teladan di semua urusan kehidupan.
DR. Muhammad Hasan Hito dalam kitabnya: al-Wajiz fi Ushuli at-tasyri’ al-Islami mengatakan:” Sunnah adalah apa-apa yang muncul dari Nabi saw berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir (ketetapan). Sebagian ahli ushul melupakan taqrir, karena pengertiannya adalah “tidak mengingkari” yang dapat dikategorikan bagian dari fi’il (perbuatan), jadi mereka memasukkan taqrir dalam fi’il. Definisi ini hanya tertentu bagi ahli ushul. Sunnah yang dimaksud di sini adalah apa-apa yang muncul dari Rasul saw tanpa melihat pada sifatnya; mutawatir atau ahad. Sunnah adalah sumber kedua dari sumber-sumber syariat setelah Al-Qur’an secara ijma’. Orang yang mengingkari pengamalan sunnah dihukum kafir juga menurut ijma’. Karena mengingkari perintah Allah swt serta berpaling darinya. Allah swt berfirman:
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah”. (An-nisa:80)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.(An-nisa: 65)
 “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya”.(An-nisa: 13)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat tentang ini[1].
Patut disebutkan di sini, diantara konsekwensi pendapat yang mengatakan Rasul saw berijtihad adalah tidak adanya kewajiban mengikuti pendapat Nabi saw. Mujtahid mana saja berhak membuat ijtihad yang menyalahi ijtihad Rasul saw. Bahkan ia mendapat pahala, salah atau benar. Kesimpulannya, mengatakan Rasul saw berijtihad akan memunculkan banyak ijtihad yang bertentangan dengan nash-nash.

Definisi Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa diambil dari akar kata “Jahada” yang berarti: mengerahkan daya upaya, atau menanggung kesulitan. Bentuk wazan ifti’al menunjukkan pengertian bersungguh-sungguh dalam berbuat. Karena itulah bentuk kata: “iktasaba” (berusaha keras), lebih kuat artinya dari kata: “kasaba” (berusaha, mencari).
Jadi, menurut bahasa ijtihad adalah mengerahkan seluruh kemampuan dalam melakukan apa saja, dan hanya dipakai pada melakukan sesuatu yang berat dan sulit. Dikatakan: “ijtahada fi hamli hajarirraha” (bersungguh-sungguh mengangkat batu besar), tidak tepat mengatakan: “ijtahada fi hamli khardal” (bersungguh-sungguh mengangkat biji sawi)[2].
Sedangkan menurut istilah para ahli ushul terdapat beberapa definisi yang berbeda:
Asy-syaukani dalam kitab Irsyad al-fuhul[3] mendefinisikannya sebagai “mengerahkan seluruh kemampuan untuk mencapai sebuah  hukum syariat yang bersifat amali melalui cara istimbat”. Ini juga definisi yang dikemukakan Imam Az-Zarkasyi di kitab Al-bahrul Muhith, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Ijtihad[4] karangan Sayyid Muhammad Musa Tuwana.
Sebagian ahli ushul menggunakan kata “istifragh al-wus’i”(menghabiskan daya upaya” sebagai ganti kalimat “bazdlul wus’i”. Bahkan Imam Al-Amidi menambahkan dalam definisinya: Ijtihad adalah menghabiskan seluruh daya upaya untuk mendapatkan sebuah dzon(dugaan) tentang suatu hukum syariat dengan cara yang sangat maksimal[5]. Menurut Ibnu Al-Hajib: Ijtihad adalah menghabiskan seluruh daya upaya untuk  menghasilkan hukum syariat yang berfifat dzonni[6]. Ibnu As-Subki mendefinisikan ijtihad sebagai usaha seorang ahli fiqih yang sungguh-sungguh untuk menghasilkan sebuah hukum yang dzonni[7]. Ibnul Hammam mengatakan: Ijtihad adalah usaha seorang ahli fiqih mengerahkan potensinya dalam menghasilkan suatu hukum syariat yang dzonni[8].

Pendapat Para Ahli Ushul Tentang Ijtihad Rasulullah Saw
Ahli ushul berbeda pendapat tentang apakah Rasulullah saw boleh berijtihad atau tidak. Ada beberapa pendapat:
Pertama: Boleh menurut akal
Ini adalah pendapat mayoritas ahli ushul dari Ahlussunnah, diantaranya Ibnul Hajib, Al-Amidi, dan seluruh pengikut Imam Hanafi[9]. Begitu juga semua pengikut Imam Hanbali, dan sebagian pengikut Imam Syafii seperti Al-Baidhowi. Bahkan Al-Asnawi menisbatkan pendapat ini kepada Asy-Syafii, katanya: Jumhur ulama berpendapat boleh, demikian dinukil oleh Imam Al-Razi dari Asy-Syafii. Al-Amidi juga menisbatkan pendapat ini ke Asy-Syafii. Ia mengatakan: As-Syafii di dalam Al-Risalahnya membolehkan hal itu tanpa memastikan. Dan pendapat ini lah yang diikuti sebagian pengikut As-Syafii, Qadhi Abdul Jabbar, dan Abul Husain Al-Bashri dari Mu’tazilah.
Ibnu Taymiyyah di dalam kitab Al-Muswaddah berkata: Boleh Nabi kita menghukum dengan ijtihadnya dalam perkara selain wahyu. Demikian disebutkan Qadhi Abu Ya’la, Ibnu Uqail, dan Abul Khottab. Secara implisit Imam Ahmad berpendapat sama[10].
Kedua: Mutlak tidak boleh
Imam Ibnu Hazm berpendapat tidak boleh secara mutlak. Beliau mengatakan: Orang yang menyangka bahwa ijtihad boleh bagi para Nabi di dalam syariat yang bukan wahyu adalah kekafiran yang besar. Pendapat itu dapat dibantah dengan perintah Allah swt kepada Nabi-Nya SAW untuk mengatakan: “Aku semata-mata mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku” [11].
As-Syaikani menisbatkannya kepada golongan Al-Asy’ari[12] sebagaimana dikutip dari Abu mansur Al-Maturidi[13]. Ini juga adalah pendapat mayoritas Mu’tazilah; karena telah disebutkan bahwa Abul Husain Al-Bashri berpendapat boleh. Ada dikatakan, pengikut-pengikut Al-Jibai – seperti Abu Ali dan anaknya Abu Hasyim – mempunyai dua pendapat: Pertama, Mutlak tidak boleh. Dan kedua, boleh dalam hal yang berhubungan dengan peperangan saja[14].
Mereka yang berpendapat boleh, berbeda pada dua persoalan: Pertama, dalam hal objek ijtihad. Kedua, dalam hal terjadinya ijtihad.
Mengenai objek ijtihad, dalam arti apakah boleh Rasul SAW berijtihad di dalam urusan-urusan agama dan urusan-urusan dunia? Masalah ini menjadi perdebatan di antara ulama yang berpendapat boleh. Al-Qarrafi mensinyalir adanya kesepakatan boleh dalam perkara-perkara pengadilan. Ia mengatakan: Pokok perbedaan pendapat ada dalam masalah fatwa. Dalam perkara-perkara pengadilan boleh ijtihad menurut ijma’[15]. Al-Asnawi sepakat dengannya dalam hal ini. Beliau mengatakan: Mereka (yang membolehkan), sepakat terjadinya ijtihad dari Rasul SAW dalam perkara-perkara pengadilan dan memutuskan persengketaan[16].
DR. Nadiah Syarif Al-‘Amri menyatakan: Sebenarnya ulama berbeda pendapat tentang bolehnya para Nabi berijtihad mengenai hukum-hukum syariat, dan fatwa agama[17], boleh jadi orang yang mengatakan ijma’ atas masalah ini belum menemukan adanya pendapat yang menentang, atau mungkin tidak menganggapnya; karena jelasnya kebenaran jaiz aqli[18].
Adapun mengenai adakah terjadi ijtihad Rasul SAW atau tidak, ulama yang berpendapat boleh terbagi kepada tiga pendapat: 
Pertama: Terjadi ijtihad dari Rasul SAW secara mutlak, dalam arti beliau langsung memberikan jawaban ketika muncul suatu peristiwa tanpa menunggu turunnya wahyu. Ini adalah pendapat mayoritas Ahlussunnah, diantaranya Imam Malik, As-Syafii, Ahmad, dan ahli hadits pada umumnya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Muhammad Amin, pengarang kitab Taisir At-Tahrir dan lainnya dari pengikut  Imam Abu Hanifah, seperti Al-Bukhari; pensyarah kitab Ushul Al-Bazdawi, dan Al-Bahari; pengarang kitab Muslam As-Tsubut[19].
Pendapat kedua: Ijtihad terjadi setelah Rasul SAW menunggu wahyu, ini adalah madzhab Abu Hanifah, demikian dijelaskan Al-Kamal bin Al-Hammam, ia berkata: Pendapat yang dipilih oleh pengikut Imam Abu Hanifah Rasul SAW diperintahkan menunggu wahyu terlebih dahulu, sampai ketika dikhawatirkan peristiwanya berlalu, beliau pun berijtihad[20].
Dalam hal ini Al-Sarkhasi mengatakan: Pendapat yang paling benar menurut kami, Rasul SAW mengenai perkara yang tidak ada penjelasan wahyunya adalah menunggu sampai masanya habis, kemudian beliau berijtihad dan menjelaskan hukum berdasarkan ijtihadnya itu[21].
Al-Bahari menambahkan: “Menurut pengikut Imam Abu Hanifah, Nabi SAW bertindak dengan ijtihadnya setelah menunggu wahyu hingga peristiwanya berlalu; karena keyakinan tidak ditinggalkan selama masih memungkinkan” [22]. Pendapat ini dikuatkan oleh Abdul ‘Ula, ia mengatakan: “ Ini perkara yang logis dan penting, mengingkarinya merupakan suatu kesombongan, keyakinan tidak ditinggalkan hanya karena suatu dugaan, kecuali setelah menunggu” [23] .
Pendapat ketiga: Tawaqquf, tidak memutuskan apa-apa. Ini adalah pendapat Al-Ghazali. Ia mengatakan: “Ulama berbeda pendapat mengenai apakah boleh Nabi SAW berijtihad dalam perkara yang tidak ada nashnya. Yang dilihat adalah mengenai boleh dan terjadinya. Pendapat yang dipilih mengatakan boleh Rasul SAW bertindak dengan itu. Mengenai terjadinya, sebagian ulama mengiyakan, sedangkan sebagian yang lain mengingkarinya, kelompok ketiga memilih tawaqquf, ini lah yang lebih benar, karena secara qathi hal itu tidak dapat ditetapkan[24]. Di dalam kitab Al-Munkhul beliau mengatakan: “Pendapat yang dipilih adalah boleh Rasul SAW berijtihad, ini boleh menurut akal, adapun realitasnya, dalam anggapan umum beliau tidak berijtihad dalam masalah-masalah  yang bersifat perinsip, tetapi di dalam masalah furu’ saja[25].
Mengenai sikaf tawqquf ini, As-Syaukani berkomentar: “As-Shairofi di dalam syarah kitab Al-Risalah menganggap bahwa ini adalah pendapat As-Syafii, karena beliau hanya menyampaikan pendapat-pendapat ulama tanpa memilih salah satunya. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Qadhi Al-Baqillani dan Al-Ghazali” [26].


[1] Muhammah Hasan Hito, Al-Wajiz fi Ushul al-Tasyri’ al-Islami (Muassasah Ar-Risalah, 1983)
[2] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘ilmil Ushul (Madinah Al-Munawwarah: Jamiah Islamiyah Kulliyyatussyariah), juz: 4, hlm. 4.
[3] Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukani, Irsyadul Fuhul ila tahqiqil haq min ilmil Ushul (Riyadh: Daarul Fadhilah, 2000), juz 2, hlm.1025
[4] Muhammad Musa Tuwana, Al-ijtihad wa mada hajatuna ilaihi fii hadzal ashri, hlm.99
[5] Al-amidi, al-Ihkam fii Ushulil Ahkam (Beirut, Daarul Kutub al-Ilmiah), juz:4, hlm.218
[6] Ibnu al-Hajib, Mukhtashar al-Muntaha, juz:2, hlm.289
[7] Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali As-Subki, Jam’ul Jawami’ (Beirut: Daarul Kutub Al-Ilmiyyah, 2003),Hlm. 118
[8] Ibnu al-Hammam, At-Tahrir wa Syarhuhu, juz:4, hlm.179
[9]Ali bin Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam, juz 4 ( Riyadh: Daarussomayyi, 2003), hlm. 200, Ushul Sarkhasi, juz 2 (Beirut: Daarul Kutub Al-Ilmiyyah, 1993), hlm. 91
[10] Ibnu Taymiyyah, Almuswaddah fi Ushul Fiqih, Juz 1 (Darul Kutub Al-Arabi), hlm. 507
[11] Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Juz 5 (Cairo: Mathba’ah Al-Ashimah), hlm. 699
[12] Al-Syaukani, Irsyad ulfuhul. Juz 2 Hlm. 1047
[13] Abdul ‘Ali Muhammad bin Nidzomuddin al-Anshori, Fawatihurrahamut, hlm.366
[14] al-amidi, Al-Ihkam, juz 4, hlm.165
[15] Al-Asnawi, Syarh al-Asnawi ‘ala al-Minhaj, juz 3, hlm.194
[16] Ibid,.
[17] Ibid,.
[18] Nadiah Syarif al-Amri, Ijtihad Rasul, hlm.43
[19]Abdul ‘Ali Muhammad bin Nidzomuddin al-Anshori, Muslamussubut, juz 2, hlm.366
[20] Ibnu al-Hammam, At-tahrir wa Syarhuhu, hlm.525
[21] Al-Sarkhasi, Ushulussarkhasi, juz 2, hlm.91
[22] Abdul ‘Ali Muhammad bin Nidzomuddin al-Anshori, Muslamussubut, hlm.366
[23] Abdul ‘Ali Muhammad bin Nidzomuddin al-Anshori, Fawatihurrahamut, juz 2, hlm.366
[24] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-mushtashfa, juz 2, hlm.355
[25] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-munkhul, hlm.468
[26] Irsyadul fuhul, hlm.256

Kontrol dalam penelitian Eksperimental

Kontrol merupakan salah satu cirri penelitian ilmiah. Dibandingkan dengan penelitian lain, dalam penelitian eksperimental kontrol memiliki peranan sangat krusial disini. Kontrol berarti peneliti dapat memunculkan atau tidak memunculkan apa yang diinginkannya dalam penelitian. Kontrol penelitian menyangkut tentang variable bebas dan variable terikat.
Seperti yang telah diketahui, manipulasi terhadap variable bebas merupakan cirri khas dari penelitian eksperimental yang tidak dapat dilakukan oleh penelitian jenis lainnya. Dalam konteks ini control terhadap VB sebenarnya merupakan manipulasi peneliti terhadap VB dengan sedemikian rupa sehingga perbedaan kondisi antar kelompok control dan kelompok eksperimen semaksimal mungkin (prinsip pertama dari maksminkon) selain itu control juga dapat memperjelas pengaruh VB terhadap VT.



Teknik Control Tehadap Variable Sekunder
Kontrol terhadap variable sekunder berarti menghilangkan pengaruh variabel sekunder terhadap variabel terikat. Kontrol ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Secara umum, ada enam cara yang dapat dilakukan antara lain : randomisasi, eliminasi, konstansi, VS yang dijadikan VB kedua, kontrol statistik, dan counterbalancing.

1. Randomisasi

Randomisasi atau random assignment adalah prosedur memasukan secara acak subjek pada sampel penelitian kedalam setiap kelompok penelitian (dalam hal ini kelompok eksperimen Dan kelompok kontrol ) sehingga keduanya dapat dianggap setara sebelum dilakukan manipulasi.

2. Eliminasi

Cara selanjutnya untuk mengotrol variabel sekunder slanjutnya dan menghilangkan pengaruhnya adalah dengan menghilangkan atau meniadakan variabel sekunder itu sendiri saat merancang penelitian. Walaupun demikian, tidak semua variabel sekunder dapat dihilangkan. Oleh karena itu, teknik kontrol itu sendiri terbatas penggunaannya.

3. Konstansi

Teknik konstansi disebut juga teknik balancing (McGuian, 1990). Teknik konstansi berarti menghilangkan pengaruh VS terhadap VT dengan tidak menghilangkan VT dalam penelitian. Teknik kontrol ini dapat dilakukan pada penelitian berdesain between subjek maupun berdesain within subjek.

3.1. Konstansi kondisi
Agar perbedaan VT pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol bukan disebabkan kondisi (selain VB) maka kondisi pada kedua kelompok tersebut haruslah sama. Teknik konstansi dapat digunakan apabila teknik eliminasi tidak bisa digunakan.

3.2. Konstansi karakterisik subjek
Konstansi karakteristik subjek dilakukan dengan menyamakan karakteristik subjek penelitian pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Ada dua teknik untuk mencapai konstansi karakteristik subjek penelitian, yaitu matching dan blocking. Matching dilakukan dengan mengurutkan nilai atau skor dari suatu karakteristik (sebagai VS) untuk setiap subjek, kemudian dibuat pasangan berdasarkan urutan tersebut. Sedangkan blocking menyetarakan kelompok penelitian yang terlibat dengan menyamakan jumlah subjek yang memiliki kategori dari VS yang sama. Blocking tidak membutuhkan nilai atau skor VS dari setiap subjek melainkan hanya kategorinya saja.

4. Variabel sekunder dijadikan variabel bebas kedua

Seringkali variabel sekunder tidak bisa dihilangkan atau bahkan peneliti yang tidak mau menghilangkan karena memang ingin melihat pengaruhnya terhadap variabel terikat. Oleh karena itu, variabel sekunder dapat dimasukankedalam penelitian sebagai variabel bebas kedua untuk dapat dilihat bersama dengan variabel bebas bagaimana pengaruhnya terhadap variabel terikat. Sama VB pertama, VS harus variabel kategori apabila ingin dijadikan VB kedua( bila variabel kontinyu harus diubah menjadi variabel kategori).

5. Kontrol statistik

Teknik ini berbeda dengan teknik-teknik sebelumnya. Dalam teknik ini, VS sudah mempengaruhi VB terlebih dahulu kemudian dikontrol secara statistik, yaitu dengan mengeluarkan pengaruh VS dengan menggunakan perhitungan statistik.

6. Counterbalancing

Counterbalancing digunakan untuk mengontrol efek urutan (sequencing effect), yang timbul akibat dari pembrian beberapa perlakuan terhadap masing-masing subjek penelitian. Oleh karena itu, teknik ini hanya bisa digunakan pada penelitian berdesain within subjek.

6.1. Intrasubjek counterbalancing
Teknik counterbalancing ini dilakukan untuk mengontrol efek urutan dengan memberikan setiap subjek perlakuan pada suatu urutan dengan memberikannya lagi dengan urutan yang terbalik. Kelemahan dari teknik ini adalah membutuhkan waktu yang lebih banyak dan lama.

6.2. Intragroup counterbalancing
Kelemahan dari teknik intrasubjek counterbalancing dapat diatasi dengan menggunakan teknik intra group counterbalancing. Teknik ini berusaha mengotrol efek urutan melalui kelompok bukan subjek. Sehingga, teknik ini lebih efisien karena urutan perlakuan yang berbeda diberikan kepada kelompok yang berbeda.