Bagi Popper, problem utama yang ada adalah apa yang
disebutnya problem demarkasi (the problem of demarcation). Bagi ilmuwan
Lingkaran Wina, hal itu merupakan sesuatu yang disebutkan untuk menunjuk pada
garis batas antara ungkapan yang disebut bermakna (meaningfull) dan
tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya
dibenarkan secara empiris (verifikasi-konfirmasi). Pembedaan itu digantinya
dengan demarkasi atau garis batas antara ungkapan ilmiah (science) atau
tidak ilmiah (pseudo-ilmiah). Karena menurut Popper, ungkapan yang tidak
bersifat ilmiah mungkin sekali sangat bermakna (meaningful) dan begitu
sebaliknya.
Popper melihat beberapa kelemahan prinsip verifikasi Lingkaran Wina,
antara lain: pertama prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk
menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan
tidak pernah dapat diverifikasi. Kedua berdasarkan prinsip verifikasi
metafisika dianggap sebagai ungkapan yang tidak bermakna (meaninngless).
Menurut mereka, metafisika termasuk dalam ‘pseudo-statements’, yaitu pernyataan
yang tidak ilmiah. Dan perdebatan mengenai metafisika sebenarnya tidak perlu,
karena tidak menghasilkan apa-apa (unfruitful). Biarpun dikatakan bahwa
ia tidak bermakna oleh aliran neo-positivisme, akan tetapi dalam sejarah dapat
disaksikan bahwa acap kali ilmu pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan
metafisika atau bahkan mistis tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan
saja dapat bermakna tetapi bisa juga benar, biarpun baru menjadi ilmiah kalau
sudah diuji dan dites. Akibat pencampakan metafisika inilah, ilmu pengetahuan
dan teknologi barat bersifat ambivalen. Ketiga, untuk menyelidiki bermakna
tidaknya suatu ungkapan atau teori, lebih dulu harus dimengerti. Sehingga yang
jadi persoalan, bagaimana bisa dimengerti jika tidak bermakna, lantas apa yang
disebut teori.
Untuk menghindari kesalahan kaum positivis seperti yang sudah disebutkan
di atas, Popper selanjutnya mengajukan prinsip falsifikasi sebagai ciri utama
teori ilmiah. Menurutnya suatu teori atau ucapan dikatakan bersifat ilmiah bila
terdapat kemungkinan secara prinsipil untuk menyatakan salahnya. Sejarah
menunjukkan, selama suatu teori bisa bertahan dalam upaya falsifikasi selama
itu pula teori tersebut tetap kokoh, meski ciri kesementaraannya tidak hilang.
Itulah yang dimaksud dengan “prinsip falsifibilitas” (the principle of falsifiability).
Dan sebaliknya suatu teori yang secara prinsipil mengeksklusifkan setiap
kemungkinan untuk mengemukakan suatu fakta yang menyatakan salahnya teori itu,
menurut Popper pasti tidak bersifat ilmiah. Prinsip ini kemudian lebih dikenal
dengan teori falsifikasionisme yang digunakan untuk mengkritik ilmuwan
Lingkungan Wina, yang sangat dekat dengan pemikirannya.
Selanjutnya, falsifikasi digunakan untuk merumuskan hipotesis baru,
menyempurnakan pengetahuan, dan pengujian hipotesis baru, dan demikian seterusnya.
Menurut Popper, tujuan pengulangan riset adalah untuk menambah bukti kesalahan
hipotesis, bukannya untuk memperkuat bukti kebenaran hipotesis. Maka
pengembangan ilmu dilakukan dengan cara merontokkan teori karena terbukti
salah, untuk mendapatkan teori yang baru. Untuk itu, falsifikasi menjadi alat
untuk membedakan genuine science (ilmu murni) dari pseudo science
(ilmu tiruan).
Dengan demikian, ketika suatu hipotesa dapat ditunjukan kesalahannya
dengan teori falsifikasi, maka dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan tengah
menuai perkembangannya. Dan sebaliknya, jika hipotesa tidak dapat ditunjukan
kesalahannya, maka ilmu pengetahuan belum dapat dikatakan berkembang. Di sini,
falsifikasi nampak berbeda dengan prinsip verifikasi yang hanya menumpuk dan
mengumpulkan bukti-bukti hipotesa sebelumnya untuk menguatkan hipotesa
tersebut. Dimana hipotesa-hipotesa tadi belum bisa diyakini seratus persen
kebenarannya.
I.
Popper dan Persoalan Sosial Politik
Epistemologi
Popper yang menekankan prinsip falsifibilitas tercermin dalam filsafat sosial
dan politiknya. Berbicara tentang metode-metode ilmu sosial, Popper secara
tegas menolak pandangan historisisme, yaitu “suatu pendekatan terhadap
ilmu-ilmu sosial yang mengasumsikan bahwa tujuan ilmu-ilmu sosial dapat dicapai
dengan menemukan 'ritme' atau 'pola', 'hukum' atau 'tren' yang mendasari
evolusi sejarah”.[1] Bagi
Popper, pandangan ini tidak hanya berbahaya karena cenderung totaliter, tetapi
juga tidak memadai untuk memahami realitas sosial yang kompleks. Selain itu,
pandangan kaum historisis juga problematis karena mengombinasikan tesis-tesis
pro-naturalistis pada satu sisi tetapi anti-naturalistis pada sisi yang lain.
Maksudnya, pada satu sisi mereka percaya pada hukum-hukum sosial yang bekerja
sebagaimana hukum-hukum alam, sehingga menghasilkan prediksi sejarah, tetapi
pada satu sisi mereka juga mempunyai kepercayaan yang besar pada keagenan
manusia, sehingga jatuh pada pandangan deterministik, seperti konsepsi kelas
pada kelompok Marxis sebagai contoh.
Dalam sebuah
tulisannya, Popper menegaskan kembali posisinya terhadap kaum historisis.[2] Di
sana Popper sekali lagi menyerang Marxisme. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya,
sejak remaja Popper mengungkapkan kekecewaannya terhadap Marxisme. Menurut
Popper, Marxisme tak lebih dari sebuah doktrin yang mendasarkan diri pada
prediksi dan kenubuatan (prophecy). Bertolak dari dua hal tersebut,
Marxisme menyusun proyek politiknya, padahal menurut Popper dua hal tersebut
sejatinya adalah pengandaian normatif, tetapi oleh para pengikutnya dipaksakan
untuk dibuktikan benar dalam sejarah. Selain itu, Popper juga mengkritik teori
psikoanalisa-nya Freud dan teori psikologi individual-nya Alfred Adler.
Teori-teori tersebut, menurut Popper, terlalu mengandalkan subjektivitas
sehingga tidak menghasilkan objektifitas yang bisa difalsifikasi.[3] Akan
tetapi, William A. Gorton berpendapat bahwa Popper sebenarnya mengagumi Marx
sebagai seorang ilmuwan sosial yang hebat dan dia mengambil beberapa inspirasi
darinya.[4] Apa
yang disebut Popper sebagai ‘Oedipus effect’ diambil dari Marx yang
berbicara tentang ‘unintended consequensces of human actions’. ‘Oedipus
effect’ berarti prediksi bisa mempengaruhi peristiwa yang diprediksi.[5]
Menurut
Popper, teori ilmu-ilmu sosial seharusnya “trace the unintended social
repercussions of intentional human actions”. Dengan itu, ilmu-ilmu
sosial akan terhindar dari ideologisasi dan mencapai objektifikasi. Menurut
Popper, seperti juga ilmu-ilmu alam, “most of the objects of social
science, if not all of them, are abstract objects; they are theoritical
constructions. (Even ‘the war’ or ‘the army’ are abstract concepts, strange as
this may sound to some. What is concrete is the many who are killed; or the men
and women in uniform, etc.,)”.[6] Oleh
sebab itu, dunia objektif-nya Popper berbeda dengan relativisme epistemologis
yang dianut oleh banyak antropolog atau sejarawan.[7]
Pada Popper, terdapat konstruksi teoritis tertentu yang objektif, yang menjadi
benang merang antara realitas yang satu dan realitas yang lain. Di sini terlihat
pemikiran Popper masih diwarnai oleh positivisme. Pada titik ini Popper menjadi
sasaran kritik Adorno dan para eksponen Madzhab Frankfurt lainnya.[8]
Lepas dari
itu, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ sangat menarik dan terus
menerus menjadi topik perdebatan sampai sekarang. Akan tetapi persis dalam
gagasan ini pula Popper sering disalahpahami. Hari ini gagasan tersebut sering
diasosiasikan dengan George Soros, seorang pengagum abadi Popper yang
mendirikan The Open Society Foundation tetapi lebih dikenal publik sebagai
seorang spekulan saham yang menjatuhkan ekonomi Asia pada krisis finansial
1998. Pengasosiasian itu tidak sepenuhnya salah, tetapi kita perlu memeriksa
terlebih dahulu apa yang sesungguhnya diusulkan Popper dengan konsep masyarakat
terbuka. Apa kaitan antara konsep yang awalnya dikemukakan oleh Henri Bergson
itu dengan kapitalisme dan demokrasi liberal seperti yang sering kita baca dan
lihat di media-media?
Popper mengaku
sebagai seorang liberal dalam pengertian klasik, tetapi bukan seorang
simpatisan partai politik. Dia menyebut dirinya “simply a man who values individual
freedom and who is alive to the dangers inherent in all forms of power and
authority”.[9] Dalam
perbincangan kita sehari-hari, khususnya di Indonesia, liberalisme dan
kapitalisme memang seringkali problematis, lebih sering ditanggapi secara
emosional daripada mendudukkan perkaranya secara rasional. Dalam lingkup
global, istilah-istilah itu sering dialamatkan kepada kebijakan ‘neoliberal’
Thatcher di Inggris dan Reagen di Amerika Serikat pada 1980-an. Menurut mereka,
peran negara dalam ekonomi harus diminimalisasi, bahkan sebaiknya angkat kaki.
Pada masa itu Popper dan von Hayek diusung oleh kaum libertarian sebagai
pemikir utama Kanan Baru. Dalam berbagai kesempatan Popper bahkan sering
dijadikan senjata untuk menyerang model ‘negara kesejahteraan’ seperti yang
dipraktikkan di negara-negara Skandinavia.
Akan tetapi,
beberapa pengamat seperti Brian Magee dan Ralf Dahrendorf mengklasifikasi
Popper sebagai seorang ‘sosial demokrat’. Pengamat lain, Malachi Haim Hacohen,
justeru menekankan latar belakang sosialis Popper ketika masih tergabung dalam
kelompok pemuda sosialis di Wina. Hacohen berpendapat bahwa ketika menulis The
Open Society sewaktu Perang, Popper tidak tahun apapun tentang Uni Soviet. Oleh
karena itu, buku itu harus dibaca sebagai perlawanan terhadap fasisme, bukan
sebuah “charter of cold war liberalism”. Popper, kata Hacohen, memang
menekukan pandangan fasis pada Platon dan Hegel, tetapi Marx sebenarnya seorang
demokrat progresif yang terperangkap jeratan historisisme.[10]
Popper
membedakan masyarakat terbuka dengan masyarakat tertutup yang ‘magis atau
tribal atau kolektivis’. Dalam masyarakat terbuka, individual dihadapkan pada
kepeutusan pribadi. Dengan demikian mereka mempunyai tanggung jawab dalam
menerima kebijakan publik. Menurut Niiniluoto, dalam konteks publik Popper
sangat menekankan prinsip hukum dan etis, sehingga dia menolak kapitalisme tal
terkendali (the unrestrained capitalism). Yang didukung oleh Popper bukan
kapitalisme, melainkan ekonomi pasar. Dua hal itu mempunyai pengertian kontras.
Pengertian kapitalisme lebih dekat dengan pengertian kaum Darwinisme sosial
yang menyatakan bahwa evolusi sejarah manusia hanya akan menyisakan kemenangan
bagi mereka yang terkuat. Dalam pengertian ini pula terdapat keyakinan bahwa
campur tangan negara terhadap ekonomi akan mengganggu alih-alih membantu.
Ekonomi akan selalu mencapai titik keseimbangannya melalui kehadiran ‘tangan
yang tak terlihat’. Di sisi lain, ekonomi pasar berbasis pada kompetisi bebas,
tetapi para pemain dalam kompetisi bebas tersebut tetap dibatasi oleh prinsip
hukum dan etika yang berlaku. Juga kompetisi ini harus bebas dari manipulasi.
Yang ditekankan oleh Popper adalah kebaikan bersama dan keadilan sosial. Untuk
menjamin itu, campur tangan negara adalah keniscayaan.[11]
Oleh karena
itu tidak tepat kalau dikatakan bahwa ‘masyarakat terbuka’nya Popper sebagai
anti-negara kesejahteraan. Untuk mencapai ‘masyarakat terbuka’, ekonomi pasar
harus diisi dan diperkaya dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam tafsiran
Niiniluoto, bertentangan dengan pandangan libertarian yang menekankan
persaingan antar individu yang bebas, gagasan masyarakat terbuka lebih dekat
dengan pandangan etik komunitarian yang menekankan kerjasama dan dan saling
hormat antara warga negara dan bangsa. Mengacu pada konsepsi keadilan Rawls,
aktifitas ekonomi dalam masyarakat terbuka harus memberi keuntungan pada semua.[12]
Dalam politik,
gagasan masyarakat terbuka jelas menolak segala bentuk totalitarianisme. Popper
sendiri sudah mengulas banyak tentang itu dalam The Open Society dan The
Poverty of Historicism. Lalu bagaimana kita menanggapi pendapat kalangan yang
menyatakan bahwa demokrasi liberal adalah akhir perjalanan sejarah umat manusia
seperti dikatakan Francis Fukuyama? Kalau mengikuti Popper, pendapat tersebut
jelas bertentangan dengan prinsip falsifikasi, sehingga harus ditolak. Dengan
kata lain itu tak lebih dari ekspresi dari historisisme kontemporer yang
justeru semakin berkembang terutama pasca tragedi 9/11. Kita tentu saja tidak
bisa menolelir aksi terorisme yang telah membuat banyak orang kehilangan hak
hidupnya. Mereka adalah individu atau orang yang terperosok dalam lubang
historisisme, menganggap nilai (agama) yang mereka yakini merupakan jalan hidup
terbaik yang harus ditempuh umat manusia meski itu harus dibayar dengan aksi
bom bunuh diri. Namun di sisi lain, perang terhadap terorisme (war on terror)
yang pernah digelorakan oleh George W. Bush sewaktu menjabat Presiden Amerika
Serikat juga sama-sama merupakan bentuk historisisme. Menurut Niiniluoto,
terorisme tidak bisa diserang dengan membawa kembali jenis historisisme yang
lain ke dalam gelanggang politik, yaitu kenubuatan bahwa demokrasi liberal ala
Barat adalah sebuah keniscayaan sejarah. Jika pemahaman ala Bush diteruskan,
yang terjadi adalah benturan antara historisisme yang telah mapan dan
historisisme yang sedang diproyeksikan. Alternatif untuk mempromosikan dan
membumikan gagasan ‘masyarakat terbuka’ sangat diperlukan, yaitu dengan jalan
pendidikan, argumentasi rasional, kebebasan berpikir, pengakuan dan
penghormatan diri, dan, yang tidak boleh dilupakan, kesejahteraan ekonomi dan
keadilan sosial.[13]
[1] Roberta Corvi, An Introduction, 47-48.
[2] Karl R. Popper, “Prediction and Prophecy in the Social
Sciences” dalam Patrick Gardiner (ed.), Theories of History (New York: The
Free Press, 1959), 276-285.
[3] Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of
Scientific Knowledge (London dan New York: Routledge, 1989 [edisi kelima]),
34-35.
[4] William A. Gorton, Karl Popper, 1.
[5] Karl R. Popper, Conjectures, 39.
[6] Roberta Corvi, An Introduction, 49.
[7] Relativsme epistemologis adalah “suatu paham yang
mengingkari adanya dan dapat diketahuinya kebenaran yang objektif dan universal
oleh manusia”. Lihat, Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat
Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 55; lihat juga, Anton van Harskamp
(ed.), Konflik-Konflik dalam Ilmu Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 14.
[8] Perdebatan mereka direkam dalam Theodor W. Adorno et.
all., The Positivist Dispute in German Sociology, translated by Glyn Adey dan
David Frisby (London: Heinemann, 1977).
[9] Dikutip dalam Ilkka Niiniluoto, “The Open Society and
Its New Enemies: Critical Reflections on Democracy and Market Economy”,
http://www.tampereclub.org/e-publications/vol2_niiniluoto.pdf, diakses 8
Januari 2012. Uraian selanjutnya tentang gagasan masyarakat terbuka Popper
dalam tulisan ini didasarkan pada penafsiran Niiniluoto. Ilkka Niiniluoto
adalah seorang profesor filsafat dan matematika di Universitas Helsinki,
Finlandia dan penulis buku Critical Scientific Realism (New York: Oxford
University Press, 1999).
[10] Karlina Supelli, “Masyarakat Terbuka..”, 2.
[11] Karlina Supelli, “Masyarakat Terbuka..”, 11.
[12] Ibid, 12.
[13] Karlina Supelli, “Masyarakat terbuka..”, 15.