Tuhan Telah Mati, itulah kenyataannya yang terjadi di Barat yang pada saat itu, seperti yang diungkapkan oleh Nietzsche. Kemudian timbul persoalan, mengapa ia sampai memiliki paham yang demikian? Dan bagaimana perspektif di dunia Islam? Hal-hal semacam itulah yang akan dicoba mencarikan jawabnya pada pembahasan berikut ini.
Biografi dan Karya NIETZSCHE
F. Nietzsche (1844-1990) lahir di Prussia, Jerman. Ia adalah cucu dari dua pendeta Lutheran dan anak dari pendeta dari aliran yang sama. Bapaknya meninggal dalam usia muda dan ia diasuh oleh ibunya, kakak perempuannya dan neneknya serta dua orang bibinya yang tidak menikah.
Ia mendapat pendidikan di Universitas-universitas di Bonn dan Liepzig, dan ahli di bidang pilologi, sastra kuno, filosof dan penyair.1 Pada usia 25 tahun, ia diangkat menjadi Guru Besar di bidang sastra Latin dan Yunani. Tetapi, setelah berusia 33 tahun ia meninggalkan ruang kuliah dan menjalani hidup mengembara. Dan tidak menulis karya yang bersifat akademis, intelektual yang jelas, karena karya-karyanya lebih bercorak syair dan novel.2 Pada tahun 1889 ia mengalami gangguan kesehatan pikiran yang dibawa sampai akhir hayatnya.
Adapun karya-karyanya, antara lain :
- The Birth of Tragedy
- The Four Meditations
- Thus Spoke Zarathustra
- Beyond Good and Evil
- Toward a Genealogy of Morals
- The Will to Power (diterbitkan setelah ia meninggal).3
Pemikiran NIETZSCHE tentang Tuhan Telah Mati
Pemikirannya tentang Tuhan mati, tertera dalam karyanya yang berjudul Zarathustra (bukan tokoh agama terkenal di Iran, hanya nama hayalan saja untuk orang bijaksana). Ia menggambarkan Zarathustra yang telah lama bertapa di atas gunung kemudian turun dan, ketika melalui seorang yang sedang bertapa di suatu tempat, berkata : “Aneh orang ini belum tahu kalau Tuhan telah mati…”. Kemudian di kota, Zarathustra masuk ke dalam pasar dan menuduh orang banyak telah membunuh Tuhan. Lengkapnya dapat diperhatikan sebagai berikut :
Si gila. Tidakkah kalian dengar tentang si gila yang menyalakan sebuah lentera pada jam-jam pagi yang terang benderang; ia lari masuk pasar dan berteriak: Saya mencari Tuhan! Saya mencari Tuhan! Si gila terbahak-bahak kegirangan di tengah-tengah orang banyak yang berdiri. Mereka sudah tidak percaya kepada Tuhan. Seorang di antara mereka berkata: Apakah ia telah tersesat seperti seorang bocah? Atau bersembunyikah ia? Takutkah ia kepada kita? Mengembarakah ia? Atau telah pindah? Demikianlah ocehan mereka sambil tertawa. Si gila kemudian meloncat ke tengah mereka dan menembus mereka bersama lenteranya. Dia berteriak: Kemanakah Tuhan larinya? Aku akan jelaskan kepadamu semua. Kita telah membunuhnya kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuh… Bukankah lentera harus dinyalakan ketika pagi? Belumkah kita dengar para penggali pusara yang sedang menguburkan Tuhan? … Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati… (God is dead. God remains dead).4
Ungkapan Nietzsche itu menurut Karel A. Steenbrink, ada yang menyatakan bahwa Nietzsche hanya mengemukakan bahwa dalam kebudayaan pada zamannya Tuhan telah mati dalam hati manusia. Saat itu yang dipentingkan hanyalah materi belaka, apalagi cara berpikirnya didominasi oleh ilmu pasti alam telah menjauhkan manusia dari kepercayaan sepenuhnya kepada Tuhan.
Kecuali itu, ada yang menyatakan bahwa hal tersebut merupakan kritik Nietzsche kepada agama Kristen, yang umumnya melarang kekayaan, seks dan seni. Di semua bidang ini, agama memberikan petunjuk yang umumnya bersifat larangan semata. Agama tidak membina manusia menjadi pribadi yang aktif dan bertanggungjawab. Dasar kepercayaan adalah kelemahan, sehingga manusia harus menyerahkan diri kepada Tuhannya dan harus taat kepada petunjuk yang datang dari luar dirinya. Maka agama Kristen merupakan hambatan bagi perkembangan pribadi manusia untuk menjadi manusia super dan Uebermensch.
Dari interpretasi karya Nietzsche itu, pada tahun 1960-an, teologi di Eropa dan Amerika Utara timbul puluhan karangan yang berpangkal dari anggapan bahwa Tuhan telah mati dan bahwa masih bisa dilanjutkan suatu agama tanpa Tuhan. Dan ada yang hendak mengarang teologi yang tidak terfokus kepada Tuhan, tetapi terfokus kepada Yesus. Bagi mereka “Tuhan telah mati” merupakan petunjuk penyaliban Yesus dan penderitaan sesama manusia di dunia ini. Dan juga ada yang hendak mengkritik ide teis tentang Tuhan dan hanya ingin menyempurnakannya, tetapi dengan menggunakan kata-kata yang keras dan kontroversial.5
Analisis
Ungkapan Nietzsche tersebut merupakan ekspresi krisis manusia sekuler dalam hubungannya dengan konsepsi tentang Tuhan. Skeptisisme Nietzsche ini sebenarnya merupakan rumusan tajam tentang implikasi pandangan hidup ateistik-nihilistik dari humanisme sekuler yang melanda umat manusia. Di sini terlihat kelemahan teologi Kristen yang melalui usahanya untuk menerapkan ide baru dan mendekati kebudayaan modern, kadang-kadang menghasilkan banyak ide yang saling bertentangan.
Memang di Barat kita temukan: “In God We Trust”, kepada Tuhan kami percaya – di atas mata uang mereka (Amerika). Tetapi, tidak ada hubungan organiknya dengan kehidupan praktik mereka. Hal ini akan tampak pada kebijaksanaan yang diambil oleh pemegang kekuasaan dan politik luar negeri mereka, ternyata mereka tidak mengambil etik dari ungkapan tersebut. Mereka meneriakkan Principles of Human Right, prinsip-prinsip hak asasi manusia, tetapi kepada negara lain, mereka tidak segan-segan menyokong setiap rezim yang paling tirani sekalipun, asal rezim ini memihak mereka, menguntungkan mereka. Jadi bukan lagi pertimbangan double standard yang dipakai, tetapi multiple standard, standard etik sudah tidak ada lagi. Seperti pembelaan mereka terhadap Israil, perseteruannya terhadap Irak, Libia, sikap mereka terhadap Bosnia dan sebagainya. Demikian itu, karena mereka berpegang pada dua prinsip, yaitu:
- Sesuatu harus dikerjakan jika secara teknis memang mungkin untuk dikerjakan, something has to be done when it is technically possible to do it. Membuat bom nuklir mungkin secara teknologis, maka mereka lakukan. Soal akibatnya di luar pertimbangan.
- Semakin banyak engkau menghasilkan sesuatu dan semakin banyak engkau konsumsi, adalah semakin baik, the more you produce, the more you consume, the better. Jadi hidup adalah hidup yang konsumtif, dan ini merupakan penyakit yang telah menyebar ke mana-mana, terutama di kalangan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi tanpa mempertimbangkan kepada yang hidup di bawah garis kemiskinan.6
Tragedi Nietzsche itu merupakan fenomena intelektual di Barat, dimana agama gagal dalam memberikan jawaban yang memuaskan terhadap tuntutan intelektual manusia yang mencari sesuatu di balik yang ada ini. Betul Nietzsche, bahwa secara simbolik Tuhan telah mati di Barat. Sebab orang sudah tidak menghiraukan tindakan moral apapun. Yang ada adalah etik yang situasional dan individual. Tidak ada etik yang bersumber dari wahyu, yang berlaku secara universal yang menyebabkan orang Barat telah kehilangan kiblat yang sebenarnya.7 Jadi, Nietzsche sebenarnya masih merindukan sesuatu yang bermakna, meskipun ia telah menjadi agnostik, jika tidak ateis.
Keadaan di Barat tersebut, dapat terjadi di mana saja, termasuk di dunia Islam jika masyarakatnya telah meninggalkan ajaran wahyu. Untuk itu dalam zaman modern yang ditandai dengan rasionalisme, humanisme dan perubahan yang cepat, serta post modern yang ditandai dengan tidak adanya hal yang definitif, maka umat Islam harus bisa menjaga diri dengan sikap istiqamah, dalam arti teguh hati dan konsisten atas ajaran wahyu, seperti diungkapkan firman Allah SWT : “Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rizki yang banyak)”.8 Air adalah lambang kehidupan dan kemakmuran. Maka Allah menjanjikan mereka yang konsisten di jalan yang benar akan mendapatkan hidup yang bahagia.9
Istiqamah bukan berarti statis, tetapi mengandung arti kemantapan yang lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Sehingga tidak akan goyah oleh cepatnya perubahan dan berjalan di atas kebenaran demi kebenaran untuk kembali kepada Allah. Kesadaran itu akan memberikan kebahagiaan hakiki, seperti janji Allah itu.
DAFTAR PUSTAKA
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka, 1985.
Madjid, Nurcholish, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, ed., Elza peldi Taher, Jakarta: Paramadina, 1995.
Nietzsche, Friedrich, Thus Spoke Zarathustra, terj. R.J. Hollingdale, New York: Penguin Books, 1976.
Steenbrink, Karel A., Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen Modern, Yogyakarta: IAIN Suka Press, 1987.
Titus, Harold H., et.al., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
-----------------------
1 Harold H. Titus, et.al., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 390.
2 Karel A. Steenbrink, Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen Modern, Yogyakarta: IAIN Suka Press, 1987, hlm. 54.
3 Harold H. Titus, et.al., loc.cit.
4 Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, terj. R.J. Hollingdale, New York: Penguin Books, 1976, hlm. 14.
5 Karel A. Steenbrink, loc.cit.
6 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka, 1985, hlm. 88.
7 Ibid., hlm. 87.
8 QS. Al-Jin/72: 16.
9 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, ed., Elza peldi Taher, Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 174.