Maqolah Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari ini bikin hati luluh dan pengen nangis....
Coba Baca sampai selesai....
Pilihlah Yang Memberatkan Hatimu
“Apabila ada dua perkara yang serupa, maka pandanglah yang paling memberatkan nafsu, lalu ikuti yang paling memberatkan itu. Sebab tidak ada yang memberatkan nafsu kecuali pasti benar.”
– Syeikh Ibnu Ath-Thaillah As-Sakandari
Manusia seringkali menghadapi dilemma, ketika berhadapan dengan dua masalah yang sulit untuk diputuskan, karena dua-duanya benar, dua-duanya wajib, dua-duanya tidak baik, atau dua-duanya boleh dilakukan. Bukan perkara antara wajib dan haram, antara sunnah dan makruh, antara boleh dan tidak boleh.
Dalam hal-hal yang serupa ini, perkara mana yang harus anda ambil?
Maka kita akan mengambil keputusan yang paling memberatkan nafsu kita. Sebab, mengambil hal yang meringankan nafsu kita, jika yang kita putuskan adalah dua perkara yang nilainya sama, sulit terlepas dari penympangan. Tetapi, jika kita memutuskan yang memberatkan beban nafsu kita, kebenaran akan memihak kita.
Dalam perjalanan para penempuh Jalan Ilahi, seringkali dihadapkan masalah-masalah seperti itu. Kiat paling sederhana dan mapan, adalah memilih yang bukan pilihan selera nafsu kita. Karena sesuatu yang benar sekalipun, jika kita berangkat dari niat yang tidak ikhlas, niat menuruti selera nafsu, praktek kebenaran itu menjadi tidak benar. Contohnya orang berdakwah itu benar, apalagi yang disampaikan kebenaran. Namun menjadi tidak benar bila ketika berdakwah dasarnya adalah hawa nafsu; seperti popularitas, materi, pencarian legitimasi atau pujian-pujian.
Memilih yang bukan selera nafsu kita, berarti memilih selera Allah Swt, memprioritaskan Allah Swt, mencari wilayah yang diridhoiNya.
Kata hati paling dalam adalah muatan kebenaran. Maka Rasulullah Saw, bersabda, “Mintalah fatwa pada hatimu, walau yang lain menfatwaimu, walau yang lain menfatwaimu, walau yang lain menfatwaimu…”
Kata hati adalah ungkapan sejati, yang bisa menepis selera nafsu kita.
Nah, tanda-tanda kita mengikuti selera nafsu seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary:
“Diantara tanda-tanda mengikuti selera hawa nafsu adalah bergegas dalam ibadah sunnah, namun malas menegakkan ibadah-ibadah wajib.”
Kebiasaan spiritual yang buruk seseorang tergesa-gesa meraih hal-hal yang ajaib dibalik ibadah, ingin segera diberi karomah, ingin segera dibuka hatinya, ingin ditampakan fenomena-fenoma hebat, dan sebagainya. Semua itu akibat dari nafsu tersembunyi di balik ibadah, khususnya ketika menjalankan hal-hal sunnah.
Sedangkan ketika menjalankan ibadah wajib, hanya dinilai sebagai kewajiban yang harus digugurkan, manakala sudah selesai. Atau sekadar menjalankan kewajiban. Padahal Allah Swt, mewajibkan suatu amal ibadah tertentu, semata saking agung, mulia dan besarnya nilai ibadah tersebut.
Jumat, 23 Desember 2016
Rabu, 21 Desember 2016
Peringatan Maulid Nabi ditinjau dari 3 Aspek
+ Ditinjau dari aspek tradisi budaya, menarik untu dilestarikan.
+ Ditinjau dari pembacaan sholawat, sudah sepantasnya dan memang merupakan sebuah kekuatan untuk menjalain ikatan emosional dengan kanjeng Nabi.
+ Ditinjau dari motifasi dan metode dakwah serta materi ceramahnya, rata rata masih jalan di tempat. ini yang perlu digaris bawahi dan dikaji ulang.
Ibarat kita mempunyai pisau tajam, para penceramah mengatakan bahwa pisau kita itu tajam. Dan ini dikatakan berulang ulang hampir disetiap acara mauludan.
Jarang sekali yang mengatakan dan memberi cara juga solusi, bagaimana pisau yang tajam itu digunakan untuk mengupas buah apel biar bisa dinikmati kelezatannya, digunakan untuk membebaskan dari ketertindasan, membebaskan dari sebuah pemiskinan, juga pisau yang tajam ini bisa digunakan untuk sebuah pembebasan dari pemberhalaan terhadap manusia, harta, juga kekuasaan jabatan.
Sudah sampai mana isi substansi acara budaya mauludan kita?
Selamat memperingati maulid Nabi.
+ Ditinjau dari pembacaan sholawat, sudah sepantasnya dan memang merupakan sebuah kekuatan untuk menjalain ikatan emosional dengan kanjeng Nabi.
+ Ditinjau dari motifasi dan metode dakwah serta materi ceramahnya, rata rata masih jalan di tempat. ini yang perlu digaris bawahi dan dikaji ulang.
Ibarat kita mempunyai pisau tajam, para penceramah mengatakan bahwa pisau kita itu tajam. Dan ini dikatakan berulang ulang hampir disetiap acara mauludan.
Jarang sekali yang mengatakan dan memberi cara juga solusi, bagaimana pisau yang tajam itu digunakan untuk mengupas buah apel biar bisa dinikmati kelezatannya, digunakan untuk membebaskan dari ketertindasan, membebaskan dari sebuah pemiskinan, juga pisau yang tajam ini bisa digunakan untuk sebuah pembebasan dari pemberhalaan terhadap manusia, harta, juga kekuasaan jabatan.
Sudah sampai mana isi substansi acara budaya mauludan kita?
Selamat memperingati maulid Nabi.
Selasa, 20 Desember 2016
AL-BAQILANI: SIFAT TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA
AL-BAQILANI : SIFAT TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA
بسم الله الرحمن الرحيم
- PENDAHULUAN
Al-Baqilani adalah salah seorang pengikut dan tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Sebagai murid al-Asy’ari melalui dua muridnya, Ibn Mujahid dan Abu Hasan al-Bahili. Namun, ia tidak begitu saja menerima ajaran al-Asy’ari. Dalam beberapa hal ia tidak sepaham dengan gurunya, al-Asy’ari.1 Ini dapat terjadi karena perbedaan waktu dan tempat masing-masing. Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada perbedaan pendapat, meskipun antara murid dan gurunya. Ini menunjukkan pula bahwa kebenaran yang dihasilkan oleh pemikiran hanya bersifat relatif dan dapat menerima perubahan.
- BIOGRAFI AL-BAQILANI
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqilani. Wafat tanggal 23 Zul Qa’dah 403 H/ 1013 M di Baghdad.2 Ia pernah menjadi hakim agung dan menonjol dalam berbagai pertemuan ilmiah, terutama dalam pembahasan usul fiqh dan ilmu kalam.
Karya tulisnya sebanyak 55 kitab, namun yang dapat dijumpai hanya 6 kitab, yaitu al-Izaz al-Qur’an; Tamhid; al-Insaf; yang berisi petunjuk singkat pandangan aliran Sunni dan rincian bahasan tentang al-Qur’an tidak diciptakan, qadr, melihat Tuhan dan syafa’at. Manaqib, berisi pembelaan Sunni pada kedudukan pemimpin. Intinsar yang membahas kedudukan lafaz al-Qur’an. Dan al-Bayan yang membahas kenabian.
Dari karya al-Baqilani mendapat gambaran yang jelas tentang perkembangan ilmu kalam Asy’ariyah, serta pemikiran pendahulunya seperti Ibn Furak, Abu Ishaq al-Isfarani dan al-Asy’ari sendiri. Kitab al-Luma’ karya al-Asy’ari menjadi jelas setelah disusun ulang oleh al-Baqilani. Ibn Taimiyyah menyebut al-Baqilani sebagai ahli ilmu kalam Asy’ariyah yang paling cemerlang, pembuka cakrawala pendahulu dan para pengikutnya.3
- MASALAH SIFAT TUHAN
Pemikiran al-Baqilani tentang sifat Tuhan berbeda dengan al-Asy’ari yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Bagi al-Asy’ari, mustahil Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, sebab dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (ilm), tetapi Yang Mengetahui (‘Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian juga dengan sifat-sifat lain, seperti sifat hayyun, ‘alimun, qadirun, mutakallimun, sami’un, basirun.4
Al-Baqilani menolak pendapat al-Asy’ari tentang adanya sifat Tuhan. Sifat Tuhan yang disebut al-Asy’ari, bukanlah sifat, tetapi hal, dan ini sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah,5 meskipun pada mulanya ia mempunyai pendapat yang sebaliknya.
Pada mulanya al-Baqilani menerima pandangan al-Asy’ari tentang sifat-sifat Tuhan, yang kemudian ia kembangkan dan ia bagi menjadi dua bagian, yaitu : sifat zat dan sifat fi’il. Sifat Zat adalah sifat yang senantiasa disifatkan kepada Tuhan, yaitu : al-Hayyah, al-‘Ilm, al-Qudrah, al-Sam’u, al-Basar, al-Iradah, al-Baqa’, al-Wajhu, al-Ainani, al-Yadani, al-Ghadab, al-Rida, dan al-Idrak. Sedang sifat fi’il adalah al-Khalq, al-Rizq, al-‘Adl, al-Ihsan, al-Tafadul, al-In’am, al-Tawab, al-‘Iqab, al-Hasyr dan al-Nasyr.6 Kemudian semua sifat itu ia namakan hal yang sesuai dengan pendapat Abu Hasyim yang Mu’tazilah itu.
- MASALAH PERBUATAN MANUSIA
Masalah perbuatan manusia, al-Baqilani berbeda pendapat dengan gurunya, al-Asy’ari, yang berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak diwujudkan oleh manusia sendiri dengan istilah kasb,7 dan dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu, daya yang ada pada manusia itu tidak mempunyai efek,8 dalam arti, semua perbuatan manusia seluruhnya diciptakan oleh Tuhan.
Bagi al-Baqilani, manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia, sedang bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk; duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jins) adalah ciptaan Tuhan, sedang duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya adalah species (na’u) dari gerak adalah perbuatan manusia sendiri. Manusialah yang membuat gerak yang diciptakan Tuhan mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya.9 Dengan demikian jika bagi al-Asy’ari, daya manusia tidak mempunyai efek. Tetapi bagi al-Baqilani, daya itu mempunyai efek.
Kemudian untuk menjelaskan pendapatnya itu, al-Baqilani menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada terdiri dari tiga unsur, yaitu jisim, jauhar (substansi atau atom) dan arad (aksiden), dan ketiganya itu telah diadakan, dan yang mengadakan adalah Tuhan.10 Kemudian ia menerangkan tentang perbuatan manusia, karena manusia mengetahui dari dirinya perbedaan antara duduk, berdiri dan berbicara jika terjadi sesuai dengan ikhtisar dan maksudnya. Pada kejadian itu, jauhar netral dan kemudian menerima ‘arad. Gerak perpaduan antara jauhar dan ‘arad itu menimbulkan perbuatan, maka adanya perbuatan itu merupakan hasil dengan daya yang hadits, hal ini disebut kasb. Dengan demikian kasb itu merupakan asas dari daya yang hadits.11
- KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Meskipun al-Baqilani pengikut dan murid dari al-Asy’ari, tetapi dalam hal tertentu ia berbeda pendapat dengan gurunya, al-Asy’ari.
- Tentang sifat Tuhan yang diakui adanya oleh al-Asy’ari, semula al-Baqilani menerimanya. Namun, kemudian ia mengembangkannya dengan menyebutnya hal seperti pandangan Abu Hasyim dari Mu’tazilah.
- Tentang perbuatan manusia juga berbeda pendapat dengan al-Asy’ari yang menyatakan bahwa perbuatan manusia tidak mempunyai efek, karena diciptakan oleh Tuhan. Tetapi, al-Baqilani menyatakan perbuatan manusia mempunyai sumbangan yang efektif, dengan membedakan antara gerak yang diciptakan Tuhan dengan bentuk atau sifat dari gerak yang diciptakan oleh Manusia.
Demikianlah uraian singkat ini, tak lain semoga ada manfaatnya. Kritik dari para pembaca diterima dengan senang hati.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asy’ari, Abu Hasan Ali ibn Isma’il, Kitab al-Luma’, Richard J. McCarthy, S.J., ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952.
Al-Badawi, Abd ar-Rahman, Mazahib al-Islamiyyin, I, Beirut: Dar al-Ilm al-Malayyin, 1971.
Al-Syahrastani, Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Gibb, H.A.R., dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden : E.J. Brill, 1974.
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. V.
------------------------
1 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986, cet. V, hlm. 71.
2 Ibid.
3 H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden : E.J. Brill, 1974, hlm. 958.
4 Abu Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, Kitab al-Luma’, Richard J. McCarthy, S.J., ed., Beirut: Imprimerie Catholique, 1952, hlm. 30-31. Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 95.
5 Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, ibid.
6 Abd ar-Rahman al-Badawi, Mazahib al-Islamiyyin, I, Beirut: Dar al-Ilm al-Malayyin, 1971, hlm. 615.
7 Abu Hasan Ali ibn Isma’il al-Asy’ari, op.cit., hlm. 71-72.
8 Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, op.cit., hlm. 97.
9 Ibid., hlm. 97-98.
10 Abd ar-Rahman al-Badawi, op.cit., hlm. 601.
11 Muhammad Abd al-Karim ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastani, op.cit., hlm. 97.
Taufiq itu lain dengan Hidayah!!
Kita sering mendengar orang mengucapkan salam penutup dengan membaca billahittaufiq wal hidayah wassalamualaikum wr wb...
Ternyata, Taufiq itu lain dengan Hidayah, yang mendapatkan hidayah belum tentu mendapatkan Taufiq, sedangkan yang mendapat taufiq pasti mendapat hidayah.
Orang yang mendapatkan Taufiq itu sangat langka, seakan penyebutan kalimat Taufiq di dalam Al Quran yang cuma satu kali sudah menunjukkan itu.
Maka dari itu dalam melaksanakan Agama ada banyak pendapat dan cara, terkadang hal yang bersifat fiqih itu tidak serta merta dapat dilaksanakan di lapangan, contohnya sholat di jalan, walaupun sah menurut fiqih namun itu tidak bisa dilaksanakan karena berbagai alasan, ketabrak mobil misalnya.
Kita tentu saja meyakini kebenarannya apa yang kita lakukan, karena itu bagian dari syarat rukunnya pekerjaan, namun apa yang dikerjakan dengan cara berbeda oleh orang lain belum tentu salah.
Ternyata, Taufiq itu lain dengan Hidayah, yang mendapatkan hidayah belum tentu mendapatkan Taufiq, sedangkan yang mendapat taufiq pasti mendapat hidayah.
Orang yang mendapatkan Taufiq itu sangat langka, seakan penyebutan kalimat Taufiq di dalam Al Quran yang cuma satu kali sudah menunjukkan itu.
والتوفيق من الموافقة والوفق من وافق في أمره ونهيه
"Taufiq itu dari bentukan kalimat Muwafaqoh (berkesesuaian) dan wifq (taufiq yang dimaksud) adalah orang yang selalu sesuai di dalam perintah dan larangannya"Maksudnya orang yang mendapatkan Taufiq itu selalu berkesesuaian dengan Kehendak Alloh yang sebenarnya dalam melaksanakan perintah dan mencegah laranganNya.
Maka dari itu dalam melaksanakan Agama ada banyak pendapat dan cara, terkadang hal yang bersifat fiqih itu tidak serta merta dapat dilaksanakan di lapangan, contohnya sholat di jalan, walaupun sah menurut fiqih namun itu tidak bisa dilaksanakan karena berbagai alasan, ketabrak mobil misalnya.
Kita tentu saja meyakini kebenarannya apa yang kita lakukan, karena itu bagian dari syarat rukunnya pekerjaan, namun apa yang dikerjakan dengan cara berbeda oleh orang lain belum tentu salah.
Minggu, 18 Desember 2016
WAJIB BACA, NAHDLIYYIN HARUS WASPADA!!
Nahdliyyin Harus Waspada | Sabtu kemarin, 17 Desember 2016, ada skenario besar yang ingin menggerus NU, baik NU struktural maupun kultural!
Berikut ini beberapa point penting yang harus dipahami:
1. Satu yg harus kita sadari, gloria dugaan penistaan Agama (kasus yang menimpa Mr. Ahok (BCP)) penistaan terhadap al-Quran Surat al-Maidah (51) itu dikelola sedemian rupa untuk penguatan ideologi takfiri. Sesuatu yang harus kita lawan. (Meskupun memang dari kalangan kita tidak terima terhadap Mr. Ahok).
2. Jika dilihat tahapan-tahapan kampanye ideologis mereka (setelah secara internal kuat) meraka berikutnya adalah penyerangan terbuka dan secara massif terhadap amaliyah NU dengan membid'ahkan dan pengkafiran.
3. Berikutnya adalah mereka ciptakan public distrust (ketidakpercayaan) terhadap tokoh-tokoh NU. Mereka pisahkan nahdliyyin kultural dari para Kyai NU. Mereka fitnah dan caci maki sesepuh NU, berharap nahdliyyin kehilangan akhlaq dan pudar rasa hormat kepada beliau-beliau. Itulah mengapa ada yg berani membuat membully dg meme Mbah Hasyim, Gus Dur dan belakangan Mbah Maimoen dan Gus Mus.
4. Mereka kampanyekan anti terhadap Ketum PBNU. Selain sebagai ikon, simbol dan mandatori muktamar PBNU selain juga Rois Aam, Ketum PBNU memiliki peran paling strategis di tubuh NU. Mereka berharap, dengan fitnahan dan cacian mereka terhadap Ketum PBNU maka perlahan akan hilang muru'ah dan kebesaran ormas Nahdlatul Ulama.
5. Bagi mereka, dengan jalan apapapun, Kiai Said Aqil harus diserang. Jika tidak ada lubang, dengan fitnah sekalipun. Mengapa? Selain karena simbol NU, menurut bacaan mereka, saat ini beliau adalah satu-satunya tokoh dan benteng terakhir Islam Moderat.
6. Dan frame pertarungan ideologis inilah yang seharusnya kita memahami dan memberi penjelasan kepada umat. Sebagaimana saat ini, ideologi Aswaja yang mulai mereka samarkan dengan ideologi Takfiri. Sehingga kita semakin buram membedakan antara Aswaja dan Takfiri, hingga menimbulkan public distrust (ketidakpercayaan) terhadap tokoh-tokoh NU.
Ayo anak muda NU, melek medsos, dan sampaikan kepada siapapun di manapun, bahwa kita ber-NU lahir bathin. Kepada mereka, jangan takut menyampaikan kata, kami akan lawan..!!
Anak Muda NU, 17/12/2016
So, kita harus bergerak. Salah satunya temen temen di wonosobo sekarang sedang membuat lomba penulisan sejarah NU wonosobo untuk menggali sejarah dan menanamkan semangat para pendahulu kepada peserta lomba yg melibatkan semua ranting dan banom. Hasil lomba rencananya akan kita buat buku.
Berikut ini beberapa point penting yang harus dipahami:
1. Satu yg harus kita sadari, gloria dugaan penistaan Agama (kasus yang menimpa Mr. Ahok (BCP)) penistaan terhadap al-Quran Surat al-Maidah (51) itu dikelola sedemian rupa untuk penguatan ideologi takfiri. Sesuatu yang harus kita lawan. (Meskupun memang dari kalangan kita tidak terima terhadap Mr. Ahok).
2. Jika dilihat tahapan-tahapan kampanye ideologis mereka (setelah secara internal kuat) meraka berikutnya adalah penyerangan terbuka dan secara massif terhadap amaliyah NU dengan membid'ahkan dan pengkafiran.
3. Berikutnya adalah mereka ciptakan public distrust (ketidakpercayaan) terhadap tokoh-tokoh NU. Mereka pisahkan nahdliyyin kultural dari para Kyai NU. Mereka fitnah dan caci maki sesepuh NU, berharap nahdliyyin kehilangan akhlaq dan pudar rasa hormat kepada beliau-beliau. Itulah mengapa ada yg berani membuat membully dg meme Mbah Hasyim, Gus Dur dan belakangan Mbah Maimoen dan Gus Mus.
4. Mereka kampanyekan anti terhadap Ketum PBNU. Selain sebagai ikon, simbol dan mandatori muktamar PBNU selain juga Rois Aam, Ketum PBNU memiliki peran paling strategis di tubuh NU. Mereka berharap, dengan fitnahan dan cacian mereka terhadap Ketum PBNU maka perlahan akan hilang muru'ah dan kebesaran ormas Nahdlatul Ulama.
5. Bagi mereka, dengan jalan apapapun, Kiai Said Aqil harus diserang. Jika tidak ada lubang, dengan fitnah sekalipun. Mengapa? Selain karena simbol NU, menurut bacaan mereka, saat ini beliau adalah satu-satunya tokoh dan benteng terakhir Islam Moderat.
6. Dan frame pertarungan ideologis inilah yang seharusnya kita memahami dan memberi penjelasan kepada umat. Sebagaimana saat ini, ideologi Aswaja yang mulai mereka samarkan dengan ideologi Takfiri. Sehingga kita semakin buram membedakan antara Aswaja dan Takfiri, hingga menimbulkan public distrust (ketidakpercayaan) terhadap tokoh-tokoh NU.
Ayo anak muda NU, melek medsos, dan sampaikan kepada siapapun di manapun, bahwa kita ber-NU lahir bathin. Kepada mereka, jangan takut menyampaikan kata, kami akan lawan..!!
Anak Muda NU, 17/12/2016
So, kita harus bergerak. Salah satunya temen temen di wonosobo sekarang sedang membuat lomba penulisan sejarah NU wonosobo untuk menggali sejarah dan menanamkan semangat para pendahulu kepada peserta lomba yg melibatkan semua ranting dan banom. Hasil lomba rencananya akan kita buat buku.
Kamis, 20 Oktober 2016
Cara Jebol Token Listrik di Rumah
Tiap rumah di desa maupun di kota tidak akan lepas dari kebutuhan yang satu ini, yakni kebutuhan LISTRIK. Kebutuhan akan pasokan listrik dari PLN menjadi keharusan ketika pekerjaan kita menggunakan barang-barang elektronik.
Tak ayal, sebagian kecil masyarakat kita ada yang mencuri listrik dengan "bandil" langsung ke kabel di atap rumahnya sendiri, aliran listrik sebelum masuk ke meteran listrik. Otomatis penggunaan listrik tersebut tidak terhitung di meteran listrik oknum tersebut.
Ada juga yang mencari cara menjebol token listrik, dengan mengacak 20 digit dimasukkan ke meteran listrik pintar milik PLN. Namun, 1:100000000 orang bisa mengakalinya, bahkan tidak ada.
Jadi, untuk apa kita sampai menjebol token listrik di rumah sendiri. Hehehehe.... Koyok Kurang Gawean Wae...
Coba token di bawah ini:
6838 - 8821 - 0930 - 8849 - 5452 - 3176
pasti Gagal...
Cari Alternatif lain, Listrik tenaga surya boleh juga.
SSsst, tapi ada juga lho yang bisa Bypass meteran listrik. Tapi jika ketahuan PLN bisa kena denda sampa Rp 5 juta. Daripada hati gelisah, mending ya jangan lakukan deh.
SSsst, tapi ada juga lho yang bisa Bypass meteran listrik. Tapi jika ketahuan PLN bisa kena denda sampa Rp 5 juta. Daripada hati gelisah, mending ya jangan lakukan deh.
Minggu, 16 Oktober 2016
Ruang Lingkup Akhlak
Akhlak dari kata Al-Akhlak, jamak dari Al-khuluq yang artinya kebiasaan, perangai, tabiat dan agama.
Definisi Akhlak menurut Al Gazali, kata akhlak sering diidentikkan dengan kata kholqun (bentuk lahiriyah) dan Khuluqun (bentuk batiniyah), jika dikaitkan dengan seseorang yang bagus berupa kholqun dan khulqunnya, maka artinya adalah bagus dari bentuk lahiriah dan rohaniyah. Dari dua istilah tersebut dapat kita pahami, bahwa manusia terdiri dari dua susunan jasmaniyah dan batiniyah. Untuk jasmaniyah manusia sering menggunakan istilah kholqun, sedangkan untuk rohaniyah manusia menggunakan istilah khuluqun. Kedua komponen ini memilih gerakan dan bentuk sendiri-sendiri, ada kalanya bentuk jelek (Qobi’ah) dan adakalanya bentuk baik (jamilah). Akhlak yang baik disebut adab. Kata adab juga digunakan dalam arti etiket, yaitu tata cara sopan santun dalam masyarakat guna memelihara hubungan baik antar mereka.
Akhlak disebut juga ilmu tingkah laku / perangai (Imal-Suluh) atau Tahzib al-akhlak (Filsafat akhlak), atau Al-hikmat al-Amaliyyat, atau al-hikmat al- khuluqiyyat. Yang dimaksudkan dengan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa untuk mensucikannya. Dalam bahasa Indonesia akhlak dapat diartikan dengan moral, etika, watak, budi pekertim, tingkah laku, perangai, dan kesusilaan.
1.
Akhlak pribadi
Yang paling dekat dengan
seseorang itu adalah dirinya sendiri, maka hendaknya seseorang itu menginsyafi
dan menyadari dirinya sendiri, karena hanya dengan insyaf dan sadar kepada diri
sendirilah, pangkal kesempurnaan akhlak yang utama, budi yang tinggi.
Manusia terdiri dari jasmani
dan rohani, disamping itu manusia telah mempunyai fitrah sendiri, dengan
semuanya itu manusia mempunyai kelebihan dan dimanapun saja manusia mempunyai
perbuatan.
2.
Akhlak Berkeluarga
Akhlak ini meliputi kewajiban
orang tua, anak, dan karib kerabat.
Kewjiban orang tua terhadap anak, dalam islam mengarahkan para orang tua dan pendidik untuk memperhatikan anak-anak secara sempurna, dengan ajaran –ajaran yang bijak, islam telah memerintahkan kepada setiap oarang yang mempunyai tanggung jawab untuk mengarahkan dan mendidik, terutama bapak-bapak dan ibu-ibu untuk memiliki akhlak yang luhur, sikap lemah lembut dan perlakuan kasih sayang. Sehingga anak akan tumbuh secara istiqomah, terdidik untuk berani berdiri sendiri, kemudian merasa bahwa mereka mempunyai harga diri, kehormatan dan kemuliaan.
Kewjiban orang tua terhadap anak, dalam islam mengarahkan para orang tua dan pendidik untuk memperhatikan anak-anak secara sempurna, dengan ajaran –ajaran yang bijak, islam telah memerintahkan kepada setiap oarang yang mempunyai tanggung jawab untuk mengarahkan dan mendidik, terutama bapak-bapak dan ibu-ibu untuk memiliki akhlak yang luhur, sikap lemah lembut dan perlakuan kasih sayang. Sehingga anak akan tumbuh secara istiqomah, terdidik untuk berani berdiri sendiri, kemudian merasa bahwa mereka mempunyai harga diri, kehormatan dan kemuliaan.
Seorang anak haruslah mencintai
kedua orang tuanya karena mereka lebih berhak dari segala manusia lainya untuk
engkau cintai, taati dan hormati. Karena keduanya memelihara,mengasuh, dan
mendidik,menyekolahkan engkau, mencintai dengan ikhlas agar engkau menjadi
seseorang yang baik, berguna dalam masyarakat, berbahagia dunia dan akhirat.
Dan coba ketahuilah bahwa saudaramu laki-laki dan permpuan adalah putera ayah
dan ibumu yang juga cinta kepada engkau, menolong ayah dan ibumu dalam
mendidikmu, mereka gembira bilamana engkau gembira dan membelamu bilamana
perlu. Pamanmu, bibimu dan anak-anaknya mereka sayang kepadamu dan ingin agar
engkau selamat dan berbahagia, karena mereka mencintai ayah dan ibumu dan
menolong keduanya disetiap keperluan
3.
Akhlak Bermasyarakat
Tetanggamu ikut bersyukur jika
orang tuamu bergembira dan ikut susah jika orang tuamu susah, mereka menolong,
dan bersam-sama mencari kemanfaatan dan menolak kemudhorotan, orang tuamu cinta
dan hormat pada mereka maka wajib atasmu mengikuti ayah dan ibumu, yaitu cinta
dan hormat pada tetangga.
Pendidikan kesusilaan/akhlak
tidak dapat terlepas dari pendidikan sosial kemasyarakatan, kesusilaan/moral
timbul didalam masyarakat. Kesusilaan/moral selalu tumbuh dan berkembang sesuai
dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Sejak dahulu manusia tidak dapat
hidup sendiri–sendiri dan terpisah satu sama lain, tetapi berkelompok-kelompok,
bantu-membantu, saling membutuhkan dan saling mepengaruhi, ini merupakan apa
yang disebut masyarakat. Kehidupan dan perkembangan masyarakat dapat lancar dan
tertib jika tiap-tiap individu sebagai anggota masyarakat bertindak menuruti
aturan-aturan yang sesuai dengan norma- norma kesusilaan yang berlaku.
4.
Akhlak Bernegara
Mereka yang sebangsa denganmu
adalah warga masyarakat yang berbahasa yang sama denganmu, tidak segan
berkorban untuk kemuliaan tanah airmu, engkau hidup bersama mereka dengan nasib
dab penanggungan yang sama. Dan ketahuilah bahwa engkau adalah salah seorang
dari mereka dan engkau timbul tenggelam bersama mereka.
5.
Akhlak Beragama
Akhlak ini merupakan akhlak
atau kewajiban manusia terhadap tuhannya, karena itulah ruang lingkup akhlak
sangat luas mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan
Tuhan, maupun secara horizontal dengan sesama makhluk Tuhan.
Berangkat dari sistematika di atas dengan sedikit
modifikasi penulis membagi pembahasan ruang lingkup akhlak antar lain:
1.
Akhlak terhadap Allah SWT
2.
Akhlak terhadap Rasullah Swt
3.
Akhlak Pribadi
4.
Akhlak dalam keluarga
5.
Akhlak bermasyarakat
6.
Akhlak bernegara
Dalam konsep akhlak segala sesuatu dinilai baik atau
buruk, terpuji atau tercela, semata-mata karena syara (Qu’an dan Sunah) yang
menilainya demikian. Namun akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan
dengan etika, jikqa etika dibatasi pada sopan santun antar sesame manusia,
serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.
Kamis, 06 Oktober 2016
Anda Harus Tahu: Status Anak Zina
Status Anak Zina; Perzinaan merupakan salah satu perbuatan yang menyalahi hukum, sehingga hasil perbuatan tersebut membawa efek bukan hanya bagi si pelakunya, tetapi juga menyangkut pihak lain, yaitu mengenai anak hasil perbuatan zina itu. Status anak akibat dari perzinaan, memiliki perhatian khusus, karena anak hasil perzinaan baik dari segi hukum maupun dari segi hukum agama memiliki perbedaan dengan anak pada umumnya. Seperti halnya dalam hal Nasab dan Mawaris.
PEMBAHASAN
Anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hasil hubungan badan di luar nikah yang sah menurut syariat Islam.
Anak zina menurut pandangan Islam, adalah suci dengan segala dosa, karena kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut tetapi kepada kedua orang tuanya. Di dalam Al-Quran Allah berfirman:
Oleh sebab itu, anak hasil zina pun harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan ketrampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasa depan.
1. Status Hukum dan Nasab Anak Zina
Anak yang dilahirkan secara tidak sah, maka ia tidak dapat dihubungkan dengan bapaknya, kecuali hanya kepada ibunya saja. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, yang bertanggungjawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, baik materiil maupun spiritual.
Anak diluar nikah adalah haram menasabkannya kepada seseorang yang tidak bersambung nasab dengan anak tersebut.
Di jelaskan oleh Allah dalam firman Nya
Perempuan (istri) yang mengandung bukan melalui pernikahan yang sah atau suaminya, kemudian perempuan itu menasabkan anak-anak yang lahir daripada kandungannya itu pada suaminya. Dia telah melakukan dosa yang sangat besar serta melakukan pembohongan.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori, Imam Muslim dan Abu Dawud dari Saad bin Abiwaqas Rasulullah Saw. Bersabda : hadis riwayat Saad bin Abiwaqas ra. Ia berkata : kedua telingaku mendengar Rasulullah Saw bersabda : barang siapa yang mengakui seseorang dalam Islam sebagai ayah, sedangkan ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, maka diharamkan baginya surga.
Para ulama’ telah melakukan ijma’ bahwa tempo minimum seorang wanita itu hamil dan melahirkan anak ialah 6 bulan penentuan 6 bulan itu berdasarkan ayat al-Quran yang menerangkan tentang masa hamil (tempo mengandung) dan penyusuan. Firman Allah swt “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 bulan”. (surat Al-Ahqaf : 15)
2. Status Anak Zina dalam Perwalian dan Mawaris
Diatas telah dijelaskan bahwa tempo wanita hamil dan melahirkan ialah 6 bulan, jadi anak yang dilahirkan sebelum 6 bulan dari perkawinannya, maka seorang ayah berhak menolak keabsahan anak tersebut dan anak tersebut tidak dapat dinasabkan dengan bapaknya. Anak zina, dia terhubungkan dengan ibunya, tidak dengan laki-laki yang berzina dengan ibunya. Dia tidak berhak menerima warisan dari laki-laki itu, demikian juga laki-laki tersebut tidak menerima warisan dari padanya.
Di dalam undang-undang pewarisan, pada pasal 186 dijelaskan bahwa hak waris untuk anak diluar nikah yaitu “anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”
Pada dasarnya Ijma’ para ulama’ yang menyatakan tempo hamil wanita 6 bulan jika kurang dari 6 bulan seorang ayah berhak menolak keabsahan anak tersebut. Sesuai firman Allah (QS. Al-Ahqof : 15).
Sehingga anak tersebut tidak dapat dinasehatkan dengan ayah maupun laki-laki yang melakukan zina, dan dia tidak dapat menjadi wali dalam pernikahan. Serta tidak memperoleh warisan. Tetapi anak tersebut hanya memiliki nasab dari ibunya, dan keluarga ibunya.
KESIMPULAN
Anak zina merupakan anak yang dilahirkan dari hasil hubungan badan di luar nikah menurut syariat Islam. Anak zina dalam hukum Islam hanya mempunyai nasab dari ibu dan keluarga ibunya, bukan nasab dari bapaknya, dengan tidak memiliki nasab dari bapaknya maka anak tersebut tidak mempunyai wali dalam pernikahan sehingga dia diwalikan kepada wali hakim dan anak tersebut tidak mendapat warisan dari bapaknya karena tidak tersambung nasabnya.
PEMBAHASAN
Anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hasil hubungan badan di luar nikah yang sah menurut syariat Islam.
Anak zina menurut pandangan Islam, adalah suci dengan segala dosa, karena kesalahan itu tidak dapat ditujukan kepada anak tersebut tetapi kepada kedua orang tuanya. Di dalam Al-Quran Allah berfirman:
ألا تزر وازرة وزر أخرى
“(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain (An-Najm: 38)
Oleh sebab itu, anak hasil zina pun harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan ketrampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasa depan.
1. Status Hukum dan Nasab Anak Zina
Anak yang dilahirkan secara tidak sah, maka ia tidak dapat dihubungkan dengan bapaknya, kecuali hanya kepada ibunya saja. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, yang bertanggungjawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, baik materiil maupun spiritual.
Anak diluar nikah adalah haram menasabkannya kepada seseorang yang tidak bersambung nasab dengan anak tersebut.
Di jelaskan oleh Allah dalam firman Nya
Artinya : Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar) itu sebagai ibumu dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Dan Allah menyatakan yang sebenarnya. Dan Dia menunjukkan jalan (yang benar) panggilan mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai bapak-bapak mereka, tidak yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, (maka panggilah mereka sebagai saudara-saudara mu seagama maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, (tetapi yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab 4-5)
Perempuan (istri) yang mengandung bukan melalui pernikahan yang sah atau suaminya, kemudian perempuan itu menasabkan anak-anak yang lahir daripada kandungannya itu pada suaminya. Dia telah melakukan dosa yang sangat besar serta melakukan pembohongan.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori, Imam Muslim dan Abu Dawud dari Saad bin Abiwaqas Rasulullah Saw. Bersabda : hadis riwayat Saad bin Abiwaqas ra. Ia berkata : kedua telingaku mendengar Rasulullah Saw bersabda : barang siapa yang mengakui seseorang dalam Islam sebagai ayah, sedangkan ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, maka diharamkan baginya surga.
Para ulama’ telah melakukan ijma’ bahwa tempo minimum seorang wanita itu hamil dan melahirkan anak ialah 6 bulan penentuan 6 bulan itu berdasarkan ayat al-Quran yang menerangkan tentang masa hamil (tempo mengandung) dan penyusuan. Firman Allah swt “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 bulan”. (surat Al-Ahqaf : 15)
2. Status Anak Zina dalam Perwalian dan Mawaris
Diatas telah dijelaskan bahwa tempo wanita hamil dan melahirkan ialah 6 bulan, jadi anak yang dilahirkan sebelum 6 bulan dari perkawinannya, maka seorang ayah berhak menolak keabsahan anak tersebut dan anak tersebut tidak dapat dinasabkan dengan bapaknya. Anak zina, dia terhubungkan dengan ibunya, tidak dengan laki-laki yang berzina dengan ibunya. Dia tidak berhak menerima warisan dari laki-laki itu, demikian juga laki-laki tersebut tidak menerima warisan dari padanya.
Di dalam undang-undang pewarisan, pada pasal 186 dijelaskan bahwa hak waris untuk anak diluar nikah yaitu “anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”
Pada dasarnya Ijma’ para ulama’ yang menyatakan tempo hamil wanita 6 bulan jika kurang dari 6 bulan seorang ayah berhak menolak keabsahan anak tersebut. Sesuai firman Allah (QS. Al-Ahqof : 15).
Sehingga anak tersebut tidak dapat dinasehatkan dengan ayah maupun laki-laki yang melakukan zina, dan dia tidak dapat menjadi wali dalam pernikahan. Serta tidak memperoleh warisan. Tetapi anak tersebut hanya memiliki nasab dari ibunya, dan keluarga ibunya.
KESIMPULAN
Anak zina merupakan anak yang dilahirkan dari hasil hubungan badan di luar nikah menurut syariat Islam. Anak zina dalam hukum Islam hanya mempunyai nasab dari ibu dan keluarga ibunya, bukan nasab dari bapaknya, dengan tidak memiliki nasab dari bapaknya maka anak tersebut tidak mempunyai wali dalam pernikahan sehingga dia diwalikan kepada wali hakim dan anak tersebut tidak mendapat warisan dari bapaknya karena tidak tersambung nasabnya.
Jumat, 30 September 2016
Menyongsong 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU)
Mari kita menyongsong 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU) dengan bersama-sama secara sinergis mengembangkan sistem perekonomian yang memiliki sistem kerakyatan, dari warga NU oleh warga NU untuk Indonesia.
Mari bersatu padu Mulai dari Syuriyah dan Tanfidhiyyah NU beserta Banom-banomya, JANGAN mudah terpecah-belah. Jangan mudah terpropaganda. Jangan mudah dibeli dengan uang.
Siapa Kita ......... (NU)
NKRI .................(Harga Mati)
Nusantara ...........(Milik Kita)
Pancasila ............(Jaya)
Mari bersatu padu Mulai dari Syuriyah dan Tanfidhiyyah NU beserta Banom-banomya, JANGAN mudah terpecah-belah. Jangan mudah terpropaganda. Jangan mudah dibeli dengan uang.
Siapa Kita ......... (NU)
NKRI .................(Harga Mati)
Nusantara ...........(Milik Kita)
Pancasila ............(Jaya)
Jumat, 13 Mei 2016
Democracy, Religious Diversity, and Blasphemy Law in Indonesia by Prof. Noorhaidi Hasan MA, M.Phil, P.Hd
Introduction
Indonesia has evolved to be one of themost democratic Muslim countries in the world. The story began with the demise
of Suharto’s
New Order authoritarian regime in 1998 that heralded a freedom of expression.
Despite its success in undertaking the whole process of democratic transition,
Indonesia by no means has encountered no challenge in transforming its
political landscape. The biggest challenge was related to the rise of militant
Islamist groups that engulfed the political arena of Indonesia by calling for
jihad and other violent actions. Interestingly, although these groups have lost
their momentum to take control over the Indonesian public sphere along with the
on-going democratic consolidation and global war on terror, violent discourses
and actions continue resonating. Demonstrations organised by conservative
Muslim groups, including the Indonesian Muslim Solidarity Forum (Forum
Solidaritas Umat Islam) and the Anti-Apostasy Movement Alliance (Aliansi
Gerakan Anti Pemurtadan), erupted against minority religious groups. They
threatened to close and burn down a dozen churches deemed illegal and suspected
to be the headquarters where hidden Christianisation projects are taking place.
Conflicts occurred not only between religious groups, but also within religious
groups. Key examples of conflict occurring within religious groups include
recent attacks on Ahmadiyya and Shiite communities in several Indonesian
provinces.
The growing tide of religious conflicts
and violence against minorities after Suharto seems inseparable from the
failure of Reformasi to touch upon the fundamental issue of reforming
the state’s
management of religious diversity that requires democracy as a precondition for
it to develop. Without a significant touch on this issue, the position of
religion vis-a-vis democracy
has remained problematic
for religion is
at the intersection of a struggle between state, society and
political forces. Individuals, groups and political forces thereby compete to
represent the right to define boundaries in support of their organized claims
and delegitimize those of others. The matter takes more urgency as democracy
necessitates sustained responsibility of individuals, groups and the state to
promote fundamental values, notions, and principles which are essential for
democracy. As Almond and Verba (1989: 340-345) have put it, there is a strong
correlation between successful democratization of a country and democratic
culture and structure of polity. From this point of view, democratic culture is
an amalgamation of freedom and participation on the one hand, and norms and
attitudes on the other. It is rooted in a civic culture that features high
levels of social trust, civicness, mutual cooperation and responsibility.
This paper will look at how the explosion
of militant religious activism and violence against minorities in post-Suharto
Indonesia is embedded in the state’s failure to apply a proper
management of religious diversity and civic pluralism. In the bottom of this
issue lies controvertial Law No. 1 of 1965 on the prevention of the abuse or
insulting of a religion, known as the Blasphemy Law. Debates have abounded on
the extent to which the Law has transgressed the principles of religious
freedom guaranteed by the Indonesian Constitution. This paper will thus also
examine petitions filed by human rights activists and civil society
organizations to demand judicial reviews of the Law before the Constitutional
Court.
*full article: Please contact atullaina.blogspot.co.id
Kamis, 12 Mei 2016
ABSTRAK: Bimbingan Kelompok untuk Meningkatkan Kemampuan Parenting Kaum Ibu dalam Membangun Karakter Anak (Sebuah Alternatif Model Dakwah) by Dr. LILIS SATRIAH, M.Pd.
Tujuan utama dakwah adalah menyeru manusia agar memiliki karakter yang baik atau berakhlak mulia. Adapun terbentuknya akhlak atau karakter terjadi pada masa usia dini melalui proses pengasuhan oleh orang tua atau parenting. Parenting memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk karakter dan kepribadian anak, maka untuk dapat menghasilkan anak-anak yang memiliki karakter yang baik atau berakhlak mulia anak-anak harus mendapat pengasuhan yang baik. Oleh karena itu diperlukan para orang tua terutama kaum ibu yang memiliki kemampuan parenting yang baik. Akan tetapi realitas menunjukkan bahwa kaum ibu di Kota Bandung sebagian besar memiliki kemampuan parenting yang kurang baik. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya orang tua yang masih menggunakan pola asuh atau tipe parenting otoriter yaitu sebanyak 86,7%.
Fenomena rendahnya kemampuan parenting kaum ibu di kota Bandung tersebut, mendasari perlu disusunnya model dakwah yang efektif dalam meningkatkan kemampuan parenting orang tua. Sebab jika para orang tua dibiarkan melakukan pengasuhan dengan tipe otoriter, maka akan terbentuk anak-anak yang memiliki karkakter dan kepribadiaan yang kurang baik. Padahal karakter atau akhlak mulia merupakan fondasi penting terbentuknya tatanan masyarakat yang aman damai dan tentram.
Bimbingan kelompok yang dalam isyad (Bimbingan Konseling Islam) dikenal dengan layanan fi’ah qolillah belum banyak digunakan dalam kegiatan dakwah. Maka peneliti mencoba menyusun program bimbingan kelompok untuk meningkatkan kemampuan parenting orang tua yang terdiri dari delapan sesi, dengan pokok bahasan: (1) Teknik memantau perilaku anak, (2) Berkomunikasi efektif dengan anak, (3) Menetapkan aturan dan batasan, (4) Menegakkan aturan tanpa benturan, (5) Menstimulasi tugas perkembangan anak, (6) Menjadi pendengar yang baik, (7) Bahasa Kasih, dan (8) Pujian efektif. Setelah melalui serangkaian uji coba model diperoleh hasil bahwa bimbingan kelompok yang dalam kegiatan isyad dikenal dengan dakwah fi’ah qolillah terbukti efektif meningkatkan kemampuan parenting para ibu yang ditandai dengan terjadinya perubahan pola asuh dari otoriter menjadi autoritatif. Maka model ini menjadi model dakwah pertama yang menggunakan metode bimbingan kelompok/ fiah qolillah sebagai salah satu strategi dakwah terhadap kaum ibu.
Islam in Post-Soviet Central Asia by Prof., Dr. Shirin Akiner
(This article was The Search For A Rational Balance Between Religiosity And Secularity In The Post-Soviet Muslim States)
Post-Soviet Islam
When the Central Asian states gained independence at the end of 1991 there was much speculation, within the region and abroad, as to the possible impact of the “Islamic factor” on politics and society. The outbreak of civil strife in Tajikistan in 1992 seemed to many to be proof positive that a wave of rampant “Islamic fundamentalism” had been unleashed in the region. The opposing Tajik factions were described as “Islamists” and “neo-Communists”, and the conflict was depicted in terms of a religious war. As the situation unfolded, however, a more complex picture emerged. Islam was undoubtedly a factor, but by no means the sole cause of the conflict. Rather, it was an aggravating feature in the struggle for power that broke out between the different regional groupings as soon as Moscow’s grip weakened2 . Despite fears of an over-spill effect, the experience of Tajikistan was not repeated in the other states.
Nevertheless, the theory that the “Islamic factor” is the key to the politics of Central Asia is still widely held. Yet any serious debate of the issue is greatly impeded by the fact that very little concrete information is available. In the few instances where field research has been carried out, it has been based on relatively small samples. There are huge regional variations in the historical experience of Islam, as well as in contemporary socio-economic indicators (for example, levels of urbanisation, rates of demographic increase, educational standards, geographic mobility and ethnic heterogeneity). Consequently, it would be misleading to make sweeping generalisations on the basis of such a narrow range of evidence.
To complicate matters further, researchers who have worked in the same area, at approximately the same period, often come to very different conclusions. Given these problems, it is virtually impossible to gain a comprehensive overview of the situation. Nevertheless, some common trends can be identified, though they vary in scope and intensity from state to state, and also from area to area within a single state. They represent an evolution of the tendencies that emerged in the 1980s, but in a more intense and segmented form. They fall into three main categories; these can be described as “traditional” Islam, “government-sponsored” Islam and “radical” Islam.
The term “traditional” Islam is used here to describe the conservative, overall rather passive attitude to religion that continues to characterise the outlook of the great majority of Central Asian Muslims. As most observers would agree (including fellow Muslims from abroad), Islam here is still perceived more as an ethnic definition than as a religious allegiance. There is a strong sense of obligation “to maintain the traditions of forefathers”. This may be expressed in a variety of ways, encompassing different degrees of religious observance. For a few, it involves a strict performance of the prescribed rituals. Others tend to affirm their Islamic identity in a more cursory, symbolic fashion. Moreover, there is still great attachment to popular practices which, though understood as being Islamic, are contrary to orthodox teachings. Yet whatever the level or form of active participation in religion, the emphasis tends to be on preserving continuity rather than searching for enlightenment, or for a deeper understanding of the faith.
This situation may be changing, albeit slowly. In the immediate aftermath of independence there was a great upsurge of enthusiasm for mosque construction. In Kyrgyzstan, for example, there were only 34 mosques open for worship in 1987, but about 1000 in 1994; in Uzbekistan, in the same period, the number rose from 87 to 3,000 3 . The same phenomenon was to be observed in the other Central Asian states. Moreover, many Muslim schools and madrasas were opened and courses were provided for children and adults in the study of Arabic, the Qur’an, and related religious topics.
The physical closeness of places of worship encouraged people to attend services on a regular basis and in the early 1990s mosque congregations grew rapidly. By about 1994, however, the novelty was beginning to wear off and a marked drop in attendance was to be observed throughout the region. Since then, there appears to have been a gradual recovery, particularly in the south. Some researchers claim that this is happening mainly in villages, among males in the 17 to 25 year-old age group. Others insist that it is more typical of traders and businessmen in urban areas, i.e. the emerging entrepreneurial class. University students are also said to be showing an interest in the faith4 . There are no corroborated statistics available on this trend, so it is impossible to judge how strong or how widespread it is, but that there is some shift in this direction seems to be beyond dispute.
Government-sponsored Islam
“Government-sponsored” Islam in post-Soviet Central Asia is a continuation of the attempt to co-opt religion to serve the needs of the state that marked official policies towards Islam in the late 1980s. Today, the Constitutions of all the Central Asian countries enshrine the principle of the division of religion and state. Yet throughout the region Islam has been elevated to a status akin to that of a state ideology. This seems to have been prompted by the conviction that unless urgent action was taken to fill the ideological vacuum left by the discrediting of Marxism-Leninism, anarchy would
Selasa, 10 Mei 2016
On the Issue of Supreme Authority in Islam by Dr. Stanislav Prozorov
The issue of supreme authority has been and still remains one of the key problems in the theory and practice of Islam. It was precisely this problem of authority that led to the partition of the early Muslim community into Kharijites, Shi‘ites, and Sunnites, which had an enormous impact on the formation of the religious-political ideology of Islam and on the political destiny of the entire Islamic world. Various interpretations of the nature of authority (hukm) took shape over time as principally different doctrines of supreme authority. Kharijites insisted on communal rule and the unconditional election of the head of the community; shi‘ites supported the divine nature of authority predetermined in the dynasty of caliph ‘Ali ibn Abi Talib (656-661); the middle path between collective and divine sources of authority was presented by the theory and practice of Sunnites, who formally recognised the elective nature of the head of the community-state, but limited the circle of candidates to the kin of Prophet Muhammad (Al Muhammad).1 The history of the Islamic world bears witness to continued attempts to realise different models of supreme rule in practice.
An essential part of the issue of supreme authority in Islam is the correlation between religion and secularism, religious conviction and politics. Due to historical conditions (in particular, the theocratic nature of the rule of the Prophet Muhammad) Islam as a religious system has acquired characteristic features distinct from other religions. Among them is the indivisibility of religion and politics, dogma and law. From this stems the multi-faceted role of Islam in Muslim societies, as well as its structural diversity, apparent in all spheres of social life. The practice of the Prophet Muhammad (Sunna) based on the unity of the religious and secular branches of power has been always manifested as an ideal “Islamic rule” (al-wilaya al-islamiya). The theocratic-authoritarian character of the Prophet Muhammad’s rule was expressed through the concentration of all authoritative social functions in his hands. He was not only a prophet, the supreme religious authority providing guidance for spiritual aspects of life in the Muslim community (umma) on behalf of Allah, but also a military commander, arbiter, treasurer, etc. Yet after the death of the Prophet Muhammad, who ruled over the community by the direct order of Allah (through the Revelations – wahy), the community was headed by men (khulafa’), who neither possessed nor claimed to possess such divine guidance. It became clear to the followers (sahaba) of the Prophet Muhammad that worldly affairs would be managed by a civil authority: the ruler-amir. Disputes between the Meccan and Medinan followers of the Prophet – muhajirs and ansars – concerned only which of them would be chosen amir. The election of Abu Bakr as-Siddiq (632-634) as caliph – “deputy Messenger of Allah” (khalifat rasul Allah) bears witness to this. The division of authoritative functions (court, finance) and their distribution among other mukhajirs also took place at that time.
With the Prophet Muhammad’s death (in 632) the prophecy (nubuwwa; he – khatim al-anbiya’, “The Seal of the prophets”) ceased, and with it, theocratic rule. In fact, a division of power occurred.
The image of Muhammad as a prophet and ideal ruler inspired Muslims to collect and interpret information about his words and deeds (hadith) and promoted the study of the divine Revelation (al-Qur’an), which led to the formation of a class of religious authorities – muhaddiths, qaris, mufassirs (Qur’an readers and commentators) and faqihs. It was these Muslim theologians and jurists (‘ulama’), not caliphs, who formed public opinion on religious matters.
The confrontation between the two branches of power continued throughout almost the enitre history of Islam – theologians attempted to subordinate caliphs, while the latter, on their side, strove to control religious affairs. Formally, caliphs symbolised the unity of religious and secular authority, but in fact they did not have a real impact on the religious aspect of public life. This was proved by the unsuccessful attempts of the ‘Abbasid caliphs al-Ma’mun (813-833, with interruption) and al-Qadir (991-1031) to legalise certain systems of dogma in the ‘Abbasid Caliphate (750-1258). In spite of the universal Islamic ideal of the unity of religious and secular rule, the paths of religion and state in fact diverged.
The idea of the indivisibility of spiritual and secular authority concentrated in the hands of the Muslim community’s leader (amir al-mu’minin) was more consistently defended for centuries by shi‘ites, who believed in the divine nature of authority and the divine selection of its possessor. The doctrine of the Imamate as a supreme authority, consisting of the principal regulations of shi‘ia dogmas, is preached as well by modern ideologists of “Islamic rule.” The latter is considered as a sort of “matrimonial union” of religion and policy, secured and legalised by Allah and therefore indissoluble. In essence, “Islamic rule” is an attempt to introduce an ideal model of theocratic rule, following the example of the rule of the Prophet Muhammad.
Considering the rise of propaganda of the idea of an Islamic “revival” and the establishment of “Islamic rule” in Muslim countries, including Central Asia,2 it is particularly relevant to note that social stability in these societies, to no small degree, depends upon a reasonable balance between religious authority as represented by the local traditional clergy (‘ulama’) and secular authority. The history of Islam bears witness to the fact that forms of interaction between religious and secular authority in different regions of the Islamic world vary due to natural differences in levels of historical self-consciousness among Muslim nations, and in their cultural, social and judicial, including governmental-legal, traditions. A particular feature of Islam is the diversity of its ideological forms, the so-called limited pluralism caused by the very close connection of Islamic culture with the spiritual substratum of Islamicised nations, with their particular religious and cultural traditions, social and legal institutions. Islam has taken root in many large historical and cultural regions in such form, in which it has adapted the religious-ethical ideas, legal norms, customs and cultural traditions of the local inhabitants.3 Attempts of Islamic “purists” to establish in the Muslim societies of the so-called “peripheral” regions “Islamic” models, formed in other cultural regions under distinct historical conditions, inevitably have a confrontational character. From the scientific point of view, it is unjustified to put “pure Islamic” traditions in opposition to local Islamic customs; moreover, from the general political view it is even fraught with dangerous conflicts, destabilising ethnic-religious relations in Muslim countries with a multiethnic structure of population. The absence of objective criteria in defining the model of “pure” Islam provides an ideological argument for the equivalence and self-sufficiency of regional forms of Islamic practice, including the choice of the form of supreme authority.
An alternative to the ideology of religious political extremism, which can find a breeding ground in the low level of religious knowledge among Muslims, can be the revival of national culture and the dissemination of authentic information about the history of Islam and the different forms of its existence.3 In turn, this will lead to the growth of historical self-consciousness and self-sufficiency of local traditional forms of Islam, as well as to an increased immunity for Muslims against the ideas of religious-political extremism.
_____________________________________________
*** The author of
this article is publishing an encyclopedic dictionary, dedicated to studying regional
forms of Islamic practice on the territory of the former Russian Empire – Eastern
Europe, Bashkortostan, Tatarstan, Caucasus, Central Asia: Islam na territorii b
vshey Rossiyskoy imperii. Entsiklopedicheskiy slovar’. 1st-3rd
issues. Edited by S.M. Prozorov. Moscow:
Publishing Company “Vostochnaya literatura”, Russian Academy of Sciences,
1998-2001.
1 For more details
see: Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Shahrastani. Kniga o religiyakh i sektakh
[The book on religions and sects]. Part 1. Islam. Introduction, translation and
commentaries of S.M. Prozorov. Moscow, 1984.
2 Prozorov S.M. From the editor,
in: Islam
na territorii
b vshey
Rossiyskoy imperii.
Entsiklopedicheskiy slovar’. 1st issue. Moscow, 1998, pp. 4-9.
3 About the forms of existing
Islamic practice
in Central
Asia see:
Muminov A. Centralnaya
Aziya, in: Islam na territorii b vshey Rossiyskoy imperii. Entsiklopedicheskiy slovar’. 1st
issue. Moscow, 1998, pp. 102-105; Meskhidze J. Checheno-Ingushetiya, in: ibid,
1st issue, pp. 105-108; Jandosova Z. Kazakhstan, in: item, 3d
issue, pp. 47-52; Mukhametshin R. Tatarstan, in: ibid, 3d issue, pp.
100-103; Demidov S. Turkmenistan, in: ibid, 3d issue, pp. 104-107.
Minggu, 08 Mei 2016
The Development of the Secular State in Latin Europe
The Development of the Secular State in Latin Europe
Prof., Dr. Tilman Nagel (Göttingen, Germany)
Quite often one hears that state and religion are inseparable in Islamic culture. This assertion largely corresponds to the historical realities that have developed in the Islamic world during its existence. Such a proposition does not constitute an analysis of the situation, however. The same can also apply to the thesis that the Modern age in Europe so much under the sway of Latin Christianity was characterised by the separation of religion (church) from state. Both arguments aim to call attention to different, if not contradictory, social conditions and their perception by those involved therein. It is clearly impossible to deal with all the issues relative to this subject and all the more so to provide answers to them within the scope of this article. My goal is, therefore, to illuminate only some fundamental points of history and religious history, which in my view will help to gain a new insight into the above issues and to provide a dispassionate analysis of the facts.
Let us first consider the different reasons behind various approaches that Christianity and Islam take towards any manifestation of man’s creative activity based on religious and cosmological ideas. In the Qur’an (2: 31) God tells Adam the names of all things; thus, all the knowledge about the created world comes from God. Man is not in a position to extend this knowledge; this point is made clear by, for example, Muhammad ‘Abduh (d. 1905) in his comments to the above sura from the Qur’an.1 As a matter of fact, knowledge is a product of the ever-lasting process of divine creation, which at every given moment defines everything that happens in this world, and covers any place and any period in time. The world thus created is conceived by us to be the cosmos not because of its inherent causality, but only because through his wise and untiring acts of creation God has made it all precisely the way it is now, without revealing his reasons for doing so. Numerous variations underlying this main idea of Islamic cosmology and theology have been voiced throughout its long history from the times of al-Ghazali (d. 1111) to the present day.
Man is assigned the role of God’s vicegerent in this cosmos which is entirely defined by the will of the Creator (Qur’an, 2: 30). What is the meaning of this? There are different answers to this question. Let us first take up the answers which are given by Sufism and the law of the shari‘a, as both exert an especially profound influence upon the minds of many people today. Sufism maintains that only he who is able to renounce his own “self” and devote his whole life to the disposition of Providence, will be able to execute the will of the Most High and at some rare and happy moments will even acquire an ability to participate in His creative acts (tashrif). Al-Shatibi, a scholar from Andalusia (d. 1388) who is highly popular among modern scholars, believes on the contrary that man’s role as “vicegerent” will be accomplished only when, after a profound examination of the sources of the law, and a strict implementation of the results of this inquiry, man’s intentions then coincide with those of God.2
Prof., Dr. Tilman Nagel (Göttingen, Germany)
Quite often one hears that state and religion are inseparable in Islamic culture. This assertion largely corresponds to the historical realities that have developed in the Islamic world during its existence. Such a proposition does not constitute an analysis of the situation, however. The same can also apply to the thesis that the Modern age in Europe so much under the sway of Latin Christianity was characterised by the separation of religion (church) from state. Both arguments aim to call attention to different, if not contradictory, social conditions and their perception by those involved therein. It is clearly impossible to deal with all the issues relative to this subject and all the more so to provide answers to them within the scope of this article. My goal is, therefore, to illuminate only some fundamental points of history and religious history, which in my view will help to gain a new insight into the above issues and to provide a dispassionate analysis of the facts.
Let us first consider the different reasons behind various approaches that Christianity and Islam take towards any manifestation of man’s creative activity based on religious and cosmological ideas. In the Qur’an (2: 31) God tells Adam the names of all things; thus, all the knowledge about the created world comes from God. Man is not in a position to extend this knowledge; this point is made clear by, for example, Muhammad ‘Abduh (d. 1905) in his comments to the above sura from the Qur’an.1 As a matter of fact, knowledge is a product of the ever-lasting process of divine creation, which at every given moment defines everything that happens in this world, and covers any place and any period in time. The world thus created is conceived by us to be the cosmos not because of its inherent causality, but only because through his wise and untiring acts of creation God has made it all precisely the way it is now, without revealing his reasons for doing so. Numerous variations underlying this main idea of Islamic cosmology and theology have been voiced throughout its long history from the times of al-Ghazali (d. 1111) to the present day.
Man is assigned the role of God’s vicegerent in this cosmos which is entirely defined by the will of the Creator (Qur’an, 2: 30). What is the meaning of this? There are different answers to this question. Let us first take up the answers which are given by Sufism and the law of the shari‘a, as both exert an especially profound influence upon the minds of many people today. Sufism maintains that only he who is able to renounce his own “self” and devote his whole life to the disposition of Providence, will be able to execute the will of the Most High and at some rare and happy moments will even acquire an ability to participate in His creative acts (tashrif). Al-Shatibi, a scholar from Andalusia (d. 1388) who is highly popular among modern scholars, believes on the contrary that man’s role as “vicegerent” will be accomplished only when, after a profound examination of the sources of the law, and a strict implementation of the results of this inquiry, man’s intentions then coincide with those of God.2
Political thought in Latin Christianity rests on a completely different foundation. In the Old Testament God leaves it to man to name all other creatures (1st Book of Moses, 2, 19 and further), and gives him the world in what may be called trusteeship, since God takes a rest on the seventh day. Of course, it is occasionally difficult for man to cope with the task assigned to him, and God has again and again to intervene in the course of events. He directs humanity along the path he has predetermined, punishing man for his mistakes, etc. Despite man’s inherent imperfections and sinfulness God shows him his boundless love and sacrifices His son in order to show sinners the road to salvation, making it known to them that they, too, can have hope, if they “will follow Jesus.” Jesus compares his deeds with the toil of a sower: most of his seeds will fall on the barren ground and will die, but some will sprout, take root and will yield fruit (Mark, 4, 9). Sowing – a holy act – has already begun; not everybody understands this, but those who have, act without delay. The truth is that many do not know how to respond to God’s message. And Jesus says unto those unsure and doubting: “I am come to send fire on the earth; and what will I, if it be already kindled? But I have a baptism to be baptised with; and how am I straitened till it be accomplished! Suppose ye that I am come to give peace on earth? I tell you, Nay; but rather division: for from henceforth there shall be five in one house divided, three against two and two against three.” (Luke, 12, 49-52). Thus, it is only thanks to the coming of Jesus Christ that the imperfection of the earthly things man creates becomes visible, and man himself can make decisions about the afterlife. But instead of bringing harmony to the world, this decision will only emphasise the state of
Jumat, 22 April 2016
Ayat-Ayat tentang Pendidikan Akhlak
1. Akhlak kepada Allah SWT terdapat Q..S. 31/Luqman : 13 :
وَاِذْقَالَ لُقْمنَ لاِبْنِه وَهُوَبَعِظُه يبُنَيَّ لاَتُشْرِكْ بِاللهِ ط إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ.
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar. (Q.S. Luqman : 13)[1]
Baca Juga: Ruang Lingkup Akhlak
Berdasarkan ayat tersebut di atas mengisyaratkan bagaimana seharusnya para orang tua mendidik anaknya untuk mengesakan penciptanya dan memegang prinsip tauhid dengan tidak menyekutukan Tuhannya, kemudian anak-anak hendaklah diajarkan untuk mengerjakan shalat, sehingga terbentuk manusia yang senantiasa mengingat dan kontak dengan penciptanya, seperti disebutkan dalam Q.S. 31/Luqman : 17 :
يبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلى مَا اَصَابَكَ ط اِنَّ ذلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلاُمُوْرِ.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Q.S. Luqman : 17)[2]
2. Akhlak Kepada Orang Tua
Dalam Q.S. 31/Luqman : 14
وَوَ صَّيْنَا اْلاِنْسنَ بِولِدَيْهِ. حَمَلَتْهُ اُمُّه وَهْنًا عَلى وَهْنٍ وَّفِصلُهُ فِى عَا مَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لىِ وَلِولِدَيْكَ ط اِلَىَّ الْمَصِيْرُ.
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman : 14)[3]
Berdasarkan ayat di atas menjelaskan bahwasannya Islam mendidik anak-anak selalu berbuat baik terhadap orang tua sebagai rasa berterima kasih atas perhatian, kasih sayang dan semua yang telah mereka lakukan untuk anaknya. Bahkan perintah untuk bersyukur kepada Allah.
3. Akhlak Kepada Diri Sendiri
Dalam Q.S. 31/Luqman : 19 :
وَاقْصِدْ فىِْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْ تِكَط اِنَّ اَنْكَرَ اْلاَ صْوتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ.
Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai. (Q.S. Luqman : 14)[4]
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwasannya dilarang berjalan dengan congkak dan Allah SWT memerintahkan untuk sederhana dalam berjalan, dengan tidak menghempaskan tenaga dalam bergaya, tidak melenggak lenggok, tidak memanjangkan leher karena angkuh, akan tetapi berjalan dengan sederhana, langkah sopan dan tegap, memelankan suara adalah budi yang luhur. Percaya diri dan tenang karena berbicara jujur. Suara lantang dalam berbicara adalah termasuk perangai yang buruk.
4. Akhlak Kepada Orang Lain
Dalam Q.S. 31/Luqman : 18 :
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ الِنَّاِس وَلاَ تَمْشِ فِى اْلاَرْضِ مَرَحًاط اِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلُّ مُخْتَالٍ فَحُوْرٍ.
Dan jangnalah kamu memalingkan mukamu dan manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Q.S. Luqman : 18)[5]
Kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, anak-anak haruslah dididik untuk tidak bersikap acuh terhadap sesama, sombong atas mereka dan berjalan di muka dan menghargai orang lain, karena bersikap acuh tak acuh tidak disukai oleh Allah dan dibenci manusia.
Demikianlah, Allah memberikan contoh kongkrit dalam mendidik akhlak anak-anak, di mana jika setiap orang tua dapat melaksanakan dengan baik dan benar, maka anak-anak mereka akan tumbuh menjadi manusia yang berakhlak mulia dan luhur.
Dalam pendidikan akhlak bagi anak ini, terbagi dalam beberapa periode, diantaranya :
1. Pendidikan Anak Prenatal (Pendidikan Anak Dalam Kandungan)
Pendidikan anak prenatal merupakan hal yang sangat urgen diketahui, dipahami dan diamalkan oleh setiap orang tua. Dalil Islami tentang hukum wajib atas orang tua untuk mendidik anak dalam kandungan adalah dalil yang sama dengan hukum wajib mendidik anak secara umum karena anak dalam kandungan adalah anak mereka yang belum lahir.
Anak adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang hadir di tengah keluarga atas dasar fitrah. Mereka menjadi sumber kebahagiaan keluarga yang harus dijaga dan dipertahankan kesuciannya oleh kadua orang tuanya dan seluruh anggota keluarga lainnya, guna kelestarian pertumbuhan kepribadian mereka secara totalitas. Berkenaan dengan kewajiban memelihara dan mendidik tersebut terdapat dalam Q.S. 66/At-Tahrim ayat 6 :
يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُوْهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَّ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا اَمَرَ هُمْ وَيَفْعَلُوْنَ ماَ يُؤْ مَرُوْنَ.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. AT-Tahrim : 6)[6]
Berdasarkan ayat tersebut,Allah SWT memerintahkan kepada segenap manusia yang beriman, agar memelihara dirinya dan keluarganya dengan penuh tanggung jawab agar terhindar dari bahaya dunia dan akhirat. Terutama pada anak-anak yang membutuhkan orang tua dalam pendidikan dan masa depannya kelak.
Pendidikan anak dalam kandungan menurut Islam adalah usaha sadar dari pihak orang tua (Ayah dan ibu) untukmendidik anak mereka yang masih dalam perut ibunya dengan cara mengikuti petunjuk Islam mengenai pendidikan, khususnya pendidikan anak dalam kandungan.[7]
Pendidikan anak secara aktif menurut ajaran paedagogis Islami harus dimulai sejak masa diketahui bahwa anak tersebut sudah ada di dalam kandungan istri (prenatal). Dengan kata lain, pendidikan anak secara aktif sudah harus dimulai sejak masa ia di dalam kandungan dengan cara atau teknik pendidikan yang Islami.
Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa roh (nyawa) yang ditiupkan malaikat berdasarkan izin dan perintah Allah yang lantas memberi hidup kepada anak di dalam kandungan, sudah memiliki daya kognitif tinggi. Hal ini dijelaskan Allah seperti terlihat dalam Q.S. 7/Al-A’raaf ayat 172 :
وَاِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِيْى ادَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَ هُمْ عَلى اَنْفُسِهِمْ ج أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ط قَالُوْا بَلَى ج شَهِدْنَا ج أَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هذَا غَافِلِيْنَ.
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap nyawa (ruh) mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab : “Betul, (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). (Q.S. Al-A’raaf : 172) [8]
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwasannya ruh (nyawa) itulah tentu saja bersama jasmani yang ditempatinya yang sesungguhnya memberi respon kepada setiap stimulus tersebut. Roh tersebut meskipun sudah terdimensi tetap bersikap responsif, sebab manusia tanpa roh adalah bangkai yang tidak berdaya, tidak berakal fikir. Dengan demikian jelas bahwa anak di dalam kandungan sudah bisa dididik.
_____________________________________________________
[1] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 654.
[2] Ibid.,hlm. 655.
[3] Ibid., hlm.654.
[4] Ibid.
[5] Ibid.,hlm. 655.
[6] Ibid., hlm. 951.
[7] Baihaqi,A.K., Mendidik Anak dalam Kandungan Menurut Ajaran Paedagogis Islami, (Jakarta : Darul Ulum Press, 2001), hlm. 12-13.
[8] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hlm. 250.
Langganan:
Postingan (Atom)