Ibnu Arabi : Wahdat Al-Wujud Dalam Perdebatan
(DR. Kautsar Azhari Noor)
Ilmu Tasawuf telah memberikan sumbangan besar bagi kehidupan spiritual dan intelektual islam. Pengaruh tasawuf tidak terbatas pada golongan elit keagamaan tetapi menjangkau seluruh lapisan masyarakat dari paling atas sampai paling bawah. Tasawuf telah mempengaruhi sikap hidup, moral dan tingkah laku masyarakat. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, muncul konflik antara golongan yang pro dan kontra terhadap tasawuf bisa dilukiskan sebagai konflik antara ahli tasawuf dan ahli fiqih. Konflik semakin menajam sejak timbulnya kecenderungan yang mengarah kepada panteisme sebagaimana yang tampak dalam ajaran ittihad Abu Yazid al-Bustami dan ajaran hulul al-hallaj.
Dalam perjalanan selanjutnya muncul konsep ajaran wahdat al-wujud ala ibn al-‘Arabi yang diidentikkan oleh sebagian besar ulama fiqh, kalam maupun Islamolog Barat dengan konsep panteisme atau monisme. Faktor utama yang menimbulkan kecurigaan dan dan kecaman keras terhadap tasawuf ialah munculnya ajaran-ajaran yang mengarah kepada panteisme. Menurut panteisme dalam pengertian yang popular, Tuhan identik dengan alam semua yang ada sebagai keseluruhannya adalah Tuhan, dan Tuhan adalah semua yang ada sebagai keseluruhannya. Tuhan adalah sebagai satu realitas atau satu wujud. Disini imanensi Tuhan terlihat secara total dan transendensinya hilang; perbedaan antara Tuhan dan alam sudah tidak ada lagi.
Dalam konteks Indonesia, ajaran tasawuf yang berkembang pada masa-masa permulaan, dapat dikategorikan sebagai tipe mistik pertama. Tipe mistik ini sangat identik dengan paham wahdat al-wujud atau wujudiyah yang merupakan pengembangan teori ibn al-‘Arabi. Di Aceh, pada abad 17 khususnya, doktrin wujudiyah ini pernah menjadi perdebatan dikalangan para ulama sufi sendiri. Selain karena adanya faktor sosial-politik saat itu yang mempengaruhi masing-masing pihak yang berselisih, kontroversi seputar wujudiyah ini juga diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam menafsirkan doktrin tersebut. Demikian sengitnya itu, hingga mengakibatkan sebuah tragedi di Aceh, yakni pembakaran karya-karya mistis Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani yang memuat ajaran wujudiyah oleh ar -Raniri dan para pengikutnya, serta pengejaran dan pembunuhan terhadap mereka yang tidak mau meninggalkan ajaran tersebut.
Doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi telah membangkitkan perdebatan panjang antara pengecam dan pendukung doktrin ini. Persoalan inti yang diperdebatkan adalah hubungan ontologis antara Tuhan dan alam. Persoalan inilah yang menjadi kajian ilmiah yang menarik bagi para sarjana dan Muslim sendiri. Perbedaan pendapat tentang pendeskripsian doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi pun muncul dari kalangan Islam maupun dari kalangan Barat. Tuduhan bahwa doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi dapat diberi label panteisme, monisme, monisme ontologis, atau isme-isme yang lain termasuk konsep manunggaling kawula-gusti yang berkembang diberbagai belahan dunia ditolak dengan tegas oleh beberapa sarjana muslim kontemporer. Salah satunya adalah Seyyed Hosseein Nasr yang memandang bahwa istilah-istilah diatas tidak dapat dipakai untuk mendeskripsikan doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi. Sementara dikalangan orientalis Barat ada pula yang menyangkal isme-isme Barat tersebut dianggap sama dengan konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi, salah satunya adalah Henry Corbin.
Dari perbedaan pendapat diatas menggugah Kautsar Azhari Noer untuk melakukan penelitian tentang doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi. Alasan lain bahwa sampai hari ini, sarjana Indonesia yang menjadi anggota The Muhyiddin Ibn ‘Arabi Sosiety bisa dihitung sebelah tangan. Dalam hal ini, Kautsar (sebagai pengembang intelektual keilmuan dan anggota pengagum Ibn al-‘Arabi) merasa berkewajiban untuk memberikan pemetaan yang sejelas-jelasnya posisi wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi dan isme-isme yang dianggap sama dengan doktrinnya.
RUMUSAN PERMASALAHAN
Agar pembahasan lebih terfokus dan tidak meluas kepada pembahasan lain, maka dengan berangkat dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan pembahasan; yaitu apa perbedaan antara wahdat al-wujud Ibn al-‘Arabi dengan panteisme?
PENTINGNYA TOPIK PENELITIAN
Setelah mendeskripsikan semua pandangan ibn al-‘Arabi tentang wahdat al-wujud secara mendalam, maka topik ini menjadi sangat penting guna memberikan penjelasan kepada semua pihak agar tidak terjadi atau setidaknya meminimalisir perdebatan tentang konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi.
KAJIAN PUSTAKA
Literatur-literatur primer yang digunakan Kautsar dalam megkaji wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi adalah karya ibn al-‘Arabi itu sendiri. Yaitu;
al-futuhat al-makkiyyah dan Fusus al-Hikam. Karena kitab inilah yang paling banyak mengandung pemikiran wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi. Sedikit tentang Fusus al-Hikam, yang diterjemahkan pada tahun 1980 oleh Ahmad Sahidah dan Nurjana Ariyanti, bahwa ibn al-‘Arabi bermaksud masing-masing nabi, yang dijadikan judul bab dalam buku ini adalah tempat manusia dimana bentuk dari masing-masing jenis hikmah ditetapkan, kemudian menjadikan masing-masing nabi sebagai penanda atau tanda berdasarkan pilihan dari sebuah aspek tertentu hikmah keilahian. Metode yang digunakan untuk menterjemahkan kitab ini dengan mengunakan manuskrip yang istimewa dan menggunakan beberapa dari banyak komentar murid-murid ibn al-‘Arabi.
Sedangkan karya-karya yang dianggap penting dalam melakukan kajian ilmiah ibn al-‘Arabi telah banyak dilakukan. Antara lain : karya William C. Chittick (1989) yang berjudul The Sufi Path of Knowledge : Ibn al-‘Arabi’s Metaphiysics of Imagination. Dan kemudian dialih bahasakan kedalam bahasa Indonesia dengan Pengetahuan Spiritual Ibn al-‘arabi. Karya ini adalah suatu studi sistematis tentang berbagai aspek metafisika wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi. Buku ini lebih pada suatu kumpulan terjemahan dari bagian-bagian kitab al-futuhat daripada suatu analisis ilmiah lebih dari 600 bagian dari al-futuhat diterjemahkan dalam buku ini sehingga kira-kira 75 % kandungannya, diluar catatan dan indeks, adalah terjemahan utuh. Karena karya Chittick ini sebagian besar merupakan karya terjemahan, maka tidak banyak pengembangan pemahaman yang dilakukannya. Permasalahan yang diangkat dan sumbangan pemikiran yang disimpulkan merupakan murni dari pengarang buku aslinya yaitu Ibn Al-‘Arabi. Dimana telah dikenal bahwa Futuhat al-Makiyyah adalah adalah sebuah ensiklopedia ilmu-ilmu keislaman yang sangat luas yang bertumpu pada ajaran tawhid, pengakuan terhadap ke-esaan Tuhan, yang menjadi inti ajaran islam. Futuhat terderi dari 560 Bab, beberapa diantaranya yang dapat menjadi buku tersendiri jika diterbitkan secara terpisah. Sedangkan dalam menulis bukunya, Chittick, mengadakan studi literature primer dan kemudian baru menterjemahkannya. Dan dalam perjalanannya bahwa buku karya Chittick menjadi rujukan untuk menjembatani peneliti pemikiran ibn al-‘Arabi. ini sangat membantu kajian tentang pemikiran ibn al-‘Arabi Karya H.S.Nyberg, M. Asin Palacios, Henry Corbin, Rom Landau, Seyyed hossen Nasr, Toshihiko Izutsu, dan masih banyak karya-karya yang mewarnai penulisan Kautsar dalam menjelaskan wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi.
METODOLOGI
Dalam melakukan penelitiannya, Kautsar Azhari Noer mengadakan studi pustaka mendalam terhadap pemikiran-pemikiran ibn al-‘Arabi. Diantaranya dengan menjadi anggota Ibn al-‘Arabi society. Kegiatan pokok organisasi ini ialah menyelenggarakan riset, seminar dan penerbitan seputar sejarah, pemikiran dan pengaruh ibn al-'Arabi. Selain itu,-dalam menulis buku ini- Kautsar juga mempelajari karya-karya yang berhubungan dengan konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi. Salah satu karya tersebut adalah buku yang berjudul al-Futuhat al-Makiyyah dan Fusus al-Hikam. Setelah mendapatkan gambaran dan keterangan yang cukup tentang wahdat al -wujud ibn al-‘Arabi, Kautsar selanjutnya mengkomparasikan dengan konsep Barat yang dianggap sama dengan konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi, yaitu konsep panteisme, panenteisme, maupun monisme.
Kemudian dalam melakukan pendekatan terhadap konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi, Kautsar mengambil pendekatan filosofis-teologis. Yaitu mendekati pandangan ibn al-‘Arabi tentang wahdat al-wujud dengan menekankan pada alasan-alasan rasional yang dapat dijangkau akal dan tidak mengabaikan teori-teori agama untuk memberikan taukid atau penguatan.
RUANG LINGKUP PENELITIAN
Riwayat Hidup Ibn al-‘Arabi
Nama lengkap Ibn al-‘Arabi adalah Muhammad ibn ‘Ali ibn al-‘Arabi al-Ta’i al-Hatimi. Lahir di Mursia, Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau bertepatan dengan 28 Juli 1165 M. Dan lebih dikenal dengan Ibn al-‘Arabi. Beliau mulai belajar formal di Seville dengan mempelajari al-Qur’an dan tafsirnya, hadits, fiqh teologi dan filsafat skolastik. Dan memasuki jalan sufi (tarekat) secara formal seperti yang diceritakannya sendiri pada 580 H/1184 M, saat berusia duapuluh tahun. Diantara guru spiritual Ibn al-‘Arabi terdapat dua wanita lanjut usia; Yasamin dan Fatimah. Ia sangat mengagumi kedua wanita itu dan mengakui jasa mereka dalam memperkaya kehidupan spiritualnya. Sampai disini disebut fase pertama Ibn al-‘Arabi, dimana merupakan fase persiapan dan pertumbuhan dirinya sebagai seorang sufi.
Fase kedua Ibn al-‘Arabi ditandai dengan kepindahannya ke Makkah di penghujung tahun 598H/pertengahan tahun 1202 M. Baginya, Makkah bukanlah sekedar tempat menjalankan ibadah haji. Namun baginya Makkah adalah tempat meningkatkan kualitas kehidupan spiritualnya. Setelah melakukan perjalanan ke berbagai daerah, seperti; Madinah, Yerusalem, Bagdad, Kairo, kembali lagi ke Makkah, melanjutkan lagi ke Armenia, dan pada akhirnya Ibn al-‘Arabi memutuskan untuk memilih Damaskus sebagai persinggahan terakhirnya hingga wafat. Di Damaskuslah fase ketiganya berlangsung dan merupakan fase terakhirnya. Dimana merupakan fase kematngan kehidupan spiritual dan intelektualnya sebagai seorang sufi. Dan pada akhirnya wafat pada 22 Rabiul-Tsani 638 H/November 1240.
Diantara para pemikir Muslim, Ibn al-‘Arabi merupakan penulis paling produktif. Jumlah yang pasti karya-karyanya tidak diketahui, ada yang menyebut sekitar 700 ada juga yang menyebut 846 judul. Dua karya Ibn al-‘Arabi yang paling penting dan masyhur adalah al-Futuhat al-Makiyyah yang menyebut uraian uraian tentang prinsip-prinsip metafisika, berbagai ilmu keagamaan dan juga pengalaman keagamaan Ibn al-‘Arabi. Dan kitab Fusus al-Hikam yang menyebutkan aspek-aspek tertentu kebijaksanaan ilahi dalam konteks kehidupan dan person duapuluh tujuh nabi.
Sejarah singkat Istilah Wahdat al-Wujud
Penelitian awal tentang sejarah istilah Wahdat al-Wujud dilakukan oleh W.C. Chittick dan menyimpulkan bahwa orang pertama kali yang menggunakan istilah Wahdat al-Wujud adalah al-Qunawi, istilah ini bukanlah istilah teknis yang independen, namun muncul secara wajar dalam pembicaraannya tentang hubungan antara wujud Tuhan dan keesaannya. Kemudian Farghani salah satu pengikut Qunawi merumuskan istilah Wahdat al-Wujud adalah taraf terendah di antara taraf perkembangan spiritual yang dilalui oleh orang yang mendalaminya. Taraf yang kedua adalah kontemplasi tentang katsrat al-‘ilm, dan taraf yang tertinggi adalah pemaduan antara taraf kedua dan taraf ketiga. Temuan W.C. Chittick tentang Qunawi adalah bantahan pada Ibrahim Madkur yang menemukan bahwa ibn Taymiyyah adalah tokoh pertama yang menggunakan istilah Wahdat al-Wujud.
Bisa dikatakan bahwa ibn Taymiyyah (w. 728 H/1328 M) adalah tokoh yang paling besar perannya dalam mempopulerkan istilah Wahdat al-Wujud, dan sekaligus pengecam keras ibn al-‘Arabi dan para pengikutnya. Bagi ibn Taymiyyah, istilah Wahdat al-Wujud adalah istilah yang mempunyai pengertian negatif. Ia menggunakannya sebagai kutukan dan ejekan. Baginya, Wahdat al-Wujud merupakan istilah yang sinonim dengan ajaran bid’ah: adalah ittihad dan hulul. Ajaran Wahdat al-Wujud adalah ajaran kufr dan bid’ah.
Pemahaman istilah Wahdat al-Wujud antara ibn Taymiyyah dan ibn al-‘Arabi ada perbedaan. Bagi ibn Taymiyyah istilah Wahdat al-Wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam, yang dalam istilah moderen sinonim dengan panteisme, monisme, monisme panteistik. Sehingga bagi sarjana-sarjana Barat pemikiran ibn al-‘Arabi dianggap pemikiran Islam lain. Sedangkan bagi pengecam ibn al-‘Arabi dari kalangan fuqaha’ (ahli fiqh), istilah Wahdat al-Wujud berkonotasi negatif, yang diberi label kufr, zandaqah, bid’ah. Tetapi bagi penganut Wahdat al-Wujud ibn al-‘Arabi, istilah ini mempunyai pengertian positif. Lebih dari itu, istilah ini bagi mereka adalah sininim dengan tawhid yang paling tinggi. Wahdat al-Wujud adalah pendekatan sufi dalam mengekspresikan tawhid.
Wahdat al-Wujud Ibn al-‘Arabi
Wahdat al-Wujud secara etimologi berasal dari bahasa arab yaitu Wahdat yang berarti satuan. Sedangkan wujud berarti wujud/ada . Jadi, wahdatul wujud adalah satuan wujud, atau unity of existence. Konsep ini timbul dari paham bahwa Allah ingin melihat diriNya di luar diriNya dan oleh karena itu dijadikanNya alam ini. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah dikala ia ingin melihat diriNya, ia melihat kepada alam, pada benda-benda yang ada pada alam, karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan, tuhan melihat diri-Nya. Dari sini timbul faham kesatuan yang ada dala alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak ubahnya hal ini sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan disekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya : dalam cermin itu dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya sebenarnya satu. Dalam menjelaskan konsep Wahdat al-Wujud ibn al-‘Arabi, Kautsar menjelaskan hal-hal dibawah ini:
Wujud dan ‘Adam
Kata Wujud biasanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan being atau existence. Dalam menjelaskan wujud dan ‘adam, Ibn al-‘Arabi membedakan tiga jenis kategori ontologis. Pertama adalah yang ada dengan zatnya sendiri dalam entitasnya. Wujudnya mustahil dari tiada. Ia mewujudkan segala sesuatu. Ia adalah wujud Absolut (al-wujud al-mutlaq).
Al-Haqq dan al-Khalq
Kata al-Haqq dalam karya ibn al-‘Arabi mempunyai beberapa pengertian yang berbeda dalam konteks-konteks yang berbeda pula. Persoalan yang akan dijawab disini adalah; bagaimana hubungan ontologis antara al-Haqq (Allah, Sang Pencipta, Yang Esa, wajib al-wujud) dan al-Khalq (alam, mahkluk, yang banyak, al-mumkinat).
Al-Haqq dan al-Khalq dalam aspek ibn al-‘Arabi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena keduanya adalah subyek dan obyek yang serentak. Keduanya adalah satu dan mempunyai peran yang sama secara timbal balik. Hanya saja al-Haqq mempunyai wujud dan peran yang mutlak, sedangkan al-Khalq mempunyai wujud dan peran yang relatif.
Tajalli al-Haqq
Teori tajalli secara keseluruhan dapat diringkaskan sebagai berikut. Tajalli Pertama, penampakan diri al-Haqq kepada diri-Nya sendiri dalam bentuk-bentuk “entitas-entitas permanen”, yaitu realitas-realitas yang hanya ada dalam ilmu Tuhan, tetapi tidak ada dalam alam nyata. Entitas ini tidak lain daripada bentuk-bentuk penampakan Nama-Nama Tuhan pada taraf kemungkinan-kemungkinan ontologis. Entitas permanen ini selamanya tidak berubah dan tidak dapat diubah. Tajalli Kedua adalah penampakan entitas-entitas permanen dari alam ghaib ke alam nyata, dari potensialitas ke aktualitas, dari keesaan ke keanekaan, dari batin ke zahir. Dalam Tajalli Kedua ini, al-Haqq menampakkan diri-Nya dalam bentuk-bentuk yang tidak terbatas dalam alam nyata.
Al-Zahir dan al-Batin
Salah satu bentuk utama kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi dalam memahami Tuhan (coincidentia oppositorum atau al-jam’u bayna al-‘addad: kesatuan dari yang bertentangan ) dalam struktur ontologi ibn al-‘Arabi adalah hubungan antara al-zahir (Yang Tampak) dan al-batin (Yang Tidak Tampak). Menurut al-Qur’an, Allah adalah al-zahir dan al-batin (Q.S. 57:3). Ibn al-‘Arabi mengartikan ayat ini apa adanya tanpa usaha menjelaskannya lebih jauh.
Yang satu dan Yang Banyak
Untuk menjelaskan hubungan ontologis ini, ibn al-‘Arabi menggunakan penjelasan matematis. Ia membandingkan struktur ontologis bahwa yang satu menampakkan diri-Nya dalam benyak bentuk yang tidak terbatas pada alam, pada satu pihak, dengan struktur matematis bahwa yang satu “melahirkan” bilangan-bilangan yang jum;ahnya tidak terbatas, pada pihak lain. dalam struktur matematis, ibn al-‘Arabi menjelaskan hubungan timbal balik antara Yang Satu dengan Yang Banyak: bagaimana Yang Satu mereproduksi Yang Banyak atau bilangan dan bagaimana yang banyak pada hakikatnya adalah satu.
Tasybih dan tanzih
Pembahasan khusus tentang tasybih dan tanzih akan diuraikan secara lengkap pada bagian ke 4 dari pembahasan ruang lingkup ini.
Zat dan Nama-nama Tuhan
Pernyataan bahwa zat Tuhan tidak berhubungn dengan nama-nama adalah untuk menekankan tanzih Tuhan yang bersifat absolut. Nama-nama yang tidak ada hubungannya dengan, atau yang tidak dimiliki zat Tuhan adalah nama-nama yang menyatakan tanzih dimiliki oleh zat Tuhan. Nama-nama yang menyatakan tanzih menafikan semua nama dan sifat mahkluk dari zat Tuhan. Dengan kata lain, zat Tuhan memiliki nama-nama tanzih tetapi tidak memiliki nama tasybih. Nama yang paling tinggi dan mencakup semua nama ilahi dalam keesaan adalah Allah. Ibn al-‘Arabi berkata: “nama yang paling besar dan mencakup semua nama adalah Allah. Allah adalah kumpulan-kumpulan realitas dari nama-nama ilahi keseluruhannya. Sesungguhnya Allah, adalah yang mencakup nama-nama yang saling berlawanan dan yang bukan saling berlawanan. Maka ia memiliki arti-arti semua nama ilahi. Ibn al-‘Arabi nampaknya memandang Allah adalah nama yang menunjukkan Tuhan, baik dari segi zat-Nya maupun dari segi nama-nama-Nya.
Al-A’yan dan al-Tsabitah (entitas-entitas permanen)
Konsep Al-A’yan (substansi, esensi, zat, diri individualistis) dan al-Tsabitah (tak berubah, tetap, pasti, tertentu) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam teori ontologi ibn al-‘Arabi. Kedudukannya kira-kira sebanding dengan konsep platonik tentang “ide-ide”.
Al-Insan al-Kamil
Doktrin Al-Insan al-Kamil (manusia sempurna) perlu dibicarakan secara khusus dalam menjelaskan konsep wahdat al-wujud, yang merupakan dasar metafisis ibn al-'Arabi.
Ibn al-'Arabi mengatakan bahwa untuk menjadi manusia sempurna, manusia harus “berakhlak dengan akhlak Allah”, “mengambil akhlak Allah”, atau berakhlak dengan nama-nama Allah”, “Mengambil nama-nama Allah”. Dalam teks-teks sufi, ungkapan ini, yang biasanya dianggapm berasal dari Nabi saw. Dalam anaisis ini terlihat dengan jelas bahwa manusia sempurna mengandung paradoks kesempurnaan.
Tanzih dan Tasybih
Dilihat dari segi zat-Nya, Tuhan berbeda sama sekali dengan alam, melebihi dan mengatasi alam. Karena itu, Tuhan diluar jangkuan pengetahuan manusia, tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata dan apa pun. Tetapi dilihat dari segi nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang termanifestasi dalam alam, Tuhan serupa dan mirip dengan alam karena alam melalui alam Tuhan menampakkan diri-Nya. Tuhan memperkenalkan diri-Nya dalam bentuk-bentuk alam. Alam adalah perwujudan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Alam mempunyai keserupaan dan kemiripan dengan Tuhan pada tingkat tertentu. Alam adalah tanda atau ayat yang memberitahu identitas Tuhan. Melalui alam, manusia dapat mengetahui Tuhan. Demikianlah pandangan Ibn al-‘Arabi yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai dua segi: kemisterian dan penampakan diri. segi pertama disebut tanzih dan segi kedua kedua disebut tasybih.
Dalam ilmu kalam (teologi Islam), penekanan pemahaman bahwa Tuhan berbeda secara mutlak dengan alam dan dengan demikian tidak dapat diketahui melahirkan konsep tanzih, sedangkan penekanan pemahaman bahwa Tuhan, meskipun hanya pada tingkat tertentu, mempunyai kemiripan atau keserupaan dengan manusia dan alam melahirkan konsep tasybih, tanzih (berasal dari kata kerja nazzaha, yang secara harfiah berarti “menjauhkan atau membersihkan sesuatu dari sesuatu yang mengotori, sesuatu yang yang tidak murni”) dipergunakan para mutakallimun (teolog-teolog Islam) untuk “menyatakan atau menganggap bahwa Tuhan secara mutlak bebas dari semua ketidaksempurnaan,” yaitu semua sifat yang serupa dengan sifat-sifat makhluk meskipun dalam kadar yang paling kecil. Dengan kata lain, tanzih menyatakan bahwa Tuhan melebihi sifat atau kualitas apa pun yang dimiliki oleh makhluk-makhluk-Nya. Adapun tasybih (berasal dari kata kerja syabaha, yang secara harfiah berarti “menyerupakan atau menganggap sesuatu serupa dengan yang lain”) dalam ilmu kalam berarti “menyerupakan Tuhan dengan ciptaan-ciptaan-Nya. Maka tasybih adalah mempertahankan bahwa keserupaan tertentu bisa ditemukan antara Tuhan dan makhluk”.
Tanzih dan Tasybih adalah dua istilah kunci yang telah lama dipakai dalam ilmu kalam. Kedua istilah ini merupakan istilah yang sangat penting dalam perdebatan tentang hubungan ontologis antara tuhan dan alam sejak periode awal perkembangan ilmu kalam. Ibn al-‘Arabi menyatakan bahwa Tuhan mempunyai dua segi: kemisterian dan penampakan diri. Segi pertama disebut Tanzih (Tuhan melebihi sifat atau kualitas apapun yang dimiliki oleh mahkluk-Nya) dan segi kedua disebut dengan Tasybih (bahwa keserupaan tertentu bisa ditemukan antara Tuhan dan mahkluk).
Ayat al-Qur’an yang paling sering digunakan ibn al-‘Arabi untuk menjelaskan Tanzih dan Tasybih Tuhan adalah ayat yang berbunyi Laysa ka-mitslihi sysy’, wa-huwa al-sami’ al basir (Q.S. 42:11). Beliau memberikan dua penafsiran terhadap ayat ini: pertama Bagian pertama yang berbunyi Laysa ka-mitslihi syay’ , menyatakan tanzih, sedangkan bagian kedua yang berbunyi wa-huwa al-sami’ al basir, menyatakan tasybih Tuhan. Kedua, bagian ayat pertama menunjukkan tasybih dan bagian ayat yang kedua menyatakan tanzih. Jadi kedua penafsiran saling bersilang balik. Sehingga beliau memperingatkan kepada kita agar berpegang tidak hanya pada tanzih atau pada tasybih saja, namun harus berpegang pada keduanya. Beliau juga mengecam pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh dengan kemampuan akal oleh para mutakallimun (para ahli ilmu kalam) dan filsuf, pengetahuan yang diperoleh dengan akal tidaklah sempurna. Akal hanya mampu pada hal yang bersifat Tanzih, dan tidak dapat menjangkau tasybih. Pengetahhuan yang sempurna tentang Tuhan adalah dengan menggabungkan antara Tanzih dan Tasybih.
Dalam terminologi ibn al-‘Arabi, Tanzih menunjukkan aspek “kemutlakan” (itlaq) pada Tuhan, sedangkan tasybih menunjukkan aspek “keterbatasan” (taqayyud) pada-Nya. Dalam pengertian ini Tuhan tidak tidak diketahui dan tidak dapat diketahui, tidak dapat ditangkap, tidak dapat dipikirkan, dan tidak dapat dilukiskan. Dia adalah transenden. Satu-satunya sifat yang berlaku bagi-Nya adalah “kemutlakan”.
Dilihat dari segi nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan penampakan diri-Nya dalam bentuk-bentuk alam, Tuhan adalah musyabab, serupa dengan makhluk-makhluk-Nya pada tingkat tertentu. Tuhan adalah “yang menampakan diri” (majla), yaitu alam, yang tidak lain adalah “lokus penampakan” (mazhar) nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Dapat pula dikatakan “bahwa alam keseluruhannya adalah bentuk-bentuk penampakkan diri Tuhan dari segi Nama Yang Tampak. Jika dikatakan bahwa Tuhan “mendengar” dan “melihat”, itu berarti bahwa Tuhan, dengan “menampakkan diri-Nya” (tajalla) dalam alam, “mendengar dan melihat” dalam bentuk setiap siapa dan apa yang mendengar dan melihat, dan dengan kata lain Tuhan adalah substansi atau “ke-Dia-an” setiap apa yang mendengar dan melihat. Menurut Ibn al-Arabi, Allah telah menyatakan “ke-Dia-an” al-Haqq adalahpendengaran, penglihatan dan semua daya sang hamba. Allah adalah “ke-Dia-an” setiap anggota badan sang hamba. Karena itu pada hakekatnya pelaku setiap perbuatan adalah al-Haqq. “Ke-Dia-an” al-Haqq terkandung dalam setiap manusia dan mahluk. Jika kita melihat al-Khalq, niscaya kita melihat Yang Awal Dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin.
Al-Haqq memiliki sifat-sifat al-Muhdatsat dan mahluk memiliki sifat-sifat al-Haqq. Jika al-Haqq adalah Yang Tampak, maka al-Khalq tersembunyi di dalam-Nya, dan al-Khalq merupakan semua nama al-Haqq, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya dan semua hubungan-Nya. Jika al-Khalq adalah Yang Tampak maka al-Haqq tersembunyi di dalamnya dank arena itu al-Haqq menjadi pendenmgaran al-Khalq, penglihatannya, tanganya, kakinya dan semua dayanya. Ini adalah bukti-bukti yang menunjukan dengan tegas bahwa Tuhan serupa dengan alam.
Penafsiran Ibn al-Arabi tentang tanzih dan tasybih sesuai dengan doktrin ontologisnya tentang wahdat al-wujud, yang bertumpu pada perumusan ambigu: “Dia dan bukan Dia” (huwa la huwa)sebagai jawaban atas persoalan apakah alam identik dengan Tuhan. Dalam perumusan ini, terkandung dua bagian jawaban: bagian positif, yaitu “Dia” dan bagian negative “bukan Dia”. Bagian pertama menyatakan bahwa alam identik dengan Tuhan. Dan begian kedua mengaskan aspek tanzih Tuhan. Dapat pula dikatakan bahwa penafsiran Ibn al-Arabi tentang tanzih dan tasybih sejalan dengan prinsip al-jam’byn al-addad, yang memadukan kontradiksi-kontradiksi, misalnya Yang Satu dan Yang Banyak, unitas dan multisiplitas. Yang Lahir dan Yang Batin.
Ibn al-Arabi melukiskan Nabi Nuh sebagai wakil yang menganut pendirian dan sikap tanzih. Dalam Al-Qur’an diceritakan bahwa syirk (politeisme), penyembahan berhala, merajalela di kalangan umat Nabi Nuh. Beliau berusaha keras mengembalikan umatnya kepada tawhid (monoteisme murni). Dalam konteks ini beliau mendesak umatnya agar memegang teguh prinsip tanzih. Usaha ini diakui Ibn al-Arabi sebagai keharusan sejarah dan ini dapat dibenarkan. Namun demikian, Ibn al-Arabi mengecam pendirian dan sikap nabi Nuh itu karena ia menganggap Nabi Nuh terlalu mementingkan tanzih dan meremehkan tasybih. Nabi Nuh mengajak umatnya hanya untuk memegang tanzih, tidak mengajak mereka untuk memegang tasybih pada saat yang sama. Ibn al-Arabi memandang pengetahuan tentang Tuhan yang hanya berdasar pada prinsip tanzih tidak sempurna, sehingga pendirian Nabi Nuh adalah pendirian yang pincang dan berat sebelah dan oleh sebab itu keliru. Menurut Ibn al-Arabi jika Nabi Nuh menyatukan dua dakwah (tanzih dan tasybih) bagi umatnya, niscaya mereka akan menjawab positif dakwah itu.
Ibn al-Arabi tidak mempersoalkan umat Nabi Nuh sebagai umat yang sesat sepenuhnya. Ia cenderung memihak dan membela umat Nabi Nuh sebagai lambang realitas penampakan diri ilahi (tajalli illahi) dalam multisiplitas yang selalu berubah dalam bentuk-bentuk alam. Situasi umatnya tidak dipahami oleh Nabi Nuh. Ibn al-Arabi lebih mempermasalahkan Nabi Nuh dalam persoalan ini.
Dalam pandangan Ibn al-Arabi, dakwah Nabi Nuh salah arah: ditujukan hanya kepada arah “penutupan” (satr). Padahal seharusnya dakwahnya, disamping kepada arah “penutupan”, ditujukan pula kepada arah “penyingkapan” (kasyf). Pengertian “penutupan” diambil Ibn al-Arabi dari kata ghafara yang terdapat dalam Al-Qur’an pada surah Nuh ayat 4 dan 7. Ibn al-Arabi berkata: kemudian Nabi Nuh memberitakan bahwa beliau berdakwah kepada umatnya agar Tuhan menutup bagi mereka dosa-dosa tasybih yang berlebih-lebihan, bukan agar tersingkap bagi mereka tasybih di samping tanzih.
Tanzih yang didakwahkan oleh Nabi Nuh tanpa tasybih kepada umatnya disebut al-furqan oleh Ibn al-Arabi. Al-furqan yang secara harfiah berarti “pemisahan”, “pembedaan” di sini, penafsiran Ibn al-Arabi tentang al-furqan dengan arti pemisahan dijelaskan oleh T.Izutzu antara lain sebagai berikut: “pemisahan, di sini berarti pemisahan secara radikal aspek ke- Esa-an dari aspek keanekaan penampakan diri al-Haqq. Al-Furqan, dengan demikian, berarti tanzih mutlah dan radikal, sikap keras pendirian pada tanzih yang tidak menerima sentuhan tasybih.
Al-Qur’an ditafsirkan oleh Ibn al_Arabi dengan arti yang menyimpang dari arti yang lazim dipakai. Al-Qur’an dalam arti yang melazim dipakai adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhamad. Al-Qur’an dalam arti ini dikenal sebagai kitab suci kaum muslimin, yang disebut pula dengan al-furqan. Tetapi Ibn al-Arabi memakai Al-Qur’an dengan arti “penyatuan”, “pemaduan”, atau “penggabungan”, yaitu penyatuan antara tanzih dan tasybih.
Ayat Al-Qur’an yang sering dipakai sebagai dalil oleh Ibn al-Arabi untuk menyatakan tanzih dan tasybih Tuhan ialah ayat yang berbunyi: laysa ka-mitsli-hi syay,wa huwa al sami’ al basir (Q. 42: 11). Ibn al Arabi memberikan dua penafsiran kepada ayat ini. Menurut penafsiran pertama, bagian pertama ayat ini, yaitu: laysa ka-mitsli-hi syay, menyatakan tanzih dan bagian keduanya, yaitu: wa huwa al sami’ al basir, menyatakan tasybih. Adapun menururt penafsiran kedua, bagian pertama ayat yang sama menunjukan tasybih dan bagian keduanya menujukan tanzih. Jadi penafsiran kedua bersilang baik dengan penafsiran pertama.
Ibn al-Arabi memperingatkan, apapun yang diungkapkan dalam mendeskripsikan Tuhan mengandung arti “pembatasan” (tahdid). Tuhan sendiri, dalam Al-Qur’an dan Hadits mendeskripsikan diri-Nya dengan “pembatasan” baik untuk menyatakan tanzih maupun untuk menyatakan tasybih. Misalnya, Tuhan mensifati dirinya bahwa Dia berada pada “awan” (‘ama’) yang di atas dan di bawahnya tidak ada udara, berada di langit, berada di bumi, beserta kita di mana pun kita berada dan adalah entitas kita, dana seterusnya, semua itu adalah pembatasan.
Bagi Ibn al-Arabi “pembatasan” mengandung arti “definisi” atau “batasan” (ta’rif) atau (hadd). Pada pembahasan di atas tentang Yang Tampak (al-zahir) dan Yang tidan Tampak (al-batin), telah dijelaskan bahwa Nabi Muhamad SAW mempertalikan pengetahuan al-Haqq dengan pengetahuan manusia. Kedua bisa diketahui hanya secara komprehensif, bukan secara terperinci. Yang Tidak Tampak dari Tuhan adalah zat-Nya Yang Esa (aspek tanzih) dan Yang Tampak dari Tuhan adalah alam dan segala yang ada di dalamnya (aspek tasybih).
Panteisme
a. Pengertian Panteisme
Kata “Panteis” pertama kali dipakai oleh John Toland, dari Irlandia. Sedangkan kata “panteisme” pertama kali dipakai oleh salah seorang lawan Tolan, Fay, pada tahun 1709 dan sejak itu istilah ini dengan cepat menjadi lazim digunakan. Sedangkan menurut Robert Flint, panteisme adalah teori yang memandang segala sesuatu yang terbatas sebagai aspek, modifikasi, atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya; yang memandang semua benda material dan semua pikiran partikular sebagai yang mesti berasal dari suatu substansi tak terhingga yang tunggal. Substansi absolut yang esa itu-wujud maha meliputi yang esa-disebutnya Tuhan. Jadi, Tuhan, menurut-nya, adalah semua yang ada; dan tidak sesuatupun yang tidak tercakup secara esensial dalam, atau yang tidak mesti berkembang keluar dari Tuhan.
Lebih lanjut Flint menjelaskan bahwa dalam panteisme substansi dipandang dengan berbagai cara yang berbeda, tapi yang penting adalah satu. Misalnya, substansi yang satu itu bisa berbentuk materi dan panteisme yang menganggap demikian adalah panteisme materialistik, yang dapat disebut monisme materialistik, yang memandang materi pada akhirnya sebgai satu kesatuan.panteisme dapat pula menggambarkan keberasalan (derivation) keanekaan fenomena-fenomena dari kesatuan subtansi. Panteisme melukiskan keberasalan itu sebagai suatu keberasalan yang mesti; bukan sebagai keberasalan dengan kehendak bebas, tetapi sebagai sebagai proses abadi. Agar menjadi penteisme, monisme dan determinisme harus dipadukan.
Seluruh alam memiliki luas atau tingkat yang sama dengan Tuhan; wujud Ilahi secara penuh terungkap dalam penagkapan-penagkapan Ilahi. Tokoh panteisme lain antara lain Henry C. Theissen, C.E. Plumptre, J. allanson Picton, W.S. Urquhart, E.R. Naughton, Peter A. Angels, Norman L. geisler dan William D. Watkins, Louis Leahy, W.C. Stace yang kesemuanya merumuskan tidak jauh berbeda dengan rumusan yang diberikan oleh Flint. Kemudian Munir Ba’albaki mengartikan istilah panteisme dengan istilah wahdat al-wujud. Bagi penulis Kamus Inggris-Arab al-Mawrid ini, definisi penteisme sama dengan definisi wahdat al-wujud. Ia menulis “Panteisme: Wahdat al-wujud : aliran yang berpendapat bahwa Allah dan alam adalah satu entitas, sedangkan alam material dan manusia tidak lain daripada lokus penampakan zat ilahiah. Definisi ini dapat, atau lebih tepat, ditafsirkan dengan pengertian bahwa Tuhan identik dan berbeda dengan alam.
b. Tipe-tipe Panteisme
Menyorot pendapat Flint, bahwa tipe-tipe panteisme atas dasar “ke-esaan absolut”sebagai satu-satunya realitas tunggal, yang disebut Tuhan. Pertama, mencari keesaan absolut dalam suatu prinsipm material, yang disebut dengan panteisme materialistik. Kedua, mencari keesaan absolut dalam kekuatan fisis dan membangun sistem dari penteisme dinamis. Ketiga, mencari keesaan absolutdi bawah kesamaan kehidupan organik, yang kemudian disebut panteisme fisis. Keempat, mencari keesaan absolut dengan memandang alam inderawi dan alam kesadaran sebagai ilusi. Kelima, mencari keesaan absolut dengan mencakup semua keanekaan. Keenam, menempatkan keesaan absolut subyek dan obyek, dari yang ideal dan real dari roh dan alam. Ketujuh, mendeskripsikan prinsip absolut sebagai suatu ego universal yang meliputi setiap ego partikular. Kedelapan, merupakan panteisme Hegel. Hegel mereduksi segala sesuatu kepada pemikiran, dan mendeduksi segala sesuatu dan pemikiran. Dari delapan tipe panteisme ini dapat digolongkan kepada tiga tipe : 1. panteisme fisis, yang meliputi tipe pertama, kedua dan ketiga. 2. panteisme metafisis, yang meliputi tipe-tipe keempat, kelima dan keenam. 3. panteisme psikis, yang meliputi tipe ketujuh, dan kedelapan.
Menurut Paul J.Glenn, ada dua bentuk fundamental panteisme: panteisme idealistik dan panteisme real. Panteisme idealistik memandang bahwa alam jasmani hanyalah suatu untaian gambaran atau ide dalam pikiran Tuhan dan karena itu tidak mempunyai wujud hakiki. Panteisme seperti ini tersembunti dalam ajaran Immanuel Kant. Sedangkan panteisme real menyatakan bahwa alam jasmaniah adalah suatu bagian aktual dari substansi Tuhan dan alam adalah manifestasi hakiki Tuhan.
Dalam pandangan W.L.Reese, ada satu tipe panteisme yang disebut panteisme akosmik, teori bahwa Tuhan yang absolut merupakan relitas keseluruhan. Alam adalah suatu penampakan dan pada hakikatnya tidak real. Teori ini adalah salah sati tipe panteisme Reese disamping ketujuh tipe lainnya. Antara lain tipe hilozoistik, imanentistik, monistik absolutistik, monistik relativistik, panteisme pertentangan-pertentangan, dan emanasionistik.
Maximilian Rast merumuskan panteisme atas dasar keidentikan Tuhan dan segala sesuatu yang empiris. Atas dasar ini, Rast membedakan panteisme (monisme) imanentistik yang sepenuhnya mengidentikkan Tuhan dengan segala sesuatu dan karena itu mirip dengan ateisme materialistik yang kasar (Oswald, Heckel, Taine); kemudian panteisme transendental, yang menemukan yang ilahi hanya dalam kedalaman segala sesuatu, khususnya dalam jiwa, sehingga mahkluk menjadi Tuhan, hanya setelah penyingkapan tabir mahkluk hidup (panteisme India dalam filsafat Wedanta, Plotinus, Scotus Erigena); dan panteisme transenden-imanen, yang memandang Tuhan memenuhi dan menampakkan diri-Nya dalam segala sesuatu (Spinoza, idealisme Jerman, Goethe, Schleirmacher, Euken). Termasuk pula disini panpsikisme, yang memandang bahwa semuanya digerakkan oleh suatu jiwa-dunia atau intelegensi-dunia.
c. Kesamaran Perbedaan Panteisme dengan Monisme dan Panteisme
Dalam memberikan rumusan tentang monisme, John H. Gestner menekankan pada pemahaman bahwa monisme mengajarkan bahwa keanekaan atau keragaman sesuatu pada hakikatnya adalah satu relitas terakhir yang tunggal (Tuhan, materi, pikiran, ide, spirit, energi, atau bentuk). Jika relitas itu adalah materi, maka disebut monisme materialistik atau materialisme. Jika realitas itu adalah spirit, ide, ia disebut monisme idealistik atau idealisme. Jika monisme diartikan sebagai “teori bahwa segala sesuatu berasal dari satu sumber terakhir yang tunggal” maka panteisme , penenteisme, teisme dan deisme sama dengan monisme dalam hal ini karena paham-paham ini sama-sama mengakui bahwa segala sesuatu berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan. Penekanan yang tertuju hanya pada kesatuan suber seperti ini tidak tepat untuk dijadikan doktrin dasar dalam monisme.
Apabila diperhatikan pengertian monisme ini, sulit membedakan antara panteisme dan monisme. Kedua-duanya mengakui kesatuan realitas. Glenn mengatakan bahwa monisme materialistik adalah selalu panteisme. Sebenarnya semua tipe monisme materialistik adalah panteistik secara sempurna. Berbeda dengan pendapat P.J. Zoetmulder bahwa panteisme adalah salah satu bentuk dari monisme yang dalam menetapkan kesatuan segala sesuatu berpangkal pada tuhan dan mengembalikan segala sesuatu kepada Tuhan. Jadi monisme mempunyai pengertian lebih luas daripada panteisme: setiap panteisme adalah monisme, tetapi tidak semua: setiap panteisme adalah monisme, tetapi tidak semua monisme adalah panteisme. Pendapat ini sangat berbeda dengan pernyataan Glenn di atas.
Polemik Pemakaian Istilah Panteisme
Pandangan Barat Tradisional mengatakan bahwa ibn al-‘Arabi mewakili panteisme atau monisme Islam, yang telah menghancurkan ide Islam tentang Tuhan sebagai suatu kekuatan yang hidup dan aktif dan karena itu ia bertanggung jawab sebagian besar atas rusaknya kehidupan relifius Islam yang benar. Dalam hal ini adalah Annemarie Schmimmel, mangatakan bahwa pandangan Barat Tradisional itu, mendukung menggunakan istilah seperti panteisme, atau monisme dalam konsep wahdat al- wujud selama masih mempertahankan transendensi Tuhan. Tokoh-tokoh Barat yang mengatakan konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi merupakan panteisme atau monnisme adalah Reynold A. Nicholson, Edward J.Jurji, Gerhard Endress, A.E. Afifi, S.A.Q. Husaini. Ada juga pendukung dari Hamka dan Yunasril Ali yang berpendapat bahwa wahdat al-wujud adalah panteisme Pendapat yang menganggap bahwa wahdat al-wujud dan panteisme sama-sama menekankan imanensi Tuhan secara total dan mengingkari transendensi-Nya adalah salah. Karena pengetian wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi adalah menekankan kedua aspek imanensi dan transendensi.
Perbedaan Wahdat al-Wujud dan Panteisme
Dalam pembahasan diatas terlihat ada perbedaan antara wahdat al-wujud Ibn al-Arabi dengan Panteisme. Perbedaan itu dilihat dengan melakukan pemetaan dahulu terhadap konsep Wahdat al-wujud dengan panteisme.
Untuk wahdat al-wujud terdapat unsur tasybih dan tanzih. Unsur tanzihlah yang membedakan antara Tuhan dengan alam. tanzih (berasal dari kata kerja nazzaha, yang secara harfiah berarti “menjauhkan atau membersihkan sesuatu dari sesuatu yang mengotori, sesuatu yang yang tidak murni”), Dalam ilmu kalam (teologi Islam), penekanan pemahaman bahwa Tuhan berbeda secara mutlak dengan alam dan dengan demikian tidak dapat diketahui melahirkan konsep tanzih, sedangkan penekanan pemahaman bahwa Tuhan, meskipun hanya pada tingkat tertentu, mempunyai kemiripan atau keserupaan dengan manusia dan alam melahirkan konsep tasybih, tanzih (berasal dari kata kerja nazzaha, yang secara harfiah berarti “menjauhkan atau membersihkan sesuatu dari sesuatu yang mengotori, sesuatu yang yang tidak murni”)
Segi pertama disebut Tanzih (Tuhan melebihi sifat atau kualitas apapun yang dimiliki oleh mahkluk-Nya) dan segi kedua disebut dengan Tasybih (bahwa keserupaan tertentu bisa ditemukan antara Tuhan dan mahkluk). Dalam uraian tentang Panteisme, ada unsur imanensi dan transendensi. Unsur transendensilah yang membedakan antara panteisme dengan wahdat al-wujud. Karena panteisme hanya meyakini unsur imanensi, yaitu penyatuan antara Tuhan dengan alam, tanpa unsur imanensi yang dalam wahdat al-wujud Ibn al-Arabi adalah sebagai tanzih yang membedakan antara Tuhan dan alam.
Disamping uraian diatas, berikut ini diuraikan perbedaan antara Wahdat al-Wujud dengan Panteisme menurut orientalis dan DR. Kautsar Azhari Noor.
Menurut orientalis
Diantara tokoh yang mengkritik pemakaian panteisme dalam konsep wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi adalah Henry Corbin. Sistem ibn al-‘Arabi tetap mempertahankan perbedaan dan ketidak samaan antara Tuhan dan alam, antara pencipta dan ciptaan, antara al-haqq dan al-khalq. Hal ini diduga karena dalam pandangan Corbin, panteisme dan monisme menolak perbedaan dan ketidaksetaraan ini. Wahdat al-wujud tetap mempertahankan transendensi Tuhan, sedangkan panteisme dan monisme melenyapkannya.
Senada dengan pendapat Corbin dalam hal ini adalah Titus Burckhardt. Ia berpendapat bahwa wahdatul wujud tidak dilabeli dengan panteisme. Menurut Burckhardt, semua doktrin metafisis Timur dan beberapa doktrin metafisis Barat seringkali disebut panteisme, tetapi sebenarnya panteisme hanya dianut oleh filsuf-filsuf Eropa tertentu dan beberapa oarng Timur yang dipengaruhi oleh pemikiran Barat abad kesembilanbelas. Burckhardt ingin menunjukkan bahwa kontiunitas substansial atau eksistensial sebagai bentuk hubungan antara Tuhan dan alam menghilangkan perbedaan antara Tuhan dan alam dan mengacaukan pengertian Tuhan. Kotiunitas semacam ini ditolak oleh sufisme. Menurut Burckhardt, ajaran yang diterima oleh Sufisme ialah bahwa Tuhan sendiri adalah kontiuitas, atau keesaan ini, tetapi dalam hal ini ia tidak akan dibayangkan sebagai di luar-Nya, sehingga ia pada hakikatnya tidak ada bandingan-Nya dan karena itu berbeda denga segala sesuatu yang tampak, tetapi tanpa kemungkinan sesuatu pun yang ada “diluar” atau “ di samping” Ia
Demikian halnya dengan William C.Chittick dengan mengkritik pengkategorian doktrin wahdat al-Wujud Ibn al-Arabi sebagai panteisme, panenteisme, monisem eksistenisalis, monism panteistik, atau yang serupa, karena pengkategorian ini tidak memadai dan malahan menyesatkan pemahaman tentang arti doktrin yang menimbulkan perdebatan yang tak berkesudahan. Chittick menilai bahwa para orientalis awal mempunyai sikap keliru dalam mempelajari Islam, termasuk pemikiran Ibn Arabi. Apa sikap mereka yang keliru itu? Menurut Chittick, mereka merasa bahwa denga memasang suatu label pada suatu ide, mereka telah memahaminya dan tidak perlu lagi melakukan studi yang serius.
Menurut Chittick, memakai istilah-istilah seperti “panteisme” untuk mendeskripsikan wahdat al-wujud berarti memperlakukan Ibn al-Arabi secara tidak adil khususnya karena istilah-istilah itu dipakai hampir tanpa kecuali dengan satu tujuan dismisif (penolakan) dan kritis (pencelaan). Chittick membenarkan bahwa Ibn al-Arabi percaya kepada wahdat al-wujud karena sufi ini menegaskan bahwa wujud adalah suatu realitas tunggal dan karena itu tidak bias ada wujud.
Menurut Dr. Kautsar Azhari Noor
Ada pendapat yang mendefinisikan bahwa panteisme adalah kepercayaan bahwa semua adalah Tuhan dan Tuhan adalah semuanya. Tuhan adalah alam dan alam adalah Tuhan. Dalam definisi ini, Tuhan identik dengan alam. Imanesi Tuhan ditekankan secara total, sedangkan transendensi-Nya tidak diakui. Definisi yang simplistik ini adalah definisi panteisme yang populer dan dipegang banyak sarjana.
Pendapat lain memandang bahwa dalam panteisme segala sesuatu yang terbatas adalah aspek, modus, cara-berada, modifikasi, atau bagian dari Wujud yang tidak terbatas, yaitu Tuhan. Panteisme dalam pengertian ini, sekalipun lebih cenderung menekankan keidentikan Tuhan dengan alam, tidak menyatakan penolakan terhadap perbedaan antara kedua-duanya. Panteisme ini, sekalipun sangat menekankan imanesi Tuhan, tidak menyatakan sikap penolakan atau penerimaan yang tegas terhadap transendensi-Nya. Pengertian panteisme ini juga dipegang banyak sarjana.
Ada pendapat lain yang mendefinisikan bahwa panteisme adalah teori bahwa Tuhan identik dan berbeda dengan alam. Definisi ini dengan tegas menyatakan secara serentak keidentikan pertentangan-pertentangan (identity of opposites) atau “keidentikan dalam perbedaan” (Identity of diferency). Tuhan adalah imanen dalam dan transenden terhadap alam, impersonal dan personal. Definisi ini secara relatif agak baru dan berbeda dengan definisi-definisi lain yang populer dan tersebar dalam banyak tulisan. Definisi ini tampaknya tidak diketahui banyak orang.
apakah wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi adalah panteisme? Maka jawaban yang dapat disampaikan adalah: tergantung kepada definisi panteisme yang dimaksud. Jika yang dimaksud adalah definisi yang menyatakan bahwa panteisme menekankan secara total imanensi Tuhan dan menolak transendensi-Nya, maka wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi bukan panteisme, karena definisi panteisme ini tidak sejalan dengan doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi, yang menekankan tidak hanya imanensi Tuhan, tapi juga transendensi-Nya. Tetapi jika yang dimaksud adalah definisi yang menyatakan bahwa panteisme menekankan imanensi dan transendensi Tuhan sekaligus, maka wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi dapat dikategorikan sebagai panteisme, karena definisi panteisme ini sejalan dengan doktrin wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi yang juga menekankan kedua sisi tadi: imanensi dan transendensi Tuhan. Karena terdapat beberapa tipe atau jenis panteisme, maka tipe-tipe yang cocok untuk mendeskripsikan wahdat al-wujud adalah panteisme akosmisme dan panteisme idealistik atau panteisme transenden-imanen. Diantara definisi-definisi panteisme yang ada, mungkin definisi yang paling tepat untuk mendeskripsikan wahdatul wujud adalah definisi yang diajukan oleh W.T. Stace. Sejalan dengan doktrin wahdat al-wujud dan ide yang terkandung dalam rumusan singkat Ibn al-Arabi huwa la huwa (Dia dan bukan Dia), panteisme dalam definisi stace memandang bahwa Tuhan adalah identik dan berbeda dengan alam, Tuhan adalah imanen dan transenden. Prinsip “keidentikan dalam perbedaan” (“identity in difference”) dalam panteisme menurut Stace dapat disamakan dengan prinsip coincidentia oppositorum atau al-jam’ bayna al-addad dalam sistem Ibn al-‘Arabi. Sayang sekali, definisi panteisme Stace ini tidak populer.
Menurut Dr.Kautsar Azhari Noor tuduhan bahwa Ibn al-“Arabi menyamakan Tuhan dengan alam sehingga tidak ada lagi perbedaan antara kedua-duanya dan dengan demikian telah mengajarkan doktrin sesat, yang menyalahi ajaran tawhid yang murni, tidak dapat dibenarkan. Tuduhan seperti ini timbul dari kesalahpahaman orang-orang yang melihat hanya sisi tasybih dan imanensi Tuhan dalam doktrin wahdat al-wujud dan mengabaikan sisi tanzih dan transendensi-Nya. Ibn al-‘Arabi sangat menekankan kedua sisi ini dan memadukan antara kedua-duanya. Inilah pengetahuan yang benar tentang Tuhan.
Selanjutnya Kautsar Azhari Noor mengatakan bahwa doktrin wahdat al-wujud tidak dapat dipandang sebagai yang menyimpang dari ajaran tawhid. Sebaliknya, doktrin wahdat al-wujud adalah ekspresi tawhid yang paling tinggi, jika tidak boleh dikatakan sebagai satu-satunya bentuk tawhid yang benar. Dalam doktrin wahdat al-wujud Tuhan betul-betul esa karena tidak ada wujud, yaitu wujud hakiki, kecuali Tuhan; wujud hanya milik Tuhan. Alam tidak mempunyai wujud kecuali sejauh berasal dari Tuhan. Alam tidak mempunyai wujud kecuali sejauh berasal dari Tuhan. Alam tidak lebih dari penampakan-Nya. Doktrin ini mengakui satu wujud atau realitas yang sama sekali independen berarti memberikan tempat kepada syirik atau politeisme. Doktrin wahdat al-wujud Ibn al-‘Arabi mempunyai posisi yang kuat karena, sebagaimana terlihat dalam karya-karyanya, didukung oleh, atau bersumber dari ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi saw.
Dari uraian diatas bahwa wahdat al-Wujud memiliki perbedaan dengan panteisme. Hal ini sebagai mana hasil penelitian dari Dr. Kautsar Azhari Noor, beliau mengatakan:
“Sekalipun hasil penelitian saya menunjukkan bahwa definisi panteisme yang cocok untuk mendeskripsikan doktrin wahdat al-wujud, saya lebih cenderung untuk menghindari pemakaian istilah panteisme untuk melabeli doktrin ini (wahdat al-wujud), karena definisi panteisme yang cocok itu tidak populer, sedangkan panteisme dalam pengertian populer tidak tepat untuk mendeskripsikan doktrin wahdat al-Wujud. Dengan alasan ini, pemakaian istilah panteisme untuk malabeli doktrin wahdat al-wujud dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang doktrin ini”
SUMBANGAN DALAM KEILMUAN
Secara umum dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kautsar Azhari Noer, dapat memberikan sumbangan keilmuan tentang tawhid kepada umat Islam. Secara khusus penelitian Kautsar dapat memberikan warna baru tentang konsep wahdat al-wujud terkhusus lagi pandangan wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi. Dan salah atu makna penting dari buku ini adalah, bahwa ada diantara sarjana muslim di Indonesia yang telah menunjukkan prestasi intelektualnya untuk serta mengangkat dan membahas wahdat al-wujud ibn al-‘Arabi secara serius dan memenuhi standard metodologi keilmuan. Khusus bagi mereka yang tidak memiliki akses langsung dalam menelaah karya-karya asli ibn al-‘Arabi, maka buku ini dapat menjembatani jarak dimaksud.
KESIMPULAN
Wahdat al-wujud sebagai paham spiritual Ibn al-Arabi adalah satuan wujud atau unity of existence. Konsep ini timbul dari paham bahwa Allah ingin melihat diriNya di luar diri-Nya dan oleh karena itu dijadikanNya alam ini. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah dikala ia ingin melihat diriNya, ia melihat kepada alam, pada benda-benda yang ada pada alam, karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan, tuhan melihat diriNya. Dari sini timbul faham kesatuan yang ada dalam alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu.
Panteisme sebagai pemahaman penyatuan antara Tuhan dengan alam memiliki perbedaan dengan wahdat al-wujud Ibn al-Arabi. Dalam wahdatul wujud ada paham tasybih dan tanzih. Unsur tasybih yang dipahami sebagai unsur pembeda antara wahdat al-wujud dan panteisme. Atau wahdat al-wujud memiliki unsur transendensi dan imanensi sedangkan Panteisme hanya meyakini adanya imanensi, yaitu penyatuan antara Tuhan dengan alam, tanpa membedakannya.
Disamping itu pula menyamakan Wahdat al-wujud dengan panteisme mendapat kritikan dari pemikir lainnya. Baik dikalangan pemikir Barat maupun pemikir Islam. Diantara pemikir Barat seperti Henry Corbin, Burckhardt dan William C.Chittick. mereka berpendapat bahwa Wahdat al-wujud tetap mempertahankan transendensi Tuhan, sedangkan panteisme dan monisme melenyapkannya. Inilah dasar perbedaan antara wahdat al-wujud dan panteisme.
Sedangkan menurut Dr. Kautsar Azhari Noor bahwa menyamakan antara Tuhan dengan alam sebagaimana paham panteisme adalah kesesatan. Sedangkan Ibn al-Arabi sangat menjunjung tinggi tawhid. Baginya wahdat al-wujud adalah bentuk tawhid tertinggi.
Jadi dari uraian diatas, jelaslah bahwa Panteisme berbeda dengan wahdat al-wujud Ibn al-Arabi.
DR. Kautsar Azhari Noor adalah ahli perbandingan agama yang dikenal mempunyai pandangan-pandangan yang liberal ini, dilahirkan di Batuampar, Payahkumbuh 4 Maret 1951. Menamatkan pendidikan S2 dan S3 dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dengan menulis disertasi tentang Wahdat al-wujud Ibn al-Arabi dan Panteisme” pada 1993.
Oman Fathurahman, Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 21
Ibn ‘Arabi, terj.Ahmad Sahidah dan Nurjanah Arianti, Fusus al-Hikam; Mutiara Hikmah 27 Nabi, (Yogyakarta: Islamika, 2004)
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge Pengetahuan Spiritual, terj. Achmad Niddjam, M. Sadat Ismail, dan Ruslani, (Yogyakarta: Qalam, 2001)
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi wahdat al-wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 17-29
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi wahdat al-wujud dalam Perdebatan, hlm. 34-41
Tim Lintas Media, Kamus al-Akbar, Indonesia-Arab, Arab-Indonesia, (Jombang: LINTAS MEDIA, 2003), hlm. 356
Ibid, hlm. 455
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), hlm. 121
Ibid ,hlm., 74
T. Izutsu, The Concep and Reality of Existence (Tokyo: The Keio Institue of Cultural and Linguistic Studies. 1971). hlm.,48
Ibid, hlm., 89
Ibid.
Ibid., hlm 90
Ibid., hlm 58
Ibid., hlm 34
Ibid, hlm., 159
Ibid, hlm.,177- 201
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi wahdat al-wujud dalam Perdebatan, hlm. 210
Titus Burckhardt, An Introduction to Sufism, diterjemahkan oleh D.M. Matheson (Wellingborough: Crucible, 1990), hlm. 28
Ibid. hlm. 33
William C. Chittick, “Wahdat al-wujud in Islamic Tought,” The Buletin, 10 i (1991) hlm. 22
W.C. Chittick The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Sufi Issue 4 (Winter 1989-1990): hlm. 7-8
Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi wahdat al-wujud dalam Perdebatan, hlm. 222-226