Hindu (bahasa Persia) berakar
dari kata Sindhu (Bahasa Sanskerta). Dalam Reg Weda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu
(wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu
sungai tersebut bernama sungai Indus).
Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta - sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang
hidup di wilayah sungai Sindhu.
Hindu sendiri sebenarnya baru terbentuk setelah Masehi ketika beberapa kitab
dari Weda digenapi oleh para brahmana. Pada zaman munculnya agama Buddha, agama
Hindu sama sekali belum muncul semuanya masih mengenal sebagai ajaran Weda.[1] Kedatangan orang Yunani
berikutnya, menyebut Hindu dengan Indoi, dan orang-orang Barat mengatakan
India. Penduduk setempat menyebut keyakinan mereka Sanatana Dharma, yang
berarti dharma yang kekal, abadi, tanpa awal dan akhir (anadi ananta).
Kebenaran yang diajarkan adalah kebenaran universal yang tidak dibatasi oleh
ruang dan waktu, sebagaimana disebutkan dalam Rg Veda VI. 24.7, “Tuhan
Yang Maha Esa tidak akan menjadikan dia tua, bulan dan demikian pula hari.”[2]
Agama
Hindu disebut Juga Vaidika Dharma karena
bersumber pada wahyu suci Tuhan, yang disebut Pustaka Veda. Makna kata
Veda dapat dikaji dengan dua pendekatan yaitu etimologi dan semantic. Secara
etimologi, Veda berasal dari Vid yang berarti mengetahui sedangkan Veda
berarti pengetahuan. Dalam semantic,
Veda berarti pengetahuan suci, kebenaran sejati, kebijaksanaan tertinggi,
pengetahuan, spiritual tertinggi atau ajaran suci. Wahyu Veda tidak hanya
diterima satu orang, tetapi oleh banyak orang Rsi yang dikenal sebagai Saptarsi,
Penerima wahyu Veda, antara lain: Rsi Grtsamada, Rsi Visvamitra, Rsi
Vamadeva, Rsi Atri, Rsi Brhadvaja, Rsi Vasistan dan Rsi kanva. Para Rsi
tersebut menerima wahyu Tuhan melalui: 1) Svaranada, semula didengar
sebagai gema, selanjutnya berubah menjadi sabda Tuhan, dan ini kemudian
disampaikan sang Rsi kepada para siswanya; 2) Upanisad, - dalam
keadaan meditasi – pikiran para Rsi dimasuki oleh sabda Tuhan, sehingga Rsi
berperan sebagai mediator komunikasi Tuhan dengan para muridnya; 3) Darsanam,
seorang Rsi berhadapan langsung dengan para dewa dalam suatu
pandangan gaib; serta 4) Avantara, wejangan langsung yang disampaikan
oleh Tuhan yang berreinkarnasi ke dunia. Sabda suci Tuhan diterima langsung
oleh para Maharsi dari Tuhan dikenal sebagai Veda Sruti (Meliputi Rgveda,
Samaveda, Yajurveda, dan Atharvaveda). Di bawah Veda Sruti, Umat
Hindu juga mengenal sumber-sumber hukum Hindu, yakni smrti (Dharma-sastra),
Sila (tingkah laku orang suci), Acara (tradisi yang baik) dan Atmanastusti
(kesucian hati).
Agama Hindu di India
Masuknya Agama Hindu di Indonesia
Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.
Agama Hindu di Indonesia
Sejarah
agama Hindu di India, perkembangannya dapat diketahui dari kitab-kitab suci
Hindu yang terhimpun dalam Weda Sruti, Weda Smrti, Intihasa, Upanishad
dan lain sebagainya. Perkembangan umat Hindu di India berlangsung dalam kurun
waktu yang amat panjang dimana menurut Govinda Das Hinduism Madras, dapat
dibagi menjadi tiga yaitu:
a) Zaman Weda
Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa Arya
kurang lebih 2500 tahun sebelum masehi ke India, dengan menempati lembah sungai
Sindhu, yang juga dikenal dengan nama Punjab (daerah lima aliran sungai).
Bangsa Arya tergolong ras Indo Eropa, yang terkenal sebagai pengembara cerdas,
tangguh dan trampil. Zaman Weda merupakan zaman penulisan wahyu suci Weda[3] yang pertama yaitu Rig Weda.
Kehidupan beragama pada zaman ini didasarkan atas ajaran-ajaran yang tercantum
pada Weda samhita, yang lebih banyak menekankan pada pembacaan perafalan
ayat-ayat Weda secara oral, yaitu dengan menyanyikan dan mendengarkan secara
berkelompok. Weda adalah wahyu atau sabda suci Tuhan Yang Maha Esa (Hyang Widhi
Wasa) yang diyakini oleh umat-Nya sebagai Anadi Ananta yakni tidak berawal dan
tidak diketahui kapan diturunkan dan berlaku sepanjang masa.
Weda Samhita dibukukan menjadi empat bagian,
yaitu :
1) Rig
Weda, merupakan yang tertua dan yang
terpenting, berisi mantera-mantera dalam bentuk nyanyian digunakan untuk
mengundang para dewa agar hadir pada upacara-upacara kurban yang dipersembahkan
kepada mereka (dewa-dewa). Manteranya terdiri dari 10.522. Imam-imam atau
pendeta yang mengajukan pujian ini disebut Hotr.
2) Sama
Weda, isinya hampir seluruhnya diambil
dari Rig Weda, kecuali beberapa nyanyian suci dinyanyikan pada waktu upacara
dilakukan. Jumlah manteranya terdiri dari 1875. Imam atau pendeta yang
menyanyikannya disebut Udgatr.
3) Yayur
Weda, terdiri dari 1975 mantra, berbentuk
prosa yang isinya berupa yayur atau rafal dan doa. Digunakan untuk mengubah
korban menjadi makanan para dewa diucapkan berulang-ulang disertai dengan
menyebutkan nama dewa yang dihadirkan. Pendeta atau imamnya disebut Adwaryu.
4) Atharwa
Weda, terdiri dari 5987 mantra
berbentuk prosa yang isinya berupa mantra-mantra dan kebanyakan bersifat magis,
yang memberikan tuntunan hidup sehari-hari berhubungan dengan keduniawian
seperti tampak dalam sihir, tenung, perdukunan. Isi sihir tersebut untuk menyembuhkan
orang sakit, mengusir roh-roh jahat, mencelakakan musuh dan sebagainya.
Dipimpin oleh Atharwan.
b) Zaman Brahmana
Zaman ini ditandai dengan munculnya kitab
Brahmana, yaitu bagian kitab Weda yang kedua. Kitab-kitab ini ditulis oleh
bangsa Arya yang bermukim di bagian timur india Utara yaitu lembah sungai
Gangga dalam bentuk prosa. Kitab ini memuat himpunan doa-doa serta penjelasan
upacara korban dan kewajiban keagamaan. Hal ini disebabkan karena zaman ini
adalah suatu zaman yang memusatkan keaktifan rohaninya kepada korban. Pada
zaman Brahmana ini memang timbul perubahan-perubahan suasana. Ciri-ciri zaman
ini adalah:[4]
1) Korban mendapat tekanan yang berat
2) Para imam (Brahmana) menjadi
golongan yang paling berkuasa
4) Dewa-dewa berubah perangainya
5) Timbul kitab-kitab sutra
c) Zaman Upanishad
Dengan adanya catur asrama, terutama Vanaprastha
dan Sanyasin menyebabkan mereka sempat mempelajari Weda dengan mendalam
sehingga dapat menghasilkan kitab-kitab yang berisi renungan-renungan yang
bersifat filosofis, kitab-kitab yang dikarang pada waktu mereka mengasingkan
diri di hutan dinamakan kitab-kitab Aranyaka (kitab-kitab rimbna). Di
antara kitab-kitab tersebut yang diakui tinggi mutunya sebagai kitab filsafat
Hindu adalah kitab Upanishad (up, ni = di dekat; shad =
duduk). Jadi Upanishad artinya duduk bersimpuh di dekat gurunya untuk
mendengarkan wejangan-wejangan yang bersifat rahasia (khusus). Upanishad terutama
mengandung ajaran-ajaran filosofis tentang hakikat atma (Atmawidya). Jadi
titik beratnya adalah ontology. Di dalamnya diuraikan tentang hubungan antara
Brahman dan Atman.
Masalah asal-usul dan tujuan manusia serta
alam semesta digali secra mendalam dalam Upanishad. Isinya banyak yang
tidak lagi bersumber pada Brahmana,
bahkan kitab ini menjadi penentang utama terhadap kekuasaan mutlak para
pendeta. Di beberapa tempat Upanishad mengecam keras dan mengutuk arti
dan nilai korban serta ritus-ritus yang diselenggarakan oleh para Brahmana. Isi
kitab Upanishad berbentuk dialog antara seorang guru dan muridnya, atau
antara seorang brahmana dengan brahmana
lainnya. Di dalamnya terdapat uraian
filosofis tentang Atman, Brahman, Karma,
Samsara dan Moksha yang kemudian dijadikan Pancasradha Hindu. Masa Upanishad
(750-550 SM) ini merupakan permulaan kesuburan filsafat Hindu.[7]
Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan
bahwa Agama Hindu pertama kalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India.
Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan
dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu
menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah,
Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan
pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.[8]
Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis",
menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui
penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya)
India.
Mookerjee (ahli - India tahun 1912)
menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh
para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa
(Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat
untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan
dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran
agama Hindu di Indonesia.
Moens dan Bosch (ahli - Belanda) Menyatakan
bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama
Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang
dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi
Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan
pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa
Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai
Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa
Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam
prasasti-prasasti seperti:[9]
Prasasti Dinoyo (Jawa Timur): Prasasti ini
bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci
untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
Prasasti Porong (Jawa Tengah) Prasasti yang
bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya.
Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada
beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya
yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara,
artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk
Dharma.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi
pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau
benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah
Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu
didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang
menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan
yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja
Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa.
Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".
Masuknya agama Hindu ke Indonesia,
menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah
Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja
Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang
mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama
Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh
buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara
Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan
memakai huruf Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan
keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja
Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan
tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah
adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan
dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa
Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai
manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula
di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung
Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe
lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut
Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar,
diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam
prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti
Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan
Candra Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang
pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi
Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi
Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856
Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping
itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan
ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta
dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar
yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh
para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea
Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah
bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua
kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu
Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya
raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai
pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang
memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu
yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur
munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada
masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana,
Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian
muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini
didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai
peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa
Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi
seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan
dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi
Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga
munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di
Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini
disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca
Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama
dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa
Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali
pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di
Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat
disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad
Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad
inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan
sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang.
Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak
ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih
terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem
Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya
Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat
besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan
tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu
(Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya
kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami
kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita
Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta
tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun
1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis
Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar
dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian
pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan
Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan
yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun
1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan
Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan menetapkan Majelis
keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu
Dharma Indonesia.
[2] I Made Titib
“Kualitas Sumber Daya Manusia Dari Sudut Pandang Hindu Dharma”. Dalam jimly
Assiddiqie, dkk, Sumber Daya Manusia Untuk Indonesia Masa Depan,
(Bandung: Mizan, 1995) dan dikutip oleh I Wayan Suja “Perkembangan Agama Hindu
di Indonesia”. Dalam Wiwin Siti Aminah, dkk, Sejarah, Teologi dan Etika
Agama-Agama, cet. Ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 4
[3] Isi kitab Weda
pada umumnya mengenai ritus (upacara-upacara keagamaan) terutama soal korban.
Bermacam-macam cara korban diuraikan di dalamnya dan yang terpenting ialah
korban yang menggunakan air soma (semacam minuman yang penyelenggaraannya
memerlukan banyak tenaga dan biaya).
Korban-korban
tersebut dipersembahkan kepada dewa-dewa yang pada hakikatnya merupakan
personifikasi dari kekuatan-kekuatan alam yang dahsyat atau yang menakutkan
seperti dewa Agni (api), Surya (matahari), Vayu (angin), Maruta
(taufan), Pertiwi (bumi), Indra (perang), Waruna (langit),
Rud (perusak), dan lain-lainnya. Mudjahid Abdul Manaf, Sejarah
Agama-Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), hlm. 10
Mengenai jenis
korban yang dilakukan ada dua, yaitu: 1) Korban tetap, seperti: (1) Tiap kali,
(2) Pagi dan sore, (3) Tiap bulan baru, (4) Tiap bulan purnama, (5) Tiap awal
musim semi, (6) Tiap awal musim hujan, (7) Tiap awal musim dingin; 2) Korban
berkala, seperti: (1) Korban soma, (2) Korban aswamedha/Korban kuda, (3) Korban
rajasuya. I Wayan Watra, op.cit., hlm. 38
[4] I Wayan Watra,
op.cit., hlm. 39
[5] Agama Brahmana
mengenal adanya kasta-kasta, yaitu kasta Brahmana (pendeta), Ksatria
(pemegang tampuk pemerintahan atau perwira), Waisya (golongan pekerja,
pedagang atau petani) dan Sudra (rakyat biasa/golongan buruh atau budak).
Lihat Mudjahid Abdul Manaf, op.cit, hlm. 12
Setiap lapisan
harus menempati kedudukannya dan tetap berada pada kedudukannya serta
menjalankan kewajiban di dalam kedudukannya tersebut. Pelanggaran kedudukan dan
kewajiban akan menimbulkan kerusakan ketertiban dalam kehidupan kemasyarkatan.
Pada abad-abad
menjelang muncul agama Jain dan agama Buddha (abad ke-6 SM), pembagian kasta
dalam kehidupan masyarakat terlihat semakin tajam. Kasta sudra, merupakan
kasta paling bawah wajib melayani kasta-kasta atasan, terutama kasta Brahmin.
Itulah satu-satunya jalan bagi sumber kehidupan. Mereka hanya boleh
melakukan kerajinan tangan, terutama membuat alat perabot, menjadi tukang batu,
melukis dan menulis. Lihat Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar Dunia,
cet., III, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1996), hlm. 38-39
Jika seorang sudra
berani mengucapkan kata kasar
terhadap seseorang dari kasta atasan, lidahnya dipotong. Jika berani duduk pada
suatu tempat bersama seorang Brahmin, akan dijatuhi hukuman, dan jika
berani mengingatkan seorang Brahmin tentanh kewajiban keagamaannya maka minyak
panas akan ditungkan ke dalam mulut dan telinganya.
Kasta-kasta
atasan tidak boleh menikah dengan kasta bawahnya. Jika seorang lelaki dari
kasta ksatria menikahi perempuan dari kasta waisya maka martabat
lelaki tersebut akan jatuh. Itulah beberapa ketentuan mengenai kasta dalam
agama Brahmana. Sedikit banyaknya tidak memiliki azas-azas yang dapat diterima
oleh perikemanusiaan. Oleh karena itulah pada masa belakangan muncul tantangan
seperti agama Jain dan agama Buddha dan juga memicu bangkitnya gerakan
reformasi di dalam agama Brahma/Hindu. Ibid., hlm. 40
[6] Asrama adalah
tingkatan hidup. Dalam agama Brahmana disebutkan adanya empat tingkatan hidup
yang harus diakui oleh setiap orang penganut agama tersebut. Sebelum memasuki
keempat tingkatan tersebut, setiap orang harus lebih dahulu melakukan upacara upanayana,
yaitu upacara menjadikan anak menjadi dwija dan resmi sebagai anggota
kasta, serta siap memasuki tingkatan hidup yang pertama sampai keempat yang
disebut catur asrama, yaitu:
1)
Brahmacari,
yaitu masa belajar mencari ilmu pengetahuan untuk menjalani kehidupan
selanjutnya.
2)
Grahastha,
yaitu tahap hidup berumah tangga dan menjadi keluarga.
3)
Vanaprastha,
yaitu hidup menjadi penghuni hutan/bertapa.
4)
Sanyasin,
yaitu kewajiban hidup meninggalkan segala sesuatu. I Wayan Watra, op.cit, hlm.
40
[7] Mudjahid Abdul
Manaf, op.cit, hlm. 16
[9]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar