Karl Raimund Popper lahir di Himmelhof, sebuah distrik di Wina, Austria, pada
tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya adalah seorang pengacara yang menaruh minat besar
pada filsafat dan ilmu-ilmu sosial, sementara ibunya adalah seorang yang sangat
mencintai musik. Di perpustakaan pribadi ayahnya tersimpan koleksi buku-buku
yang cukup banyak di bidang itu. Dia tumbuh di lingkungan yang ‘decidedly
bookish’. Sejak kecil ketertarikan popper terhadap dunia intelektual
sudah terbentuk. Pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolah ‘realgymnasium’-nya
karena menurutnya pelajaran-pelajaran di sana terlalu membosankan. Dia kemudian
menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada usia 20 tahun
diterima resmi menjadi mahasiswa di universitas itu.[1]
Ketika Popper studi
di universitas, Eropa sedang goncang. Kemaharajaan Austria-Hungaria runtuh
akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Kondisi perekonomian memburuk secara
drastis, sehingga kelaparan dan kerusuhan terjadi di seluruh penjuru negeri.
Pada saat itu Popper sempat masuk perkumpulan pelajar sosialis dan seorang
pengagum Marxisme. Akan tetapi kekaguman Popper terhadap Marxisme pudar setelah
menyaksikan kebrutalan yang dilakukan oleh kelompok komunis terhadap lawan
ideologisnya. Rangkaian peristiwa tersebut cukup membekas pada Popper, sehingga
sejak itu topik tentang kebebasan menjadi sentral dalam filsafat sosial
politiknya. Dalam pandangan Popper, “sosialisme negara hanyalah opresi dan
tidak bisa direkonsiliasi dengan kebebasan; bahwa kebebasan lebih penting
daripada persamaan” karena “jika kebebasan hilang, tidak akan ada
persamaan bahkan di antara orang yang tak bebas”.[2]
Pada
tahun 1937 Popper dan istrinya pergi meninggalkan Austria untuk menghindari
fasisme Nazi. Perlu diketahui, meskipun dibaptis di gereja Protestan, Popper
adalah keturunan Yahudi. Popper pergi ke Selandia Baru melintasi Inggris. Di
tempat barunya dia mengajar filsafat di Canterbury University College,
Christchurch. Di sana ia menyelesaikan buku Open Society and Its
Enemies dan the Poverty of Historicism. Di buku pertamanya ia
mengkritisi pemikiran Plato, Hegel, dan Marx. Di buku kedua ia menujukkan bahwa
ketiga pemikiran tersebut pada dasarnya adalah ramalan sejarah, dia menyebutnya
sebagai historisisme, yang berubah menjadi ideologi. Dalam praktiknya, ideologi
cenderung bersifat totaliter karena ia tidak bisa/mau dikritisi dan, apalagi,
disalahkan.
Setelah
Perang Dumia II berakhir, Popper pindah ke Inggris untuk mengajar di London
School of Economics (LSE). Di sana ia terus mengembangkan pemikirannya,
termasuk menerjemahkan tulisan-tulisannya dalam bahasa Jerman ke dalam bahasa
Inggris. Sejak itu pengaruh Popper meluas cepat. Setelah resmi pensiun pada
1969, Popper tetap aktif menulis dan memberikan kuliah, termasuk beberapa kali
kunjungan ke berbagai negara, sampai meninggal pada 1994. Oleh para
pengagumnya, gagasan Popper tentang ‘masyarakat terbuka’ terus menerus
dikembangkan dan dijadikan jargon cita-cita politik dan ekonomi liberal. George
Soros, bekas muridnya di LSE, mendirikan The Open Society Foundation yang
bertujuan untuk “opening up closed societies, making open societies
more viable, and promoting a critical mode of thinking”.[3] Dengan dana
yang dimilikinya, yayasan ini aktif mempromasikan nilai-nilai yang sedikit
banyak mengacu pada pemikiran Popper ke seluruh dunia. Di Indonesia, baru-baru
ini majalah Prisma yang diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan,
dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial) bekerjasama dengan Yayasan Tifa mengangkat
tema ‘Masyarakat Terbuka Indonesia: Pesona atau Persoalan?’. Di sana Terdapat
tulisan menarik dari Karlina Supelli yang membahas problematik gagasan
masyarakat terbuka Popper jika diimplementasikan di Indonesia.[4] Di
bagian akhir kita akan kembali ke topik ini, namun sebelumnya kita akan
mendiskusikan terlebih dahulu pemikiran Popper pada ranah epistemologi dan
ontologi.
I.
Dasar-dasar Pemikiran Popper
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang membicarakan ruang lingkup dan cara memperoleh
pengetahuan. Sejak masa Yunani Kuno diskusi tentang epistemologi telah
dimunculkan, terutama oleh kaum Sophis yang mengajukan skeptisisme. Akan
tetapi, terutama pada Plato-lah epistemologi menemukan rumusannya yang lebih
spesifik. Plato mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa pengetahuan itu?
Di mana pengetahuan biasanya diperoleh? Di antara apa yang biasa kita anggap
kita ketahui berapa yang benar-benar pengetahuan? Dapatkah indera menghasilan
pengetahuan? Bisakah akal memberikan pengetahuan? Apa hubungan antara
pengetahuan dan kepercayaan yang benar?[5]
Pada
periode modern, Descartes mengembangkan apa yang disebut rasionalisme.
Pandangan ini -dikenal sebagai pandangan Cartesian- mendasarkan diri pada
prosedur tertentu dari akal atau rasio. Descartes percaya bahwa pengetahuan
rasional bersifat mutlak dan berlaku universal. Sebagai reaksi terhadap
pandangan Cartesian ini muncul empirisme. Tokoh utamanya adalah John Locke. Dia
menyatakan bahwa pengetahuan yang benar didapatkan dari pengamatan inderawi.
Akan tetapi, David Hume, seorang yang sebenarnya beraliran empiris, meragukan
kemampuan inderawi untuk benar-benar menjangkau semesta pengetahuan. Hume lebih
lanjut menyangsikan apakah pengetahuan yang partikular, yang disusun secara
induktif, bisa menjadi pengetahuan yang universal.
Adalah
Immanuel Kant, seorang filsuf yang berusaha mengatasi rasionalisme dan empirisme.
Dalam banyak hal, Popper menyetujui pandangan Kant, termasuk pandangannya
tentang pengetahuan apriori, yaitu pengetahuan yang ada sebelum
pengalaman. Akan tetapi, Popper tidak setuju dengan Kant mengenai
keabsahan pengetahuan apriori. Bagi Popper, teori pengetahuan adalah penemuan
kita yang bersifat konjektur, sehingga ia bisa salah kalau dikemudian hari
ditemukan pengetahuan yang lebih meyakinkan. Mengikuti Darwin, Popper melihat
teori pengetahuan atau epistemologi secara evolutif dan saling berkompetisi.
Tidak ada epistemologi yang tunggal. Oleh karena itu, teori pengetahuan tidak
bisa menjadi sebuah dogma yang berlaku sepanjang sejarah, melainkan sebentuk
hipotesis yang bisa dikritisi dan bahkan disalahkan.[6]
Popper,
dengan demikian, ingin menyelamatkan rasionalisme tetapi dengan catatan.
Rasionalisme Popper dikenal dengan rasionalisme kritis. Proyek Popper ini
terutama ditujukkan untuk membantah kaum positivisme logis yang berbasis di
Wina, -Austria- dikenal sebagai Lingkaran Wina. Salah satu proyek mereka adalah
hendak memisahkan mana ungkapan yang bermakna dan ungkapan yang tidak bermakna.
Ungkapan ini bisa ditemukan dalam bahasa sebagai objektifikasi pikiran manusia.
Menurut kaum postivisme logis, pemisahan itu ditentukan oleh sejauh mana
ungkapan-ungkapan itu bisa ditangkap oleh inderawi atau tidak. Ungkapan yang
tidak bisa ditangkap inderawi berarti tidak bermakna. Sebaliknya, ungkapan yang
bisa ditangkap oleh inderawi adalah yang bermakna. Ungkapan yang bermakna
inilah, yang hanya bisa diverifikasi secara empiris, yang dianggap oleh kaum
positivisme logis sebagai pengetahuan.
Popper
menyangkal pandangan kaum positivisme logis tersebut. Dalam pemahamannya
manusia tidak mungkin mengetahui semesta hanya dengan mengandalkan verifikasi
empiris. Popper memberi contoh kasus angsa putih dan angsa hitam. Orang Eropa
selama ratusan atau mungkin ribuan tahun percaya bahwa semua angsa adalah putih
karena memang sejauh itu tidak ditemukan angsa selain angsa putih. Keyakinan
ini goyah dan kemudian runtuh ketika para pelancong Eropa menemukan angsa hitam
di Sungai Victoria di Australia pada pertengahan abad ke-17. Dengan penemuan
itu keyakinan orang Eropa terbukti salah. Contoh serupa bisa ditemukan dalam
semua hal yang ada di ‘dunia objektif’. Oleh karena itu, bagi Popper, teori
pengetahuan selalu bersifat hipotesis dan konjektural.
Melihat
argumennya, Popper jelas tetap berusaha menyelamatkan empirisme tetapi dengan
catatan. Bagaimanapun prinisp falsifikasi Popper dilakukan melalui pengujian
yang sifatnya empiris. Akan tetapi, empirisme Popper tidak berasal dari
sebab-musabab yang berujung pada akibat, dari yang partikular menuju yang
universal. Empirisme Popper lahir dari pengetahuan apriori yang ditimba dari
pengetahuan apriori-nya Kant, tetapi Popper meneruskan itu dengan menambahkan
prinsip falsifikasi. Ketika ada bukti empiris yang lebih kuat, teori
pengetahuan lama otomatis terbukti salah. Namun jika bukti empiris baru
ternyata lebih lemah, teori pengetahuan lama justru dikuatkan (corroborated)
oleh bukti empiris baru tersebut. Dengan prinsip inilah ilmu penegetahuan
berkembang dan terhindar dari pembakuan yang bisa memerosotkan ilmu menjadi
mitos dan ideologi.
Berangkat
dari prinsip falsifikasi, Popper ingin menghindari objektivisme dan
subjektivisme dalam pengertiannnya yang ekstrem. Untuk itu dia mengajukan
gagasan ontologis tentang tiga Dunia. Dunia 1 adalah dunia fisik, Dunia 2
adalah dunia mental, Dunia 3 adalah dunia objektif. Dunia 1 dan Dunia 2 saling
berinteraksi. Dunia 2 dan Dunia 3 saling berinteraksi. Akan tetapi, Dunia 1
tidak bisa langsung berinteraksi dengan Dunia 3 kecuali melalui Dunia 2. Dengan
kata lain, benda-benda fisiologis berinteraksi dengan benda-benda psikologis,
benda-benda psikologis berinteraksi dengan benda-benda logis, tetapi
benda-benda fisiologis tidak bisa langsung berinteraksi dengan benda-benda
logis kecuali terlebih dulu melalui dunia psikologis.[7]
Apa
yang dimaksud Dunia 3 tak lain adalah pendekatan objektif. Pada Popper, itu
berarti pendekatan yang memandang pengetahuan manusia sebagai suatu sistem
pernyataan atau teori yang dihadapkan pada diskusi kritis, ujian intersubjektif,
atau kritik timbal-balik. Pendekatan objektif adalah kata lain untuk
epistemologi pemecahan-masalah (problem-solving). Analisis yang lahir dari
epistemologi Popper ini bersifat situasional, sehingga ia hanya sebuah solusi
tentatif. Ia mesti menyesuaikan diri secara terus menerus dengan
problem-problem baru.[8]
Pendapat
Popper tentang Dunia 3 adalah gagasan ontologis yang berpijak pada bahasa
sebagai objektifikasi dunia mental manusia yang subjektif. Secara jelas Popper
menyatakan bahwa “... Diri kita, fungsi bahasa yang tinggi (deskriptif dan
argumentatif) dan Dunia 3 telah berevolusi dan muncul bersama dalam interaksi
yang terus menerus ... untuk lebih spesifik, saya menyangkal bahwa binatang mempunyai
kesadaran penuh atau bahwa mereka mempunyai diri yang sadar. Diri kita
berkembang bersama dengan fungsi-fungsi bahasa yang lebih tinggi yaitu fungsi
yang deskriptif dan argumentatif”. Kutipan ini merupakan kritik Popper
terhadap kaum positivisme logis yang juga sama-sama berangkat dari permasalahan
bahasa.[9]
I.
Kritik terhadap karl R. Popper
Kritik pertama disampaikan oleh Thomas Khun, menurutnya
antara pandangan neo-positivisme dan Popper tampak seperti berbeda, terutama kriteria
dari sesuatu yang disebut ilmiah, sebenarnya kedua pandangan tersebut memiliki
persamaan, bahkan cukup fundamental. Keduanya jelas memiliki nuansa
positivistis, yang cenderung memisahkan antara ilmu dan unsur-unsur
subjektifitas dari ilmuwan, keduanya juga sama-sama memandang, proses
perkembangan ilmu adalah dengan jalan linier-akumulasi dan eliminasi.
Menurut Kuhn, ilmuwan
(termasuk ilmuwan kalangan Lingkaran Wina dan Popper) bukanlah para penjelajah
berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip
seperti para pemecah teka-teki yang bekerja dalam pandangan dunia yang sudah
mapan. Kuhn menamai sistem keyakinan yang sudah mapan dengan istilah
“paradigma”. Dalam pandangan Kuhn, seorang ilmuwan selalu bekerja dengan
paradigma tertentu. Jadi menurut Kuhn, Popper sama saja dengan ilmuwan
Lingkaran Wina, yang masih berkutat dalam paradigma positivistik.
[1] Roberta Corvi, An Introduction to the Thought of Karl
Popper, translated by Patrick Camiller (London dan New York, 1997), 3.
[2] Roberta Corvi, An Introduction, 3.
[3] William A. Gorton, Karl Popper and the Social Sciences
(Albany: State University of New York Press, 2006), 1.
[4] Karlina Supelli, “Masyarakat Terbuka: Catatan Kritis
untuk Pesona Sebuah Konsep”, Prisma, Vol. 30, No. 1, 2011, 3-14.
[5] Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut
Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991), 18.
[6] Roberta Corvi, An Introduction, 16.
[7] Taryadi Alfons, Epistemologi
Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991), 94-95.
[8] Taryadi Alfons, Epistemologi
Pemecahan, 30-33.
[9] Ibid,
102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar